Minggu, Januari 24, 2010

Kalama Sutta


KALAMA SUTTA




Demikian yang telah saya dengar. Pada suatu ketika Sang Buddha sedang berkelana dengan diiringi Sangha para Bhikkhu yang besar jumlahnya. Beliau tiba di kota suku Kalama yang bernama Kesaputta (¹). Suku Kalama dari Kesaputta mendengar, “

Dikabarkan bahwa petapa Gotama, putra Sakya yang meninggalkan keluarga Sakya, telah tiba di kota Kesaputta. Ada laporan yang baik tentang Guru Gotama yang beredar demikian : “ Yang Terberkahi itu adalah Sang Arahat, yang telah sepenuhnya tercerahkan, yang terampil dalam perilaku benar dan pengetahuan benar, yang maha tinggi, pengenal dunia, pemimpin yang tak ada bandingnya bagi manusia yang harus dijinakkan, guru bagi para dewa dan manusia,

Yang telah Tercerahkan, Yang Terberkahi. Beliau memperkenalkan dunia dengan para dewa, Mara, dan Brahmanya, generasi dengan para petapa dan brahmananya, para dewa dan manusianya, setelah merealisasikannya dengan pengetahuan langsung-nya sendiri. Beliau mengajarkan Dhamma yang indah di awal, indah di tengah, dan indah di akhir, dengan arti yang benar dan ungkapan yang benar; Beliau mengungkapkan kehidupan suci yang sepenuhnya lengkap murni. ‘ Adalah baik bila kita menemui Arahat seperti itu “.

Kemudian suku Kalama dari Kesaputta menemui Sang Buddha. Beberapa memberi hormat pada Beliau dan duduk di satu sisi; beberapa bertukar salam dengan Beliau dan setelah bertukar sapa, duduk di sati sisi. Kemudian suku Kalama itu berkata kepada Sang Buddha :

“ Yang Mulia, ada beberapa petapa dan brahmana yang datang ke Kesaputta. mereka menjelaskan dan menguraikan doktrin-doktrin mereka sendiri, sambil menjelekkan, merendahkan, mencaci, serta mencemarkan doktrin mereka yang lain. kemudian beberapa petapa dan brahmana lain datang ke Kesaputta, dan mereka juga menjelaskan dan menguraikan doktrin mereka sendiri, sambil menjelekkan, merendahkan, mencaci, serta mencemarkan doktrin yang lain. Kami, tuan, merasa bingung dan ragu. Diantara petapa-petapa yang baik ini, yang manakah yang berbicara benar dan yang manakah yang berbicara salah ?”

“ Memang pantas bagi kalian untuk bingung, O suku kalama, memang pantas bagi kalian untuk ragu. Keraguan telah muncul di dalam diri kalian tentang masalah yang membingungkan.

Wahai, suku Kalama. 
Jangan begitu saja mengikuti tradisi lisan, 
ajaran turun-temurun, 
kata orang, 
koleksi kitab suci, 
penalaran logis, 
penalaran lewat kesimpulan, 
perenungan tentang alasan, 
penerimaan pandangan setelah memikirkannya, 
pembicara yang kelihatannya meyakinkan, 
atau karena kalian berpikir, 
‘Petapa itu adalah guru kami’(²). 

Tetapi setelah kalian mengetahui sendiri, 
‘ hal-hal ini adalah tidak bermanfaat, 
hal-hal ini dapat dicela; 
hal-hal ini dihindari oleh para bijaksana; 
hal-hal ini, jika dilaksanakan dan dipraktekkan, 
akan menyebabkan kerugian dan penderitaan’, 
maka kalian harus meninggalkannya.”

“ Bagaimana pendapatmu, suku Kalama? Bila keserakahan, kebencian dan kebodohan batin muncul di dalam diri seseorang, apakah hal itu akan menyebabkan kesejahteraan atau kerugian?”(³)

“ Kerugian, Tuan.”

“ Suku Kalama, orang yang serakah, membenci dan bodoh batinnya, yang dikuasai oleh keserakahan, kebencian dan kebodohan batin, yang pemikirannya dikendalikan oleh hal-hal itu, akan menghancurkan kehidupan, mengambil apa yang tidak diberikan, melakukan perilaku seksual yang salah dan pembicaraan yang salah; dia juga akan mendorong orang lain untuk melakukan demikian pula. Apakah hal itu akan menyebabkan kerugian dan penderitaan untuk masa yang lama ?”

“Ya, Tuan.”

“ Bagaimana pendapatmu, suku Kalama ? Apakah hal-hal itu bermanfaat atau tidak bermanfaat?”

“Tidak bermanfaat, Tuan”.

“ Tercela atau tidak tercela?”

“Tercela, Tuan.”

“Dikecam atau dipuji oleh para bijaksana?”

“Dikecam,Tuan”.

“Jika dilaksanakan dan dipraktekkan, apakah hal-hal ini akan menyebabkan kerugian dan penderitaan atau tidak, atau bagaimana?”

“Jika dilaksanakan dan dipraktekkan, hal-hal ini akan menyebabkan kerugian dan penderitaan. Demikian tampaknya hal ini bagi kami.”

“ Untuk alasan inilah, suku Kalama, maka kami mengatakan : Jangan begitu saja mengikuti tradisi lisan...”

“Wahai suku Kalama,
Jangan begitu saja mengikuti tradisi lisan,
ajaran turun-temurun,
kata orang,
koleksi kitab suci,
penalaran logis,
penalaran lewat kesimpulan,
perenungan tentang alasan,
penerimaan pandangan setelah memikirkannya,
pembicara yang kelihatannya meyakinkan,
atau karena kalian berpikir,
'Petapa itu adalah guru kami’.

Tetapi setelah kalian mengetahui sendiri,
‘Hal-hal ini adalah bermanfaat,
hal-hal ini tidak tercela;
hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana;
hal-hal ini jika dilaksanakan dan dipraktekkan,
akan menyebabkan kesejahteraan dan kebahagiaan', maka kalian harus menjalankannya.

"Bagaimana pendapatmu, suku Kalama? Jika tanpa-keserakahan, tanpa kebencian dan tanpa kebodohan batin muncul di dalam diri seseorang, apakah hal itu akan menyebabkan kesejahteraan atau kerugian?"

"Kesejahteraannya, Tuan."

"Suku Kalama, orang yang tanpa keserakahan, tanpa kebencian, tanpa kebodohan batin, yang tidak dikuasai oleh keserakahan, kebencian dan kebodohan batin, maka seseorang yang pemikirannya tidak dikendalikan oleh semua itu, dia tidak akan menghancurkan kehidupan, tidak akan mengambil apa yang tidak diberikan, tidak akan melakukan perilaku seksual yang salah dan pembicaraan yang salah; dia juga akan mendorong orang lain untuk melakukan demikian pula. Apakah hal itu menopang kesejahteraan dan kebahagiaannya untuk masa yang lama?"

"Ya, Tuan."

"Bagaimana pendapatmu, Kalama? Apakah hal-hal itu bermanfaat atau tidak bermanfaat?"

"Bermanfaat, Tuan."

"Tercela atau tidak tercela?"

"Tidak tercela, Tuan."

"Dikecam atau dipuji oleh para bijaksana?"

"Dipuji, Tuan."

"Jika dilaksanakan dan dipraktekkan, apakah hal-hal ini akan menyebabkan kesejahteraan dan kebahagiaan atau tidak, atau bagaimana?"

“Jika dilaksanakan dan dipraktekkan, apakah hal-hal ini akan menyebabkan kesejahteraan dan kebahagiaan. Demikian tampaknya hal ini bagi kami."

"Untuk alasan inilah, suku Kalama, maka kami mengatakan: Jangan begitu saja mengikuti tradisi lisan...

"Maka, suku Kalama, siswa agung itu , yang tidak memiliki keserakahan, tidak memiliki niat jahat, tidak bingung, memahami dengan jernih, selalu waspada, berdiam dengan menyelimuti satu arah dengan pikiran yang dipenuhi cinta kasih, demikian pula ke arah kedua, ketiga dan keempat(4). Demikian pula ke atas, ke bawah, ke seberang dan ke manapun, dan ke segala sesuatu seperti ke dirinya sendiri, dia berdiam menyelimuti seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi cinta kasih, luas, tinggi, tanpa batas, tanpa rasa permusuhan dan tanpa niat jahat."

"Dia berdiam menyelimuti satu arah dengan pikiran yang dipenuhi kasih sayang... dipenuhi sukacita yang tidak mengutamakan diri sendiri... dipenuhi ketenang-seimbangan, demikian pula ke arah kedua, ketiga dan keempat. Demikian pula ke atas, ke bawah, ke seberang, dan ke manapun, dan ke segala sesuatu seperti ke dirinya sendiri, dia berdiam menyelimuti seluruh dunia dengan pikiran yang dipenuhi ketenang-seimbangan, luas, tinggi, tanpa batas, tanpa rasa permusuhan dan tanpa niat jahat.

"Suku Kalama, bila siswa agung ini telah membuat pikirannya bebas dari rasa permusuhan, bebas dari niat jahat, murni dan tidak kotor, dia telah memenangkan empat jaminan dalam kehidupan ini juga.

Inilah jaminan pertama yang telah dimenangkannya: 'Seandainya ada alam lain, dan seandainya perilaku yang baik dan buruk memang memberikan buah dan menghasilkan akibat, maka ada kemungkinan ketika tubuh hancur, setelah kematian, aku akan muncul di tempat yang baik, di suatu alam surgawi.'

Inilah jaminan kedua yang telah dimenangkannya: 'Seandainya tidak ada alam lain, dan seandainya tindakan baik dan buruk memang tidak memberikan buah dan menghasilkan akibat, tetap saja di sini, di dalam kehidupan ini juga, aku hidup dengan bahagia, bebas dari rasa permusuhan dan niat jahat.'

Inilah jaminan ketiga yang telah dimenangkannya: 'Seandainya kejahatan menimpa si pelaku kejahatan, maka karena aku tidak berniat jahat kepada siapapun, bagaimana mungkin penderitaan menyerangku, orang yang tidak melakukan kejahatan?'

Inilah jaminan keempat yang telah dimenangkannya: 'Seandainya kejahatan tidak menimpa pelaku kejahatan, maka di sini juga aku melihat diriku sendiri termurnikan di dalam dua hal

"Suku Kalama, bila siswa agung ini telah membuat pikirannya bebas dari permusuhan, bebas dari niat jahat, murni dan tidak kotor, maka dia telah memenangkan empat jaminan ini di dalam kehidupan ini juga."

“Benar demikian, Yang terberkahi! benar demikian, Yang Agung ! Jika siswa Agung ini telah membuat pikirannya bebas dari permusuhan, bebas dari niat jahat, murni dan tidak kotor, maka dia telah memenangkan empat jaminan ini didalam kehidupan ini juga.”

"Luar biasa, Tuan! ... Biarlah Yang Terberkahi menerima kami sebagai pengikut awam yang telah pergi untuk berlindung sejak hari ini sampai akhir hayat."

Catatan :
(1). Menurut AA, kota ini terletak di pinggir hutan sehingga juga berfungsi sebagai tempat berhenti berbagai kelompok petapa dan pengelana. Kunjungan para pendatang menyebabkan penduduk kota itu terbuka bagi berbagai rangkaian teori filsafat. Tetapi sistem berpikir yang saling berlawanan itu menyebabkan mereka bingung dan ragu. Sutta ini sering dilukiskan sebagai “ Piagam Sang Buddha bagi penyelidikan yang bebas”. Walaupun hal itu memang mematahkan kepercayaan buta, namun kesungguhan pendapat pribadi tidak dianjurkan di dalam lingkup spiritual. Akan kita lihat bahwa satu kriteria penting untuk penilaian sehat yang diajukan oleh Sang buddha adalah pendapat para bijaksana. Melalui kriteria ini, orang disiapkan untuk mengenali orang lain yang lebih bijaksana daripada dirinya sendiri dan menerima rekomendasi mereka karena yakin bahwa mereka akan membimbingnya menuju manfaat jangka panjang.

(2). Sepuluh kriteria yang tidak memadai mengenai keterangan ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori:
a. yang pertama, adalah dalil yang didasarkan pada tradisi, yang mencakup empat kriteria pertama. Dari kriteria ini, “tradisi lisan” (anussava) biasanya dianggap mengacu pada tradisi Veda, yang menurut para brahmana, berasal dari Dewa Pertama dan diturunkan ke generasi-generasi berikutnya. “Turun-temurun” (parampara) menunjukkan tradisi pada umumnya dan kesinambungan tanpa putus dari ajaran-ajaran atau guru-gurunya. “ Kata orang” (atau “laporan”; itikira) bisa berarti pendapat populer atau persetujuan umum. Dan “ Koleksi kitab Suci” (pitaka-sampada) mengacuu pada koleksi kitab-kitab agama apapun yang dianggap sebagai tidak bisa salah.

b. Rangkaian kedua, yang terdiri empat kriteria berikutnya, mengacu pada empat jenis penalaran yang dikenali oleh para pemikir di zaman Sang Buddha; perbedaan-perbedaan mereka tidak perlu menghalangi kita di sini.

c. Rangkaian ketiga, yang merupakan dua butir terakhir, terdiri dari dua jenis otoritas pribadi :- yang pertama adalah kharisma pribadi pembicara ( mungkin mencakup juga kualifikasi eksternalnya, misalnya dia memiliki pendidikan yang tinggi, memiliki banyak pengikut, dihormati raja dll);  - Yang kedua adalah otoritas yang bermula dari hubungan pembicara dengan dirinya, yaitu bahwa dia adalah guru pribadinya sendiri (kata Pali garu yang digunakan disini identik dengan kata sansekerta guru). untuk analisa yang mendetail, lihat Jayatilleke, hal 175-202, 271-75.

(3). Menurut sang Buddha, ini merupakan tiga akar tak bajik, yang mendasari semua perilaku tak bermoral dan semua keadaan pikiran yang kotor. karena tujuan Ajaran Sang Buddha adalah hancurnya keserakahan, kebencian dan kebodohan batin, secara halus Sang Buddha telah membimbing suku Kalama untuk melihat kebenaran Ajaran beliau, hanya dengan cara merenungkan pengalaman mereka sendiri. Sama-sekali Sang Buddha tidak perlu memaksakan otoritas kepada mereka.

(4). Pada titik ini, Sang Buddha memperkenalkan praktek “empat tempat berdiam yang agung” (brahmavihara), pengembangan cinta kasih universal, kasih sayang, sukacita altruistik(yang tidak mementingkan diri sendiri), dan ketenang-seimbangan. Cinta kasih (Metta) secara formal didefinisikan sebagai keinginan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan semua makhluk; kasih sayang (karuna) sebagai rasa empati kepada mereka yang tertimpa penderitaan; sukacita altruistik (Mudita) sebagai sukacita dalam keberhasilan dan nasib baik orang lain; dan ketenang-seimbangan (Upekkha) sebgai sikap netral atau tidak pilih kasih terhadap makhluk. Untuk pembahasan terperinci tentang sifat-sifat ini, baik secara umum maupun sebagai subyek meditasi lihat Vism bab IX.

Sumber:
- Kitab Petikan Anguttara Nikaya jilid 1: “Kepada Suku Kalama”, Anguttara Nikaya III, 65)
Dipilih dan diterjemahkan dari bahasa Pali oleh : Nyanaponika dan Bhikkhu Bodhi.
Diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh : Dra.Wena Cintiawati dan Dra. Lanny Anggawati.
Editor : Bhikkhu jotidhammo Thera, M.Hum. dan Rudy Ananda Limiadi, S.Si, M.M.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar