Rabu, Desember 28, 2011

Riwayat hidup Jivaka


RIWAYAT HIDUP JIVAKA



Kisah tentang Jīvaka Komārabhacca ini dirangkum dari kitab Tipiaka berbahasa Thai. Jīvaka merupakan seorang dokter yang amat pandai dalam bidang pengobatan penyakit jasmani. Ia merupakan dokter pribadi Sang Buddha dan anggota Sagha lainnya. Di saat Sang Buddha terluka pada kaki-Nya terkena serpihan batu yang digelindingkan oleh bhikkhu Devadatta dari atas bukit untuk membunuh-Nya, Jīvaka lah yang memberi perawatan. Beberapa ketentuan kedisiplinan para bhikkhu ditetapkan Sang Buddha atas usulannya. Ia juga merupakan siswa Sang Buddha yang dianggap unggul dalam bidang pengabdian pada kemanusiaan. Ia pula yang mengajak Rāja Ajātasattu berpaling ke arah Dhamma sebagai murid Sang Buddha. Rāja Ajātasattu kemudian menjadi sponsor Sagāyanā pertama yang diketuai oleh Mahā Kassapa Thera tiga bulan sesudah Sang Buddha parinibbāna. Pengabdian Jīvaka pada perkembangan Buddha sāsanā amatlah besar. Patut untuk dijadikan salah satu panutan oleh umat Buddha sesuai dengan kemampuan dan keahliannya.

Kelahiran Jīvaka Komārabhacca
Saat itu di kota Rājagaha, hiduplah seorang perempuan bernama Sālavatī. Ia adalah seorang perempuan yang amat cantik, berkulit putih bersih, amat menawan. Karena kecantikannya itu, para hartawan memilih dirinya sebagai perempuan yang tercantik di kota itu. Perempuan itu amat pandai dalam menari dan menyanyi. Ia amat bangga dengan kondisi dirinya  dan merelakan dirinya untuk disewa para hartawan hidung belang yang menghendaki kebahagiaan sesaat dengan dirinya. Ia memasang tarif 100  kahapana untuk semalam bersama dirinya.

Namun malang tak bisa dihindari. Suatu kali ia mengandung akibat hubungannya dengan seorang lelaki. Dan ia tak tahu lelaki manakah yang menyebabkan ia hamil. Ia tahu, di antara hidung belang, siapa pula yang hendak menyewa seorang perempuan yang sedang hamil. Maka, ia berpesan pada laki-laki penjaga pintu rumahnya:

“ Bila ada yang datang untuk menemuiku, katakan bahwa aku sedang sakit”

Laki-laki penjaga pintu pun menjawab: “ Baiklah, Nona”,

Saat bayi itu lahir, ia berkata pada pelayannya: “Pelayan, taruhlah bayi ini dalam keranjang tua dan buanglah di tempat sampah.” Pelayan itu menuruti perintah tuannya.

Pagi itu Pangeran Abhaya, salah seorang putra Rāja Bimbisāra, sedang berjalan-jalan menghirup udara pagi yang segar. Di suatu tempat pembuangan sampah, ia melihat sekelompok burung gagak terbang mengelilingi sebuah keranjang tua. Dan sebagian lagi melompat-lompat mendekati keranjang tua itu. Pangeran pun berkata pada pengawalnya:
“Pengawal, lihatlah apa yang sedang dikerumuni burung-burung gagak itu.”

Pengawal pun memeriksa, kemudian berkata: “Sebuah keranjang tua yang berisi bayi, Pangeran.”

“Masih hidupkah bayi itu, Pengawal?” tanya pangeran lagi.

“Masih hidup, Pangeran.”

“Kalau begitu, bawalah ia ke istana. Dan carikan ibu susu untuk menyusuinya.”

Maka, bayi itu diangkat anak oleh Pangeran Abhaya, dan diberi nama Jīvaka yang artinya ‘masih hidup’ serta diberi nama keluarga (marga) Komārabhacca yang artinya, seorang yang dirawat oleh pangeran.

Tak lama kemudian, Jīvaka pun berkembang menjadi remaja yang tampan, rajin dan berbakti. Ia tahu, bahwa ia hanyalah seorang anak angkat yang dirawat dan dibesarkan oleh Pangeran Abhaya.

Pada suatu hari, ia menghadap sang pangeran dan bertanya: “Ayahanda, siapakah sebenarnya ibu bapak saya yang telah menyebabkan saya terlahir di dunia ini?”

“Jīvaka, ayah pun tak tahu, siapa sebenarnya ibu bapak kamu. Tapi, sayalah ayahandamu. Karena ayahlah yang merawat dan membesarkanmu. Janganlah kau mencari orang tuamu atau berpikir yang tidak-tidak.”

Dalam hatinya Jīvaka berpikir: “Aku hanyalah anak angkat. Tak selayaknya aku hanya menggantungkan hidupku pada keluarga ini. Aku ingin membalas budi beliau. Karenanya, aku harus belajar ilmu pengobatan agar segera bisa membalas budi.”

Mulai belajar ilmu pengobatan
Ia mendengar berita bahwa  di kota Takkasilā terdapat suatu perguruan tinggi kedokteran yang dipimpin oleh seorang ahli pengobatan bernama Disāpāmokkha, yang amat terkenal saat itu.

Maka, pada suatu pagi buta yang dingin, dengan diam-diam Jīvaka meninggalkan istana Pangeran Abhaya, bertolak menuju kota Takkasilā. Suatu perjalanan sulit harus ditempuhnya, memakan waktu beberapa hari. Namun, karena tekad Jīvaka yang begitu tinggi serta perangainya yang menyenangkan, ia banyak mendapat kemudahan dalam perjalanan. Ia tiba di tempat Disāpāmokkha dalam keadaan lelah dan lemah. Setelah istirahat beberapa lama dan tubuhnya telah semakin segar, ia menghadap Guru Disāpàmokkha.

“Guru, saya bernama Jīvaka, datang dari tempat yang jauh, ingin belajar ilmu pengobatan pada Guru. Saya mohon Guru menerima saya sebagai murid.”

Perangai Jīvaka serta tata tertib dan sopan santun yang baik, membuat Guru Disāpāmokkha, tak kuasa menolak permohonan anak muda itu.

“Jīvaka, belajarlah di sini dan menjadilah murid yang baik,” jawab Guru Disāpāmokkha.

Jīvaka adalah seorang anak muda yang cerdas, cepat mengerti dan tak mudah lupa. Semua yang diajarkan oleh gurunya bisa dikuasainya dengan cepat.

Waktu terus bergulir. Tujuh tahun lamanya Jīvaka belajar sambil mengabdi pada Guru Disāpāmokkha.

“Tujuh tahun aku telah belajar. Rasanya ilmu Guru telah diberikan padaku. Guru tak lagi memberi pelajaran yang baru padaku, tapi sampai kini, aku belum dinyatakan lulus. Sebaiknya aku tanyakan pada Guru, adakah pelajaran baru yang ingin diberikan padaku.”

Maka, ia pun menghadap gurunya. “Guru, telah tujuh tahun saya belajar pada Guru dan Guru pun tak lagi memberikan pelajaran baru padaku. Lalu, kapankah saya akan menamatkan pelajaran?”

Guru Disāpāmokkha tersenyum mendengar pertanyaan muridnya itu. “Baiklah, Jīvaka. Ambillah sebuah linggis dan berjalanlah mengelilingi kota Takkasilā ini sejauh satu yojana [kira-kira 16 kilometer]. Carilah sesuatu yang tidak bisa dijadikan obat. Bila kau mendapatkannya, galilah dan bawa padaku”.

Dengan patuh Jīvaka mengambil sebuah linggis di gudang dan berjalan mengelilingi kota Takkasilā sejauh satu yojana. Dengan cermat dan teliti ia memeriksa segala sesuatu, tanah, batu maupun tumbuh-tumbuhan, kalau-kalau ada yang tidak bisa dijadikan obat seperti yang diminta oleh gurunya. Tentu saja pekerjaan itu bukanlah pekerjaan yang mudah dan memerlukan waktu yang lama serta melelahkan. Akan tetapi, sesudah itu ia kembali menghadap gurunya dengan tangan hampa.

“Guru, saya telah melaksanakan  perintah Guru, tapi menurut pengamatan saya, tak ada sesuatu pun yang tak bisa dijadikan obat. Karenanya, saya tak membawa sesuatu pun seperti yang Guru kehendaki.”

Guru Disāpāmokkha pun tersenyum lebar. Ia merasa amat berbahagia dan bangga mempunyai murid secerdas dan sepandai Jīvaka. “Jīvaka muridku, kau kunyatakan lulus dengan sangat memuaskan. Dengan ilmu yang kau punyai ini, hidupmu tak akan kesulitan. Kau bisa hidup di mana pun. Kini, kau boleh meninggalkan tempat ini, mengembara sesuka hatimu.”

Lalu, Guru Disāpāmokkha memberinya hanya sedikit bekal bagi perjalanan Jīvaka. Setelah menyatakan terima kasihnya, ia berpamitan pada Guru Disāpāmokkha, dan mengadakan perjalanan menuju kota Rājagaha. Namun, begitu tiba di kota Sāketa, ia mengetahui perbekalannya telah hampir habis. Padahal perjalanan yang harus ditempuhnya masih amat jauh.  Dan di depan sana tak mudah mendapat perbekalan. Maka, dalam perjalanannya, ia bertanya pada penduduk, adakah orang-orang sakit yang memerlukan pengobatan. Dan penduduk menunjukkan ke satu keluarga hartawan yang istrinya sedang sakit. Jīvaka pun pergi ke rumah hartawan itu.

Di kota Sāketa, tinggal keluarga hartawan yang amat kaya. Namun, kebahagiaan keluarga itu pudar karena istri hartawan  terjangkiti sakit kepala yang amat sangat dan telah dideritanya selama tujuh tahun. Telah banyak ahli pengobatan dan dukun atau paranormal yang berusaha mengobatinya. Namun, tak seorang pun berhasil. Untuk itu, hartawan itu telah mengeluarkan harta yang tak terhitung jumlahnya.

Setiba di sana, Jīvaka pun berkata pada penjaga pintu rumah keluarga itu. “Penjaga, katakan pada istri hartawan bahwa seorang dokter telah tiba untuk mengobatinya.”

Penjaga pun masuk menghadap istri hartawan. “Nyonya, seorang dokter telah tiba untuk mengobati Nyonya.”

“Bagaimanakah rupa dokter itu, Penjaga?” tanya istri hartawan.

“Seorang anak muda yang tampaknya sedang mengadakan perjalanan, Nyonya,” jawab penjaga rumah itu.

Mendengar itu, istri hartawan menjawab: “Suruhlah ia pergi, Penjaga. Apa yang bisa diperbuat anak muda itu padaku? Sedangkan dokter-dokter tua dan berpengalaman pun tak mampu menyembuhkanku. Aku tak mau membuang-buang uang lagi.”

Penjaga keluar menemui Jīvaka Komārabhacca dan mengatakan apa yang dikatakan induk semangnya. Tapi, Jīvaka berkata pula: “Katakan pada majikanmu. Ia tak usah membayarku terlebih dahulu. Bila saya berhasil menyembuhkannya, barulah ia boleh membayar saya.”

Dan penjaga pun kembali menghadap istri hartawan, mengatakan apa yang dikatakan Jīvaka.

“Bila demikian, suruhlah ia masuk,” kata istri hartawan.

Maka, penjaga mengantar Jīvaka menemui istri hartawan di kamarnya. Setelah memeriksa keadaan penderita, ia meminta segenggam keju. Keju itu ia panaskan hingga cair. Jīvaka mengobatinya dengan cara natthu [penderita menghirup dengan hidung] keju cair itu. Keju cair itu keluar melalui mulut istri hartawan. Istri hartawan menyuruh pelayan perempuan untuk menampung keju cair dengan segumpal kapas. Melihat kelakuan istri hartawan itu, Jīvaka merasa heran dan bertanya: “Untuk apa Anda  menampung sisa keju itu, Ibu? Bukankah ia telah kotor?”

“Dokter, saya adalah seorang ibu rumah tangga yang harus tahu cara berhemat, harus tahu barang mana yang bisa dan layak dimanfaatkan. Keju ini masih bisa dipakai sebagai obat gosok pelayan atau pekerja-pekerja saya. Bisa pula untuk menambah minyak lampu penerangan di dapur. Tapi, saya bukanlah orang yang pelit. Dokter jangan khawatir saya tak memberi pembayaran yang layak pada Anda, karena telah menyembuhkan penyakit saya.”

Ternyata, setelah diobati dengan cara natthu itu, penyakit istri hartawan yang diderita selama tujuh tahun itu, sembuh seketika. Oleh karena itu, istri hartawan merasa amat bergembira dan amat berterima kasih pada Jīvaka yang telah berhasil menyembuhkan penyakit yang membuatnya amat tersiksa selama tujuh tahun. Ia memberi pembayaran sebanyak 4.000 kahapana pada Jīvaka. Anak laki-lakinya yang mendengar ibunya sembuh dari penyakit, memberi hadiah 4.000 kahapana pada Jīvaka. Menantu perempuannya yang mendengar ibu mertuanya sembuh dari penyakit, memberi hadiah 4.000 kahapana pada Jīvaka. Hartawan, suaminya, juga merasa berbahagia istrinya telah sembuh, memberi hadiah 4.000 kahapana pada Jīvaka. Ditambah pula kereta kuda serta pelayan laki-laki dan pelayan perempuan dihadiahkannya pada Jīvaka. Tak pelak lagi, Jīvaka tiba-tiba menjadi kaya mendadak.

Ia melanjutkan perjalanan ke Rājagaha, tanpa mengalami kesulitan apa pun. Dan langsung menghadap Pangeran Abhaya, ayah angkatnya di istana. “Ayahanda Pangeran, saya mohon maaf  telah pergi tanpa pamit tujuh tahun yang lalu. Kini, saya telah kembali dan membawa cukup banyak harta.”

“Lupakanlah masa lalu. Tapi, Ayah ingin tahu dari mana kau mendapatkan harta sebanyak itu?” tanya Pangeran Abhaya  menyambut kedatangan anak angkatnya.
“Saya telah belajar ilmu kedokteran pada Guru Disāpāmokkha di Takkasilā. Dalam perjalanan pulang ini, saya berhasil mengobati istri seorang hartawan dan mendapat pembayaran serta hadiah-hadiah sebanyak ini,” jawab Jīvaka.

Pangeran Abhaya tersenyum mendengarnya, bangga atas kepandaian Jīvaka.

“Ayahanda, saya mohon Ayahanda sudi menerima semua harta yang saya bawa ini, sebagai pengganti harta yang dikeluarkan untuk merawat dan membesarkan saya,” lanjut Jīvaka.

Pangeran amat terharu mendengar kata-kata Jīvaka itu. Ia tahu, Jīvaka adalah seorang anak yang berbakti. “Jīvaka, janganlah berkata begitu. Kau adalah anakku. Ayah minta, dengan hartamu itu, bangunlah rumah untukmu di tanah istana ini, agar kita tinggal berdekatan.”

“ Kalau demikian, baiklah Ayahanda.” Maka, Jīvaka pun membangun rumah yang cukup besar dan indah di tanah istana Pangeran Abhaya yang amat luas itu.

Asal mula Jīvaka menjadi dokter Sang Buddha dan Sagha
Kala itu Rāja Bimbisāra dari Māgadha, menderita penyakit wasir yang menyebabkan pakaian bawahnya sering basah dengan bercak-bercak darah. Keadaan itu membuat para selir sering menjadikannya sebagai bahan ejekan. “Lihatlah,  Baginda Rāja sedang datang bulan. Suatu saat nanti, Beliau tentu akan melahirkan seorang bayi.”

Tentu saja mendengar bisik-bisik ejekan diantara para selir itu, baginda merasa amat malu. Maka, Rāja Bimbisāra memanggil  Pangeran Abhaya. “Anakku, saat ini Ayah menderita penyakit wasir yang memalukan. Para selir berbisik-bisik mengejek, Ayah sedang datang bulan dan sebentar lagi akan melahirkan. Abhaya, carilah seorang dokter yang pandai untuk mengobati Ayah.”

“Baiklah Baginda. Anak angkat hamba adalah seorang dokter yang ahli,” jawab Pangeran.
Pangeran pun menugasi Jīvaka untuk mengobati Baginda Rāja Bimbisāra. Hanya sekali dioles dengan obat gosok buatan Jīvaka, Rāja Bimbisāra sembuh dari penyakitnya.

Rāja memerintahkan mendandani 500 perempuan dengan perhiasan yang indah-indah, emas, permata, batu-batu mulia serta kain-kain indah yang tak ternilai harganya.

“Jīvaka, semua perlengkapan yang dikenakan oleh 500 orang perempuan itu adalah milikmu. Ambillah sebagai pembayaran pengobatan yang kau lakukan padaku.”

“Baginda, hamba tak menghendaki pembayaran dari Baginda. Yang hamba lakukan, hamba anggap sebagai tugas kewajiban seorang rakyat pada rājanya.”

“Kalau demikian, aku minta kau menjadi dokter istana. Sanggupkah kau, Jīvaka?”

“Hamba sanggup, Baginda,” jawab Jīvaka.

“Dan karena Sang Buddha serta para bhikkhu juga menjadi tanggunganku, maka Beliau juga menjadi tanggunganmu apabila Beliau sakit,” lanjut Rāja Bimbisāra.

Sejak saat itu, bila Sang Buddha sakit, maka Jīvaka lah yang merawat. Begitu pula bila ada bhikkhu yang sakit.

Jīvaka melakukan pembedahan kepala
Seorang hartawan di Rājagaha menderita sakit kepala selama tujuh tahun. Telah banyak dokter-dokter ahli, dukun dan paranormal yang mencoba mengobati penyakit kepala hartawan tersebut, namun, tak satu pun yang berhasil. Mereka angkat tangan dan tak sanggup lagi mengobatinya. Bahkan, beberapa dokter telah meramalkan bahwa hartawan akan menemui ajalnya dalam waktu tak lama lagi.

Penduduk Rājagaha amat menyayangkan hal ini. Karena hartawan itu adalah seorang yang dermawan dan berbakti pada Rāja Bimbisāra. Maka, para sesepuh penduduk Rājagaha, bersetuju untuk menghadap Rāja.

“Baginda, hartawan itu adalah seorang yang berbakti pada kerajaan dan amat dermawan pada penduduk negeri ini. Namun, para dokter meramalkan, penyakitnya tak akan bisa disembuhkan. Hartawan itu akan meninggal dalam beberapa hari lagi. Kami mohon Baginda  menitahkan Dokter Jīvaka untuk mengobatinya.”

Baginda pun menitahkan Jīvaka untuk mengobati hartawan itu.

“Jīvaka, pergilah ke rumah hartawan itu, dan obatilah dia.”

“Baiklah Baginda.”

Jīvaka menemui hartawan yang sedang berbaring di tempat tidur dan memeriksanya dengan teliti. “Hartawan, bila saya berhasil menyembuhkan Anda, apakah yang akan Anda berikan pada saya sebagai pembayaran?” tanya Jīvaka setelah mengetahui penyakit hartawan.

“Dokter, bila Anda bisa menyembuhkan penyakit yang telah menyiksa saya selama tujuh tahun ini, semua harta milik saya akan menjadi milik Anda. Bahkan, diri saya pun akan saya berikan pada Anda. Saya rela jadi pelayan Anda,” jawab hartawan bersungguh-sungguh.

“Hartawan, sanggupkah Anda berbaring di satu sisi selama tujuh bulan?” tanya Jīvaka kemudian.

“Saya mungkin bisa berbaring di satu sisi selama tujuh bulan, Dokter,” jawab hartawan.

“Sanggupkah Anda berbaring di satu sisi yang lain selama tujuh bulan?”

“Saya sanggup berbaring di satu sisi yang lain selama tujuh bulan.”

“Sanggupkah Anda berbaring telentang selama tujuh bulan?”

“Sanggup, Dokter.”

“Baiklah, Hartawan. Saya akan mulai mengobati Anda.”

Dengan keahliannya, Jīvaka mampu melakukan pembedahan kepala terhadap hartawan dan mengeluarkan penyakit yang membuat hartawan menderita. Setelah menjahit luka bedah di kepala hartawan, Jīvaka membaringkannya ke satu sisi.

Seminggu telah berlalu, hartawan mengeluh dan berkata pada Jīvaka: “Dokter, saya tak akan mampu berbaring di satu sisi begini terus menerus selama tujuh bulan.”

“Tapi, Anda telah berkata bahwa Anda mampu.”

“Benar, Dokter, tapi rasanya saya akan mati bila terus begini,” keluh hartawan lagi.

“Baiklah, Hartawan. Anda memang tak perlu berbaring begitu selama tujuh bulan. Tapi, bila saya tak meminta janji Anda, Anda pun tak akan mampu berbaring di satu sisi selama seminggu. Saya tahu penyakit Anda akan sembuh dalam waktu seminggu. Bangkitlah, Hartawan. Anda telah sembuh dengan sempurna,” kata Jīvaka. “Dan tentu saja Anda harus ingat tentang pembayaran bagi saya,” lanjut Jīvaka.

“Dokter, seperti yang telah saya janjikan dulu, ambillah semua harta milik saya  dan saya pun rela menjadi pelayan Anda.”

Tapi, Jīvaka menjawab: “Tak perlu Anda membayar saya begitu banyak, dan Anda pun tak perlu menjadi pelayan saya. Saya harap, bayarlah pada rāja sebanyak 100.000 kahapana dan pada saya sebanyak 100.000 kahapana. Itu sudah cukup.”

Hartawan menyadari, ternyata Jīvaka bukanlah orang yang serakah, melainkan mempunyai jiwa yang besar, penuh welas asih dan berbakti.

Melakukan pembedahan perut
Seorang atlit akrobat, anak seorang hartawan Bārāasī, menderita penyakit lambung yang menyebabkan pencernaannya tak bekerja sebagaimana mestinya. Makanan dan minuman yang dikonsumsinya tak tercerna dengan baik. Badannya menjadi kurus, pucat kekuningan.

Orang tuanya sangat sedih melihat keadaan anaknya itu. Ia mendengar keahlian dokter Jīvaka, dokter kerajaan Māgadha. Ia tahu Rāja Bimbisāra adalah seorang rāja yang welas asih dan selalu memperhatikan rakyatnya. Maka, ia pun menghadap rāja, mohon agar dokter istana itu mengobati anaknya.

“Baiklah, saya akan menyuruh Jīvaka untuk mengobati anakmu.”

Alangkah gembiranya hartawan dari Bārāasi mendengar itu. Ia pulang ke Bārāasi dengan membawa serta dokter istana kerājaan Māgadha.

Setelah memeriksa gejala penyakit si penderita, Jīvaka menyimpulkan, terdapat daging tumbuh di dalam usus pemuda itu. Ia melakukan pembedahan terhadap perut penderita dan memotong daging tumbuh yang menyebabkan penyakit pada pemuda itu. Setelah itu, ia pun menjahit kembali luka bedah dan mengobatinya dengan baik.

Tak lama kemudian, atlit akrobat itu sembuh seperti sedia kala. Untuk itu, Jīvaka menerima 16.000 kahapana dari hartawan Bārāasi.

[Samma Diṭṭhi, edisi 5, Okt 2003, PANNA, Hananto]


Semoga bermanfaat



™]˜

1 komentar: