Jumat, Oktober 02, 2009

PATICCASAMUPPADA


PATICCASAMUPPADA


( Sebab-Musabab yang Saling Bergantungan )
Disusun oleh : Tanhadi

“ Dengan adanya ini, terjadilah itu.
Dengan timbulnya ini, maka timbulah itu.
 Dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu.
Dengan lenyapnya ini, maka lenyaplah itu. “
(Khuddhaka Nikaya, Udana 40 )

Sebab musabab yang saling bergantungan (Paticcasamuppada) itu seringkali dibabarkan oleh Sang Buddha dan ini merupakan pokok Dharma yang penting sekali dalam Buddha Dhamma. Doktrin yang terkandung sangat dalam dan luas, sehingga tidak mungkin ditelaah secara lengkap dalam karangan yang terbatas. Tulisan ini semata–mata dibuat berdasarkan ajaran Buddha untuk menjelaskan doktrin ini dengan mengesampingkan rincian yang rumit di dalamnya. Di dalam salah satu sutta Sang Buddha bersabda:

 “Mereka yang melihat Paticcasamuppada, 
juga melihat Dhamma. 
Mereka yang melihat Dhamma, 
juga melihat Paticcasamuppada.”
(Maha-hatthipadopama Sutta; Majjhima Nikaya 28)

Dalam sutta yang lain disebutkan juga:

"Mereka yang melihat Dhamma melihat Buddha,
mereka yang melihat Buddha melihat Dhamma."

Jadi paticcasamuppada ini sangat erat sekali kaitannya dengan pengertian terhadap Dharma secara utuh. Dalam Mahanidana Sutta, Bhikkhu Ananda setelah mendengarkan paticcasamuppada menyatakan kepada Sang Buddha: "Sungguh dalam paticcasamuppada ini. Sebab musabab yang saling bergantung ini yang muncul dan padam saling terkait, dan tergantung mengkondisikan segala sesuatu ini. Sungguh dalam, sungguh halus. Tapi setelah saya melihatnya, Dhamma tersebut ternyata sangat sederhana."

Atas pernyataan Bhikkhu Ananda ini, Sang Buddha menyatakan:

"Janganlah berkata demikian Ananda, janganlah berkata demikian. Karena Paticcasamuppada ini demikian dalam, demikian halus, sulit untuk dipahami oleh mereka yang kekotoran batinnya masih tebal.”

Paticcasamuppada adalah suatu ajaran yang menyatakan adanya sebab-musabab yang terjadi dalam kehidupan semua makhluk, khususnya manusia. Hukum ini menekankan suatu prinsip penting bahwa semua fenomena di alam semesta ini merupakan keadaan relatif yang terkondisi dan tidak bisa muncul dengan sendirinya tanpa kondisi-kondisi yang mendukungnya. Sebagai contoh ; kita amati sebuah lampu minyak. Api dalam lampu minyak menyala tergantung pada minyak dan sumbu. Selama ada minyak dan sumbu, maka api dalam lampu minyak bisa menyala. Dengan menganalisa dan merenungkan Paticcasamuppada inilah, Petapa Gotama akhirnya mencapai Penerangan Sempurna menjadi Buddha.

Sejujurnya saja, kita ini masih banyak diliputi oleh dukkha ( penderitaan / ketidakpuasan), hal ini dapat kita amati dalam kehidupan sehari-hari, kita masih bersusah-payah dengan bekerja keras, sebagai pedagang, pegawai, bersekolah untuk mendapatkan gelar sarjana agar memperoleh jabatan tertentu disuatu perusahaan/instansi pemerintah dan sebagainya, untuk apa semua itu ? tentu saja untuk mendapatkan uang bukan ?, setelah memiliki sejumlah uang, timbul keinginan ini dan itu......, ini pertanda bahwa kita belum terpuaskan / menderita dengan semua keinginan itu .

Menderita, apa sebabnya?
Bagi kalangan tertentu penderitaan itu disebabkan oleh  “ nasib / takdir ”. Dari sisi Buddha Dhamma kita diajarkan untuk melihat bahwa segala sesuatu itu ada sebab -musababnya bukan dengan tiba-tiba / kebetulan atau takdir. Semua sebab penderitaan dalam kehidupan ini karena kita dilahirkan. Kalau sudah lahir, suatu saat kita akan mengalami sakit , tua dan mati.

Mengapa ada kelahiran?
Karena ada dorongan yang menimbulkan kekuatan kelahiran yaitu dorongan perbuatan / karma.

Mengapa ada perbuatan?
Karena ada kemelekatan untuk melakukan hal-hal tersebut atau merealisasikan apa yang kita lekati.

Mengapa ada kemelekatan?
Karena ada keinginan. Kalau ada sesuatu yang kita inginkan maka timbul satu keinginan yang kuat, hasrat rendah/nafsu. Begitu tercapai, ingin lagi, ingin lagi. Itu yang menimbulkan kemelekatan. 

Mengapa timbul keinginan?
Karena ada perasaan, dari perasaan timbul keinginan terhadap sesuatu. Perasaan muncul karena adanya kontak.

Mengapa ada kontak?
Karena indera. Kita mempunyai indera karena kita mempunyai batin dan jasmani.

Mengapa ada batin dan jasmani?
Karena ada kesadaran yang membentuk batin dan jasmani, salah satunya adalah kesadaran tumimbal lahir.

Mengapa bisa muncul kesadaran yang menyebabkan tumimbal lahir itu?
Karena adanya perbuatan/karma.

Mengapa muncul kamma?
Karena akibat dari ketidaktahuan (avijja) maka kita melakukan ini dan itu. Jika diurut, sebab menimbulkan akibat, akibat mengkondisikan untuk akibat yang berikutnya, sebab akibat menjadi sumber dari sebab berikutnya, maka semuanya ada 12 mata rantai sebab-musabab (nidana)

Keduabelas mata rantai itu diuraikan demikian detil oleh Sang Buddha, sehingga Sang Buddha memahami bahwa itu adalah uraian yang sangat halus. Begitu halus dan sungguh sulit untuk menguraikan dan membabarkan paticcasamuppada, maka dibuatlah simbol-simbol atau gambar-gambar.

Sepertinya Agama Buddha itu ruwet, rumit, dan mendetil sekali. Ini faktanya, justru Sang Buddha tidak pernah menutup-nutupi. Ada sebab musabab didalamnya, tidak muncul begitu saja, bukan karena takdir/nasib tapi ada sebab-sebabnya.

Prinsip umum Paticcasamuppada adalah : 

Dengan timbulnya ini maka timbullah itu, 
dengan adanya ini maka adalah itu, 
dengan padamnya ini maka padamlah itu, 
dengan tidak adanya ini maka itupun tidak ada  
(Samyuttanikaya II,28).

Kalau empat kalimat ini berkurang satu, maka rumusan paticcasamuppada menjadi tidak lengkap dan salah. Dengan timbulnya avijja/kebodohan, maka muncullah perbuatan ini dan itu. Dengan timbulnya ini dan itu, maka muncullah kesadaran. Begitu juga untuk yang berikutnya, dengan adanya avijja, muncullah perbuatan-perbuatan. Dengan padamnya avijja, maka padamlah tindakan ini dan itu yang tak berguna. Begitu seterusnya......

“ Karena ketidakmampuan mereka untuk memahami sebab-musabab yang saling bergantungan, maka orang terjerat seperti bola benang dan tidak dapat melihat kebenaran, selalu diliputi penderitaan, terlahir dalam kondisi yang sedih dan suram, dimana ada kebingungan dan penderitaan berkepanjangan. Dan mereka tidak tahu bagaimana melepaskan diri mereka sendiri untuk keluar .”, demikian menurut Sang Buddha pada saat beliau berbicara kepada Ananda. 

Dua belas faktor Paticcasamuppada:

Ketika Sang Buddha berdiam di Savatthi?: " Para bhikkhu, aku akan mengajarkan dan menganalisa sebab-musabab yang saling bergantungan kepada kalian.".....

" Dan apakah sebab-musabab yang bergantungan itu? 

Dari ketidaktahuan (avijja) sebagai kondisi penyebab maka muncullah bentuk-bentuk perbuatan/kamma (sankhara),

Dari bentuk-bentuk perbuatan/kamma (sankhara) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kesadaran (vinnana),

Dari kesadaran (vinnana) sebagai kondisi penyebab maka muncullah batin dan jasmani (nama-rupa),

Dari batin dan jasmani (nama-rupa) sebagai konsisi penyebab maka muncullah enam indera (salayatana),

Dari enam indera (salayatana) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kesan-kesan (phassa),

Dari kesan-kesan (phassa) sebagai kondisi penyebab maka muncullah perasaan (vedana),

Dari perasaan (vedana) sebagai konsisi penyebab maka muncullah keinginan/kehausan (tanha),

Dari keinginan/kehausan (tanha) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kemelekatan (upadana),

Dari kemelekatan (upadana) sebagai kondisi penyebab maka muncullah proses kelahiran kembali (bhava),

Dari proses kelahiran kembali (bhava) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kelahiran kembali (jati),

Dari kelahiran kembali (jati) sebagai kondisi penyebab maka muncullah kelapukan dan kematian, duka cita, sakit, kesusahan dan keputus-asaan (jaramaranang).

Demikianlah penyebab dari seluruh kesusahan dan penderitaan."
(Paticca-samuppada-vibhanga Sutta; Samyutta Nikaya 12.2 {S 2.1})


PENJELASAN:

Avijja ( ketidaktahuan ) artinya ; tidak mengetahui kebenaran dan hakekat sesungguhnya segala sesuatu. Hakekat sesungguhnya bahwa batin dan jasmani itu dicengkeram oleh anicca, dukkha, dan anatta yang timbul dan padam dengan sebab akibat yang saling bergantungan. Karena tidak berpengetahuan, penganut duniawi yang tidak terbimbing memiliki pandangan yang keliru. Ia menganggap yang tidak kekal sebagai suatu yang kekal, yang menyakitkan sebagai kesenangan, yang bukan roh sebagai roh, yang bukan Tuhan sebagai Tuhan, yang tidak murni sebagai kemurnian, yang tidak nyata sebagai kenyataan. Lebih jauh lagi, avijja adalah tidak memahami lima agregat kehidupan ( panca khanda ), atau batin dan jasmani. 


Secara singkat ; ia tidak mengetahui Paticcasamuppada.

Ketidaktahuan atau kegelapan batin adalah salah satu akar penyebab seluruh kekotoran batin, seluruh perbuatan jahat ( akusala ). Semua pikiran jahat merupakan akibat dari kebodohan. Jika tidak ada kebodohan maka perbuatan jahat, baik melalui pikiran, ucapan ataupun tindakan jasmani tidak akan dilakukan. Itulah sebabnya ketidaktahuan disebutkan sebagai mata rantai pertama dari 12 mata rantai Paticcasamuppada.

Meskipun ketidaktahuan( Avijja) merupakan mata rantai pertama dari 12 mata tantai Paticcasamuppada namun tidak seharusnya dianggap sebagai penyebab utama segala sesuatunya . Paticcasamuppada ini semata-mata menjelaskan proses kelahiran dan kematian, tumimbal lahir dan penderitaan dan bukanlah suatu teori yang menerangkan tentang asal-muasal terjadinya alam semesta, ataupun asal-mula dari makhluk. Tentu saja ia bukan penyebab utama, karena segala sesuatu yang timbul merupakan rangkaian dari sebab-sebab pendahulu tertentu, sehingga tidak ada sebab pertama, tak ada gambaran mengenai penyebab pertama dalam pemikiran Buddhist.

Ajaran Paticcasamuppada dapat digambarkan dengan suatu lingkaran mata rantai karena ia merupakan siklus kehidupan. Dalam sebuah lingkaran, titik manapun dapat dianggap sebagai titik awal. Setiap faktor dari Paticcasamuppada dapat digabungkan dengan yang lain dalam rangkaian yang sama, dan karena itulah, tak ada satupun faktor yang dapat berdiri sendiri ataupun berfungsi tanpa bergantung kepada yang lain, semuanya saling berkaitan dan tak terpisahkan. Sebab musabab yang saling bergantungan adalah suatu proses yang tak terputus. Dalam proses ini tak ada yang tetap atau pasti, melainkan seluruhnya berada dalam suatu putaran. Ini merupakan timbulnya keadaan yang selalu berubah bergantung pada kondisi serupa yang cepat berlalu. Di sini tak ada kematian ataupun kehidupan yang mutlak, hanyalah fenomena kosong yang berputar suddha dhamma pavattanti ).

Karena itulah, ketidaktahuan, faktor pertama dari mata rantai, bukan merupakan satu-satunya keadaan yang menimbulkan bentuk–bentuk karma, Karena ketidaktahuannya, ia berjalan semaunya maka akhirnya mengkondisikan  faktor kedua yaitu  sankhara. Jadi, faktor–faktor dari Paticcasamuppada juga saling mendukung satu sama lain dalam cara yang beraneka ragam.

Sankhara/perbuatan;
diibaratkan dengan seseorang yang membuat roti. Ada roti yang sedang  dalam proses pembuatan, ada yang masih berupa bahan-bahan roti , ada juga yang sudah selesai dikerjakan menjadi roti. Membuat roti itu ibarat melakukan sesuatu. Ada yang sudah jadi roti; sudah jadi roti artinya karmanya sudah berbuah dan ada roti yang sedang dalam proses pembuatan yang belum menjadi roti, sementara itu ia terus-menerus  membuat roti , karena masih avijja.

Vinanna/kesadaran;
untuk melihat, mendengar, membaui, mengecap, mengalami sentuhan, ataupun menyadari sesuatu. Yang umum dibahas vinnana itu adalah patisandhi vinnana. Karena melakukan nidana kedua, maka mengkondisikan tumimbal lahir. Mengkondisikan ini diibaratkan dengan seekor kera. Kera yang pindah dari pohon yang berdaun kering dan buahnya sudah tidak ada, ke pohon yang baru, yang daunnya masih hijau dan buahnya masih merah. Ini ibarat pohon yang baru tetapi bukan berarti vinanna itu pindah dari badan yang lama ke badan yang baru. Tumimbal lahir ini mengkondisikan nama-rupa.

Nama-Rupa (batin dan jasmani);
diibaratkan pria dan wanita. Anggaplah pria ini jasmani dan wanita itu batin dalam suatu perahu. Perahu ini terdiri dari batin dan jasmani. Kemudian batin dan jasmani ini mengkondisikan salayatana.

Salayatana (enam landasan indra);
yang diumpamakan dengan sebuah rumah dengan 5 jendela dan satu pintu. Lima landasan adalah fisik dan satu lagi batin. Karena ada 6 landasan indera ini maka mengkondisikan phassa. Phassa (kontak); ibarat wanita dan pria yang mengadakan kontak, maka muncullah perasaan, mengkondisikan vedana.

Vedana (perasaan);
yang muncul dari kontak telinga, hidung, lidah, sentuhan jasmani dan batin, sehingga muncullah tanha.

Tanha (nafsu keinginan);
ibarat orang yang sedang minum minuman keras, akibatnya mabuk. Nafsu keinginan ini bisa menimbulkan upadana.

Upadana (kemelekatan);
ibarat orang yang sedang mengambil buah. Buah terus diambil walaupun keranjangnya sudah penuh, terus saja mengambil. Karena melekat itulah menimbulkan dorongan melakukan sesuatu, sehingga menimbulkan bhava.

Bhava (proses menjadi);
kamma bhava/melakukan, inilah yang akan mendorong makhluk menjadi jati.

Jati (kelahiran);
karena lahir inilah yang mengkondisikan jara-marana.

Jara-Marana;
yaitu ketuaan, kematian, keluh kesah, ratap tangis, dan penyakit yang berarti dukkha.

Di dalam Paticcasamuppada yang rangkaiannya digambarkan sebagai ayam (simbol keserakahan /lobha), ular (simbol kebencian/dosa), dan babi (simbol moha/kebodohan). Ini adalah tiga akar kejahatan yang menyebabkan makhluk-makhluk tumimbal lahir di alam yang menyedihkan.

Nidanna 12 diibaratkan dengan 12 mata rantai. Penjelasan di atas di mulai dari avijja. Apakah sebab pertama itu adalah avijja dan apakah jara-marana penyebab timbulnya avijja? Tidak, tidaklah demikian adanya, itu hanya urusan mengungkapkan perumpamaan dan pada umumnya di dalam penjelasan paticcasamuppada 12 nidanna hanya selesai sampai di situ, dan hal itu bisa menimbulkan pandangan salah, sebab bisa timbul anggapan bahwa ? avijja itu adalah awalnya? sehingga avijja dianggap sebagai sebab pertama. Dan itu tidak beda jauh dengan agama lain, ada sebab pertama, cuma namanya bukan avijja. 

Ada 3 lingkaran paticcasamuppada: kilesa vatta, kamma vatta, dan vipaka vatta yang terus berputar. Kilesa itu akan mendorong terbentuknya kamma. Kamma akan mendorong, akhirnya memproduksi hasil. Hasil ditanggapi oleh batin kita yang kotor, membentuk kamma lagi, hasil lagi, terus berputar. Kilesa dan kamma menimbulkan hasil. Jadi kilesa dan kamma itu sebab akibatnya vipaka, terus kilesa, kamma, upadana, bhava itu sebab lagi, hasil lagi.

Setiap orang yang avijja, pasti ia punya kekotoran batin juga. Avijja pasti joint dengan tanha dan upadana, sankhara pasti ikut serta di dalamnya. Artinya segala sesuatu yang terjadi sekarang ini adalah hasil kontribusi dari perbuatan masa lampau. Hasil kita yang akan datang merupakan kombinasi dari kamma di masa lampau + kamma kita di masa sekarang. Jadi kamma kita yang sekarang berkombinasi membentuk hasil berikutnya, di mana vinnana, nama-rupa, salayatana, phasa, dan vedana ini merupakan manifestasi dari kelahiran, kelapukan, dan kematian.

Kesadaran kita muncul padam itu artinya lahir, mati, lahir, mati. Makanya jatijara-marana idem dengan vinanna, nama-rupa, salayatana, phasa, dan vedana. Jadi pada saat yang lampau yang menjadi sebab ada 5 yaitu: avijja, sankhara, tanha, upadana, dan bhava. Menimbulkan hasil sekarang ada lima. Hasil yang sekarang direspon oleh batin kita dengan sebab yang sekarang yang kita lakukan. Sebab sekarang yang kita lakukan ada 5 juga yaitu: tanha, upadana, avijja, sankhara, bhava.

Sebab sekarang ini akan menimbulkan hasil yang akan datang hasilnya 5 juga. Hubungan antara sebab dan akibat, antara akibat dan sebab baru, antara sebab dan akibat berikutnya, itu ada hubungan yang bisa diputus. Antara aksi dan reaksi ada satu hubungan yang bisa diputus, tapi karena itu sudah lampau, sudah terlanjur jadi tidak dapat diputus. Antara hasil yang sekarang dengan sebab yang akan datang masih bisa kita kendalikan. Begitu prasangka muncul, bagaimana caranya supaya tidak timbul tanha. Itu yang harus diputus, saat ini.

Aplikasinya seperti anak-anak perempuan yang menyukai boneka. Kalau bonekanya jatuh dan patah, pasti menangis. Karena ingat boneka, ditanya juga tidak mau menjawab artinya ada avijja. Kemudian anak itu memutuskan sesuatu, berkehendak, ingin agar boneka itu kembali. Timbullah kesadaran yang kalau melihat boneka itu ia akan menangis lagi.

Ada kesadaran melihat di mana didalamnya ada faktor-faktor batin yang ikut berkecamuk. Karena ada avijja dan kekuatan kamma yang mendorong munculnya kesadaran disertai dengan batin dan jasmaninya itu, maka indera si anak menjadi lebih peka.

Begitu kontak, terjadilah perasaan yang tidak menyenangkan, ia ingin perasaan yang tidak menyenangkan itu hilang, ingin boneka itu kembali. Keinginan agar boneka itu kembali tersebut karena sudah terjadi anggapan "Inilah bonekaku" yang begitu kuat, sehingga menimbulkan kekuatan untuk ia terlahir sebagai anak perempuan dengan "Aku" yang memiliki boneka itu. Anak itu "lahir" baru, berhenti tangisnya. Malam ia ingat lagi, lewat kontak pikiran. Kontak terjadi, ingat boneka, begitu ingat, timbul perasaan tidak senang, ingin lagi, melekat lagi, nangis lagi, terus berputar, selama avijja dan tanha itu belum hancur. Dan pada saat terjadi kontak ia tidak paham bagaimana cara mengendalikannya. Ini berarti paticcasamuppada berputar terus sampai ia dewasa.

Contoh yang paling mudah adalah dua sejoli yang lagi dimabuk asmara / pacaran, suatu saat si wanita melihat pacarnya berjalan dengan wanita lain...., apa yang terjadi ? Pikirannya langsung bereaksi, mengakibatkan indera-inderanya menjadi peka terhadap provokasi yang ia lihat. Mungkin si pria hanya menolong perempuan itu untuk menyeberang jalan saja. Tapi kalau sudah timbul perasaan yang tidak menyenangkan, ia ingin segera hal itu tidak terjadi. Karena keinginannya begitu kuat dan dipendam terus, jadi melekat, "Itu pacarku", muncul "Aku". Kekuatan menjadi itu menyebabkan ia lahir kembali sebagai perempuan yang memiliki "Aku" yang lebih tinggi dan konsekuensinya ia sedih, mudah cemburu ,ratap tangis dan lain-lain...... disinilah Paticcasamuppada telah bergulir.

Contoh lain: Si A dan Si B, mereka berdua kalau bertemu selalu saling bertukar sapa, tapi pada suatu hari, ketika si A bertanya kepada si B tentang sesuatu dan si A mendapatkan jawaban yang hambar dari si B. Karena pemikiran yang tidak mendalam dan tidak bijaksana, avijjanya si A menimbulkan "penilaian" tertentu. Timbul satu kesadaran, faktor-faktor batin yang muncul ditanggapi oleh si A sebagai menyebalkan, ia ingin si B berubah. Begitu melekatnya hal itu, sehingga ketika si B menyampaikan sesuatu dan timbul kontak melalui pendengaran. Apapun yang dibicarakan oleh si B akan menjadi negatif, demikian pula dengan tanggapannya, pasti negatif juga. Lahirlah ia kembali menjadi si A yang lebih baru lagi, yang semakin cepat tersinggung batinnya, si B pun makin menderita.

Contoh yang lebih sederhana: kita sering mengunyah permen karet, karena terasa enak, timbul kemelekatan. Pada saat timbul kemelekatan, avijja muncul, kita terus mengunyah permen. Paticcasamuppada terus berputar dalam bentuk kemelekatan yang halus yaitu rasa enak. Begitu permen manisnya hilang, langsung kaget, dibuang, action baru muncul.

Selama makhluk-makhluk itu diliputi oleh avijja dan tanha, ia tidak akan paham dengan paticcasamuppada. Aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari misalnya, kita menerima cacian, ada objek pendengaran, ada landasan indera pendengaran, terjadilah kontak. Pada saat kontak itu, terjadilah kesadaran pendengaran. Pada saat perasaan yang tidak menyenangkan itu muncul, umumnya kita langsung sedih atau marah, itu artinya rem kita blong. Ada orang yang sedih, marah, atau dendamnya sebentar, ada juga yang lama bahkan sampai bertahun-tahun.

Kalau kita mulai berlatih pada saat muncul suara yang tak menyenangkan misalnya pada saat bermeditasi, terdengar suara, biasanya muncul perasaan kesal. Mengapa kita tidak lakukan hal ini ketika muncul kekesalan: "Oh, ini kesadaran mendengar, apakah saya harus membuat sebab baru dengan marah, oh tidak, itu hanya vipaka yang muncul, saya sekarang sedang bermeditasi". Tetapi wajar kalau remnya blong, cuma kalau sudah terjadi demikian, jangan disesali, karena penyesalan itu akan menimbulkan kebencian. Kalau kemarahan sudah muncul dan terjadi, munculkan kesadaran bahwa "marah itu tidak benar, saya sudah menanam sebab baru, pasti ada akibat, tapi saya tidak mau terus menerus marah, tidak mau terus menerus memutarkan roda paticcasamuppada". Itulah yang disebut selalu waspada, satisampajanna. Kalau melaksanakan seperti itu, artinya kita melaksanakan vipassana dalam kehidupan sehari-hari, di situ kita akan lebih paham.

Jika kita amati dari 12 faktor yang ada, di mana penjelasannya mulai dari avijja, sankhara, dan seterusnya, ternyata kemunculannya tidaklah harus berurutan seperti itu. Tidak harus munculnya dari avijja dulu, kemudian sankhara, dan seterusnya.

Pada masing-masing kelompok itu ada yang merupakan sebab; sebab tersebut menimbulkan akibat. Akibat yang sekarang dialami ini dikondisikan oleh munculnya sebab yang dilakukan pada saat yang lalu, kemudian akan mengkondisikan akibat pada saat yang akan datang. Kemudian kita amati lebih dalam lagi ke dalam Tipitaka dan kitab-kitab komentar, Paticcasamuppada yang sering sekali didengung-dengungkan dan dibahas umum di Indonesia lebih banyak mengacu pada Visuddhimagga. Jadi Visuddhimagga adalah salah satu kitab yang merupakan kompilasi dari Tipitaka yang disusun oleh Buddhagosa Thera. Di dalam buku itu memang secara detil dijelaskan tentang Paticcasamuppada dalam hubungannya dengan kehidupan demi kehidupan, artinya ada kehidupan lampau, sekarang, dan yang akan datang. Sebaliknya kalau kita membaca dalam Tipitaka, Paticcasamuppada ini lebih banyak dijelaskan tentang saat pikiran, tidak peduli itu kehidupan lampau, sekarang, atau yang akan datang, tetapi lebih terfokus pada muncul padamnya kesadaran, karena disitulah bekerjanya Paticcasamuppada.

Pada Mahanidana Sutta, kita membaca secara teliti di mana hal itu erat kaitannya dengan Abhidhamma. Paticcasamuppada dijelaskan oleh Sang Buddha tidak hanya urutan 12 faktor mulai dari avijja sampai dengan jaramarana. Di dalam Mahanidana Sutta ada varian, jadi setelah munculnya tanha itu ada 2 varian, yaitu:

pertama, tanha mengkondisikan kemelekatan; dan kedua, munculnya tanha mengkondisikan pengkondisian salah satu kondisi untuk mencari (pencarian); pencarian ini mengkondisikan perolehan/pendapatan; pendapatan mengkondisikan kepemilikan; kepemilikan mengkondisikan penjagaan; penjagaan mengkondisikan penggunaan senjata, pengamanan, dan sebagainya; penggunaan senjata mengkondisikan terjadinya pembunuhan; pembunuhan mengkondisikan terjadinya bicara tidak benar dan seterusnya; yang pada akhirnya mengkondisikan penderitaan bagi makhluk itu.

Ke-12 faktor itu seolah-olah urutan teknis istilah-istilah Abhidhamma. Varian ke-2 ternyata dalam aplikasinya keinginan itu bisa menimbulkan seseorang untuk berupaya mencari. Dari upaya mencari bisa mengkondisikan seseorang memperoleh apa yang diinginkan. Dari upaya yang telah dilakukan dan memperoleh itu menimbulkan suatu kepemilikan. Kalau ia memiliki sekali, ada keterikatan terhadap kepemilikan itu. Maka ada upaya-upaya melakukan penjagaan. Dari penjagaan ada upaya-upaya melakukan bagaimana caranya supaya itu tidak hilang dengan cara-cara yang keras dan seterusnya. Itu namanya ?applied?, aplikasi salah satu varian dalam sutta itu. Artinya kalau 12 faktor itu seolah-olah hanya menyangkut diri pribadi seseorang, dari variasi yang kedua ternyata paticcasamuppada bisa bergulir dan berpengaruh terhadap lingkungan sosial. Dengan adanya pola perilaku dari individu yang seperti tadi maka akan berpengaruh terhadap perilaku sosial. Ini juga berarti tingkat keinginan dari individu memang secara langsung berpengaruh terhadap penderitaannya tetapi secara tidak langsung juga berpengaruh terhadap bergulirnya paticcasamuppada pada makhluk-makhluk disekitarnya. Paticcasamuppada yang dijelaskan dalam 12 mata rantai itu merupakan suatu proses alamiah. Jadi Sang Buddha dalam hal ini menjelaskan tentang suatu proses alamiah yang terjadi pada orang dan masyarakat yang merupakan wujud dari bergulirnya Paticcasamuppada.

Sutta yang lainnya yaitu Agganna Sutta, dikatakan: "manusia pertama di bumi ini banyak, mulai dari makhluk Abhassara Bhumi yang mati. Kemudian lahir di bumi melayang-layang dengan tubuh bercahaya, bumi sedang berproses. Ketika bumi sedang berproses, makhluk ini timbul sifat lobha, memakan sari tanah". Di dalam Agganna Sutta itu juga dijelaskan, dengan meningkatnya tanha dari makhluk-makhluk yang bercahaya tersebut, maka menimbulkan tingkat kelebihan dari konsumsi. Sebagai ilustrasi: dengan meningkatnya lobha, pohon-pohon padi yang biasanya tidak perlu dipanen karena padi datang bergulir sendiri, sehingga orang pada saat itu tidak menanam padi untuk diambil, tetapi padi itu "jalan" sendiri, sudah masak sendiri. Tetapi karena sifat lobha tadi, makhluk-makhluk itu menyimpan dan mengambil lebih banyak; karena mengambil lebih banyak artinya pohon ini menjadi lebih sedikit sehingga pohon padi harus ditanam. Orang tersebut harus datang ke sawah untuk memelihara dan mengambil padi tersebut. Dengan meningkatnya keserakahan orang tersebut, maka pohon padi terkondisikan untuk dibudidayakan dan seterusnya sampai terbentuknya sistem-sistem di masyarakat. Masyarakat kemudian dikelompokkan berdasarkan pekerjaan. Ada yang sebagai brahmana, satria, dan sebagainya. Pada akhirnya pengelompokkan masyarakat berdasarkan jenis pekerjaan itu dianggap oleh orang sekarang seolah-olah seperti kasta. Awalnya itu cerita dari meningkatnya lobha/tanha. Jika itu dihubungkan, ada satu aplikasi dari Paticcasamuppada yang bergulir pada kehidupan sosial hingga berpengaruh terhadap lingkungan.

Jadi Sang Buddha mengungkapkan Paticcasamuppada tidak selalu mulai dari avijja. Pada cerita tadi, ia harus datang ke sawah, menanam padi, dan harus ingat sudah berapa lama padi itu harus dipanen. Yang tadinya itu tidak terjadi, akibat pola tingkah sifat lobha maka mempengaruhi lingkungan menjadi berubah. Pada Agganna Sutta juga ada proses tentang perkawinan manusia saat itu. Karena terlalu lama melihat, awalnya makhluk itu tidak disebut wanita atau pria, tetapi bentuknya sudah mulai berubah tergantung tingkat pola seberapa banyak ia mengkonsumsi sari tanah, artinya seberapa banyak tanha, ia berubah bentuknya.

Bentuk tubuh manusia itu terpengaruh dari proses Paticcasamuppada (nama-rupa). Karena perbedaan bentuk tubuh ini, mereka saling memandang. Terlalu lama memandang, muncullah nafsu, terjadilah hal-hal yang mereka inginkan, terjadilah perkawinan, kelahiran, dan sebagainya. Itu dijelaskan di dalam Agganna Sutta, Paticcasamuppadanya tersamar. Tetapi kalau tahu hakekat sesungguhnya yang mulai dari avijja sampai dengan jara-marana, adakah faktor dari 12 itu yang dapat kita lihat? Ternyata ada, artinya berproses, adanya penderitaan. Jelas sekali bahwa Paticcasamuppada selalu dibabarkan oleh Sang Buddha di mana pun, cuma cara pembabarannya ada yang menggunakan istilah-istilah teknis tetapi di bagian lain menggunakan bahasa sosial kemasyarakatan, karena hal ini tergantung pada pendekatan keadaan dari si pendengar sehingga dapat lebih mudah dipahami.

Dalam Cakkavatti Sihanada Sutta (cerita tentang raja alam semesta), di situ dituliskan bahwa karena raja dunia saat itu tidak memberikan dana kepada fakir miskin maka terjadilah proses kelaparan; karena mereka lapar maka mengkondisikan pencurian; karena ada pencurian maka terjadi penangkapan dan hukuman; karena ada hukuman maka terjadi kondisi untuk berdusta; karena berdusta maka terjadilah penyelidikan; karena diselidiki mengkondisikan terjadinya pembunuhan dan seterusnya. Awalnya bergulir penderitaan dari sosial kemasyarakatan, ada lobha dan tanha. Raja sendiri menderita dan sebenarnya sudah terjadi proses Paticcasamuppada. Karena raja tidak memberikan dana, ada pihak lain yang merasakan akibatnya. Di masyarakat muncul keinginan dan keterikatan untuk mencuri, apalagi ada lobha yang membuat makin menderita. Akibatnya umur manusia mulai berkurang, berjalan sesuai dengan tingkah laku kejahatan yang dilakukan saat itu. Tingkat keserakahan dan keresahan sudah mulai tinggi, perangpun membudaya.

Dalam sutta-sutta selanjutnya, kalau kita simak pembabaran Paticcasamuppada yang kita bahas ini tidak lain adalah proses kemunculan, munculnya dukkha.

Ini merupakan suatu kenyataan "kesunyataan mulia tentang dukkha". Kemudian di dalam sutta itu dijelaskan, pada saat makhluk itu menderita mulai avijja sampai dengan jatijara-marana, penderitaan itu mengkondisikan tiga variasi terhadap terjadinya keadaan yang terbebas dari dukkha, yaitu:

Variasi pertama, penderitaan itu menimbulkan dan mengkondisikan munculnya keyakinan bagi seseorang; keyakinan mengkondisikan timbulnya suatu kegembiraan untuk melaksanakan kebaikan; kegembiraan melaksanakan kebaikan mengkondisikan timbulnya ketenangan pikiran; ketenangan pikiran mengkondisikan timbulnya kebijaksanaan; kebijaksanaan mengkondisikan hancurnya kebodohan batin dan keserakahan; hancurnya kebodohan batin dan keserakahan mengkondisikan yang bersangkutan terbebas dari dukkha.

Jadi walaupun seseorang menderita itu bisa mengkondisikan munculnya keyakinan. Keyakinan memiliki 3 aspek, yaitu: keyakinan harus berlandaskan pada pengetahuan, artinya kalau seseorang sedang menderita, kemudian mendengar Dhamma akan muncul suatu pengetahuan yang bisa memunculkan keyakinan awal bagi orang itu, minimal ia yakin bisa terbebas dari penderitaan. Jadi keyakinan itu ada aspek pengetahuan, pengertian, dan kemauan. Kalau ia yakin, disertai dengan kemauan, ia bisa terbebas dari dukkha. Walaupun seseorang melakukan sesuatu hanya dengan keyakinan, itu bisa menimbulkan kegembiraan bagi orang tersebut. Kalau ia sudah gembira dengan keyakinan seperti itu, kemudian ia bermeditasi, batinnya menjadi tenang. Kalau batinnya tenang ia bisa mengamati fenomena muncul padamnya nama-rupa. Kalau ia bisa mengamati itu, bisa muncul suatu kebijaksanaan, bisa terbebas dari dukkha. Jadi janganlah mencela orang yang hanya mempunyai keyakinan. Betapa pun kecilnya keyakinan adalah tetap keyakinan, yang bisa mengkondisikan keterbebasan dari dukkha. Jadi yang tadi berputarnya dukkha seolah-olah kita tidak bisa lepas dari Paticcasamuppada ternyata di sutta itu ada penjelasannya. Paticcasamuppada yang berakhir dengan kebahagiaan yang mengatasi duniawi...

Variasi kedua, penderitaan itu mengkondisikan seseorang untuk melaksanakan perbuatan baik. Kusala kamma menimbulkan seseorang berbahagia karena ia melakukan perbuatan baik, ia terkondisikan untuk berbahagia. Karena ia berbahagia terkondisikan batinnya menjadi tenang. Ketika berbuat baik itu memberikan buah/hasil, hasil itu membahagiakan. Kalau ia bahagia, ia menjadi tenang, dan seterusnya...

Variasi ketiga, penderitaan mengkondisikan wise reflection (perhatian/perenungan yang mendalam). Ketika ia menderita, ia merenung, mengkondisikan perenungan "oh, ini rupanya penderitaan, seperti ini", ia menyelidiki. Dari situ bisa timbul ketenangan.

Jadi, dari Empat Kesunyataan Mulia, Paticcasamuppada menjelaskan tentang kesunyataan mulia pertama dan ketiga. Di samping itu, awalnya dari dukkha-dukkha merupakan kesunyataan mulia kedua (sebab dukkha). Sang Buddha membabarkan paticcasamuppada itu merupakan proses alamiah dari dukkha, sebab dukkha, dan padamnya dukkha. Bukan metode terbebas dari dukkha tetapi proses alamiah tentang muncul, sebab, dan padam.

Jalan Mulia Berunsur Delapan merupakan cara untuk memutus dukkha dari Paticcasamuppada di kesunyataan mulia yang pertama. Sehingga terealisasilah kesunyataan mulia yang ketiga yaitu padamnya dukkha. Jadi Paticcasamuppada dalam Tipitaka disebut Majjhima Dhammadesana (pembabaran ajaran tengah). Ajaran tentang proses ini maksudnya untuk menghancurkan dua pandangan sesat yang umum terjadi pada jaman Sang Buddha yaitu pandangan tentang kekekalan dan pandangan tentang kemusnahan. Ketika mempelajari paticcasamuppada ternyata muncul padam saling berinteraksi, saling berpengaruh.

Jika kita membaca Dhammacakkapavattana Sutta alinea ke-2, ada dua hal yang harus ditinggalkan kemudian dilaksanakan. Dua hal yang harus ditinggalkan yaitu pemuasan nafsu dan menyiksa diri. Begitu kita mempelajari paticcasamuppada jelas bahwa dua hal ekstrim itu tidak bermanfaat. Ada juga pandangan bahwa segala sesuatu ini "milikku". Ternyata dalam hakekat yang sesungguhnya tidak ada yang bisa kita miliki, artinya dari Jalan Mulia Berunsur Delapan, kita membangun dengan mempelajari Paticcasamuppada yaitu meningkatkan pengertian benar. Kalau seseorang telah mempunyai pengertian benar, paling tidak ia bisa menghancurkan avijja. Kalau avijja tidak muncul maka padamlah yang ini. Jadi paticcasamuppada merupakan ajaran dasariah dari Buddhisme yang sangat penting sekali. Memang sangat jarang Umat Buddha mendengarkan atau belajar ajaran ini. Sesungguhnya ajaran paticcasamuppada akan membentuk suatu pengertian benar terhadap proses segala sesuatu. Kalau ini sudah bisa dimengerti, maka kita akan lebih tenang.

Jika dipilah-pilah, yang memutar roda paticcasamuppada dalam abhidhamma itu ada yang disebut dengan:

- Kamasava, yaitu kekotoran bathin yang menyangkut nafsu indera. Ketika indera kita mengadakan kontak, hal ini menyangkut/berkaitan dengan pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecapan, dan sentuhan dari panca indera.

- Bhavasava, yaitu kekotoran bathin yang menyangkut eksistensi (keberadaan) atau ingin terlepas dari sesuatu yang tidak menyenangkan.

- Ditthasava, yaitu kekotoran bathin karena pandangan yang keliru.

- Avijjasava, yaitu kekotoran dari kegelapan bathin.

Dari keempat asava ini muncullah tindakan-tindakan.

Jika kita perhatikan dari rangkaian Paticcasamuppada dalam 12 mata rantai, umumnya sudah langsung muncul perasaan. Ketika kontak dalam kehidupan sehari-hari yaitu kontak terhadap objek-objek indera, hal tersebut mengkondisikan munculnya perasaan; pada saat perasaan itu muncul empat jenis asava yang tadi juga siap muncul. Misalnya pada saat melihat seorang atasan sedang memperlakukan bawahannya dengan seenaknya, timbul pikiran, "wah, enak juga nih menjadi atasan." Dengan adanya kontak seperti itu bisa memunculkan suatu keinginan untuk menjadi orang yang bertindak seperti itu. Dari keinginan-keinginan tersebut jika ia berpandangan bahwa sebagai atasan itu enak, artinya pandangan tertentu tersebut yang menyertai keinginan menyebabkan ia melekat pada pandangan yang salah itu. Seberapa besar ia ingin menjadi atasan akhirnya ia melakukan tindakan-tindakan untuk mencapai itu. Tindakan-tindakan itu disebut kammabhava.

Jadi, dari kontak muncul suatu keinginan yang disebut tanha sehingga muncul tindakan. Secara fisik ia tidak meninggal tetapi secara batin ia terlahir/jati sebagai "akulah atasan", lahirlah konsep "aku". Jika ia sudah lahir, maka jati-marana muncul; begitu ia tumimbal lahir, batinnya menganggap dirinya sebagai atasan, ia sudah lahir sebagai atasan dalam dirinya. Jika sudah tumimbal lahir secara batin menjadi atasan maka konsekuensinya adalah dukkha, dukkha...

Apa yang dirasakan sebagai dukkha? Ia tidak dianggap sebagai atasan, karena jabatan bisa saja lepas. Dari contoh itu saja sudah beberapa hal muncul. Mulai dari penglihatan muncul suatu tanha, memiliki suatu pandangan. Pandangan ini dilekati, melekat pada pandangan, melakukan "action", sehingga terjadi kelahiran baru "aku". Begitu lahir muncul suatu kemelekatan baru yaitu pada konsep aku (upadana), kemelekatan terhadap aku sebagai atasan, berputar lagi, butuh "action" untuk mempertahankan kedudukan sebagai atasan itu, lahir lagi dengan lebih melekat, "aku si atasan"" terus saja melekat, akibatnya penderitaannya makin kuat. Hal ini bukan berarti kita tidak boleh menjadi atasan, tetapi kemelekatan menjadi atasan itulah yang tidak boleh kita lekati. Atasan ini bisa dalam berbagai bentuk, artinya bisa sebagai majikan, bhikkhu, saya yang pandai/pintar, penceramah, pendeta, dan lain-lain. Jika sudah muncul seperti itu dan kalau sudah terjadi seperti itu, maka bersiap-siaplah dengan jara-marana. Sehingga dari saat ke saat dalam kehidupannya jika kontak dengan sesuatu akan cepat terkena stress/depresi. Umumnya memang dalam menjalankan kehidupan, kita terkena stress/depresi.

Ini pasti ada yang salah, apa yang salah?  Ketika melihat objek yang menyenangkan terjadilah kontak, muncul perasaan, lalu keinginan, mempertahankan melihat yang menyenangkan itu. Hal ini berkaitan dengan objek penglihatan. Dari objek kecapan rasa "wah, enak ini", ingin mempertahankan rasa yang enak, sehingga timbul suatu kemelekatan bahwa ini benar-benar enak, kekal, dan bisa dipertahankan. Kita melakukan "action" untuk mempertahankan itu, setelah tercapai, muncul suatu kesombongan. Dan ketika terjadi suatu kelapukan dari sesuatu yang dipertahankan, keinginan menjadi tidak terpenuhi, akhirnya hal-hal yang tidak diinginkanpun terjadi tanpa dapat dicegah.

Jadi konsep paticcasamuppada ini semua terjadi karena ada banjir dari nafsu, banjir halusinasi untuk menjadi sesuatu, banjir dari pandangan, banjir dari konsep tentang "kepemilikan". Di dalam abhidhamma ada konteksnya, asava itu merupakan kekotoran. Jika sudah dilatih terus menerus, tanpa disadari ia akan membanjiri batin kita.

Sebagai contoh, jika melihat seseorang melaksanakan suatu peraturan "oh, damai sekali peraturan ini", ia melekat pada peraturan dan menganggap bahwa itulah yang paling benar. Begitu ada orang yang ketika ia lihat peraturannya berbeda atau tidak mengikuti peraturan yang ia anggap paling benar itu, akan muncul anggapan bahwa yang lain keliru. Begitu ia lekati mengakibatkan depresi, kalau sudah depresi pasti ada "action" ingin menghilangkan depresi itu, caranya ia keluar dari ruangan sambil marah-marah atau menegur orang itu, yang ujung-ujungnya berakibat penderitaan juga.

Lalu bagaimana memutuskannya?  Kita harus berlatih, begitu muncul suatu perasaan, perasaan itu diamati. Bila perasaan yang menyenangkan itu diamati, ternyata muncul dan padam. Atau bila begitu muncul perasaan yang tidak menyenangkan, perasaan itu diamati, ternyata akan langsung padam karena sifatnya tidak kekal. Tetapi jika lolos, begitu muncul perasaan menyenangkan timbul suatu keinginan. Dan ketika diamati, keinginan ini pun akan padam. Jadi itu namanya latihan terhadap ledakan-ledakan dari bentuk-bentuk pikiran.

Yang paling mudah adalah perenungan terhadap jasmani. Banyak sekali modelnya. Ada yang memperhatikan napas masuk-keluar, ada yang posisi duduk/berdiri, atau memperhatikan naik-turun-nya dan kembang-kempis perut, dan lain-lain. Misalnya kita mengamati naik turunnya perut ketika sedang duduk atau berbaring, perut itu naik turun. Jika tidak terasa, peganglah perut itu, rasakan dalam batin, konsep naik dan turun. Pada saat mengamati itu, pasti pikiran kita yang masih pemula biasanya sering melenceng. Ketika mengamati itu, terdengar orang berbicara, amati dalam batin mendengar, mendengar... Setelah mendengar itu selesai diamati, sadari bahwa kita sedang mengamati naik turun perut, amati lagi.

Tidak perlu menyebut kata-kata naik, turun, naik, turun... Tetapi cukup dirasakan saja proses naik dan turun. Inilah objek utama. Objek kedua yaitu segala sesuatu yang terjadi di luar objek utama. Kita mendengar, mencium bau, pegal, atau apa saja yang timbul... Jika pegal, amati itu pegal, pegal, pegal... Rasakan dan sadari pegal itu seperti itu... Setelah hilang kembali lagi ke objek utama. Begitu juga dengan gatal, amati gatal, gatal, gatal... ingin menggaruk, ingin, ingin, ingin... hingga bergeraknya tangan teruslah diamati. Pada tahap-tahap pertama ini banyak yang lolos sehingga tidak begitu efektif dipelajari. Lama-lama, setiap detik kita bisa mengamati satu fenomena. Itu memang tidak bisa secara instan tapi butuh latihan, waktu, dan kesabaran.

Mungkin pada saat latihan itu, tidak cukup 10 hari intensif meditasi tetapi latihan yang berulang-ulang, sehingga kita bisa mengamati satu persatu. Pada saat bisa mengamati satu fenomena dengan yang lainnya, maka asava yang muncul bisa lebih kecil karena perhatian sudah lebih kuat dan dilatih terus, kekotoran bathin pun mengendap. Teruskanlah, maka kita akan dapat mengamati, ini proses batin, ini batin menggaruk jasmani.

Itu akan jelas sekali untuk membedakan bahwa ini batin dan ini jasmani. Maka kita akan memperoleh kebijaksanaan langsung bahwa fenomena yang terjadi pada diri kita maupun yang di luar tidak lain dan tidak bukan adalah proses batin dan proses jasmani, bukanlah "aku", artinya pandangan sudah lurus. Begitu diamati terus kejadian itu, diketahui bahwa ternyata muncul padam itu saling berhubungan. Yang ini menggaruk disebabkan gatal, gatal disebabkan apa, bahwa ini ada sebabnya.

Kita akan mengalami langsung bahwa fenomena batin dan jasmani yang muncul padam itu ternyata ada sebab dan akibat. Disitulah kita akan memperoleh suatu pengetahuan langsung tentang fenomena tersebut. Dari rangkaian itu diamati terus tidak ada putusnya "oh, ternyata dulu begini, nanti yang akan datang juga sama..."

Dengan memiliki keyakinan yang kuat bahwa segala sesuatu terjadi karena sebab dan akibat yang datang silih berganti saling terkait sesuai dengan Paticcasamuppada tadi, maka akan memiliki kesucian batin, tidak ada lagi keraguan tentang ini proses bathin dan jasmani. Kalau itu sudah terjadi akan lebih mudah lagi mengamati bahwa ini ternyata anicca bukan attha, ternyata ini tidak menyenangkan.

Pengetahuan Paticcasamuppada mengenai proses batin dan jasmani haruslah dialami langsung bukan hanya teori seperti yang disebutkan di atas. Yang bisa diceritakan hanyalah konsepnya saja tetapi pengalaman langsungnya tidak bisa diceritakan, hanya kita sendiri yang tahu ceritanya sampai seberapa jauh. Kecerdasan intelektual tidak bisa mengobati stress, tapi kalau kita coba amati batin dan jasmani yang muncul padam maka akan timbul kematangan batin yang tidak akan goyah lagi... 

-oOo-