Minggu, Juli 18, 2010

KUMPULAN SABDA SANG BUDDHA (Mengapa Kita Berbeda ?)

1. Mengapa dalam kehidupan ini ada yang kaya tetapi ada yang miskin, ada yang bahagia tetapi ada juga yang menderita, ada yang cantik tetapi ada juga yang jelek, ada yang baik tetapi juga ada yang jahat dan perbedaan-perbedaan lainnya?

Berikut ini adalah khotbah Sang Buddha yang berhubungan dengan perbedaan yang ada dalam kehidupan ini sehingga kita akan memahaminya dengan baik. (Anguttara Nikaya X. 205)


Mencari Akhir Dunia

Dengan cara berjalan orang tak akan pernah mencapai akhir dunia, Namun tidak ada kebebasan dari penderitaan kalau belum mencapai akhir dunia. Mereka orang bijaksana yang mengetahui dunia Orang yang menjalani kehidupan suci, akan mencapai akhir dunia, Dengan mengetahui akhir dunia, dia tidak akan lagi merindukan dunia ini, Tidak juga merindukan dunia lain.
(Anguttara Nikaya IV.45)

2. Mengapa Kita Dilahirkan?

Kalau kita kembali kepada Dhamma maka pandangan kita akan mengarah kepada proses dari kehidupan ini. Paticcasamuppada atau hukum sebab akibat yang saling bergantungan dapat dijadikan referensi tentang proses kelahiran ini. Dijelaskan bahwa Avijja atau kegelapan batin yang masih ada akan menjadi penyebab proses selanjutnya. Demikian hal ini akan terus berlanjut selama akar dari proses itu masih ada. Untuk lebih jelasnya kita kembali kepada rumusan Paticcasamuppada seperti berikut:

- Dengan adanya kebodohan muncullah bentuk-bentuk pikiran
- Dengan adanya bentuk-bentuk pikiran muncullah kesadaran
- Dengan adanya kesadaran muncullah batin dan jasmani
- Dengan adanya batin dan jasmani muncullah enam indera
- Dengan adanya enam indera muncullah kesan-kesan.
- Dengan adanya kesan-kesan muncullah perasaan
- Dengan adanya perasaan muncullah nafsu keinginan
- Dengan adanya nafsu kenginan muncullah kemelekatan
- Dengan adanya kemelekatan muncullah upadi (keinginan menjadi)
- Dengan adanya upadi muncullah kelahiran
- Dengan adanya kelahiran muncullah usia tua, kematian, kesedihan, ratap tangis, penderitaan jasmani, kekhawatiran dan putus asa.
- Dan muncullah ketidakpuasan batiniah/penderitaan

3. Kelahiran ini pun akan berakhir jika akar penyebab proses kelahiran tidak ada lagi seperti yang ada pada rumusan berikut:

- Dengan lenyapnya kebodohan lenyap pula bentuk-bentuk pikiran
- Dengan lenyapnya bentuk-bentuk pikiran lenyap pula kesadaran
- Dengan lenyapnya kesadaran lenyap pula batin dan jasmani
- Dengan lenyapnya batin dan jasmani lenyap pula enam indera
- Dengan lenyapnya enam indera lenyap pula kesan-kesan.
- Dengan lenyapnya kesan-kesan lenyap pula perasaan
- Dengan lenyapnya perasaan lenyap pula nafsu keinginan
- Dengan lenyapnya nafsu kenginan lenyap pula kemelekatan
- Dengan lenyapnya kemelekatan lenyap pula upadi (keinginan menjadi)
- Dengan lenyapnya upadi lenyap pula kelahiran
- Dengan lenyapnya kelahiran muncullah lenyap pula usia tua, kematian, kesedihan, ratap tangis, penderitaan jasmani, kekhawatiran dan putus asa.
- Dan lenyaplah semua ketidakpuasan batiniah/penderitaan

Jawabannya sudah jelas bahwa kenapa kita masih dilahirkan adalah karena kita masih dibelenggu oleh kekotoran batin. Selama belenggu ini belum dapat dipatahkan selama itu pula proses kelahiran akan terjadi. Dengan mengetahui penyebab dari proses penyebab kelahiran ini maka kita harus berusaha untuk berjuang menuju kepada kebahagiaan sejati sehingga tidak ada kelahiran lagi.

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta

Semoga Semua Makhluk Berbahagia

KUMPULAN SABDA SANG BUDDHA (Legenda Sang Buddha)

1. Sang Buddha telah menyadari akan timbulnya legenda mengenai diri-Nya, Beliau telah memperingatkan Siswa-siswa-Nya agar membedakan kenyataan dan legenda; dan dengan demikian, menurut Beliau, akan menuntun ke pengertian sebenarnya dari ke dua nilai itu.

Ada dua macam orang yang salah menanggapi Tathagata. Apa dua itu? Dia yang menanggapi khotbah dari makna yang tidak langsung sebagai khotbah dari makna yang langsung, dan dia yang menanggapi khotbah dari makna langsung sebagai khotbah dari makna yang tidak langsung.
(Anguttara Nikaya I :59)

2. Tujuh langkah dan pernyataan keberadaan-spiritualnya adalah perlambang bahwa anak ini telah siap untuk melaksanakan Tujuh Faktor Pencerahan (satta bojjhanga) yakni kesadaran/kemawasan, penyelidikan fenomena, keteguhan, kegembiraan, ketenangan, konsentrasi dan keseimbangan - dan olehnya akan mencapai kebahagiaan Nibbana. Teratai, tentunya, melambangkan Nibbana. Sutta yang sama disebutkan pada kelahiran Sang Buddha:

Ketika Sang Bodhisatta muncul dari rahim ibunya, cahaya yang sangat terang melebihi cahaya para dewa bersinar ke bumi. Dan pada daerah kegelapan yang hitam, kelam diantara bimasakti-bimasakti, dimana cahaya bulan dan matahari sekalipun, walau demikian perkasa dan anggunnya, tak dapat mencapainya, namun disitu cahaya itu bersinar dengan terangnya. Para makhluk-makhluk yang tinggal menetap di daerah itu, terhentak satu sama lain karena cahaya itu, dan mereka berkata: "Lihatlah, tampaknya ada makhluk lain yang juga tinggal disini."
(Majjhima Nikaya III:123)

3. Sering agama Buddha dipandang oleh berbagai pihak sebagai jalan yang harus ditemukan sendiri, tanpa memandang segi kemanusiaan seutuhnya. Namun melalui kiasan seperti diatas, kita peringatkan bahwa cahaya kebijaksanaan Sang Buddha hendaknya tidak menjadikan kita memakluminya sendiri tapi juga menyadari kehadiran orang lain, segi manusiawi yang kita sama-sama miliki.

Salah satu kejadian yang juga termahsyur adalah apa yang disebut sebagai Godaan Mara. Kejadian ini banyak diabadikan dalam batu prasasti dan dilukiskan dalam prosa dan syair. Khotbah Perjuangan (Padhana Sutta) menceritakan kejadian seperti ini:

Saya sedang tinggal di tepi Sungai NeraƱjra, berusaha sekuat mungkin, melaksanakan tapa meditasi dengan seluruh tenaga Saya, berusaha mencapai kebebasan dari perhambaan.

Lalu Mara mendekati Saya, dan dengan berpura-pura mengasihani, berkata: "Engkau demikian kurus dan pucat. Tampaknya kamu sudah dekat pada kematian."

"Seribu banding satu, Engkau akan mati; kematian akan tiba. Hiduplah, Tuan yang baik, hiduplah! Engkau akan dapat mengumpulkan jasa bila tetap hidup."

"Engkau dapat tetap memimpin kehidupan agamis, memuja dewa api, apa yang akan memberi-Mu jasa. Oleh karenanya buat apa bersusah payah?"

"Jalan yang susah dan menantang adalah berat, menjemukan dan penuh kesulitan." Demikian dikatakan Mara, yang berdiri disamping Sang Tuan.

Lalu Sang Tuan menjawab Mara: "Mengapa engkau datang kesini, oh, si-jahat, benih kemalasan?"

"Saya tidak memerlukan jasa, oh Mara. Jadi, bicaralah tentang jasa hanya pada yang membutuhkannya.

"Saya punya keyakinan, kemauan dan kebijaksanaan, dan oleh karenanya Saya menerapkannya sendiri. Jadi, mengapa mempertanyakan kehidupan-Ku?

"Yang pertama dari bala tentaramu adalah nafsu, ke dua adalah keenggangan. Ke tiga adalah lapar dan haus, dan ke empat adalah kemelekatan.

"Ke lima adalah kelambanan dan kemalasan, dan keenam adalah ketakutan. Ke tujuh adalah keraguan dan ke delapan adalah ketidakjujuran pada diri sendiri serta keras-kepala.

"Juga hadir keinginan pada keuntungan-keuntungan, penghormatan dan kemahsyuran yang diperoleh dengan cara yang salah, bersama pengagungan diri-sendiri dan pengremehan orang-lain.

"Semua ini, oh Mara, adalah kekuatanmu, bala tentara dari kejahatan. Seorang yang bukan pahlawan, tidak akan memerangi mereka untuk mencapai kebahagiaan.

"Saya bisa melihat pasukan-pasukan disekeliling Saya, dipimpin Mara diatas gajahnya, dan Saya akan memeranginya.

"Walau seluruh dunia termasuk para dewa tidak dapat mengalahkan pasukanmu, Saya akan menghancurkannya dengan kebijaksanaan, bagaikan batu yang dilempar pada kendi tanah-liat yang belum dibakar.

"Dengan pikiran terlatih dan kemawasan yang berpijak kokoh, Saya akan berjalan dari kerajaan ke kerajaan, melatih banyak murid-murid.

"Mereka berwaspada dan bergairah dalam melaksanakan ajaran-ajaran-Ku dan bertentangan dengan kehendakmu; mereka akan mencapai yang mesti tercapai, mereka akan bebas dari penyesalan.

Dan Mara berkata: "Saya telah mengikuti Tuan selama tujuh tahun. Saya mengamati setiap langkah-Nya, dan tidak sekalipun saya berhasil mempengaruhi-Nya, Dia yang Tercerahi sempurna dan penuh kesadaran."
(Majjhima Nikaya III: 123)

4. Setelah mempertimbangkan Himbauan Brahma Sahampati, Sang Buddha meneliti keseluruhan dunia.

Seperti yang telah Saya teliti di dunia ini dengan mata Buddha, Saya melihat makhluk-makhluk yang sedikit debu di matanya, yang banyak debu dimatanya, yang indranya tajam, yang indranya tumpul, berwatak baik, berwatak buruk, bersifat pasif, bersifat aktif. Ibarat kolam berisi teratai biru, merah atau putih, dengan teratai yang masih bertunas dalam air, sedang tumbuh dalam air, masih belum muncul di permukaan air.
(Majjhima Nikaya I :168)

5. Setelah menilai kembali daya-pikir manusia untuk mengerti Dhamma, dan melihat bahwa sebagian dari manusia akan dapat memahaminya, Sang Buddha memutuskan untuk mengajarkannya. Dia mempermaklumkan pada Brahma Sahampati dan dunia:

Pintu-pintu keabadian sekarang terbuka
Hendaknya mereka yang dapat mendengar,
Memanfaatkan dengan keyakinan.
(Majjhima Nikaya I :169)

6. Sang Buddha pergi ke sungai Gangga yang pada waktu itu sedang meluap sehingga burung gagak dapat minum darinya. Beberapa orang sedang mencari perahu, beberapa lainnya mencari rakit, beberapa lainnya mengikat bambu untuk membuat rakit; agar dapat menyeberangi sungai itu. Tetapi semudah seorang yang kuat meluruskan lengannya dan membengkokkannya lagi, Sang Buddha menghilang di tepi sini dan muncul diseberang sana. Seraya memandang mereka yang sedang mencari bambu dan rakit, Sang Buddha mengucapkan syair ini:

Bila ingin menyeberangi laut, sungai atau danau,
Orang-orang membuat jembatan atau rakit,
Tetapi Yang Bijaksana telah berhasil menyeberang.
(Majjhima Nikaya I :169)

7. Legenda yang ke dua sangat istimewa karena indah dan sangat bermakna. Terjadi ketika Sang Buddha berbaring di antara dua pohon sal, sesaat sebelum Nibbana-akhir-Nya.

Dan Sang Tuan berkata: "Ananda, siapkan pembaringan menghadap ke arah ini di antara dua pohon sal, saya merasa kurang nyaman dan ingin berbaring." Ananda lalu melakukannya, Sang Buddha kemudian berbaring diatas sisi kanan-Nya, satu kaki bersandar diatas lainnya, seperti posisi singa, sambil tetap mawas diri dan sadar. Lalu, tiba-tiba kedua pohon sal itu berbunga, walau bukan musimnya dan bunga-bunga berjatuhan sebagai penghormatan pada Tathagata, disertai terdengarnya nyanyian dan musik surgawi, semuanya untuk menghormati Tathagata. Lalu Sang Buddha menoleh kepada Ananda dan berkata: "Lihatlah berkembangnya pohon sal dan bunga-bunga surgawi, bubuk cendana, nyanyian dan musik. Tapi, ini bukanlah cara untuk menghormati, menjunjung, menyembah, mengagungkan, dan menghargai dengan penghormatan tertinggi. Tapi, para bhikkhu, bhikkhuni, serta umat awam yang tenang dalam Dhamma, merekalah yang menghormati, menjunjung, menyembah, mengagungkan, dan menghargai dengan penghormatan tertinggi. Oleh karenanya, laksanakanlah Dhamma. Inilah hendaknya cara engkau melatih dirimu sendiri."
(Digha Nikaya II:89)

KUMPULAN SABDA SANG BUDDHA (Kehidupan Sang Buddha)

1. Pada saat itu, ditempat lain, seorang pertapa bernama Asita, terhentak karena menyadai bahwa semua makhluk di surga serentak bersorak gembira, dia lalu menanyakan alasan kegembiraan mereka itu, mereka menjawab:

Disuatu desa bernama Lumbini di wilayah suku Sakya, seorang Bodhisattva telah dilahirkan, suatu permata tanpa bandingan. Inilah yang menyebabkan kami begitu gembira, begitu senang, bersorak-riang.

Dia adalah yang terbesar diantara makhluk, terpuncak, pemimpin diantara manusia, yang tertinggi. Raja para makhluk, terkuat, mengaum seperti singa, akan memutar roda Dhamma di Isipatana.
(Sutta Nipata : 683-684)

2. Lalu, Asita bergegas meninggalkan tempatnya untuk menemui anak yang khusus ini. Sementara itu, ratu dan rombongannya telah meninggalkan Taman Lumbini, pulang kembali ke Kapilavatthu. Dikarenakan bayi yang baru lahir ini adalah laki-laki, Suddhodana dan seluruh isi istana bergembira merayakannya, dan sementara perayaan berlangsung, pertapa Asita tiba dan bermohon agar dapat melihat pangeran yang masih bayi itu.

Jadi mereka memperlihatkan anak itu pada Asita. Dia begitu bersinar, berkilauan dan cantik. Melihat anak itu, bagaikan melihat emas yang masih panas diambil dari tungku oleh pandai-mas.

Begitu melihat anak itu, berkilat bagaikan api, bercahaya bagaikan bintang yang melintasi langit di malam hari, bersinar bagaikan matahari dilangit yang cerah, sang pendeta merasakan kegembiraan dan kebahagiaan.
(Sutta Nipata : 686-687)

3. Kekuatan meditasi Asita yang telah dilatihnya bertahun-tahun dan juga kehidupannya yang suci, memungkinkan dia memiliki kekuatan yang dapat menerawangi bahwa Sang Pangeran tidaklah seperti anak biasa pada umumnya, dan bahwa di kemudian hari akan mencapai Pencerahan dan mempermaklumkan ajaran baru demi kebaikan semua orang. Tetapi setelah dia menyadari bahwa dia telah akan mati sebelum peristiwa itu terjadi dan karenanya dia tidak akan dapat mendengarkan ajaran baru itu, dia mulai meratap sedih. Suddhodana menyaksikan semua ini dengan cemas, karena berpikir bahwa mungkin Asita telah melihat tanda tidak baik pada diri sang pangeran di hari depannya; Asita kemudian menjelaskan pada raja, hal yang menyebabkan dia menangis, dan kembali menenangkan raja.

Melihat orang-orang Sakya bersusah-hati, pendeta kemudian berkata: "Saya tidak melihat nasib sial pada diri pangeran. Ataupun halangan yang akan merintanginya. Sebab dirinya adalah bayi yang amat istimewa. Oleh karenanya janganlah kwatir.

"Pangeran ini akan mencapai Pencerahan Sempurna dan dengan penglihatan agung dia akan memutar roda Dhamma demi welas-asih pada semua makhluk. Dia akan mengajarkan kehidupan suci secara menyeluruh.

"Tapi tinggal sedikit usia kehidupan saya. Saya akan mati sebelum kejadian itu terjadi dan tidak akan mendengarkan Dhamma. Inilah yang menyebabkan saya demikian sedih dan tidak berbahagia.
(Sutta Nipata : 692-694)

4. Sebagai anak raja, Pangeran Siddhattha terlatih baik dalam latihan keperkasaan, pula dalam hal tradisi dan kesusasteraan suku Sakya. Dia dikawinkan pada usia muda pada seorang gadis bangsawan bernama Yasodhara6, dan hidup dalam kemewahan dan keagungan.

Saya dibesarkan dengan kelembutan, sangat lembut dibesarkan, teramat lembut dibesarkan. Kolam dengan teratai biru, putih dan merah, dibuat di rumah ayahku semata-mata untukku. Saya tidak menggunakan kayu cendana selain yang didatangkan dari Benares, turban, serban, jubah, pakaian bawah dan jubah-luar semuanya buatan Benares. Payung putih senantiasa menaungiku siang dan malam, sehingga tidak ada dingin atau panas, debu, kotoran atau embun yang akan mengotoriku. Saya memiliki tiga istana - satu untuk musim dingin, satu untuk musim panas, dan satu untuk musim hujan. Di dalam istana untuk musim hujan, saya dihibur oleh para pemusik wanita, dan selama empat bulan di musim hujan itu, saya tidak pernah meninggalkan istana. Dirumah-rumah orang lain, hanya serpihan nasi dan sup miju-miju yang diberikan pada para pelayan, tapi dirumah ayahku, para pelayan memakan nasi putih yang baik dan daging.
(Anguttara Nikaya I : 145)

5. Bagi Pangeran Siddhattha, tiga pemandangan yang pertama melambangkan penderitaan manusia, sedang pemandangan ke empat melambangkan usaha untuk mengatasi penderitaan-penderitaan itu. Dia melukiskan pengalamannya sebagai berikut:

Sekarang, sebelum Pencerahan, ketika saya masih seorang bodhisatta, belum tercerahi, masih akan mengalami kelahiran, umur-tua, penyakit, kematian, penyesalan dan ketidakmurnian, saya masih mencari hal-hal yang menyebabkan kelahiran, umur-tua, penyakit, kematian, penyesalan dan ketidakmurnian. Lalu, saya berpikir: "Kenapa saya lakukan ini? Menjadikan diri saya mengalami kelahiran, umur-tua, penyakit, kematian, penyesalan dan ketidakmurnian dan melihat kesulitan-kesulitan didalamnya, mengapa saya tidak mencari hal yang menyebabkan tidak terlahir, keamanan sempurna yang tak tertandingi - Nibbana?
(Majjhima Nikaya I : 163).

6. Pada usia ke dua puluh sembilan, Pangeran Siddhattha memutuskan untuk meninggalkan kehidupan duniawi dan menjadi pertapa. Isterinya Yasodhara baru saja melahirkan seorang putra, yang kemudian diberi nama Rahula; kelahiran putranya dan ketidaksetujuan ayahandanya, menyebabkan keputusan yang diambil itu adalah sesuatu yang teramat sulit dan menyakitkan. Tapi dia teguh dalam tekadnya:

Lalu, setelah melewati masa muda, dengan rambut hitam pekat, masa keceriaan pemuda, masa terbaik dalam hidup, dan walau diratapi dan ditangisi oleh orang-tuaku yang tak merelakanku, saya memotong rambut dan janggutku, mengenakan jubah kuning dan pergi jauh dari rumah menjadi tak-berumah.
(Majjhima nikaya I : 163).

7. Beliau mengembara dari wilayah orang Sakya menuju kerajaan Magadha untuk mencari guru. Di India, pada masa itu, sangat banyak guru dan filsuf pengembara, semuanya mengemukakan teori yang berbeda dan berusaha menarik murid-murid diantara para pertapa maupun para perumahtangga. Pangeran Siddhattha memutuskan untuk belajar pada Alara Kalama, salah satu guru yang terkenal pada saat itu. Dia berkata:

Setelah pergi lebih jauh, menjadi pencari kebaikan, mencari jalan kedamaian yang tak terbandingkan, tak tertandingi, Saya mendekati Alara Kalama dan berkata: "Saya ingin kehidupan suci didalam ajaran dan asuhanmu." Alara Kalama berkata pada saya: "Bila demikian, marilah, tuan, ajaran ini menjadikan orang pandai dengan segera, dengan bantuan guru, wujudkanlah, berdiamlah didalamnya." Tidak lama kemudian, saya telah dapat menguasai ajarannya. Saya permaklumkan, sepanjang hanya menyangkut pengulangan dan penghafalan, saya dapat berbicara dengan pengetahuan dan kepastian. Saya tahu dan mengerti, dan tidak hanya saya.

Lalu saya berpikir: "Tidak berdasar keyakinan saja Alara Kalama mengajarkan ajaran, tapi karena dia mewujudkannya lewat pengetahuan langsung, dia mengetahui dan mengerti secara pasti." Lalu, saya menemui Alara Kalama dan berkata padanya: "Bagaimana engkau dapat mengetahui dan mewujudkannya lewat pengetahuan langsung sendiri?" Lalu dia mengajarkan saya tentang masalah kekosongan. Lalu, saya berpikir: "Bukan Alara Kalama saja yang mempunyai keyakinan, tenaga, kemawasan, konsentrasi-pikiran dan pengertian; saya juga memilikinya. Bagaimana kalau saya berlatih mengendalikan dan mewujudkan ajaran yang telah diwujudkan lewat pengetahuan langsung?" Tak lama setelah saya melakukan ini, dan berhasil mewujudkannya saya memberitahu Alara Kalama, dan dia berkata: "Suatu keberuntungan, yang mulia, benar-benar suatu keberuntungan bahwa kami mempunyai sahabat seiring dalam kehidupan suci ini. Ajaran yang telah saya wujudkan lewat pengetahuan langsung, juga telah kau miliki. Apa yang saya tahu, engkau juga tahu; seperti saya, demikian pula engkau. Marilah, tuan yang mulia, mari kta pimpin bersama kelopok kita ini." Kemudian Alara Kalama, guruku menempatkan saya, muridnya, pada derajat yang sama dengannya dan menganugerahi saya kehormatan tertinggi.
(Majjhima Nikaya I : 164)

8. Tetapi Pangeran Siddhattha tidak berkeinginan menjadi guru, pemimpin dalam kelompok ini; beliau ingin mencapai kebebasan batin sempurna. Dengan penuh rasa terima kasih pada Alara Kalama, namun karena yakin bahwa Alara Kalama tidak dapat mengajarnya lebih jauh, Pangeran lalu berpamit-diri untuk mencari guru lain lagi. Dia menemui Uddaka Ramaputta, seorang guru termahsyur lainnya kala itu, dan mulai belajar dibawah bimbingannya. Uddaka Ramaputta mengajarnya cara pencapaian tingkat meditasi yang disebutnya 'Tingkat yang Bukan-Pencerapan, bukan pula Bukan-Pencerapan', tapi juga Uddaka Ramaputta tidak dapat mengajarnya sesuatu yang lebih tinggi, beliau pun meninggalkannya lagi. Sesudah itu, beliau memutuskan untuk mencoba metoda 'pemusnahan diri' demi menghapus seluruh nafsu dan memurnikan batin. Pertama Beliau mencoba sekuat mungkin untuk menghentikan batin.

Lalu, saya berpikir: "Dengan mengatupkan gigi dan menekan lidah kelangit-langit, mengapa saya tidak dapat menundukkan, menahan dan mengendalikan batin saya?" Saya lalu melakukannya, begitu melakukannya, keringat bercucuran dari bawah bahuku bagaikan seorang kuat memukul seorang yang lebih lemah pada kepala dan bahunya serta menundukkan, menahan dan mengendalikannya.
(Majjhima Nikaya I ; 242)

9. Berikutnya, beliau mencoba cara meditasi menahan napas:

Lalu saya berpikir: "Mengapa saya tidak mencoba cara meditasi penghentian-napas?" Jadi, saya mencoba berhenti napas, melalui hidung maupun mulut, begitu saya lakukan, timbul suara yang keras mendengung, bagaikan desis puputan pandai besi melewati telingaku.
(Majjhima Nikaya I : 243)

10. Berikutnya, beliau mencoba menundukkan badan dengan mengurangi makan.

Lalu saya berpikir: "Mengapa tidak saya ambil makananku, kacang-kacangan, biji-bijian, kacang-kecil atau sop-kacang, sedikit demi sedikit, secuil demi secuil?" Saya lalu melakukannya, begitu saya lakukan, badanku menjadi kurus kering. Karena saya makan sangat sedikit, anggota tubuhku seperti buku-buku tumbuhan menjalar; karena saya makan sangat sedikit, bokongku seperti kuku lembu; karena saya makan sangat sedikit, tulang belakangku menonjol seperti deretan bola; karena saya makan sangat sedikit, tulang rusukku yang cekung seperti kasau gubuk yang rubuh; karena saya makan sangat sedikit, mataku terbenam kedalam lobangnya; karena saya makan begitu sedikit, dahi di kulit kepalaku menjadi mengisut dan berkerut, bagaikan labu putih pahit yang dipotong sebelum matang mengisut dan berkerut karena udara panas. Bila saya berpikir: "Saya akan menyentuh perutku," saya raih pula tulang-punggungku, dan bila saya pikir: "saya akan menyentuh tulang-punggungku," saya raih pula perutku. Karena demikian kurus, sehingga perutku hampir berdempetan dengan punggungku. Bila saya pikir: "Saya akan ke peturasan," saya terjatuh di wajahku, sebab saya makan sangat sedikit. Bila saya mengusap anggota tubuhku untuk menyejukkannya, rambut-rambut tercabut dari akarnya, terlepas, karena saya makan sangat sedikit.
(Majjhima Nikaya I : 245).

11. Selama masa itu, Pangeran Siddhattha ditemani lima pertapa lain yang terkesan pada kekerasan-hatinya, mereka berlima yakin cepat atau lambat, rekan mereka ini akan mencapai tingkat spiritual yang mulia. Enam tahun kemudian berlalu sejak mulai bertapa, beberapa tahun diantaranya dilewati dengan cara tapa penyiksaan-diri, namun Sang Pangeran belum juga mendapatkan Pencerahan-Sempurna. Beliau mulai ragu bahwa cara-cara yang dilakukanya akan dapat mengantarnya ke Pencerahan, dia lalu mengenang kedamaian yang dialaminya semasa muda dulu, dan memutuskan untuk mencoba seakan merasakannya kembali.

Lalu saya berpikir: "Beberapa pertapa dan Brahmin pada masa lalu mengalami, beberapa di masa mendatang mungkin akan mengalami, atau beberapa pada saat ini sedang mengalami, perasaan-perasaan yang demikian menyakitkan, tajam dan keras, tapi tidak lebih atau menyamai seperti yang saya rasakan ini. Namun, tetap saya belum mencapai tingkat manusia yang lebih tinggi, pengetahuan dan penglihatan sempurna yang dialami oleh Para Mulia sebagai hasil kesungguhannya. Apakah ada jalan lain untuk mencapai Pencerahan?" Saya lalu berpikir: "Saya ingat sewaktu ayahanda orang Sakya membajak, dan saya duduk di bawah naungan pohon, terbebas dari kesenangan indriawi dan batin yang tidak terlatih, saya memasuki dan berdiam di Jhana Pertama, yang masih ditandai oleh pikiran dan khayalan, dan diisi oleh kegembiraan dan kebahagiaan yang muncul dari keterlepasan," dan saya berpikir: "Apakah ini jalan ke kebangkitan?" Dan sebagai hasil perenungan itu, saya menyadari bahwa sebenarnya inilah jalan ke kebangkitan.
(Majjhima Nikaya I : 246)

12. Walau demikian, beliau maklum, bahwa dia seharusnya beristirahat dan memulihkan kekuatan badannya terlebih dahulu sebelum mulai bermeditasi lagi. Begitu dia mulai makan secukupnya, lima rekan pertapanya menuduhnya, bahwa dia telah melemahkan tekadnya, mereka lalu meninggalkannya.

Lalu saya berpikir: 'Adalah tidak mudah untuk mencapai kebahagiaan itu, bila badan demikian kurus tersiksa. Bagaimana kalau saya mulai makan - nasi dan susu asam?' Jadi saya mulai makan. Sewaktu, lima pertapa dulu menemui saya, berpikir: "Apabila pertapa Gotama mewujudkan sesuatu, dia akan mengajarkan kita pula." Tapi, sewaktu saya mulai makan, pertapa-pertapa itu memalingkan muka seakan jijik, seraya berkata: "Pertapa Gotama telah hidup dalam kemewahan, dia telah goyah dalam usahanya, dia telah kembali ke kehidupan mewah."
(Majjhima Nikaya I :247)

13. Sekarang Pangeran Siddhattha seorang diri, beliau lalu melewati beberapa waktu untuk memulihkan tenaga dari penyiksaan-diri sebelumnya, lalu mencari tempat yang cocok untuk mulai lagi bermeditasi. Akhirnya, dia tiba di sebuah desa kecil di Uruvela, yang sekarang disebut Bodh Gaya.
“ Lalu, untuk mencari kebajikan, mencari kedamaian yang tak tertandingi dan terbandingi, sewaktu dalam perjalanan melewati Magadha, saya tiba di Uruvela, kota para ksatria. Disana saya lihat sebidang tanah yang indah, lekukan tanah ditumbuhi pepohonan yang indah, sungai yang mengalir bening dapat diarungi dan sebuah desa didekatnya yang dapat menunjang. Saya berpikir: "Sebenarnya, inilah tempat yang indah. Sebenarnya, inilah tempat yang tepat untuk seorang muda mulai berjuang." Oleh karenanya saya duduk disitu, berpikir: "Sebenarnya, inilah tempat yang tepat untuk berjuang."
(Majjhima Nikaya I :167)

14. Dibawah naungan pohon, Pangeran Siddhattha memulai meditasinya, mencoba untuk mengalami kembali jhana yang pernah dialaminya sewaktu muda. Tahun-tahun yang dilewati sebelumnya memungkinkan dia memiliki pengendalian mental yang kuat. Dia mencapai jhana pertama, ke dua, ke tiga dan ke empat, batinnya bertambah murni dan bercahaya setiap tingkat. Lalu, dengan batin yang "murni, jernih, tak-tercemar, sangat-bersih, dapat-ditempa, dapat-bekerja, mapan dan mantap,"(Majjhima Nikaya I :248) Tiga kesadaran atau pengertian tiba-tiba muncul padanya. Tiga pengetahuan (tevijja) itu adalah: pengetahuan tentang kehidupan sebelumnya (pubbe nivasanussati Ʊana), yang dengannya Beliau dapat mengingat dengan rapih semua kehidupan sebelumnya dan membuktikan kebenaran kelahiran-kembali, pengetahuan tentang muncul dan matinya semua makhluk hidup (yatha kammupaga Ʊana), yang dengannya Beliau menyadari tata-kerja hukum Kamma, dan yang terpenting, pengetahuan tentang penghancuran kotoran batin (asava-kkhaya Ʊana).

Ketika Saya mengetahuinya semua, ketika Saya melihatnya, batin Saya terbebas dari kotoran-batin, dari kesenangan-indriawi, dari pembentukan-kembali dan dari ketidak-tahuan. Saya terbebas dan Saya tahu Saya bebas. Dan Saya tahu bahwa kelahiran-kembali telah berakhir, kehidupan suci telah hidup, Saya telah mencapai apa yang seharusnya dicapai, dan bahwa bagi Saya tidak ada lagi kedatangan-kembali.
(Majjhima Nikaya I : 249)

15. Setelah melalui banyak pertimbangan, Beliau memutuskan untuk mengajarkan Dhamma yang telah diwujudkan-Nya, Sang Buddha lalu mulai memikirkan untuk menemui kedua guru-Nya yang pertama, Alara Kalama dan Uddaka Ramaputta, tapi setelah menyadari bahwa keduanya telah mati, Beliau kemudian memutuskan untuk mengajar ke lima pertapa pengikut-Nya yang telah meninggalkan-Nya. Karena mengetahui, bahwa mereka berlima tinggal di taman yang disebut Isipatana, dekat kota Benares, Beliau pun memulai perjalanan-Nya ke sana. Dalam perjalanan Beliau bertemu dengan seorang pertapa pengembara.

Lalu pertapa telanjang bernama Upaka melihat Saya datang dari jalan antara Gaya dan tempat Pencerahan-Ku, dia berkata: "Tuan Yang Mulia, indra-Mu murni dan wajah-Mu bersinar dan bercahaya. Pada siapa Engkau belajar? Siapa guru-Mu? Dhamma siapa yang Engkau ikuti? Saya pun menjawab:

Pemenang dari segalanya, mengetahui segalanya,
Tak ternoda dari segalanya, melepaskan segalanya,
Dan dengan meleburkan keserakahan, Saya terbebas.
Dengan melakukannya sendiri, siapa yang menunjukkan?

Saya tidak punya guru,
Sebab tiada suatu di dunia ini, dewa sekali pun yang menyamai-Ku.

Saya sempurna, Guru tertinggi di dunia ini.
Saya sendiri mencapai Pencerahan.
Nafsu telah kupad6amkan, Saya telah mencapai Nibbana.

Sekarang Saya akan ke Benares untuk memutar Roda Dhamma,
Menabuh genderang keabadian. Di dunia yang telah menjadi buta.

Dan Upaka menjawab: "Menurut apa yang Engkau katakan, Engkau pastilah Pemenang alam-semesta.

Pemenang sejati adalah mereka yang telah menghancurkan kekotoran-batin,
Olehnya, Saya adalah Pemenang.

Ketika Saya katakan demikian, Upaka berkata: "Mungkin, demikian," sambil menggoyangkan kepalanya, dia pun berlalu mengambil jalan lain.
(Majjhima Nikaya I: 171)

16. Setelah pertemuan-Nya dengan Upaka, Sang Buddha meneruskan perjalanan-Nya ke Benares. Pada akhirnya, Dia berhasil menemui lima pertapa pengikut-Nya di Isipatana, kira-kira delapan mil dari Benares. Isipatana juga disebut Taman Kijang (Migadaya) sebab tempat itu dihuni oleh banyak hewan liar, terutama kijang.

Lima pertapa melihat Saya datang dari kejauhan, dan mereka sepakat, berkata: "Pertapa Gotama datang. Dia sudah hidup dalam kemewahan, Dia tidak kokoh lagi dalam usaha-Nya, Dia telah kembali pada kehidupan duniawi. Dia tidak pantas diberi salam, kita tidak usah berdiri, tidak usah mengambilkan mangkuk dan jubah-Nya. Namun, biarkan Dia duduk, bila Dia mau duduk." Tapi begitu Saya mendekat, mereka tidak lagi melaksanakan kesepakatan-nya. Ada yang mengambilkan mangkuk dan jubah-Ku, ada yang menyiapkan tempat duduk, ada yang mengambilkan air untuk mencuci kaki-Ku, dan mereka semua menyapa-Ku sebagai "yang terhormat". Lalu, saya berkata pada ke limanya: "Jangan menyapa Tathagatha sebagai "yang terhormat", sebab Tathagatha adalah "Yang Mulia" (Arahat), yang Tercerahi. Dengarkanlah, keabadian telah ditemukan, dan Saya akan menuntun, Saya akan mengajar Dhamma."
(majjhima Nikaya I : 171)

17. Tapi kelima pertapa tidak mempercayai bahwa sahabat lama mereka benar-benar telah mencapai Pencerahan. Mereka berkata kepada-Nya:

Tapi, Gotama yang baik, Engkau tidak mencapai keadaan Yang Mulia atau pun pengetahuan dan penglihatan yang lebih tinggi dari pada manusia biasa, yang dicapai melalui latihan dan tata-tertib yang teguh. Bagaimana Engkau dapat mencapainya dengan hidup mewah, tidak teguh dalam usaha dan kembali dalam kemewahan?
(majjhima Nikaya I : 172)

18. Sang Buddha menyampaikan khotbah yang ke dua yang disebut "Khotbah Ketiadadirian" (Anattalakkhana Sutta),(Samyutta Nikaya II :67) setelah mendengarkan khotbah itu, lima pertapa - KondaƱƱa, Vappa, Bhaddiya, Mahanama dan Assaji mencapai pencerahan. Sang Buddha kemudian menganjurkan agar mereka berangkat ke dunia luar, mengajarkan Dhamma supaya seluruh dunia mendapat kesempatan mengalami kebebasan dan kebahagiaan Nibbana.

Pergi jauhlah, demi kebaikan orang banyak, demi kebahagiaan orang banyak, demi welas-asih bagi dunia, demi kesejahteraan, demi kebajikan dan kebahagiaan dewa dan manusia. Janganlah dua darimu mengambil jurusan yang sama. Ajarkanlah Dhama yang indah pada awalnya, pada pertengahannya dan pada akhirnya. Permaklumkan isi dan semangat kehidupan suci nan murni sempurna dan lengkap terisi.
(Vinaya IV:20)

19. Pada usia ke delapan puluh, Beliau meninggalkan Rajagaha yang kemudian ternyata menjadi perjalanan terakhir-Nya. Beliau melewati desa-desa dan kota-kota yang masih ada sampai saat ini - Nalanda, Pataligama (sekarang disebut Patna), Vesali dan lainnya. Namun, Beliau sudah demikian lemah dan renta, setelah mengembara di India Utara selama empat puluh tahun lamanya. Pada tahap kehidupan-Nya ini, Beliau melukiskan diri-Nya sebagai berikut:

Saya sekarang tua, sudah letih, dimuliakan, seorang yang telah menjalani Jalan, Saya telah mencapai akhir hidup-Ku, pada usia ke delapan puluh ini. Seperti pedati tua yang hanya dapat berjalan dengan mengikatkan tali disetiap bagiannya, demikian pula tubuh Tathagata hanya dapat berjalan dengan pembalut.
(Digha Nikaya II: 100)

20. Beliau tiba di Vesali, ketika musim hujan tiba, dan oleh karenanya Beliau memutuskan untuk melewati musim hujan di sebuah desa di dekatnya yang bernama Beluva.

Selama musim hujan, Yang Mulia diserang penyakit yang berat dan menusuk, menyebabkan kesakitan. Tetapi Beliau bertahan dengan penuh kesadaran, mawas sempurna dan tidak mengeluh.
(Digha Nikaya II : 99)

21. Walau demikian, Sang Buddha menyadari bahwa Cunda mungkin merasa bersalah karena menganggap dirinya bertanggung jawab pada kematian-Nya. Lalu, dengan welas-asih, Beliau meyakinkan Cunda lewat murid-Nya.

Ananda, ada kemungkinan Cunda, tukang besi itu merasa menyesal berpikir: "Ini adalah kesalahanmu, Cunda, ini perbuatan salah, yang menyebabkan Sang Buddha memasuki Nibbana-akhir, setelah memakan sajianmu." Tapi hendaknya engkau menawarkan penyesalannya, katakan: "Ini adalah suatu jasa, Cunda, ini adalah hasil perbuatan baikmu bahwa Sang Buddha memasuki Nibbana-akhir, setelah menyantap santapan terakhir darimu. Sepanjang yang saya dengar dan ketahui dari bibir Yang Mulia sendiri, adalah bahwa ada dua kali pemberian makan yang paling berbuah kebajikan, tidak ada makanan-pemberian yang lebih berbuah dari keduanya ini. Apa yang dua itu? Makanan-pemberian sebelum Tathagata mencapai Pencerahan-sempurna, dan makanan pemberian sebelum Beliau mencapai Nibbana-akhir. Dua makanan-pemberian inilah yang paling berbuah dan paling baik dari yang lainnya. Kebajikan Cunda akan berbuah berupa umur-panjang, kecantikan, kebahagiaan, kemahsyuran, surga dan kekuatan." Dengan cara ini, penyesalan Cunda hendaknya dihapuskan.
(Digha Nikaya II:135)

22. Kejadian menarik lain yang terjadi sebelum Nibbana-akhir adalah perubahan wajah Sang Buddha. Setelah Beliau mengajar Dhamma pada seorang yang bernama Pukkusa, yang kemudian memutuskan berlindung pada Tiga Perlindungan. Lalu sebagai ungkapan terima kasih, Pukkusa ingin memberi persembahan pada Sang Buddha.

Lalu Pukkusa berseru pada orangnya: "Pergi dan ambilkan saya dua jubah yang dibuat dari benang keemasan terbaik, terpoles dan siap dikenakan."

Baik, tuan, kata orang tersebut, dan dia melakukannya. Lalu Pukkusa menawarkan jubah itu pada Yang Mulia, seraya berkata: "Ini, Yang Mulia, dua jubah yang terbuat dari benang emas terbaik. Semoga Yang Mulia berkenan menerimanya."

"Baik, Pukkusa, Saya terima dan yang satunya persembahkanlah pada Ananda."

"Baik, Yang Mulia," kata Pukkusa, dia pun melakukannya. Lalu Sang Buddha mewejangkan, menggugah dan membahagiakan Pukkusa dengan Dhamma, kemudian Pukkusa bangkit dari tempat duduknya, menghormat Sang Buddha, berjalan disamping kanan, berjalan meninggalkan tempatnya. Segera setelah, Ananda mengenakan jubah tersebut pada Sang Buddha, jubah malah tampak kusam dibanding kulit tubuh Sang Buddha. Ananda berkata: "Sangat menakjubkan, benar-benar mengagumkan, betapa bersih dan bersinar kulit Yang Mulia! Tampak lebih bersinar daripada jubah keemasan yang dikenakan-Nya." "Memang demikian, Ananda. Ada dua peristiwa, dimana kulit Sang Tathagata akan tampak bersih dan bersinar secara khusus. Apa dua peristiwa itu? Pada malam Dia mencapai Pencerahan Sempurna, dan pada malam Dia mencapai Nibbana Sempurna.
(Digha Nikaya I :133)

23. Segera setelah itu, rombongan Sang Buddha tiba di Kusinara, dimana mereka berhenti di suatu hutan kecil yang ditumbuhi pohon sal.

Di situ Yang Mulia berkata pada Ananda: "Sediakan pembaringan untuk-Ku diantara dua pohon sal ini. Dengan kepala menghadap ke Utara. Saya capai dan berharap dapat berbaring.
(Digha Nikaya II:137)

24. Telah semakin jelas, bahwa Sang Buddha tidak dapat pergi lebih jauh lagi, dan telah dekat pada kematian. Ketika suku Malla dari Kusinara mendengar berita ini, mereka datang berkelompok ke hutan sal tersebut untuk menyampaikan hormat. Pada saat yang sama, seorang pertapa pengembara bernama Subhadda, yang sementara berada di Kusinara, mendengar bahwa Sang Buddha akan mangkat, diapun memutuskan untuk mengunjungi-Nya untuk bertanya beberapa pertanyaan yang dianggapnya penting. Ketika dia tiba di hutan sal tersebut, walau sulit mendekat karena kerumunan orang, dia akhirnya berhasil juga, namun disapa oleh Ananda dengan berkata: "Cukup, kawan Subhadda, jangan ganggu Tathagata, sebab Beliau sangat capai." Tapi ketika Sang Buddha mendengar ini, Beliau berkata:

Cukup Ananda, jangan menghalangi Subhadda, biarkan dia mendekati Tathagata. Sebab apapun yang dia akan tanyakan, dia lakukan itu dengan tulus demi mencari pengetahuan, bukan untuk mengganggu Saya, dan jawaban Saya padanya akan cepat dia pahami.
( Digha Nikaya II :149)

25. Walau telah berada di ranjang kematian, Sang Buddha tetap mengajarkan Dhamma pada Subhadda, Subhadda pun mencapai Pencerahan. Dengan demikian Subhadda adalah murid Sang Buddha yang terakhir.

Tidak lama setelah itu, Sang Buddha mengucapkan kata-kata terakhir-Nya pada siswa-siswa-Nya.

Sekarang, para bhikkhu, Saya katakan pada engkau sekalian: Semua yang berprasyarat tidaklah kekal-berusahalah dengan sungguh-sungguh.
(Vayadhamma sankhara. Appamadena sampadetha).
(Digha Nikaya II :156

KUMPULAN SABDA SANG BUDDHA (Tahap-Tahap Dalam Menempuh Jalan)

1. Setelah teori agama Buddha diterima dan dimengerti, seseorang melaksanakannya, dan dengan pelaksanaan akan muncul realisasi atau perwujudan/pengejawantahan. Kita menciptakan penderitaan bagi diri kita sendiri dan bagi orang lain, karena keserakahan dan ketidak-tahuan kita. Dengan menjalani Jalan, keserakahan berubah menjadi kepuasan dan ketidak-tahuan berubah menjadi pengertian. Namun, ini adalah proses yang panjang, bertahap, berlangsung secara berangsur dengan penuh kesabaran sepanjang kehidupan kita, malah mungkin memerlukan beberapa kehidupan.

Ibarat lautan besar melandai secara berangsur, menjadi dalam secara berangsur tanpa kecuraman tiba-tiba, demikian pula, Dhamma dan tata-tertib ini, dilaksanakan bertahap, dilatih bertahap, dipraktekkan bertahap; tidak ada pengetahuan yang dapat ditembus tiba-tiba.
(Udana :54).

2. Kadang-kadang kita menjadi tidak sabar menunggu hasil latihan kita, ketidak sabaran pada gilirannya mengacaukan dan menyebabkan kekecewaan, yang malah mempersulit kedamaian batin. Bila kita melaksanakannya tanpa perasaan cemas, karena selalu memandang ke depan - melihat seberapa jauh lagi kita harus berjalan, maka kepercayaan diri yang tumbuh dan merubah kita hari demi hari, secara berangsur akan menyelesaikan perjalanan kita. Sang Buddha sering mengingatkan kebenaran ini.

Tukang kayu atau pembantunya memegang peralatannya yang telah usang disebabkan jari-jari dan ibu-jarinya, tapi dia tidak perlu mengetahui berapa kali peralatannya terpakai hari ini, berapa kali kemarin dan berapa kali lagi di lain waktu. Demikian pula halnya, seseorang dengan tekun melaksanakan meditasi tidak perlu mengetahui, berapa banyak kotoran batin terhapus hari ini, berapa banyak kemarin dan berapa lagi di lain waktu. Cukup, bahwa dia mengetahui bahwa kotoran itu sedang terhapus.
(Samyutta Nikaya III : 154)

3. Juga di dalam Dhammapada, Sang Buddha menasehati kita:

Janganlah memandang remeh kebajikan, dengan berkata:
"Kebajikan kecil ini tidak akan berbuah pada saya."
Setetes demi setetes tempayan air terisi.
Demikian pula, sedikit demi sedikit,
Seorang bijaksana dipenuhi kebajikan.
(Dhammapada : 122)

4. Perubahan atau transisi dari keberadaan samsara ke realisasi Nibbana adalah suatu yang bertahap, dan selama masa transisi ini, kita dengan jelas melalui empat tahapan. Kita akan menelusuri empat tahapan itu.

Tahap pertama yang kita capai dan lalui dalam perjalanan berangsur ke Nibbana adalah apa yang disebut Pemenang-Arus (sotapatti). Sebelum mencapai tingkat ini, pencapaian Nibbana belumlah sesuatu yang pasti, tetapi begitu seorang menjadi Pemenang-Arus, Nibbana pasti dapat dicapai, tidak ada kejatuhan kembali, seorang hanya akan maju terus - makanya disebut Pemenang-Arus. Seperti halnya orang yang mengikuti aliran sungai yang dahsyat dan terbawa arus walau tanpa usaha. Sang Buddha berkata, sekali mencapai tahap ini, seorang akan mencapai Nibbana dalam tujuh kali kehidupan, dan dengan demikian ini adalah suatu keberhasilan terbesar diantara semua pencapaian duniawi lainnya. Beliau bersabda:

Lebih mulia dibanding menjadi penguasa tunggal dunia
Lebih mulia dibanding terlahir di surga
Lebih mulia dibanding menjadi tuan tanah dunia-dunia
Keberhasilan seorang Pemenang-Arus.
(Dhammapada : 178)

5. Dalam menanggulangi tiga belenggu ini, seseorang hendaknya mengembangkan Empat Lengan dari Pemenang-Arus (sotapatti-yanga): keyakinan teguh (veccapasada) pada Buddha, keyakinan teguh pada Dhamma, keyakinan teguh pada Sangha dan kebajikan yang utuh. Bila dengan mengatasi tiga belenggu, kita telah memurnikan pengertian kita; maka pengembangan Empat Lengan dari Pemenangan-Arus memperkuat rasa kepastian dan memurnikan perilaku kita, menggerakkan energi spiritual yang kemudian menuntun kita ke Nibbana. Sekali lagi dengan mengibaratkan aliran sungai, Sang Buddha berkata:

Ketika dewa langit menuangkan hujan deras, airnya mengalir turun dan mengisi parit, celah dan retakan bumi dan lalu mengisi kolam kecil, lalu kolam besar, lalu danau; terisinya danau mengisi sungai kecil, sungai kecil mengisi sungai besar, sungai besar mengisi lautan. Demikian pula, Siswa yang memiliki keyakinan teguh pada Buddha, Dhamma dan Sangha, dan memiliki kebajikan Arahat, kesemuanya ini akan mengalir terus dan mencapai pantai yang lebih jauh dan menuntun penghancuran kekotoran batin.
(Samyutta Nikaya V : 396)

6. Dengan sendirinya, keyakinan adalah kekuatan dan keteguhan hati dalam kemauan yang dapat memusatkan seluruh energi kita demi cita-cita dihadapan kita yang belum tercapai. Keyakinan memberi rasa percaya-diri, kekuatan dan ketak-gentaran yang membuat kita memandang Dhamma sebagai terpenting dibanding segalanya. Bhikkhu Punna adalah lambang keyakinan teguh seperti ini. Setelah belajar Dhamma, dia memutuskan pergi dan menetap diantara orang-orang yang terkenal kasar dan keras, untuk mengajarkan Dhamma pada mereka. Ketika Sang Buddha mendengar rencana Punna, Beliau bertanya:

"Ke dusun mana engkau akan pergi menetap, Punna, setelah belajar Dhamma secara singkat dari Saya?" "Ada dusun yang bernama Sunaparanta. Saya akan tinggal disana."

"Tapi Punna, orang di Sunaparanta sangat keras dan kasar. Apa yang akan engkau perbuat bila mereka menghina dan mengabaikan engkau?"

"Saya akan berkata: 'Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang di Sunaparanta ini sebab mereka tidak memukul saya dengan tinjunya.'"

"Lalu bila mereka memukul engkau dengan tinjunya?"

"Saya akan berkata: 'Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang ini sebab mereka tidak melempari saya dengan bongkahan tanah.'"

"Lalu bila mereka melemparimu dengan bongkahan tanah?"

"Saya akan berkata: 'Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang ini sebab mereka tidak memukul saya dengan tongkat.'"

"Lalu bila mereka memukul engkau dengan tongkat?"

"Saya akan berkata: 'Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang ini sebab mereka tidak menusuk saya dengan belati.'"

"Lalu bila mereka menusuk engkau dengan belati?"
"Saya akan berkata: 'Alangkah baik, sangatlah baik orang-orang ini sebab mereka tidak membunuh saya dengan belati.'"

"Lalu bila mereka membunuh engkau dengan belati?"

"Bila orang-orang di Sunaparanta membunuh saya dengan belati, saya akan berkata: 'Beberapa murid Tuanku, karena jijik dan malu pada tubuh dan hidupnya, mengambil belati bagi dirinya sendiri. Dan saya disini, didatangi belati tanpa harus mencarinya.'"

"Bagus, Punna, bagus. Engkau akan dapat hidup di dusun itu diantara orang-orang Sunaparanta, berkat hatimu yang lembut dan tenang."
(Majjhima Nikaya III : 269)

Diceritakan kemudian, sebagai hasil keputusan Punna menetap Punna diantara orang-orang kasar ini, sekitar lima ratus orang diantara mereka kemudian mencapai Pencerahan.

Aspek penguatan dan penanaman rasa percaya diri oleh keyakinan juga dilukiskan oleh Nagasena, yang menggambarkannya pada Raja Milinda sebagai bercirikan ketenangan dan sebagai suatu lompatan ke depan.

Lalu Raja Milinda berkata: "Yang Mulia Nagasena, apa ciri dari keyakinan?"

"Keyakinan, Tuanku, memiliki ketenangan dan lompatan ke depan sebagai cirinya."

"Bagaimana ketenangan merupakan ciri keyakinan?"

"Bila keyakinan timbul, dia akan menghancurkan rintangan-rintangan batin, bila pikiran bebas dari rintangan-rintangan, dia akan jernih, murni dan tenang."
 
"Berilah perumpamaan."

"Seorang raja, mengadakan perjalanan sepanjang jalan-kota bersama pasukannya yang terdiri dari empat bagian- pasukan gajah, pasukan kuda, kereta-kereta dan pasukan-bersenjata - menyeberangi sungai kecil, olehnya air menjadi keruh, kotor dan berlumpur. Lalu, raja berkata: 'Ambilkan air, orang-orangku yang baik; saya ingin minum.' Mereka menjawab: 'Baik, Yang Mulia.' Dan mengambil permata pembersih-air, meletakkannya di dalam air, dan karenanya semua tumbuhan air menghilang, Lumpur mengendap dan air menjadi jernih kembali, murni dan tenang. Lalu mereka menawarkan air itu pada raja, seraya berkata: 'Minumlah, Yang Mulia.' Pikiran adalah seperti air, pasukan-pasukan bagaikan siswa pemeditasi yang cermat, kotoran-batin adalah bagaikan permata pembersih-air. Begitu tumbuhan-air menghilang, lumpur mengendap, dan air menjadi jernih, murni dan tenang setelah permata pembersih-air diletakkan di dalamnya - demikian pula, timbulnya keyakinan menghancurkan rintangan-rintangan batin, dan pikiran tanpa rintangan-batin adalah jernih, murni dan tenang."

"Bagaimana, Tuan Yang Mulia, lompatan kedepan merupakan ciri dari keyakinan?"

"Bagaikan, Tuanku, siswa pemeditasi yang cermat, begitu melihat batin mereka yang lain telah terbebas melompat ke depan sebagai buah dari Pemenangan-Arus, Yang-Kembali-sekali, Yang-Tidak-kembali dan Arahat, lalu melaksanakan meditasi untuk mencapai yang belum tercapai, menguasai yang belum dikuasai, mewujudkan yang belum terwujud - sama halnya dengan lompatan ke depan merupakan ciri dari keyakinan."

"Berilah perumpamaan."

"Awan mendung mencurahkan hujan deras diatas gunung, lalu dengan derasnya air mengalir ke bawah, mengisi parit, lembah dan sungai kecil di atas lereng, mengisi sungai dengan derasnya, memecahkan pinggiran sungai, tanpa mengetahui lebar dan dalamnya, mereka akan berdiri kebingungan dan ketakutan di pinggiran sungai. Lalu, bila ada seorang yang percaya pada kekuatan dan kemampuannya sendiri mendekati pinggiran sungai, lalu meringkaskan pakaian sebatas pinggang, berenang dan menyeberangi sungai; dengan melihat ini, kumpulan orang tadi lalu mengikutinya menyeberangi sungai pula. Demikian pula, Tuanku, siswa pemeditasi yang cermat, dengan melihat batin mereka yang terbebas melompat ke depan sebagai buah dari Pemenangan-Arus, Yang-Kembali-sekali, Yang-Tidak-kembali dan Arahat, lalu melaksanakan meditasi untuk mencapai yang belum tercapai, menguasai yang belum dikuasai, mewujudkan yang belum terwujud - sama halnya dengan lompatan ke depan merupakan ciri dari keyakinan."
(Milindapanha 34)

7. Tidaklah mengherankan mengapa Sang Buddha menyarankan Siawa-siswa-Nya untuk mengunjungi Tempat-tempat suci setidaknya sekali dalam hidup mereka. Beliau bersabda:

Ada empat tempat, yang bila dilihat, menimbulkan perasaan yang kuat. Apa empat itu? "Disini Sang Tathagata dilahirkan," adalah yang pertama. "Disini Sang Tathagata mencapai Pencerahan Sempurna," adalah yang ke dua. "Disini Sang Tathagata memutar Roda Dhamma," adalah yang ke tiga. "Disini Sang Tathagata mencapai Nibbana akhir," adalah yang ke empat. Bhikkhu-bhikkhu, bhikkhuni-bhikkhuni, para umat awam yang berkeyakinan, hendaknya mengunjungi tempat-tempat ini. Dan siapa pun yang mati sewaktu perjalanan ziarah di kuil-kuil dengan hati yang bersungguh-sungguh, maka setelah meninggalkan raganya, dia akan terlahir di alam surga.
(Digha Nikaya II : 140)

8. Seorang Buddha mengungkapkan Dhamma yang ditemukan-Nya sendiri "terbit dari perasaan cinta-kasih dan welas-asih pada semua makhluk", Beliau mengajarkannya dikarenakan "perasaan yang terbit dari welas-asih", Beliau mengunjungi, menghibur dan menyembuhkan orang sakit karena "perasaan yang terbit dari welas-asih", dan Beliau merukunkan mereka yang berselisih karena "perasaan yang terbit dari welas-asih" Beliau sendiri berkata pada kita:

Apapun yang hendaknya dilakukan seorang guru dikarenakan rasa welas-asih pada murid-muridnya, demi kesejahteraan mereka; telah Saya lakukan padamu.
(Majjhima Nikaya I : 46)

9. Seorang Arahat tidak berbeda dari seorang Buddha; arahat juga mencapai Pengetahuan Lipat Tiga dan mewujudkan Welas-Asih yang sama. Perbedaannya adalah: Seorang Buddha menemukan Kebenaran tanpa bantuan siapapun, sedang Arahat menemukan Kebenaran setelah mendengar atau membaca pelajaran seorang Buddha. Sekali waktu, Sang Buddha menanya Siswa-siswa-Nya tentang perbedaan alami antara Beliau dan Siswa-siswa yang mencapai Pencerahan, Beliau menjawab:

"Tathagata, seorang Arahat, Buddha yang Tercerahi penuh adalah Penyebab munculnya Jalan yang belum muncul, Yang mempermaklumkan Jalan yang belum dipermaklumkan, Yang mengetahui Jalan, Yang mengerti Jalan, Yang terlatih dalam Jalan. Dan Siswa-siswa adalah yang mengikuti-Nya. Inilah perbedaan, penyebab perbedaan antara Tathagata, seorang Arahat, Buddha yang tercerahi penuh dan seorang bhikkhu yang membebaskan dirinya lewat kebijaksanaan.
(Samyutta Nikaya III : 66)

10. Pada hakekatnya, tiada perbedaan penting diantaranya. Untuk menemukan Nibbana dan Jalan yang menuju ke Nibbana, seorang diri tanpa bantuan siapapun; seorang Buddha harus mengembangkan ketahanan, tekad yang kuat, kebijaksanaan dan cinta-kasih pada tingkat yang tidak seharusnya sederajat dengan seorang Arahat biasa. Jadi dapat dikatakan, seorang Arahat memiliki nilai-nilai dan mewujudkan hal-hal yang sama dari seorang Buddha, namun seorang Buddha memiliknya dalam derajat yang lebih tinggi. Beliau adalah tertinggi didalam satu persamaan. Sang Buddha bersabda:

"Ibarat seekor ayam betina mempunyai delapan, sepuluh atau selusin telur yang dierami dengan baik, dihangati dengan baik dan ditetaskan dengan baik. Apakah anak ayam yang pertama memecahkan cangkangnya dengan cakar dan paruh, dan muncul dengan selamat, disebut anak ayam yang tertua atau yang termuda?"

"Yang pertama, Tuanku, disebut yang tertua."

"Demikian pula, setelah memecahkan cangkang ketidak-tahuan demi keselamatan mereka yang hidup dalam ketidak-tahuan, memecahkan cangkang yang sebelumnya melingkupi, Sayalah yang pertama di dunia, Tercerahi dengan jerih payah dengan pencerahan yang tak terbandingi. Sayalah yang tertua didunia, yang tertinggi."
(Vinaya I :3)