Selasa, Maret 29, 2011

Humor Buddhis : Sila ke 5

HUMOR SILA KE 5
Oleh : Tanhadi


Ada umat Buddhis yang bertanya soal Pancasila Buddhis kepada seorang Bhikkhu senior ..

Umat : Bante, setelah saya renungkan mengenai Pancasila Buddhis ini, diantara 5 sila itu sebenarnya hanya Sila ke 5 –lah yang tidak merugikan orang lain, makanya oleh Sang Buddha urutannya ditaruh di paling akhir , Berarti kalau hal itu dilakukan kan nggak apa-apa Bante ?

Bhikkhu : Maksud lo...? coba jelaskan satu persatu.....

Umat : Begini bante, Sila Pertama kan berbunyi “...tidak melakukan pembunuhan”, jadi kalau kita lakukan berarti ada orang lain yang dirugikan.

Sila kedua ;  “..tidak mengambil barang yang tidak diberikan”, inipun kalau kita lakukan berarti ada orang lain yang dirugikan.

Sila ketiga ; “...tidak melakukan perbuatan seksualitas yang tidak dibenarkan, artinya tidak boleh berzinah..”, ini juga kalau kita lakukan berarti ada obyek atau orang lain yang dirugikan.

Sila keempat; “...tidak mengucapkan ucapan yang tidak benar, yang berarti tidak boleh berbohong ”., inipun kalau kita lakukan berarti ada orang lain yang dirugikan.

Nah...Sila yang kelima ; “ .... tidak minum segala minuman keras  yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran (ketagihan)”., kalau ini kita lakukan kan nggak ada obyek atau orang lain yang kita rugikan, Bante?
Lha wong saya minumnya didalam kamar, yang minum diri saya sendiri, pintu saya kunci dari dalam...nah...kan nggak ada orang lain yang bisa saya rugikan, Bante?

Bhikkhu : (sambil geleng-geleng kepala...) “..dengerin ya hei.. pemabuk....,Justeru Sang Buddha menaruh sila kelima itu di nomor urutan paling bawah karena paling mendasar, karena sila ke 5  itu-lah yang bisa menyebabkan pelanggaran terhadap semua sila-sila yang diatasnya ! “

“Kalau kamu udah mabok, mana inget lagi saat itu kamu buka kamar, keluar rumah...dan sampai diluar kamu masuk ke Bar, disenggol orang lain jadi marah dan membunuh orang itu. Kemudian karena minumanmu habis, lalu kamu nyomot begitu saja botol minuman yang ada di Bar itu tanpa bayar, terus kamu ketemu cewek bahenol..dirayu dan terjadi perzinahan..., lalu ada orang tanya ama kamu, “ hei Boss lagi teler ya ?”  Kamu jawab : “ Siapa bilang aku teler...Huhhh...20 botol lagi aku masih bisa setir mobil sampai dirumah nih ......enak aja kau bilang aku mabok...?! “(sambil jalannya gloyor-gloyor nabrak meja sana-sini).

Kalau kamu membunuh , mencuri, berzinah, dan  berbohong,  semua perbuatan itu tidak akan membuatmu jadi mabok.
Tapi kalau kamu Mabok.., kemungkinan untuk  membunuh, mencuri, berzinah maupun berbohong, semuanya bisa terjadi...karena kamu nggak inget apa yang sedang kamu perbuat itu, wes mudeng ( udah ngerti) nggak sekarang ?”

Umat : “ Ampun Bante..., ternyata masuk akal juga Sang Buddha naruh Sila ke 5 itu dipaling bawah, ya Bante ?..”

Bhikkhu : “ Lha iyalah...” sahut Sang Bhikkhu sambil ngloyor dan garuk-garuk kepala padahal tidak gatal.

Minggu, Maret 27, 2011

Buku Pintar Agama Buddha (S 3)

BUKU PINTAR AGAMA BUDDHA
Oleh : Tanhadi

KELOMPOK : (S 3)


Siloka : Pujian.

Siva : Kebahagiaan.

Somanassa : Menyenangkan.

Sotãpanna : Pemenang arus, Yang telah memasuki arus, tingkat pertama dalam penyelaman Nibbana.

Kebanyakan umat Buddhis berusaha melatih sila dasar dan menjadi sempurna hanya dalam diri orang-orang yang telah mendekati tingkatan Sotapanna (Skt Srotapanna), dimana kata ini secara harafiah berarti "Pemasuk Arus". Pada tingkatan Sotapanna, seorang mendapatkan sekilas pandangan yang pertama atas Nibbana dan mulai menapaki jalan kesucian.

Seorang Sotapanna diyakini telah mematahkan tiga belenggu pertama (Samyutta-Nikaya) , yaitu :

1.     Sakkayaditthi  : Pandangan sesat tentang adanya pribadi, jiwa atau aku yang kekal.
2.     Vicikiccha: Keragu-raguan terhadap Sang Buddha dan AjaranNya.
3.     Silabbataparamasa : Kepercayaan tahyul bahwa upacara agama saja dapat membebaskan manusia dari penderitaan.

Tetapi Ia belum berhasil membebaskan dirinya dari hawa nafsu. la telah terbebas dari kelahiran kembali sebagai makhluk neraka, hantu, binatang, atau asura. la dipastikan menjadi Arahat setelah mengalami kelahiran kembali maksimum tujuh kali lagi (Anguttara-Nikaya).

Belenggu pertama dihancurkan dengan penembusan mendalam ke dalam Empat Kebenaran mulia dan Sebab Musabab yang Saling Bergantungan. Belenggu kedua dihancurkan karena ia telah "melihat" dan "terjun ke dalam" Dhamma (Majjhima-Nikaya). Belenggu ketiga dihancurkan karena kendati moralnya murni, namun ia menyadari bahwa itu saja masih belum memadai untuk mencapai Nibbana.

Ada tiga macam Sotapanna :

1.     Ekabiji Sotapanna adalah Sotapanna yang akan terlahir kembali sekali lagi.
2.     Kolamkola Sotapanna adalah Sotapanna yang akan terlahir kembali dua atau tiga kali lagi.
3.     Sattakkhattuparana Sotapanna adalah Sotapanna yang akan terlahir kembali tujuh kali lagi.

Sotãpatti/(skt. Srotapatti) : 1). Memasuki arus, 2). Tingkat kesucian pertama.

Subhakiņha : Alam para Brahma dengan cahaya yang tetap.

Subha : Diinginkan.

Suddhãvãsa : Tempat tinggal yang sejati.
Adalah alam khusus para Anagami atau Yang tak pernah kembali . Makhluk biasa tidak dilahirkan dalam keadaan ini. Mereka yang mencapai Anagami di alam-alam lain dilahirkan kembali di Tempat tinggal yang sejati ini. Kemudian, mereka mencapai keadaan Arahat dan hidup di Alam itu sampai masa hidup mereka berakhir.

Ada lima macam Suddhavasa, yaitu :

1.     Aviha : adalah alam tempat kelahiran kembali para Anagami yang memiliki Saddha atau keyakinan yang kuat.
2.     Atappa : adalah alam tempat kelahiran kembali para Anagami yang memiliki Viriya atau semangat yang kuat.
3.     Sudassa : Adalah alam tempat kelahiran kembali para Anagami yang memiliki Sati atau perhatian yang kuat.
4.     Sudassi : Adalah alam tempat kelahiran kembali para Anagami yang memiliki Samadhi atau meditasi yang kuat.
5.     Akanittha : Adalah alam tempat kelahiran kembali para Anagami yang memiliki panna atau kebijaksanaan yang kuat.

Sudassa : Alam yang indah.

Sudra : Kasta ke-empat dalam agama Hindu.

Suggati : Alam bahagia.

Sugata : (gelar)Yang Maha Tahu, Yang telah pergi (ke Nibbãna) dengan baik., Yang berbahagia.

Manusia dan para Dewa memiliki batas usia yang sangat berbeda. Batas usia manusia di alam manusia tidak jelas, sedangkan pada umumnya para dewa mempunyai batas panjang usia rata-rata.

Sukha / Sukkhani : 1). Kebahagiaan, 2). Kesenangan.
Dalam buku Dhamma Vibhaga terdapat 4 pengertian kebahagiaan yang dibagi menjadi dua kelompok.

1. Kayika sukha atau kebahagiaan jasmaniah.
kebahagiaan ini berhubungan dengan indera. Apabila badan berada dalam keadaan sehat, tidak merasa lapar atau haus, tidak menderita penyakit organis, itulah kebahagiaan jasmani. Kita sekarang yang berkumpul disini tentu sedang mengalami kebahagiaan jasmani.

2. Cetasika sukha atau kebahagiaan bathin.
Kebahagiaan ini merupakan hasil dari sumber-sumber yang ada di dalam bathin. Seseorang dikatakan mengalami kebahagiaan bathin apabila pikiran terserap dalam kegembiraan, apakah karena terpenuhinya keinginan-keinginan indera atau karena telah melakukan suatu perbuatan baik. Contohnya orang yang merasa bahagia setelah berdana.

Kebahagiaan yang pertama dan yang kedua dalam buku Dhamma Vibhaga merupakan satu kelompok. Dan kebahagiaan yang berikutnya tiga dan empat merupakan satu kelompok.

3. Samisa sukha yaitu kebahagiaan dengan mata kail berumpan.
Kebahagiaan ini timbul karena terpenuhinya keinginan-keinginan indera yang tergantung pada hal-hal luar atau benda-benda materi. Disebut kebahagiaan dengan mata kail karena dapat menimbulkan kemelekatan. Contohnya orang yang merasa bahagia ketika mendapat pujian. Orang tersebut akan bahagia apabila ia mengingat-ingat pujian itu. Jika pujian tersebut tidak ada maka kebahagiaannya itu juga tidak ada.

4. Niramisa sukha yaitu kebahagiaan tanpa mata kail berumpan.
Seseorang yang melakukan kegiatan keagamaan dengan meninggalkan keinginan- keinginan inderawi dikatakan mengalami kebahagiaan tersebut. Karena kebahagiaan ini tidak tergantung pada hal-hal luar dan tidak menimbulkan kemelekatan.

Orang mengalami kebahagiaan ini bisa dianalogikan sebagai ikan, kebahagiaannya sebagai umpan dan mata kail sebagai benda-benda materi yang menyebabkan kemelekatan. Ikan yang memakan umpan dengan mata kail akan mengalami kebahagiaan kemudiaan ia akan mengalami penderitaan karena melekat. Ia tidak tahu bahwa umpan tersebut memiliki mata kail sehingga setelah dimakan mulutnya akan tersangkut mata kail. Sedangkan ikan yang memakan umpan tanpa mata kail akan mengalami kebahagiaan tanpa kemelekatan. Karena di dalam umpannya tidak ada mata kail.

Perlu diingat bahwa kebahagiaan dengan mata kail berumpan menyebabkan kelahiran dan kematian yang terus menerus (tumimbal lahir), sedangkan kebahagiaan tanpa mata kail berumpan dapat menghapus perputaran roda penderitaan.

Setelah mengetahui keempat pengertiaan kebahagiaan, kita bisa mengidentifikasi diri kita sendiri apakah sedang mengalami kebahagiaan jasmani atau bathin atau kedua-duanya. Kita juga bisa memilih kebahagiaan dengan mata kail berumpan atau kebahagiaan tanpa mata kail berumpan.

Sang Buddha bersabda bahwa ada empat hal yang berguna yang akan dapat menghasilkan kebahagiaan dalam kehidupan duniawi sekarang ini, yaitu:

1.  Utthanasampada:
rajin dan bersemangat dalam mengerjakan apa saja, harus terampil dan produktif; mengerti dengan baik dan benar terhadap pekerjaannya, serta mampu mengelola pekerjaannya secara tuntas.

2.  Arakkhasampada:
ia harus pandai menjaga penghasilannya yang diperolehnya dengan cara halal, yang merupakan jerih payahnya sendiri.

3.  Kalyanamitta:
mencari pergaulan yang baik, memiliki sahabat yang baik, yang terpelajar, bermoral, yang dapat membantunya ke jalan yang benar, yaitu yang jauh dari kejahatan.

4.  Samajivikata:
harus dapat hidup sesuai dengan batas-batas kemampuannya. Artinya bias menempuh cara hidup yang sesuai dan seimbang dengan penghasilan yang diperolehnya, tidak boros, tetapi juga tidak pelit / kikir.

Keempat hal tersebut adalah merupakan persyaratan (kondisi) yang dapat menghasilkan kebahagiaan dalam kehidupan duniawi sekarang ini, sedangkan untuk dapat mencapai dan merealisasi kebahagiaan yang akan datang, yaitu kebahagiaan yang dapat terlahir di alam-alam yang menyenangkan dan kebahagiaan terbebas dari yang berkondisi, ada empat persyaratan pula yang harus dipenuhi, yaitu sebagai berikut:

a.  Saddhasampada:
harus mempunyai keyakinan, yaitu keyakinan terhadap nilai-nilai luhur. Keyakinan ini harus berdasarkan pengertian, sehingga dengan demikian diharapkan untuk menyelidiki, menguji dan mempraktikkan apa yang dia yakini tersebut. Di dalam Samyutta Nikaya V, Sang Buddha menyatakan demikian: "Seseorang … yang memiliki pengertian, mendasarkan keyakinannya sesuai dengan pengertian." Saddha (keyakinan) sangat penting untuk membantu seseorang dalam melaksanakan ajaran dari apa yang dihayatinya; juga berdasarkan keyakinan ini, maka tekadnya akan muncul dan berkembang. Kekuatan tekad tersebut akan mengembangkan
semangat dan usaha untuk mencapai tujuan.

b.  Silasampada :
harus melaksanakan latihan kemoralan, yaitu menghindari perbuatan membunuh, mencuri, asusila, ucapan yang tidak benar, dan menghindari makanan/minuman yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran (hilangnya pengendalian diri). Sila bukan merupakan suatu peraturan larangan, tetapi merupakan ajaran kemoralan yang bertujuan agar umat Buddha menyadari adanya akibat baik dari hasil pelaksanaannya, dan akibat buruk bila tidak melaksanakannya. Dengan demikian, berarti dalam hal ini seseorang bertanggung jawab penuh terhadap setiap perbuatannya. Pelaksanaan sila berhubungan erat dengan melatih perbuatan melalui ucapan dan badan jasmani. Sila ini dapat diintisarikan menjadi 'hiri' (malu berbuat jahat / salah) dan 'ottappa' (takut akan akibat perbuatan jahat / salah). Bagi seseorang yang melaksanakan sila, berarti ia telah membuat dirinya maupun orang lain merasa aman, tentram, dan damai. Keadaan aman, tenteram dan damai merupakan kondisi yang tepat untuk membina, mengembangkan dan meningkatkan kemajuan serta kesejahteraan masyarakat dalam rangka tercapainya tujuan akhir, yaitu terealisasinya Nibbana.

c.  Cagasampada:
murah hati, memiliki sifat kedermawanan, kasih saying, yang dinyatakan dalam bentuk menolong mahluk lain, tanpa ada perasaan bermusuhan atau iri hati, dengan tujuan agar mahluk lain dapat hidup tenang, damai, dan bahagia. Untuk mengembangkan caga dalam batin, seseorang harus sering melatih mengembangkan kasih saying dengan menyatakan dalam
batinnya (merenungkan) sebagai berikut: "Semoga semua mahluk berbahagia, bebas dari penderitaan, … kebencian, … kesakitan, … dan kesukaran. Semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaan mereka sendiri."

d.  Panna:
harus melatih mengembangkan kebijaksanaan, yang akan membawa ke arah terhentinya dukkha (Nibbana). Kebijaksanaan di sini artinya dapat memahami timbul dan padamnya segala sesuatu yang berkondisi; atau pandangan terang yang bersih dan benar terhadap segala sesuatu yang berkondisi, yang membawa ke arah terhentinya penderitaan. Panna muncul bukan hanya didasarkan pada teori, tetapi yang paling penting adalah dari pengalaman dan penghayatan ajaran Buddha. Panna berkaitan erat dengan apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak perlu dilakukan. Singkatnya ia mengetahui dan mengerti tentang: masalah yang dihadapi, timbulnya penyebab masalah itu, masalah itu dapat dipadamkan / diatasi dan cara / metode untuk memadamkan penyebab masalah itu.

Itulah uraian dari Vyagghapajja sutta yang ada hubungannya dengan kesuksesan dalam kehidupan duniawi yang berkenaan dengan tujuan hidup umat Buddha.

Sutta lain yang juga membahas tentang kesuksesan dalam kehidupan duniawi ini, bisa kita lihat pula dalam Anguttara Nikaya II 65, di mana Sang Buddha menyatakan beberapa keinginan yang wajar dari manusia biasa (yang hidup berumah tangga), yaitu:

a)    Semoga saya menjadi kaya, dan kekayaan itu terkumpul dengan cara yang benar dan pantas.
b)    Semoga saya beserta keluarga dan kawan-kawan dapat mencapai kedudukan social yang tinggi.
c)     Semoga saya selalu berhati-hati di dalam kehidupan ini, sehingga saya dapat berusia panjang.
d)    Apabila kehidupan dalam dunia ini telah berakhir, semoga saya dapat terlahirkan kembali di alam kebahagiaan (surga).

Keempat keinginan wajar ini, merupakan tujuan hidup manusia yang masih diliputi oleh kehidupan duniawi; dan bagaimana caranya agar keinginan-keinginan ini dapat dicapai, penjelasannya adalah sama dengan uraian yang dijelaskan di dalam Vyagghapajja sutta tadi.

Jadi, jelaslah sekarang bahwa Sang Buddha di dalam ajaran-Nya, sama sekali tidak menentang terhadap kemajuan atau kesuksesan dalam kehidupan duniawi. Dari semua uraian di atas tadi bisa kita ketahui bahwa Sang Buddha juga memperhatikan kesejahteraan dalam kehidupan duniawi; tetapi memang, Beliau tidak memandang kemajuan duniawi sebagai sesuatu yang benar kalau hal tersebut hanya didasarkan pada kemajuan materi semata dengan mengabaikan dasar-dasar moral dan spiritual; sebab seperti yang dijelaskan tadi, yaitu bahwa tujuan hidup umat Buddha bukan hanya mencapai kebahagiaan di dalam kehidupan duniawi (kebahagiaan yang masih berkondisi saja), tetapi juga bisa merealisasi kebahagiaan yang tidak berkondisi, yaitu terbebas total dari dukkha, terealisasinya Nibbana. Maka meskipun menganjurkan kemajuan material dalam rangka kesejahteraan dalam kehidupan duniawi, Sang Buddha juga selalu menekankan pentingnya perkembangan watak, moral, dan spiritual untuk menghasilkan suatu masyarakat yang bahagia, aman, dan sejahtera secara lahir maupun batin; dalam rangka tercapainya tujuan akhir, yaitu terbebas dari dukkha atau terealisasinya Nibbana.

Sukha patipada khippabhinna : Praktek yang mudah dengan kemajuan cepat

Sukhitatta : 1). Berbahagia, 2). Senang.

Suñña / sūnya : 1). Kosong, 2). Suwung.

Susassi : Alam dengan penglihatan tajam.

Sutta /(skt.Sūtra) : 1). Pembahasan, 2). Khotbah, 3). Ceramah, 4). Seutas
benang.

Sutta Pitaka : Keranjang Ceramah ( kumpulan kotbah Sang Buddha ).

Sutta Pitaka ini terdiri dari 5 Kumpulan Buku/koleksi ; yaitu :

1.  Digha Nikaya : Kumpulan kotbah Panjang.
2.  Majjhima Nikaya : Kumpulan kotbah menengah.
3.  Samyutta Nikaya : Kumpulan kotbah yang saling berhubungan.
4.  Anguttara Nikaya : Kumpulan kotbah yang bertahap-tahap.
5.  Khuddaka Nikaya : Kumpulan kotbah yang pendek, berisi 15 Kitab, yaitu ;

a)    Khuddakapatha : Kumpulan dari naskah yang pendek.
b)    Dhammapada  : Prinsip Ajaran Buddha dalam bentuk syair.
c)     Udana  : Ungkapan kebahagiaan.
d)    Itivuttaka : Kotbah yang dimulai dengan “Demikianlah dikatakan“.
e)    Suttanipata : Kumpulan kotbah praktek mulia dalam kehidupan sehari- hari.
f)     Vimanavatthu : Kotbah tentang kehidupan di alam surga/bahagia.
g)    Petavatthu : Kotbah tentang kehidupan di alam duka / menderita.
h)    Theragatha : Sajak dari para Bhikkhu.
i)      Therigatha  : Sajak dari para Bhikkhuni.
j)     Jataka  : Kisah-kisah kelahiran calon Buddha/Bodhisatta.
k)   Niddesa  : Kitab tentang uraian Dhamma.
l)     Patisambhida Magga : Analisa ajaran pokok Buddha.
m)   Apadana  : Kisah kehidupan para Arahat.
n)   Buddhavamsa  : Sejarah kehidupan para Buddha.
o)   Cariyapitaka : Kisah penyempurnaan kebajikan Bodhisatta Sidhatha Gotama.

Sutamaya pañña : Kebijaksanaan yang dicapai melalui belajar dan menghapal. Adalah pengetahuan yang didapat secara lisan.

Suvatti hotu / sukhi hotu : Semoga berbahagia .

Stupa / dagoba : Tempat meletakkan relik Sang Buddha.

Soka : 1). Penderitaan, 2). Dukacita.



 Kelompok Huruf S selesai 



Lanjutkan ke Kelompok huruf T1====> Buku Pintar Agama Buddha (T 1)

Buku Pintar Agama Buddha (S 2)

BUKU PINTAR AGAMA BUDDHA
Oleh : Tanhadi

KELOMPOK : (S 2)

Samakari : Bersikap adil.

Samkhata : Yang berkondisi karena sebab.

Samkhãra : Kehendak tidak baik, baik dan tak tergoyahkan.
Merupakan Kamma penghasil tumimbal lahir.

Sampajano : Seorang mahluk tahu.

Sampaticchana : Obyek yang dilihat.

Sampajañña/(skt. Samprajanya) : 1). Pengertian lengkap, 2). pengetahuan lengkap.

Apakah yang dimaksud dengan pengertian lengkap? Sampajanna meliputi 4 hal, yaitu:

a.     Sathaka Sampajanna,
b.     Sappaya Sampajanna,
c.      Gocara Sampajanna, dan
d.     Asammoha Sampajanna.

a)     Sathaka Sampajanna
Artinya "Pengertian yang lengkap tentang kebenaran". yaitu; kehendak baik dengan melihat ‘ kebaikan’  itu dari berbagai segi. Yang pertama adalah ‘baik’ dari segi Dhamma, artinya tidak bertentangan dengan Dhamma. Yang kedua, tidak bertentangan dengan hukum negara. Yang ketiga, tidak bertentangan dengan hukum adat-istiadat yang tidak tertulis dan berlaku di lingkungan sekitar.

Suatu contoh : Ada suatu daerah yang memiliki kepercayaan ; Kalau baru selesai melayat orang mati di kuburan atau di tempat krematorium, tidak boleh langsung menengok orang sakit. Kalau habis melayat orang mati lalu menengok orang sakit itu nanti membuat si sakit cepat mati. Hal ini jelas tidak benar, dan tidak sesuai dengan kebenaran. Mati, sehat, atau sakit itu tergantung dari berbagai macam faktor, singkat kata adalah karena karma masing-masing. Bila kita lihat dari segi Dhamma, menengok orang sakit itu memang baik. Hukum negara juga tidak ada yang melarang. Tetapi kalau di lingkungan atau di daerah yang memiliki kepercayaan seperti itu, apa yang kita anggap ’baik’ dengan menengok orang yang sakit itu malah menjadi salah paham, Kita tidak bisa memperbaiki pandangan yang salah itu, dan kita harus besikap bijaksana , Kalau secara radikal nanti akan jadi bumerang. Itu namanya sikap tidak hati-hati.

Kita tidak perlu ‘sok menjadi pahlawan’, yaitu menjadi orang pertama yang memulai, dengan resiko akan membuat keonaran, kekacauan, dan ketidak-harmonisan. Jadi memang, punya niat baik itu syarat mutlak, tetapi dia tidak boleh berdiri sendiri. Tidak asal niat baik. Tetapi baik itu harus sathaka sampajanna, kita harus melihat tidak hanya dari satu segi, tetapi dari berbagai segi, sehingga sikap kita tidak akan membuat keonaran, kekacauan, dan sebagainya. Itulah yang disebut dengan hati-hati. Bila kita tidak mau melihat kiri kanan, tidak mau melihat situasi dan kondisi di sekitar, "pokoknya niatku baik", ini juga termasuk ceroboh.

b)     Sappaya Sampajanna
Artinya "Pengertian lengkap tentang kelayakan". Apakah yang dimaksud dengan kelayakan? yaitu setelah kita  memeriksa dari semua segi dengan benar, baik dari segi Dhamma, Hukum negara, Hukum adat , selanjutnya kita mengukur kemampuan diri kita sendiri, apakah kita bisa melaksanakan dan mencapai tujuan niat baik itu? Walaupun Niat kita itu baik dan Mulia, namun bila tujuan itu tidak mungkin dapat dilaksanakan karena tidak ada kemampuan, sebaiknya kita mawas diri dan lebih baik melakukan sesuatu yang memang bisa untuk kita lakukan sesuai dengan kemampuan diri kita sendiri, karena jika kita ‘memaksakan diri’ untuk melakukan sesuatu yang diluar kemampuan kita, itu namanya sembrono, bukan orang yang berhati-hati.

c)     Gocara Sampajanna
Artinya "Pengertian yang lengkap tentang ruang lingkup". Apa yang dimaksud dengan Ruang Lingkup? Yaitu kita boleh melakukan apa saja, yang sudah tentu dengan niat yang baik dan benar dari segala segi, asal apa yang kita lakukan itu mempunyai hubungan dengan apa yang ingin kita capai.

Sesungguhnya, dalam hidup bermasyarakat, kita cukup sampai di sini, yaitu: niat baik, sathaka sampajanna, sampaya sampajanna, dan gocara sampajanna. Nah, inilah bekal atau pedoman untuk membawa diri kita di tengah-tengah masyarakat dengan berbagai macam rangsangan, bujukan, dan sebagainya. Tetapi di sini, kalau kita ingin meningkatkan batin kita menjadi ke tingkat yang lebih tinggi, tidak di level yang biasa, ada yang nomor empat, ini yang paling sulit.

d)     Asammoha Sampajanna
Yang dimaksud dengan asammoha sampajanna adalah "Pengertian yang lengkap, bebas dari kegelapan batin, bebas dari moha". Apakah yang dimaksud dengan Asammoha sampajanna ini ? yaitu kalau kita mempunyai niat baik, sathaka sampajanna, dari segala arah diperiksa dengan baik, dan niat itu memungkinkan untuk dicapai, dan berhasil. Kita tidak boleh punya perasaan atau pengertian bahwa: "Saya sudah melakukan tujuan yang baik dan sudah berhasil". Karena dengan adanya perasaan seperti itu dapat menimbulkan “ke-Aku-an” pada diri kita, padahal 'aku yang sesungguhnya' itu tidak ada.

Sebab segala sesuatu yang kita kerjakan hendaknya dimengerti bahwa semua itu bisa terjadi karena banyak macam sebab dan pendukungnya. Contohnya : Ada orang sakit, ada kehendak untuk mengobati, dan ada obat, lalu obatnya diberikan kepada orang yang sakit. Yang sakit merasa senang karena sembuh dari sakitnya. Kalau kita ditanya: "Siapa yang memberikan obat untuk menolong orang itu?" tentu saja kita boleh menjawab : "Saya". Tetapi pengertian untuk kemajuan batin harus dimengerti bahwa tidak ada 'saya' yang menolong untuk memberikan obat. Mengapa? Kalau tidak ada yang sakit, siapa yang akan diberikan obat? Kalau ada yang sakit, tidak ada obat, apa yang akan diberikan?

Kalau kita merasa bangga dengan mengatakan bahwa “ saya telah menolong orang itu dan dia sembuh !”, ini sama artinya kita menganggap orang yang sakit dan obat itu tidak ada !, yang ada hanyalah ‘Aku’ yang telah menolong orang itu, jika tidak ada aku, dia sekarang tidak akan sembuh dan sesehat ini! Inilah salah satu contoh pengertian yang keliru.

Sesungguhnya yang terjadi adalah Proses, yaitu proses melihat adanya orang yang sakit, kemudian melihat ada obat disini, tangannya bergerak untuk mengambil obat dan memberikannya kepada orang yang sakit itu, kemudian orang yang sakit itu tersenyum karena sudah merasa sembuh dan sehat, titik! dan hanya begitulah proses yang baik itu telah terjadi.

Dalam pengembangan pandangan benar, yaitu untuk kepentingan batin, kejadian tersebut diatas tidak ada yang bisa disebutkan sebagai ‘Aku’ sejati yang telah melakukannya, ‘aku’ yang sejati itu yang mana ?, pikirannya, jasmaninya, perasaannya atau kesadarannya?. Jadi boleh-boleh saja kita dalam komunikasi sehari-hari kita mengatakan “ ‘aku’ yang telah memberikan obat kepadanya “, hal ini agar tidak membuat orang lain yang mendengarnya menjadi bingung.

Samsãra :  1). Roda tumimbal lahir,2). Llingkaran kelahiran dan kematian.
Secara harafiah berarti pengembaraan berulang, kumpulan rangkaian yang tidak terputus-putus, unsur-unsur dan dasar indria.

Sammuti : 1). Biasa, 2). Kebiasaan.

Sammuti-Sacca/(skt.Samrvti-Satya) : 1). Kebenaran konvensional, 2). Kebenaran biasa, 3). Kebiasaan.

Kebiasaan-kebiasaan yang telah secara umum dianggap benar oleh masyarakat sesuai dengan Adat, hukum , tradisi dan kebudayaan setempat ( belum tentu sesuatu yang dianggap “benar” oleh adat masyarakat di satu daerah, juga dianggap  “benar” oleh adat masyarakat didaerah lainnya ); Kebenaran relatif ; berarti bahwa sesuatu itu benar, tetapi masih terikat oleh waktu dan tempat.

Pencarian terhadap Kebenaran adalah seperti membawa sebuah lilin untuk mencari Matahari. Bukankah matahari selalu bersinar, apakah kita masih mencarinya atau tidak? Mengapa kita membuat segala sesuatu menjadi sebuah misteri? Kebenaran bukanlah sebuah gagasan; gagasan-gagasan tentang Kebenaran adalah bukan suatu Kebenaran. Setiap orang mempunyai gagasan tentang Kebenaran - yang mentah ataupun yang rumit - tetapi mereka biasanya bersifat subyektif, penggambaran yang berpusat pada diri/ego. Demikian pula kata "Kebenaran", adalah bukan kebenaran itu sendiri.

Samphappalãpa : 1). Bergunjing, 2). Omong kosong.

Samudaya : 1). Asal mula, 2). Sebab, 3). Muncul, 4). Sumber dukkha.

Samvara : Pengendalian diri.

Samvatta : Proses perkembangan.

Samvatta-kappa : Masa perkembangan.

Samvatta-vivatta kappa : Banyak masa perkembangan-kehancuran.


Samvega : Perasaan desakan spiritual.

Sangahavatthu : Empat dasar kemurahan hati.

4 Sangahavatthu (4 macam dharma yang menarik hati) :

  1. Dana.
  2. Piyavaca = berbicara lemah lembut dan menarik hati, menimbulkan rasa persahabatan dan kemanfaatan dalam pergaulan.
  3. Atthacariya = Melaksanakan yang bermanfaat, yaitu membantu segala macam pekerjaan, memberi pelayanan yang baik dan memperlihatkan sikap yang menyenangkan,
  4. Samanattata = Tahu diri dan tidak tinggi hati, berusaha menjaga diri tidak menimbulkan hal2 yang tidak baik dan selalu mawas diri dengan berpedoman pada dhamma-vinaya.
Sangha : Persaudaraaan para bhikkhu.
Suatu perkumpulan setidak-tidaknya lima bhikkhu dan bhikkhuni Buddha yang didukung oleh masyarakat yang ada disekitar kehidupan mereka.

Sangha Bhikkhu atau  Sangha Bhikkhuni ada dua macam, yaitu :

1.     Ariya Sangha : Persaudaraan Bhikkhu atau Bhikkhuni suci yang telah mencapai empat tingkat kesucian yaitu Sotapanna, Sakadami, Anagami dan Arahat.

2.     Sammuti Sangha : Persaudaraan Bhikkhu atau Bhikkhuni biasa yang belum mencapai  tingkat kesucian.

Sangharatana : Mustika Persaudaraan para Bhikkhu dan Bhikkhuni.
Sangha sebagai Mustika, karena Sangha merupakan wakil dari Sang Buddha dalam hal memelihara, melestarikan dan mengajarkan Dhamma kepada umat Buddha, dengan adanya Sangha, maka Dhamma masih dapat bertahan.

Sangha oleh umat Buddha diyakini sebagai Mustika, karena sbb ;

1.     Sangha adalah persaudaraan Bhikkhu Ariya yang telah mencapai tingkat kesucian ( Sotapanna, Sakadagami, Anagami dan Arahat).
2.     Sebagai pengawal dan pelindung Dhamma.
3.     Mengajarkan Dhamma kepada orang lain untuk ikut melaksanakannya sehingga mencapai Nibbana.

Saññã /(skt. Samjñã): Pencerapan ( Lihat Huruf “P” : Panca Khanda ).


Saññã Khandha : Kelompok pencerapan (Lihat pada Huruf “P”- Panca Khanda )

Sañña-vedayita-nirodha : Kondisi Lenyapnya Perasaan dan Pencerapan.

Sanni : Memiliki persepsi.

Sankhata : Berkondisi.

Sankappa/(skt.Samkalpa) : Pikiran.

Sankhata dhamma : Keadaan yang bersyarat (lihat huruf “D” pada “Dhamma/Dharma )

Sańkhãra : 1). Perpaduan unsur, 2). Faktor-faktor pikiran

Terdiri dari bagian-bagian dan pada gilirirannya menjadi bagian dari yang lainnya lagi, suatu benda baru ber-eksistensi bila semua bagian-bagian(sebagai prasyarat) terpadu. Rumah misalnya, adalah perpaduan batu-bata, jendela-jendela, pintu-pintu dan atap, dan tidak merupakan bagian tersendiri yang terpisah dari komponen-komponen diatas. Demikian pula manusia. Kita terbentuk dari Lima Unsur (Pañca Khanda)

Sankhära berarti faktor-faktor pikiran, yaitu faktor-faktor pikiran yang meliputi semua keadaan batin yang menyenangkan, tidak menyenangkan dan netral, terdiri atas :

a). terhadap bentuk-bentuk yang dilihat.
b). Terhadap suara-suara yang didengar.
c). Terhadap bau-bauan yang dicium.
d). terhadap rasa-rasa yang dikecap.
e). terhadap sentuhan-sentuhan yang disentuh.
f). terhadap kesan-kesan obyek batin oleh pikiran.

Sankhãra-dukkha : Dukkha sebagai akibat dari keadaan yang berkondisi .

Santapa-dukkha : Penderitaan yang diakibatkan oleh api nafsu-nafsu yang menyebabkan orang kebakaran karenanya.

Santi : Perdamaian.

Santirana : “saat pikiran” yang menyelidiki (yang secara sesaat memeriksa obyek yang dilihat).

Saññojana/(skt. Samyojana) : Belenggu, ikatan, kemelekatan. ( Lihat huruf “M” pada judul Maha Parisuddhi ).

Sappurisa-pañńatti : Hal-hal yang patut dilaksanakan atau ciri orang yang bajik. yaitu:

  1. Dana : Pelepasan barang milik sendiri sehingga mereka dapat berguna bagi orang lain.
  2. Pabbajja : Pelepasan keduniawian.
  3. Matapitu-upatthana : Melindungi dan memelihara orang tua, berusa-ha memberikan kebahagiaan lahir dan batin. (Anguttaranikaya I. 151)
Sappurisa-dhamma : Harta dari orang yang baik. yaitu:

1.     Saddhamma Samannagato: Mempunyai kebajikan 7 macam adalah:
a.  Mempunyai kenyakinan (saddha)
b.  Mempunyai rasa malu (hiri)
c.  Mempunyai rasa takut (ottappa)
d.  Mempunyai banyak pengetahuan (bahussuta)
e.  Mempunyai usaha yang giat (viriya)
f.   Mempunyai kesadaran (sati)
g.  Mempunyai kebjikasanaan (panna)

  1. Sappurisa Bhatti : Bergaul dengan orang baik.
  1. Sappurisa Cinti : Berfikir yang benar, tidak berfikir untuk merugi-kan diri sendiri dan makhluk lain.
  1. Sappurisa Manti : Berunding dengan orang yang baik.
  1. Sappurisa Vaco : Berbicara yang benar, yaitu tidak bicara bohong, tidak menghina dan memfitnah, tidak bicara kasar, tidak omong kosong dan tidak bicara merugikan orang lain
  1. Sappurisa Kammanto : Berbuat yang benar, yaitu tidak melakukan sesuatu yang merugikan orang lain.
  1. Sappurisa Ditthi : Mempunyai pandangan yang benar, yaitu berbuat baik dapat kebaikkan, berbuat jahat dapat kejahatan dan lain-lainya.
  1. Sappurisa Danam Ditthi : Berdana sesuai dengan Sappurisa Dana 8 (8 macam dana dari orang yang baik) (Majjhimanikaya III. 23)
Sarambba-vaca : Kata-kata kemarahan.

Sarira : Badan, tubuh.

Sãsana : 1). Ajaran , 2). Perintah, 3). Doktrin.

Sassata-vada : 1). Faham tentang kekekalan, 2). Teori keabadian.

Sãsavã : Iddhi yang masih disertai kekotoran-kekotoran batin.

Sãsavã-dhammã : Segala macam noda.

Satta/(skt.Sattva) : Makhluk hidup.

Sati/(skt.Smrti) : 1). Perhatian murni, 2). Kesadaran penuh, 3). Kemampuan mengingat.
Upaya untuk selalu sadar dan waspada dalam semua perbuatan serta aktifitas fisik dan mental.

Sati sambojjhanga : Penerangan sempurna kesadaran.

Sati-Sampajañña : 1). Kewaspadaan, 2). Pengertian jelas, 3). Mengetahui diri sendiri.

Sati-Sampajañña adalah kesadaran atau kewaspadaan, penuh perhatian dalam mengamati aktivitas batin dan jasmani, tidak mabuk, lalai, lengah ataupun ceroboh.

Menjaga kesadaran atau kewaspadaan sangatlah penting. Kesadaran yang terjaga dengan baik akan membuat kita bahagia dan sebaliknya kelengahan/mabuk akan menyeret pada penderitaan. Sebagaimana yang dinyatakan Sang Buddha dalam Dhammapada II:1, sebagai berikut:

"Kewaspadaan adalah jalan menuju kekekalan, kelengahan adalah jalan menuju kematian, mereka yang sadar tidak akan mati, mereka yang tidak sadar seperti orang mati."

Satisamvara : Mengendalikan diri dengan perhatian yang benar.

Sati-Bala: 1). Kekuatan dari kesadaran penuh, 2). Perhatian murni .

Satipatthãna : Mengembangkan kesadaran.

Sattha : Sang Guru.

Satta sambojjhanga : Tujuh faktor penerangan sempurna.

Saupadhi : Bersifat keduniawian.

Sikkhã/(skt., Siksã) : 1). Pelajaran, 2). Latihan, 3). Disiplin.

Sila : 1). Kemoralan, 2). Moralitas, 3). Disiplin moral.

Sila mempunyai dasar pemikiran cinta kasih universal (metta) dan belas kasihan ( karuna ) terhadap semua makhluk hidup, yang juga menjadi dasar ajaran Sang Buddha.

A. Pengertian Sila
  • Kehendak atau sikap batin yang tercetus sebagai ucapan benar & perbuatan benar.
  • Cara untuk mengendalikan diri dari segala bentuk-bentuk pikiran yang tidak baik dan merupakan usaha untuk membebaskan diri dari segala akar kejahatan, yaitu : lobha, dosa, moha.
 Usaha untuk menunjang terlaksananya sila dengan baik;
a.    Mempunyai rasa malu untuk berbuat buruk atau jahat ( Hiri ).
b.    Mempunyai rasa takut akan akibat dari perbuatan buruk atau jahat ( Ottappa ).

B. Pembagian Sila menurut jenisnya

1.  Pakati Sila ( Atthangika )
Adalah sila alamiah, yaitu sila atau cara pengendalian diri, seperti  perbuatan benar, ucapan benar dan mata pencaharian benar, yang terdapat dalam Delapan jalan kebenaran Mulia ( Attangika Magga/Hasta Ariya Marga) .

2.  Paññati Sila
Adalah cara untuk mengendalikan diri dari segala perbuatan dan ucapan dengan jalan mentaati atau patuh terhadap peraturan-peraturan yang sesuai dengan adat-istiadat serta peraturan-peraturan yang tidak ada hubungannya dengan kamma/karma.

C. Pembagian Sila menurut Pelaksanaannya

1.  Sikkapada
Yaitu ; melaksanakan latihan-latihan pengendalian diri, seperti : Melaksanakan Pancasila, Attasila, Dasasila dan lain-lainnya.

2.  Caritta Sila
Yaitu; mengendalikan diri dengan jalan menghindari hal-hal yang tidak baik, seperti : Tidak bergaul dengan orang-orang jahat, tidak melakukan hal-hal yang dilarang dan lain sebagainya.

3.  Varitta Sila :
Yaitu : menghindari hal-hal yang tidak baik, seperti : tidak bergaul dengan orang jahat, tidak melaksanakan hal-hal yang dilarang dan lain-lain.

D. Pembagian Sila menurut jumlah latihan.

1.  Cula Sila
Adalah cara pengendalian diri dari segala perbuatan dan ucapan tidak baik. Cula sila merupakan sila yang paling sedikit jumlah peraturannya, dan yang termasuk Cula sila adalah Pancasila Buddhis. ( Lihat huruf “P”: Pancasila )

2.  Majjhima Sila ( Sila untuk para samanera dan bhikkhu ) 
Majjhima sila merupakan sila pertengahan atau sedang dalam jumlah peraturan, beban atau bobotnya. Yang termasuk Majjhima sila adalah Atthasila, yaitu :

 Attha sila 8 (8 macam sila/tata susila) yaitu:

1.         Panatipata Veramani: Menahan diri dari pembunuhan
2.         Adinnadana Veramani: Menahan diri dari pencurian
3.         Abrahmacariya Veramani: Menahan diri dari hubungan kelamin
4.         Musavada Veramani: Menahan diri dari berdusta
5.        Sura  Merayamajja  Pamadatthana  Veramani : Menahan  diri  dari makanan dan minuman yang memabukkan dan ketagihan.
6.        Vikalabhojana Veramani: Menahan diri tidak akan makan setelah pukul 12.00 tengah hari.
7.        Nacca Gita Vadita Visukadassana Malagandha Vilepana Dharana Mandana Vibhusanatthana Veramani: Menahan diri tidak akan menari, menyanyi, bermain musik, melihat pertunjukan, memakai bunga-bungaan, wangi-wangian, pomade dan perhiasan-perhiasan bersolek lainnya.
8.        Uccasayana Mahasayana Veramani: Menahan diri tidak akan memakai tempat duduk dan tempat tidur yang mewah.
(Anguttaranikaya IV. 248)

Dalam Samannaphala Sutta, bagi para Bhikkhu, tidak dibenarkan antara lain melakukan perbuatan yang dapat merusak biji-bijian dan tumbuh-tumbuhan; tidak menimbun makanan dan minuman; tidak menyaksikan pembacaan syair, drama, akrobat, orang mengadu gajah, kerbau, sapi, kambing, domba, kuda, ayam tau burung, tinju, gulat perang-perangan, pawai atau parade; tidak melakukan permainan-permainan; tidak menjadi perantara; tidak berkomat-kamit untuk mengusir setan atau kesialan.

3.  Maha Sila ( Sila untuk para samanera dan bhikkhu ) 
Maha sila adalah sila yang besar atau yang banyak dalam hal beban atau bobot serta jumlah peraturannya. Maha sila dilaksanakan oleh para samanera dan bhikkhu, yaitu Dasasila dan Patimokkha sila.

Dasa sila adalah 10 sila yang harus dilaksanakan, yaitu :

1.         Panatipata Veramani: Menahan diri dari pembunuhan
2.         Adinnadana Veramani: Menahan diri dari pencurian
3.         Abrahmacariya Veramani: Menahan diri dari hubungan kelamin
4.         Musavada Veramani: Menahan diri dari berdusta
5.        Sura Merayamajja Pamadatthana Veramani: Menahan diri dari makanan dan minuman yang memabukkan dan ketagihan.
6.        Vikalabhojana Veramani: Menahan diri tidak akan makan setelah pukul 12.00  tengah hari.
7.        Nacca Gita Vadita Visukadassana Veramani: Menahan diri tidak akan menari,  menyanyi, bermain musik, melihat pertunjukan.
8.        Malagandha Vilepana Dharana Mandana Vibhusanatthana Veramani: Menahan diri tidak akan memakai bunga-bungaan, wangi-wangian, pomade dan perhiasan-perhiasan bersolek lainnya.
9.        Uccasayana Mahasayana Veramani: Menahan diri tidak akan memakai tempat duduk dan tempat tidur yang mewah.
10.     Jatarupa Rajata patiggahana Veramani: Menahan diri tidak akan menerima mas dan perak (berarti uang).(khuddakapatha I.1)

Dalam Samannaphala Sutta, bagi para bhikkhu tidak mencari penghasilan dengan melakukan ramalan nasib orang dengan melihat garis tangan, meramal mimpi, halilintar, tanda-tanda pada bagian tubuh, gigitan tikus, panjang  umur, kalah dan menang, gerhana matahari atau bulan, meteor, hujan, mengucapkan mantra ular, tikus, burung untuk keberuntungan, kesialan, menggugurkan kandungan, untuk membuat orang menjadi tuli, membuat laki-laki bertambah jantan atau impoten, berpraktik seperti dokter bedah dan anak.

Selain sila tersebut didepan, yaitu cara pengendalian diri yang keras dari perbuatan, ucapan dan pikiran, masih terdapat satu lagi cara untuk mengendalikan diri, yang menitik beratkan pada pembersihan batin dengan jalan melaksanakan hidup sebagai seorang pertapa, yaitu latihan “Dhutanga“. Dhutanga merupakan latihan pengendalian diri yang keras dan berat, misalnya seperti hanya makan sekali sehari, tinggal dibawah pohon, hanya memiliki jubah Ticivara, tidak membaringkan diri kecuali jalan dan duduk dll. Sebab Sang Buddha menghindari pelaksanaan latihan-latihan yang menyiksa diri atau merusak badan jasmani.

Sila-visuddhi : Kesucian Sila sebagai hasil dari pelaksanaan Sila dan terkikis habisnya Kilesa.(lihat huruf “V” Visuddhi Magga ).

Sila sikkha : Latihan Moral.
Latihan moral yang meliputi; Ucapan benar, Perbuatan benar dan Mata pencaharian benar.

Bersambung ke-------Buku Pintar Agama Buddha (S 3)