Minggu, Juni 19, 2011

Manfaat ke Vihara


MANFAAT KE VIHARA

Kumpulan Ceramah Dhamma
Bhikkhu Uttamo Maha Thera


Mendengarkan dan berdiskusi Dhamma pada saat yang sesuai,
itulah Berkah Utama
(Manggala sutta)

Jikalau kita renungkan, setiap tahun terhitung ada sekitar 52 minggu.
Selama itu, berapa kali kita tidak hadir ke vihara?
Dalam 52 minggu yang ada berapa kali kita hadir di vihara?

Ada umat yang hadir sebanyak 30 kali, ada pula umat yang hadir kurang dari 30 kali. Kadang-kadang malah ada umat yang hanya hadir 4 kali dalam setahun, yaitu: Pada perayaan Magha Puja, Waisak, Asadha, serta Kathina. Jadi, ada umat yang hadir ke vihara sebanyak 4 kali, 14 kali, tetapi jarang ada umat yang dapat hadir penuh sampai 52 kali setahun. Alasan mereka macam-macam, salah satunya:

Sibuk. Menghadiri puja bakti secara rutin memang cukup sibuk. Namun bila kita melihat kesibukan para pejabat tinggi negara kita, di tengah kesibukannya mereka masih dapat melaksanakan ibadahnya dengan khusuk lima kali sehari. Apabila kita seminggu sekali saja tidak memiliki waktu, apakah berarti kita memang lebih sibuk daripada para pejabat tersebut? Hanya kita sendirilah yang tahu jawaban sesungguhnya.

Sebetulnya kita bukanlah sibuk, hanya saja tidak mau menyisihkan waktu untuk kebaktian. Kesibukan sesungguhnya dapat kita atur sendiri, karena memang kita sendirilah yang membuat kesibukan.

Saat tidur saja dapat pula dianggap kesibukan. Kalau kita sedang tidur, kita dapat mencantumkan tulisan: Jangan ganggu, sedang sibuk. Telpon pun tidak mau menerima. Sepertinya kita sibuk, padahal kegiatan kita hanyalah tidur.

Jadi, kalau kita mengatakan: "Saya sungguh sibuk," pada saat kebaktian, pada saat itu mungkin kita masih ingin tidur. Oleh karena itu, dalam satu tahun yang terdiri dari 52 minggu yang telah dijalani, berapa kali kita telah pergi ke vihara? Ini masih menjadi tanda tanya. Dan yang dapat menjawabnya adalah diri kita sendiri. Orang lain mungkin tidak akan sempat mencatat kehadiran kita. Hari ini si A hadir, si B tidak hadir, si C hadir, si D tidak hadir. Tidak mungkin. Yang mencatat kehadiran kita adalah diri kita sendiri.

Hadir dalam puja bakti sesungguhnya sangat penting artinya. Kenapa demikian? Karena dalam etika ajaran Sang Buddha, kita harus hadir pada setiap hari kebaktian. Dari manakah etika itu muncul?

Mungkin kita sempat berpikir, "Dalam kitab suci Tri Pitaka tidak pernah disebutkan bahwa kita harus hadir dalam kebaktian baik pada hari Minggu atau pun bukan." Memang dalam kita suci Tri Pitaka tidak disebutkan hari Minggu harus kebaktian. Tetapi hendaknya kita ingat, dalam kitab suci kita, Tri Pitaka, diceritakan bahwa para murid Sang Buddha pada hari Uposatha, yang pada jaman itu jatuh pada tanggal 1, 8, 15, dan 23 menurut penanggalan bulan (Imlek), mereka datang menemui Sang Buddha.

Mereka bersujud di hadapan kaki Sang Buddha. Sang Buddha kemudian membabarkan Dhamma kepada mereka, sehingga muncullah kebahagiaan dalam diri mereka. Inilah awal mula adanya tradisi kebaktian dalam Agama Buddha. Itulah saat melaksanakan Puja Bakti yaitu pada hari Uposatha, tanggal 1, 8, 15, 23 menurut penanggalan bulan atau Imlek. Kemudian setelah Sang Buddha wafat maka tempat duduk Sang Buddha lah yang dijadikan obyek pemujaan.

Maka ketika kita ditanya: "Hendak ke mana?"

Jawabnya bukanlah: "Hendak sembahyang", Bukan !.

Kita sebenarnya tidak pernah sembahyang. Umat Buddha tidak bersembahyang, tetapi melakukan Puja Bakti. Istilah 'sembahyang' berarti menyembah Hyang atau dewa. Kita bukanlah penyembah dewa, dan kita juga tidak pernah meminta-minta kepada dewa: "Dewa angin, percepatkanlah mobil saya ini supaya saya tidak terlambat datang ke vihara." Itu adalah sembahyang. Kita tidak pernah demikian !.

"Dewa pintar, ubahlah diri saya menjadi anak yang pandai sehingga saya mampu mengerjakan semua ulangan ini dengan baik." Itu adalah sembahyang. Kita, umat Buddha tidak pernah melakukannya.

"Dewa mabuk, buatlah semua guru sekolah saya menjadi mabuk dan pusing sehingga hari ini sekolah diliburkan." Tidak ada dalam pengertian Agama Buddha rumusan permohonan seperti itu.

Sekali lagi, para umat Buddha tidak pernah sembahyang melainkan melakukan puja bakti!

Istilah 'Puja Bakti' memiliki pengertian bahwa kita memuja, menghormat, dan berbakti dengan menjalankan ajaran Sang Buddha.

'Pemujaan' timbul ketika pada jaman dahulu, para bhikkhu dan murid Sang Buddha lainnya bersujud kepada Sang Buddha. Mereka memuja, menghormat dengan membawa bunga, dupa dan lilin. Kalau sekarang, bunganya sudah disediakan di vihara, lilinnya juga sudah dihidupkan, jadi orang tinggal memasang dupa saja. Begitulah tradisi pemujaan.

Kemudian tentang istilah berbakti. Ketika kita membaca Paritta sebenarnya adalah merupakan pengganti khotbah Sang Buddha, mengulang khotbah Sang Buddha, merenungkan isinya dan membawanya pulang ke rumah untuk dilaksanakan dalam kehidupan kita sehari-hari. Itulah makna istilah Puja Bakti.

Sejak jaman Sang Buddha, sebulan 4 kali yaitu tanggal 1, 8, 15, 23 diadakan pertemuan di vihara dan pembabaran Dhamma. Oleh karena itu, setelah Sang Buddha wafat, tempat duduk Sang Buddha atau simbol-simbol yang berhubungan dengan ajaran Sang Buddha -seperti misalnya bunga teratai, pohon bodhi, cakra, stupa, dan kemudian perwujudan Sang Buddha menjadi obyek pemujaan. Mereka datang di hadapan Buddha rupang, memasang dupa, lilin, menghormat dan kemudian berbakti dengan mengulang, mengingat serta melaksanakan Ajaran Sang Buddha. Dengan demikian, maka terbentuklah etika umat Buddha bahwa pada hari yang sudah disepakati mereka mengadakan Puja Bhakti.

Kalau pada jaman dahulu jatuh setiap tanggal 1, 8, 15, 23, kesepakatan kita sekarang adalah setiap hari Minggu saja. Kenapa?

Karena tanggal 1, 8, 15, 23 itu kadang-kadang jatuh pada hari kerja, dan kalau pada hari kerja alasan sibuk tentu akan lebih banyak muncul. Dengan mengingat bahwa etika seorang umat Buddha seminggu sekali bertemu dengan Sang Buddha, bertemu dengan Dhamma, bertemu dengan Sangha, untuk mendengarkan Dhamma kemudian melaksanakannya di dalam kehidupan sehari-hari, maka hendaknya hari apapun kesepakatan kita mengadakan puja bakti, kita harus berusaha datang. Itu adalah etikanya.

Pada jaman dahulu di masa Sang Buddha, kalau di vihara sedang ada ceramah Dhamma, ada Puja Bakti, maka di halaman vihara itu dinaikkan selembar bendera. Dari kejauhan kibaran bendera itu telah nampak. Apakah maksudnya? Dengan melihat bendera itu, orang yang datang dari jauh akan segera mengetahui bahwa Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma. Mereka kemudian akan berjalan dengan hati-hati, tenang serta menghindari suara berisik agar tidak mengganggu kekhusukan dan kekhidmatan vihara. Jadi semua kendaraan -di jaman itu kereta- langsung diparkir.

Pada waktu berziarah ke India, di sebuah bukit kita diberitahu bahwa Raja Bimbisara bila naik ke bukit itu untuk menjumpai Sang Buddha, keretanya diparkir di suatu tempat di bawah bukit. Areal parkirnya masih ada. Kemudian di tengah bukit ada sebuah gardu tempat Raja Bimbisara meninggalkan para pengawalnya.

Raja Bimbisara masih diiringi dua atau empat pengawalnya. Ketika lebih dekat dengan tempat Sang Buddha tinggal, di gardu terakhir, para pengawal ditinggal di situ, agar tidak menimbulkan keributan. Barulah Raja Bimbisara naik ke puncak bukit sendirian untuk bertemu dengan Sang Buddha. Jadi bila telah terlihat kibaran bendera di atas bukit, orang akan segera tahu bahwa Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma karena itu semua orang harus menjaga ketenangan. Tenang bukan berarti tidak bergerak, melainkan berjalan dengan diam agar tidak mengganggu orang lain yang sedang mendengarkan khotbah Sang Buddha.

Inilah latihan kedisiplinan sekaligus memperhatikan kebutuhan orang lain yang sesungguhnya ada dalam ajaran Sang Buddha. Mereka datang untuk Sang Buddha, mereka datang untuk mendengarkan Dhamma.

Oleh karena itu, kadang-kadang terpikir: "Bagaimanakah seandainya di cetiya ini bila sedang ada kebaktian dipasangi bendera?" Artinya, begitu lagu pembukaan 'Mari kita ke vihara' dinyanyikan seperti tadi, langsung bendera dinaikkan. Jadi, umat yang datang dengan naik sepeda motor segera mematikan mesinnya. Sepeda motornya dituntun. Tetapi apakah hal ini dapat dilaksanakan? Malah timbul kekhawatiran, jangan-jangan begitu melihat bendera sudah dinaikkan, para umat yang terlambat kemudian berpikir: "Kebaktian sudah mulai. Kita terlambat. Kita jalan-jalan ke plaza saja." Sungguh ironis.

Pada jaman dahulu begitu orang menyadari dirinya terlambat hadir maka mereka segera bergegas namun tetap menjaga ketenangan agar dapat mengikuti khotbah Sang Buddha. Pada jaman ini bila dipasang bendera sebagai tanda kebaktian sudah mulai maka umat yang sudah sampai di jalan masuk ke vihara pun dapat berbalik, batal ikut puja bakti. sekarang, umat yang sudah ada dalam lingkungan vihara juga ada kemungkinan tidak mengikuti puja bakti. Mereka lebih senang jadi tukang parkir, ngobrol di pintu depan maupun di atas sepeda motor. Mungkin mereka dahulu adalah para pengawal Raja Bimbisara, jadi tukang parkir kereta Raja. Padahal dalam 7 hari ada 6 hari kita mempunyai waktu untuk ngobrol dengan kawan-kawan. Ke vihara hendaknya benar-benar kita pergunakan untuk puja bakti. Marilah kita memulai kebiasaan yang baik ini.

Jadi, inilah salah satu pokok ajaran agama Buddha, wajib mengikuti puja bakti. Oleh karena itu, jangan pernah bangga dengan mengatakan: "Dalam setahun, saya hanya sekali mengikuti puja bakti. Pada perayaan Waisak saja." Apakah yang pantas dibanggakan? Menjadi orang yang malas dan tidak melakukan kewajiban sebagai seorang umat Buddha kok disombongkan. Kalau dalam mengikuti kuliah 51 kali tidak hadir dari 52 kali yang seharusnya diikuti maka kita pasti tidak akan lulus. Dalam aturan perguruan tinggi bila seseorang mahasiswa mengikuti kuliah tidak kurang dari 75% setahunnya, barulah ia diperbolehkan mengikuti ujian. jadi kita hendaknya jangan malah sombong dengan jarang mengikuti puja bakti. Kejelekan dan kemalasan hendaknya tidak diternakkan. Tidak dipamerkan.

Sekarang, bila kita telah berada dalam vihara hendaknya kita mengikuti pembacaan paritta dan uraian Dhamma dengan sungguh-sungguh. Ada beberapa umat yang pergi ke vihara hanya untuk bertukar cerita saja, justru pada saat uraian Dhamma diberikan. Jadi di depan ada acara ceramah, di belakang mendongeng sendiri. Sikap demikian ini jelas keliru. Kita harus sungguh-sungguh mendengarkan Dhamma. Bila kita memiliki kewajiban pergi ke vihara maka mendengarkan uraian Dhamma adalah kewajiban kita pula. Cobalah kita simak kotbah Sang Buddha tentang Berkah Utama, kita akan menemukan bahwa mendengarkan dan berdiskusi Dhamma pada saat yang sesuai adalah merupakan Berkah Utama.

Saudara, setelah kita mendengarkan Dhamma, apakah yang kemudian harus kita kerjakan?

Kita hendaknya merenungkan Dhamma itu agar dapat kita laksanakan di dalam kehidupan sehari-hari. Siapa pun yang memberikan pembabaran Dhamma janganlah dibeda-bedakan. Hal yang terpenting adalah memperhatikan isi ceramah Dhammanya. Saat ini, di antara para umat Buddha masih sering membedakan siapa yang memberikan ceramah Dhamma, bukan memperhatikan hal yang diceramahkan. Kenapa demikian? Kadang-kadang si penceramah memang masih suka marah-marah. Sewaktu dia mengajarkan tentang kesabaran dan pengembangan cinta kasih kepada semua makhluk, kita mungkin akan menertawakannya dalam hati. Ini pun merupakan kekeliruan. Kenapa demikian? Dia sebagai manusia memang punya kesalahan serta kekurangan. Tetapi ingatlah, ceramah yang diberikannya adalah sabda Sang Buddha. Buddha Dhamma inilah yang perlu kita dengarkan. Seandainya kita mendengarkan lagu Buddhis dari kaset. Kita hanya akan mendengarkan isi lagunya. Kita tidak akan mempermasalahkan merk tape-nya. Pokoknya yang penting kita mau mendengarkan dan menikmati lagunya. Tape modelnya apapun, terserah.

Demikian pula dengan orang yang berceramah, itu pun tidak penting, yang penting adalah isi ceramahnya, Buddha Dhamma. Selama ia membabarkan dengan benar kotbah Sang Buddha, kita hendaknya selalu menyimak ceramah tersebut dengan sungguh-sungguh. Inilah hal pokok yang pantas direnungkan.

Dalam satu tahun -52 minggu itu- berapa kali kita tidak hadir di vihara?
Sekarang, kalau kita sudah menyadari bahwa di tahun yang telah lalu itu telah banyak kesalahan yang kita lakukan, banyak tidak hadir di vihara, maka bertekadlah bahwa mulai minggu depan, kalau bisa 52 minggu sungguh-sungguh akan selalu kita pergunakan untuk mengikuti puja bakti di vihara. Ini penting. Kenapa demikian?

Di dalam mengikuti agama Buddha, puja bakti termasuk urutan yang pertama. Sebab puja bakti termasuk dalam langkah-langkah untuk mengembangkan keyakinan pada Ajaran Sang Buddha, yaitu Saddha.

Keyakinan yang kuat diwujudkan dengan selalu mengikuti kegiatan puja bakti. Siapa pun yang ceramah, di mana pun viharanya, kita hendaknya selalu datang ke vihara. Apabila kita sedang berada di kota Malang, datanglah ke vihara di Malang. Begitu pula bila kita sedang mengunjungi kota Surabaya, Yogyakarta, Jakarta dan segala tempat yang ada, selalulah bertanya: "Di manakah vihara di sini?" Kalau perlu, hubungilah dahulu para bhikkhu setempat untuk meminta keterangan, jadwal puja bakti dan alamat vihara di sana. Jadi setiap hari kebaktian, biasanya hari Minggu, kita tidak akan ketinggalan melakukan Puja Bakti.

Puja Bakti menempati urutan nomor satu. Karena puja bakti akan menimbulkan ketenangan dalam diri kita. Apalagi bila susunan acara dalam Puja Bakti ditata dengan baik. Puja bakti hendaknya diawali dengan menyanyikan sebuah lagu Buddhis. Setelah mendengarkan uraian Dhamma, bersama-sama menyanyi sebuah lagu Buddhis lagi. Ketika puja bakti akan ditutup, sekali lagi menyanyi bersama.

Susunan puja bakti semacam ini akan menimbulkan kegembiraan di hati para umat Buddha yang mengikutinya. Apalagi bila sewaktu menyanyikan lagu-lagu Buddhis diiringi pula dengan berbagai alat musik. Sungguh sangat mengesankan. Hasilnya, umat yang terkesan akan datang setiap hari Minggu mengikuti puja bakti. Akhirnya, mengikuti puja bakti akan menjadi salah satu kebutuhan pokoknya.

Begitu pula dengan irama pembacaan Paritta, hendaknya tidak terlalu lambat sehingga umat timbul kebosanan dan mengantuk. Sebaliknya, juga jangan terlalu cepat karena umat yang telah lanjut usia akan kesulitan untuk mengikutinya. Irama pembacaan Paritta hendaknya tidak terlalu cepat ataupun terlalu lambat. Disesuaikan dengan keadaan.

Hanya saja puja bakti bukanlah segalanya. Puja bakti tidak akan menyelesaikan masalah hidup yang sedang kita hadapi. Kebaktian merupakan kegiatan yang dapat menimbulkan ketenangan, tetapi belum dapat menyelesaikan masalah. Dalam melakukan puja bakti, untuk para umat Buddha yang sibuk, di rumah sebaiknya memiliki sebuah cetiya. Pada waktu pagi dan sore, kita dapat membaca Paritta sendiri, di rumah masing-masing, sekaligus mengajarkan anak-anak membaca Paritta. Kemudian bila tiba hari Minggu atau hari kebaktian yang sudah ditentukan di kota itu, bila ada kesempatan, datanglah ke vihara bersama-sama keluarga untuk mengikuti puja bakti.

Kadang ada umat yang berpendapat bahwa karena di rumahnya sudah memiliki cetiya, maka ia tidak perlu lagi mengikuti puja bakti di vihara. Memang, kalau hanya membaca Paritta saja, kita cukup lakukan di rumah masing-masing.

Namun, tadi telah dibahas bahwa membaca Paritta atai kebaktian itu baru langkah yang pertama. Setelah membaca Paritta, kita masih perlu mendengarkan uraian Dhamma. Uraian Dhamma inilah yang sulit untuk kita dapatkan di rumah sendiri. Apabila kita pergi ke vihara maka pada saat kebaktian pasti ada pembabaran Dhamma. Dan, pada waktu mendengarkan uraian Dhamma perlu diingatkan lagi jangan kita melihat orang yang membabarkannya melainkan dengarkanlah isi ajarannya. Kalau memang terpaksa kita tidak memiliki kesempatan untuk mengikuti puja bakti di vihara, maka di rumah setelah kita membaca Paritta, kita dapat mendengarkan Dhamma dari kaset ceramah yang sekarang sudah amat gampang didapat. Setengah jam cukup, dengarkanlah satu muka dulu. Lebih baik kalau sampai habis ceramahnya. Dengarkan saja. Kegiatan itu akan bermanfaat bagi diri kita sendiri. Kenapa demikian? Sebab ceramah Dhamma itu akan menjadi pedoman hidup diri kita sehingga kita akan merasa mantap menjalani kehidupan ini. Kita akan mempunyai pegangan bahwa perbuatan ini benar, perbuatan itu salah. Hal ini benar, hal itu keliru. Dengan demikian kita akan melakukan perbuatan yang benar dan menghindari perbuatan yang keliru.

Jadi apabila kebaktian dapat menimbulkan ketenangan batin maka ceramah Dhamma akan memberikan jalan keluar atas masalah hidup kita.

Sering kita dengar dari orang-orang yang semula beragama Buddha kemudian pindah agama, bila ditanya alasannya meninggalkan Agama Buddha?, biasanya dijawab: "Saya tidak menemukan kebahagiaan di agama Buddha."

Kalau kemudian ia ditanya: "Sudahkah kamu melaksanakan Ajaran Sang Buddha?"

"Sudah sejak dari kecil saya mempelajari agama Buddha."

Memang mungkin ia sejak kecil telah mengikuti agama Buddha namun hanya ikut puja bakti atau hanya melaksanakan tradisi saja. Padahal puja bakti hanya salah satu kegiatan sebagai umat Buddha.

Sudahkah ia mendengarkan Dhamma? Mungkin jawabnya: "Sudah biasa mendengarkan Dhamma." Kalau begitu apakah ia sudah melaksanakan Ajaran Sang Buddha? Kalau hanya mendengarkan Dhamma saja, kita hanya akan menjadi perpustakaan, kumpulan ilmu pengetahuan tentang Ajaran Sang Buddha, kurang bermanfaat, kosong. Mendengarkan Dhamma, membaca buku-buku Dhamma saja, hal itu hanya menjadikan kepala kita seperti perpustakaan.

Mengetahui segalanya, Empat Kesunyataan Mulia, riwayat Sang Buddha, namun tidak dapat memanfaatkannya dalam kehidupan sehari-hari, orang semacam itu bukanlah jenis umat Buddha sejati.

Oleh karena itu, selain mengikuti puja bakti, mendengarkan uraian Dhamma maka setelah pulang ke rumah, renungkanlah uraian Dhamma yang baru didengarkan dengan baik dan berusahalah untuk melaksanakannya. Dengan merenungkan Dhamma akan memantapkan diri kita dalam menentukan hal yang benar sebagai kebenaran dan hal yang salah sebagi kesalahan. Dengan demikian, kita pasti akan melakukan yang benar dan meninggalkan yang salah. Bila dalam mempelajari Dhamma orang telah mencapai tingkat ini, pastilah dia akan berbahagia di dalam Dhamma.

Beberapa waktu yang lalu saya bertemu dengan seorang ibu. Ibu ini baru saja kematian anak lelakinya yang masih muda dan baik hati. Tingkah laku anak ini sangat baik, wajahnya tampan, bahkan kelihatannya ia paling tampan sekeluarga. Ia juga anak yang paling sering memperhatikan keadaan orang tuanya. Kalau dia hendak makan, misalnya, dia pasti mencari ibunya terlebih dahulu. Ia akan mengajak ibunya makan bersama. Ia pula yang akan mengambilkan nasi serta lauknya untuk sang ibu tersayang.

Selain baik perilakunya, sekolahnya pun cukup pandai. Bahkan sebentar lagi ia akan diwisuda sebagai sarjana S2. Selain itu, dalam waktu dekat ia juga akan segera bertunangan. Namun, siapa sangka kalau ia akan meninggal. Ia meninggal dalam usia yang relatif masih sangat muda. Kepergiannya menimbulkan stress keluarganya. Shock.

Namun sewaktu saya bertemu dengan ibunya kemarin, kira-kira setelah lebih 100 hari wafatnya sang anak, ibu tadi mengatakan bahwa seandainya ia tidak mengenal dan melaksanakan Buddha Dhamma dengan baik, maka ia bisa menjadi gila. Memang, pada waktu ia berkata demikian sepasang matanya masih merah menahan isak tangis. Ibu ini termasuk salah satu donatur vihara yang setia.

Dari pengamatan, tidak jarang kita jumpai seorang donatur vihara yang mengalami kesulitan hidup. Sebenarnya hal ini adalah biasa. kesulitan hidup akan menerpa siapapun juga, baik para donatur vihara ataupun bukan. Kesulitan hidup adalah karena buah karma buruk yang sedang dipetik. Tetapi kadang muncul pikiran negatif dalam diri para donatur tersebut. Ia mengeluh kenapa buah kebaikannya sebagai donatur berakibat penderitaan dan kesedihan? Dahulu sewaktu ia masih sering melakukan pelanggaran sila, hidupnya malah tidak banyak mengalami penderitaan, tidak pernah usahanya merosot, maupun kematian anaknya. Sama sekali tidak pernah. Sekarang setelah beberapa lama menjadi donatur, sponsor vihara, hidupnya malah terasa sulit. Kesimpulan pendek yang diambil adalah lebih baik tidak usah menjadi donatur saja. Ada beberapa orang yang memiliki pandangan salah seperti itu. Bahkan ada seorang pemborong yang juga mengeluh bahwa jika ia membantu membangun untuk vihara yang dikerjakannya dengan sukarela dan gratis, malah pekerjaan pokoknya menjadi sepi. Akan tetapi bila ia menolak membantu pembangunan di vihara maka pekerjaan pokoknya lancar kembali, sampai-sampai ia kewalahan.

Kenyataan seperti ini sering menggoyahkan keyakinan seorang umat Buddha. Keyakinan dapat goyah karena pengertian akan Hukum Karma masih belum terlalu dimengerti. Ia masih kurang dalam melaksanakan Ajaran Sang Buddha. Dalam contoh ibu yang ditinggalkan anak tersayangnya tadi, kelihatan jelas keyakinannya kepada Ajaran Sang Buddha. Ibu tadi tidak menyesali perbuatan baiknya yang kelihatannya berbuah penderitaan. Ibu tersebut justru mengucapkan kebahagiaannya karena telah mengenal Buddha Dhamma sehingga mampu dengan tegar menghadapi kenyataan hidup yang amat pahit itu. Ia tidak menjadi gila karena pengalaman pahitnya. Inilah manfaat Dhamma yang dirasakannya. Inilah bukti kenyataannya. Ia dapat menyadari bahwa merelakan anaknya lahir kembali adalah merupakan dana yang sangat besar, jauh lebih besar daripada dana yang telah diberikannya selama ini. Kepergian sang anak adalah merupakan bagian dari perjalanan karma. Setelah mendengarkan keterangan ini, ibu itu mulai dapat menenangkan pikirannya. Ketenangan ini muncul karena sang ibu tadi telah memiliki Dhamma sebagai pegangan hidup. Andaikata sang ibu hanya melaksanakan puja bakti saja maka tidak mungkin ia akan kuat menghadapi kematian anaknya yang tragis itu. Sesungguhnya memang puja bakti bukanlah penyelesaian atas suatu permasalahan. Puja bakti hanyalah salah satu usaha untuk meningkatkan kebaikan, kebahagiaan, dan ketenangan. Masalah dapat diselesaikan dengan rajin mendengarkan, merenungkan dan melaksanakan Dhamma.

Bekal kita yang ketiga setelah kita rajin melakukan Puja Bakti, lalu gemar mendengarkan Dhamma, maka ketiga adalah:
Suka membabarkan Dhamma dengan mengajak rekan kita berdiskusi Dhamma, misalnya. Membabarkan Dhamma adalah hal yang tidak kalah pentingnya. Apabila pengetahuan dan pengalaman Dhamma kita sudah cukup memadai tetapi tidak pernah diberi kesempatan untuk berkembang dengan diskusi maka pengalaman kita akan lambat tumbuhnya.

Ibarat kita senang bermain badminton tetapi tidak pernah mencari lawan tanding, hanya main dengan tembok maka ketrampilan kita tidak akan berkembang. Kita harus mencari lawan tanding.

Demikian pula dengan pengalaman Dhamma. Kita hendaknya rajin mencari kawan diskusi. Semakin sering kita berdiskusi, semakin bertambah pula pengetahuan Dhamma kita, dan semakin bertambah pula keyakinan kita. Sebenarnya, lawan diskusi adalah teman berpikir. Jadi kalau kita bertemu dengan orang yang sulit mengerti Dhamma hendaknya jangan ia dimusuhi. Ia justru merupakan teman berpikir. Kita hendaknya mencari jalan dan cara supaya dia akhirnya dapat mengerti Dhamma. Jadi, kemana pun kita berada, cobalah berusaha membuka diskusi Dhamma dengan rekan sekitar kita. Hal ini penting sebagai pemacu semangat kita untuk menambah pengetahuan dan keyakinan. Pertanyaan orang lain akan menimbulkan semangat kita untuk berpikir.

Oleh karena itu, bila kita telah sering kebaktian, ada yang sudah 50 kali kebaktian dalam 52 minggu, bolehlah disebut lulus. Sedangkan mereka yang frekuensi kebaktiannya masih di bawah 30 kali setahun, maaf saja, Saudara masih belum lulus, belum jadi umat Buddha yang baik. Anda masih termasuk umat Buddha tradisi, KTP-nya Buddha, tetapi belum melaksanakan ajaran Sang Buddha. Kualitas hidup semacam itu hendaknya diperbaiki dan ditingkatkan. Kalau perlu, pada penanggalan Saudara setiap hari puja bakti diberi tanda agar selalu ingat pergi ke vihara. Ke vihara untuk Puja Bakti bukan untuk menjadi tukang parkir, menjagai sandal, ataupun hanya untuk ngobrol di luar. Itu tak ada gunanya, sama dengan tidak hadir. Ke vihara hendaknya bukan hanya badan saja yang datang, melainkan juga pikirannya, juga telinganya. Kalau badannya di vihara tetapi telinganya untuk mendengarkan gosip di luar, itu juga bukan berarti kita telah pergi ke vihara. Masih tetap dihitung tidak hadir. Masih belum termasuk lulus. Berarti belum tahu aturan untuk ke vihara. Jadi, kalau pergi ke vihara tandailah kalender Saudara. Bila telah genap satu tahun, hitunglah sudah berapa kali kita ke vihara? Bila sudah ke vihara sebanyak 40 kali, bolehlah dianggap lulus. Namun, bila jumlahnya masih dibawah angka 30, berarti belum lulus. Jika dapat hadir ke vihara sebanyak 52 kali, ini dia! Lulus dengan baik, cum laude.

Kiranya, suatu ketika nanti kita perlu mencatat kehadiran umat di vihara, terutama anak-anak. Bila ada anak yang sudah ke vihara setahun sebanyak 52 kali, ia hendaknya diberi hadiah oleh vihara. Kiranya hal itu akan mendorong anak-anak melakukan kegiatan yang bermanfaat. Puja bakti, mendengarkan, dan berbagi Dhamma.

Bila dalam tahun ini kita sudah banyak ke vihara, marilah kita tingkatkan di tahun mendatang: mendengarkan Dhamma dan melaksanakan Dhamma. Namun hal ini juga harus kita selidiki lebih lanjut.

Sudahkah saya memiliki banyak pengetahuan Dhamma? Sudahkah saya menjalani Dhamma? Kalau kita belum banyak mendengar Dhamma, belum punya kaset Dhamma, maka persyaratan untuk lulus juga masih kurang, buku sudah ada, kaset Dhamma juga banyak. Kalau Saudara belum memiliki, persyaratan lulus juga masih kurang. Setelah mempunyai buku Dhamma, kaset ceramah Dhamma, sekarang kita renungkan: 'Sudahkah kita mengenalkan Dhamma kepada orang lain?' perilaku ini termasuk pada nomor 3, berdiskusi Dhamma. Dalam setahun, berapa banyak kita telah mengenalkan Dhamma? Kalau masih belum banyak, masih ada kesempatan untuk kita lakukan mulai sekarang.

Saudara, tiga hal inilah yang hendaknya kita renungkan dan kita kembangkan. Pertama adalah rajin mengikuti kebaktian sebagai hal yang pokok untuk mendapatkan ketenangan secara emosional.

Kedua: mendengarkan Dhamma dan menambah wawasan, sehingga kita punya pegangan hidup untuk kehidupan kita sehari-hari.

Dan ketiga: carilah teman diskusi, karena hal itu akan memperkuat keyakinan kita pada ajaran Sang Buddha, sekaligus kita memiliki kesempatan untuk membagikan Dhamma kepada pihak lain. Dalam ajaran Sang Buddha disebutkan bahwa dari semua pemberian, Pemberian Dhamma-lah yang paling tinggi nilainya.


Sumber: Website Buddhis Samaggi Phala,


Salam Metta,


Sabbe satta bhavantu sukhitatta
Semoga semua makhluk berbahagia

]˜

Agama Buddha masa kini


AGAMA BUDDHA MASA KINI

Oleh: Ven. Piyadassi Mahathera

Judul Asli: Theravada
Budhism, Present Situation; dari buku W.B.F. Unity Of Diversity; The World
Fellowship Of Buddhists Headquarters Bangkok, Thailand (penerbit)

Agama Buddha, pertama dibabarkan oleh Sang Buddha sendiri dan kemudian bersama dengan murid-murid Beliau yang telah mencapai tingkat Arahat. Selama dua ratus tahun pertama dalam sejarahnya, agama Buddha hanya ada di India bagian Utara. Kemudian hadirlah Raja Asoka, seorang penguasa dunia yang unik, yang menerima ajaran Sang Buddha dan berusaha untuk mendidik rakyat India dengan cara menyebarkan ajaran Buddhis tersebut, terutama aspek etikanya. Asoka memerintahkan agar ajaran-ajaran itu dipahatkan pada batu-batu besar. Maka ajaran-ajaran itu pun menjadi khotbah pada batu dalam pengertian sebenarnya, bukan secara kiasan. Asoka sangat terkesan pada jiwa toleransi yang besar, yang diajarkan oleh Sang Buddha, dan di bawah kepemimpinan raja ini agama-agama lain menikmati kebebasan penuh tanpa tekanan dan halangan.
       
Menyadari pentingnya
manfaat yang akan diperoleh dari ajaran tentang welas asih dan kebijaksanaan seperti yang diajarkan oleh Sang Buddha ini. Raja Asoka mengerahkan segenap usahanya untuk menyebarluaskan ajaran Sang Buddha di luar India.
       
Sejarah agama Buddha tidak dapat dipisahkan dari sejarah budaya Timur dan
masyarakat Timur. Di antara semua pengaruh yang membentuk budaya Asia, agama Buddha merupakan salah satu yang paling dalam. Selama lebih dari 2.500 tahun, prinsip dan ide Buddhis telah mewarnai pemikiran dan perasaan masyarakat Timur.
       
Pengaruh agama Buddha pada dunia Barat dapat dilihat kembali pada masa sebelum
era Kristiani. Karena keterbatasan ruang, hal ini tidak mungkin dijelaskan secara lengkap. Tetapi, masyarakat Eropa hanya mempunyai sedikit gambaran mengenai agama Buddha ketika para pengembara, terutama para misionaris Kristen, berlayar ke Asia pada abad enam belas. Dan para misionaris ini tidak dapat kita harapkan satu versi yang otentik dan tidak bias mengenai apa yang dibabarkan oleh Sang Buddha.

Hal ini dapat dilihat dengan jelas dari tulisan-tulisan tentang agama Buddha
yang dibuat oleh para misionaris di masa lampau. Akan tetapi harus disebutkan bahwa beberapa missionaris Kristen memberikan sumbangan yang berharga pada abad delapan belas dan awal abad dua puluh.
       
Satu penelitian yang dilakukan dengan cermat mengenai sejarah agama Buddha
menyatakan bahwa agama Buddha dulunya telah berada di tangan beberapa ilmuwan yang berurusan dengan 'agama yang hidup' ini, semata-mata hanya dari sudut pandang akademis saja. Sekarang kondisi telah berubah, dan agama Buddha tampaknya telah mengambil peran baru. Dengan semakin banyaknya literatur Bhuddis di dunia Barat, dan dengan semakin banyaknya misionaris Buddhis yang dengan rendah hati telah membuat orang-orang Barat mengenal agama Buddha, maka masyarakat Eropa dan Amerika mulai mengerti bahwa agama Buddha bukan hanya suatu sistem doktrin semata, melainkan suatu cara hidup —suatu cara berlatih
dalam bidang moral, intelektual, dan spiritual, yang menuju pada kebebasan
pikiran sepenuhnya— serta sumber pengetahuan yang tidak ada habisnya, fondasi keagamaan untuk peradaban yang sangat penting di dunia. Tetapi kita tidak boleh melupakan bahwa perubahan baru ini terjadi terutama karena para ilmuwan selama ratusan tahun telah bekerja tak kenal lelah tanpa pamrih.
       
Akhir-akhir ini banyak perubahan yang telah terjadi di Barat. Minat terhadap
agama Buddha, terutama meditasi Buddhis baik Theravada maupun Mahayana, semakin meningkat. Banyak perkumpulan, kelompok, lembaga, kuil Buddhis (yang di Amerika disebut 'Vihara Buddhis') telah berdiri. Segala macam buku tentang berbagai aspek agama Buddha ditulis, baik yang diterbitkan maupun yang hanya untuk kalangan sendiri. Demikian juga, ribuan jurnal dan majalah telah dicetak.

Literatur agama Buddha saat ini, seperti halnya di masa lalu, telah menjadi
aset yang berharga bagi penyebaran agama Buddha di dunia Barat. Dalam jangka waktu tiga puluh tahun, Kandy Publication Society di Srilanka telah menjadi satu penerbit Buddhis yang besar, dengan hasil cetakan lebih dari 2,5 juta. Pemasarannya menjangkau sampai 86 negara, termasuk negara-negara terpencil seperti Iceland, Pulau Figi, dan negara-negara komunis.
       
Majalah berita Buddhis Internasional yang dicetak di Srilanka bernama 'New
World Buddhism', yang memuat segala berita di dunia Buddhis serta artikel-artikel tentang Theravada dan Mahayana, menjadi sangat populer di Barat.
       
The WorldFellowship of Buddhists yang berkantor pusat di Thailand dengan
cabang-cabangnya di banyak negara, serta W.F.B. Review yang diterbitkan setiap empat bulan, telah memegang peran yang sangat berarti dalam menanamkan keyakinan Buddhis yang lebih mendalam dan menguatkan ikatan persaudaraan di antara negara-negara Buddhis.
       
Dewasa ini, ilmu pengetahuan mulai menyerang keras agama-agama yang dogmatis
dan keyakinan buta, sehingga dengan cepat menghilang. Kemajuan pesat yang terjadi di dunia sains saat ini menyebabkan kaum muda mempunyai kejenuhan terhadap agama dogmatis yang tidak menjawab kehausan mereka akan pengetahuan spiritual. Akan tetapi, sains sendiri bukan merupakan pengganti atau alternatif bagi agama. Sains tidak menyatakan demikian dan tidak bertujuan demikian. Sain tidak berhubungan dengan nilai-nilai etika serta spritual, dan tanpanilai-nilai itu sains terbukti lebih merupakan kutukan daripada berkah bagi umat manusia.
       
Kita telah melihat bahaya sains yang kosong dari elemen-elemen etika. Alangkah
mengerikannya akibat bom atom dan senjata , nuklir, tetapi percobaan-percobaan nuklir masih juga terus berjalan. Seperti yang dikatakan Dwight D. Eisenhower almarhum, salah  atu presiden U.S.A.: "Sains tampaknya telah siap menyelimuti kita dengan kekuatan, sebagai hadiah bagi kita, untuk menghapus kehidupan manusia dari planet ini".

Agama-agama tradisional dengan teori-teori kunonya tidak lagi dapat memenuhi tantangan dunia baru yang sedang tumbuh. Generasi muda, terutama di dunia Barat, sedang mencari sesuatu yang baru karena dogma dan teori yang secara tradisional diterima, telah gagal memuaskan mereka.

Pertanyaan mengenai 'diri di dalam' (inner self), 'dunia di dalam' (inner
world) tetap tak terjawab. Nilai-nilai yang ditaruh pada aspek materi kehidupan dianggap sudah seharusnya demikian, sehingga nilai-nilai itu tampak begitu palsu bagi pikiran yang sedang mencari-cari.
       
Masalah di dunia barat pada dasarnya bersifat psikologis. Tampaknya pengetahuan
materi, sains serta teknologi belum memberi manusia jawaban mengenai permasalahan dunia. Pengetahuan seperti itu hanya mengakibatkan lebih banyak masalah yang terus bertambah.
      
Kita memerlukan pesan yang berisi harapan, cinta kasih sejati dan
kebijaksanaan. Mereka yang sedang mencari pesan semacam itu akan mendapatkannya dalam ajaran Sang Buddha.
       
Dua puluh lima abad yang lalu, di Taman Rusa di Sarnath, India, dekat kota kuno
Benares, kita mendengar Pesan Sang Buddha yang mengubah pikiran dan kehidupan umat manusia. Meskipun Pesan ini mula-mula didengar hanya oleh lima pertapa, kini ajaran tersebut telah meresap secara damai ke berbagai sudut dunia, dan besar sekali keinginan untuk mengetahui hal ini secara lebih baik dan lebih mendalam.
       
Jawaharal Nehru, PM India terdahulu, menulis dalam
The Discovery of India (The Signet Press, Calcutta, hal. 44):

'Di Samath, dekat
Benares, rasa-rasanya aku melihat Sang Buddha membabarkan ajaran Beliau yang pertama, dan beberapa kata Sang Buddha yang tercatat bergema padaku melalui kurun waktu dua ribu lima ratus tahun'.

'Pesan Sang Buddha, yang sudah amat lama tetapi tetap terasa
baru serta asli bagi mereka yang terserap dalam pemikiran-pemikiran metafisika, menawan khayalan para intelektual; Pesan itu meresap jauh ke dalam lubuk hati orang-orang itu'. (Ibid. hal. 138)

Zaman demi zaman berlalu,
namun Sang Buddha tampaknya tidak pernah jauh; suara Beliau berbisik di telinga kita dan mengatakan agar kita tidak melarikan diri dari perjuangan ini, melainkan menghadapinya dengan mata yang tenang. Kita harus melihat dalam kehidupan ini kesempatan-kesempatan yang lebih besar untuk terus tumbuh berkembang dan maju'. (Ibid. hal. 143).


Sumber:
PENGABDIAN TIADA HENTI, 20 th Abdi Dhamma Sangha Theravada Indonesia, Penerbit Buddhis Bodhi, 1996.



Salam Metta,

Sabbe satta bhavantu sukhitatta
Semoga semua makhluk berbahagia

]˜