Minggu, Juli 31, 2011

Buddha Dhamma ( Ajaran Sang Buddha)


BUDDHA DHAMMA
(AJARAN SANG BUDDHA)



I. MENUMBUHKAN KEYAKINAN PADA BUDDHA DHAMMA

Untuk dapat mengerti ajaran agama Buddha (Buddha Dhamma), ada 3 jalan yang harus dilaksanakan yaitu :

1. SILA ( latihan kemoralan)
2. SAMADHI ( konsentrasi)
3. PANNA (kebijaksanaan)

Dengan menjalankan SSP , maka akan memiliki SADDHA (Keyakinan).
Dengan memiliki keyakinan akan timbul VIRIYA (semangat), Dengan memiliki keyakinan dan semangat, maka kita akan lebih mudah untuk menghayati dan dan mengamalkan ajaran agama Buddha dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini adalah modal untuk dapat terus maju dalam Buddha Dhamma, yang akan menuntun kita mencapai tujuan akhir umat manusia, yakni Nibbana (Kebebasan Sejati).

II. PERBUATAN BAIK

Perbuatan baik pada dasarnya dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu melalui PIKIRAN, UCAPAN DAN PERBUATAN JASMANI/TINDAKAN.    

Ada sepuluh jenis Perbuatan baik ( Dasa Punnyakiriya Vatthu= Sepuluh cara untuk berbuat kebajikan). yaitu :

1. DANAMAYA
Berdana/ beramal atau bermurah hati.
Pahalanya, akan diperolehnya kekayaan harta dan benda dalam kehidupan ini atau kehidupan yang akan datang.

2. SILAMAYA
Melaksanakan sila atau kelakuan yang bermoral.
Pahalanya, akan menyebabkan kelahiran dalam keluarga luhur yang keadaannya berbahagia.

3. BHAVANAMAYA
Melaksanakan bhavana/pengembangan batin.
Pahalanya, akan menyebabkan kelahiran di alam-alam sorga dan pencapaian kebebasan/kebahagiaan Tertinggi.

4. APACAYANAMAYA
Rendah hati dan menghormat kepada mereka yang patut dihormati.
Pahalanya, akan menyebabkan kelahiran dalam keluarga yang berbudi luhur.

5. VEYYAVACCAMAYA
Memberikan bantuan dan selalu bersemangat dalam melakukan hal-hal yang patut dilakukan.
Pahalanya, akan memperoleh penghargaan dari masyarakat.

6. PATTIDANAMAYA
Mempersembahkan jasa/kebajikan kepada orang tua, leluhur, para dewa serta semua makhluk.
Pahalanya, menyebabkan kelahiran dalam keadaan yang berlebih-lebihan dalam segala hal.

7. PATTANUMODANAMAYA
Turut berbahagia melihat orang lain bahagia, atau bergembira didalam ikut menikmati hasil perbuatan baik orang lain tanpa ada perasaan iri hati.
Pahalanya, akan menyebabkan kelahiran dalam lingkungan yang penuh dengan kegembiraan dan kebahagiaan.

8. DHAMMASAVANAMAYA
Mendengarkan Dhamma.
Pahalanya, akan bertambah kebijaksanaannya.

9. DHAMMADESANAMAYA
Memberikan khotbah Dhamma.
Pahalanya, akan bertambahnya kebijaksanaan.

10. DITTHUJUKAMMAMAYA
Membenarkan, meluruskan pengertian atau pandangan orang lain yang salah.
Pahalanya, keyakinan terhadap Kebenaran menjadi semakin teguh.

“ Tidak melakukan perbuatan jahat,
Tambahkan kebajikan,
Sucikan hati dan pikiran,
Inilah Ajaran Para Buddha.”

III. MEMBUAT HIDUP LEBIH BERARTI

Kapankah umumnya seseorang baru menyadari hidupnya?

Pada umumnya bila ia mengalami:
1. Kejenuhan/kebosanan yang memuncak.
2. Usia Tua/kerentaan.
3. Sakit parah.
4. Terkena musibah (jatuh miskin/bangkrut, kecelakaan parah)
5. Kehilangan orang atau benda yang dicintainya.
6. Terbelenggu (ditahan).
7. dan lain-lain.

Hidup seseorang akan lebih berarti bila :

1. Memiliki pengertian yang benar tentang dirinya sendiri dan alam semesta beserta segala isinya, atau dengan kata lain, mengerti tentang hakikat hidup dan kehidupan ini.

2. Melatih dan mengembangkan potensi, kemampuan dan kelebihan-kelebihan yang ada pada dirinya dengan cara melaksanakan Sila (aturan kemoralan) dan Samadhi (pengembangan batin/meditasi) dengan penuh kesungguhan.

3. Memiliki Kebijaksanaan, penuh cinta kasih dan welas asih kepada manusia atau makhluk-makhluk lain yang masih menderita atau berada dalam kegelapan.

Hasil dari pengembangan potensi diri tersebut digunakan untuk menolong orang lain, demi keselamatan dan kebahagiaan orang lain, dengan cara memberikan perhatian, bimbingan, petunjuk, atau nasihat tentang cara mencapai jalan kebenaran atau kebaikan; dengan berlandaskan atas pikiran yang penuh cinta kasih dan kasih sayang (metta dan Karuna).

IV. PENGENDALIAN DIRI DAN CINTA KASIH YANG SEJATI (METTA).

Hal yang pertama, memiliki pengendalian diri, berarti dapat menahan emosi, memiliki kesabaran, tenang/seimbang batinnya, bebas dari kesalahan atau celaan. Untuk dapat memiliki pengendalian diri yang baik, maka seseorang harus memiliki sila/moral yang baik.

Untuk umat biasa minimal seseorang harus melaksanakan Pancasila/Lima sila, yaitu :

1. Menghindari pembunuhan makhluk hidup.
2. Menghindari mengambil barang yang tidak diberikan.
3. Menghindari perbuatan asusila.
4. Menghindari ucapan yang tidak benar.
5. Menghindari segala minuman keras yang dapat menyebabkan lemahnya kesadaran.

Disamping itu juga seseorang hendaknya memiliki perasaan HIRI dan OTTAPPA.

HIRI adalah perasaan MALU akan perbuatan jahat; karena perbuatan jahat akan mendatangkan celaan, hinaan, dan pandangan rendah dari masyarrakat.

OTTAPPA adalah TAKUT akan akibat dari perbuatan jahat. Karena sesuai dengan hukum karma, bahwa setiap perbuatan akan mendatangkan akibat, demikian pula perbuatan jahat akan mendatangkan akibat berupa penderitaan, baik yang akan dialami pada masa kehidupan sekarang ataupun nanti.

Dengan memiliki HIRI dan OTTAPPA, maka manusia dikatakan memiliki sifat yang luhur, yang membedakannya dari binatang.

Dalam Itivuttaka, dijelaskan adda 4 cara untuk mengembangkan Hiri dan Ottappa, yaitu :

a). Merenungkan akan keturunan.
Misalnya, kita sadar bahwa kita berasal dari keturunan baik-baik, mempunyai orang tua yang berpendidikan, cukup terpandang di masyarakat, maka kita tidak patut untuk melakukan kejahatan.

b). Merenungkan akan usia.
Misalnya, kita sadar bahwa kita sudah dewasa, cukup usia dan telah menjadi orang tua dari anak-anak kita, maka kita tidak patut untuk melakukan kejahatan.

c). merenungkan atas kemampuan.
Misalnya, kita sadar bahwa kita adalah orang yang mempunyai kemampuan, baik dalam pekerjaan atau pendidikan, maka tidak patut melakukan perbuatan-perbuatan jahat seperti yang dilakukan oleh orang-orang jahat.

d). Merenungkan akan Pendidikan
Misalnya, kita sadar bahwa kita adalah orang yang terpelajar, pernah menjadi guru, dosen, pimpinan dsb, maka kita sadar bahwa kita tidak patut melakukan kejahatan, lain halnya dengan mereka yang tidak berpendidikan samasekali, mereka cenderung melakukan perbuatan jahat. tetapi ada juga mereka yang tidak terpelajarpun masih tetap bekerja dengan wajar.

Memiliki Cinta kasih yang sejati (metta)

Yang dimaksud dengan Metta atau Cinta kasih sejati, adalah cinta kasih yang tulus kepada semua makhluk tanpa kecuali, dan mengaharapkan kesejahteraan serta kebahagiaan mereka.

Dalam hal ini Sang Buddha memberikan nasihatnya : “ Bagaikan seorang Ibu yang melindungi anaknya yang tunggal, sekalipun harus mengorbankan jiwanya; demikian juga seharusnya seseorang memiliki dan memelihara Cinta kasih yang tidak terbatas itu kepada semua  makhluk.”

Cinta kasih yang sejati adalah cinta kasih yang tulus, tanpa mengharapkan balasan, tanpa dinodai oleh nafsu apapun juga, cinta kasih yang benar-benar murni, teguh, lembut, sejuk menyegarkan, menuntun seseorang untuk mencapai kemajuan dalam hidupnya; Cinta kasih yang mempunyai sifat memberi lebih banyak daripada menerima. Inilah yang dimaksud dengan Metta atau cinta kasih sejati, yang bila dimiliki oleh seseorang akan memberikan kedamaian dan kebahagiaan dalam hidupnya.

Perasaan Metta ini akan timbul apabila seseorang mengerti tentang hakikat kehidupan ini; mengetahui bahwa setiap makhluk, hidup dalam cengkeraman dukkha, mengetahui bahwa hidup dan kehidupan ini diliputi oleh anicca, dukkha dan anatta. Mereka masih mengalami penderitaan, penyakit, rasa benci, dan kesukaran-kesukaran lainnya dalam kehidupannya. Mengetahui bahwa setiap makhluk memiliki karmanya sendiri, mewarisi karmanya sendiri, lahir dari karmanya sendiri, berhubungan dengan karmanya sendiri, terlindung oleh karmanya sendiri, apapun yang diperbuatnya, baik atau buruk, itulah yang akan diwarisinya.

Dengan mengerti benar akan hakikat hidup dan kehidupan makhluk-makhluk yang tercengkeram oleh dukkha itu, maka sepatutnya kita memiliki perasaan cintas kasih dan belas kasihan kepada mereka; dan berusaha memancarkan cinta kasih, baik kepada diri kita maupun kepada orang lain, dengan cara mendoakan :

Semoga aku berbahagia,
Bebas dari penderitaan,
Bebas dari kebencian,
Bebas dari kesakitan,
Bebas dari kesukaran, dan
Semoga aku dapat mempertahankan kebahagiaanku sendiri.

Semoga semua makhluk berbahagia,
Bebas dari penderitaan,
Bebas dari kebencian,
Bebas dari kesakitan,
Bebas dari kesukaran, dan
Semoga mereka dapat mempertahankan kebahagiaan mereka sendiri.

Apabila kita sering melatih pancaran Metta tersebut, maka kita akan memiliki kekuatan Metta yang mempesona, yang dapat menghancurkan kemarahan, kebencian, ketakutan, kemauan jahat dan keengganan; baik yang ada dalam diri kita sendiri maupun yang ada di dalam diri makhluk-makhluk lain.

Orang yang memiliki metta akan mendapatkan kedamaian dalam hidupnya.

Memiliki Pengendalian diri yang baik dan Metta yang mempesona, dua hal yang akan membawa kita pada hidup yang aman, tentram dan damai, yang diharapkan oleh setiap manusia selaku makhluk sosial.


Disarikan oleh : Tanhadi
dari buku bacaan : Mutiara Dhamma ke 3 (dra. Lanny Anggawati)

Literatur:
Narada Mahathera, Brahma vihara, yayasan Dhammadipa Arama-jakarta 1986.

Tan Chao kun Vijano Vindhurdhammaborn, Dhammavibhaga I, Buddha Metta Arama- Jakarta 1989.


Salam Metta,

Sabbe satta bhavantu sukhitatta
Semoga semua makhluk berbahagia

]˜

Sabtu, Juli 16, 2011

Makna masa Vassa, Kathina dan Siripada puja


MAKNA MASA VASSA, KATHINA DAN SIRIPADA PUJA

Oleh : Bhikkhu Vajhiradhammo

Yassa danena silena,
Sangyamena damena ca,
Niddhi sunihito hoti,
Itthiya purisassa va.

Gemar berdana dan memiliki moral yang baik,
dapat menahan nafsu
serta mempunyai pengendalian diri,
adalah timbunan harta yang terbaik bagi seorang wanita maupun pria.
(Nidhikhanda Sutta, 6)


A. Pendahuluan.

Hari Kathina dirayakan tiga bulan tiga bulan sesudah hari Asadha, perayaan ini diselengarakan para umat Buddha sebagai ungkapan perasaan Kathannukatavedi atau menyadari perbuatan yang telah dilakukan oleh para bhikkhu Sangha. Berdana lebih mulia lagi disertai dengan melakukan kebajikan. Apalagi berdana itu dipersembahkan dengan pikiran yang bersih akan mendapatkan kebahagiaan batin yang luar biasa. Untuk itu diperlukan latihan, tidak bias sehari dua hari.

Cara untuk mempertahankan atau mengembangkan agar batin bersih adalah dengan merenungkan kebajikan atau Dhamma Sang Buddha. Dapat memacakan paritta-paritta suci seperti Buddhanussati, Dhammanussati, Sanghanussati. Jangan terlalu banyak kalau perlu Buddhanussati saja. Dan apabila direnungkan akan menghasilkan ketenangan yang lama kelamaan membuat pikiran kita menjadi tenang, damai, dan tidak ada masalah Kehidupan manusia tidak lepas dari hubungan antar sesamanya, ia masih membutuhkan bantuan atau dukungan dan dorongan dari pihak lainnya. Demikian pula umat mempunyai hubungan yang sangat erat terhadap para bhikkhu, salah satu adalah menyokong kebutuhannya (Sigalovada Sutta, Digha Nikaya III, 31).

Apakah kebutuhan para Bhikkhu sangha itu ?
Mengenai hal tersebut ada empat macam kebutuhan pokok yaitu : pakaian (jubah), makanan, tempat tinggal, dan obat-obatan, itu adalah kebutuhan pokok.

Oleh karena itu para umat Buddha menyokongnya dengan berdana, seperti halnya pada hari Kathina. Setelah masa Vassa (berdiam di satu masa vassa atau musim hujan selama tiga bulan lamanya). Setelah selesai ada hari yang disebut pavarana mengundang para bhikkhu untuk menahkiri Vassa dengan mengadakan pavarana bersama-sama yaitu saling mengundang bhikkhu lain untuk memberikan nasehat atau memberikan maaf, barang kali ada kesalahan. Kemudian ada hari yang disebut hari Kathina didalam ajaran Sang Buddha.

Berdana kepada siapa ?
Sang Buddha pernah dituduh oleh seorang, apakah benar Sang Bhagava mengajarkan bahwa berdana kepada orang yang tidak mempunyai moral itu tidak berguna ? Sang Buddha menjawab, “ Aku tidak pernah mengajarkan bahwa berdana itu tidak ada gunanya. Meskipun orang membuang sisa-sisa makanan dari panci atau mangkok kedalam sebuah tambak atau telaga dan mengharap agar para mahluk dapat memperoleh makanan, perbuatan ini pun merupakan sumber dari kebaikan, apalagi dana yang diberikan kepada sesama manusia” inilah yang Sang Tathagatta ajarkan (Anggutara Nikaya III, 57). “Sang Buddha menyatakan berdana kepada Sangha adalah lebih besar jasanya” .

Di dalam Velumakkha Sutta disebutkan bahwa “berdana kepada orang yang bermoral lebih besar jasanya akan lebih tinggi dari pada orang yang tidak memiliki moral, kepada Sotapana adalah lebih besar daripada orang yang bermoral, kepada Sakadagami lebih besar dari seratus Sotapana, kepada seorang Anagami lebih besar dari seratus Sakadagami. Kepada Arahat lebih besar dari seratus dari Anagami. Kepada Pacekkha Buddha lebih besar seratu dari seorang Samasammbuddha adalah lebih besar dari seratus berdana kepada Pacekkha Buddha. Berdana kepada Sangha lebih besar jasanya dari berdana kepada seorang Sammasambuddha. Dana kepada Sangha tak pernah sia-sia, sekalipun sampai seratus tahun lamanya”.

B. Terjadinya Vassa

Pada zaman dahulu dari negara tidak bepergian selama musim hujan, misalnya pedangan ternak yang merngadakan perjalanan yang jauhuntuk menjual ternaknya, mereka harus menetap selama musim hujan pada suatu tempat karena jalan-jalan berlumpur dan tanah menjadi gembur sehingga tidakmudah untuk melakukan perjalan.

Bhikkhu pada awalnya adalah penerang sempurna dari pertapa Gautama yang sangat sedikit dan bila musim hujan tiba mereka akan selalu berhenti untuk tidak melakukan perjalanan dan masing-masing mengambil tempat tinggal sendiri-sendiri untuk menempatkan tradisi ini sepanjang tahun dalam musim hujan tidak dibuat oleh Sang Buddha. Tetapi ketika jumlah pertapa atau Bhikkhu bertambah banyak, beliau membuat tradisi bagi para bhikkhu harus bertempat tinggal selama musim hujan tiba dan tidak bebergian kemana-mana selama tiga bulan lamanya, maka di namakan hal itu menetap untuk musim hujan. Dengan berbagai permasalhan yang muncul pada saat itu bahwa pad musim hujan banyak tumbuh-tumbuhan yang mulai bersemi dan binatang kecil banyak yang bermunculan. Mengakibatkan tumbuh-tumbuhan yang ditanam oleh para petani pada musim hujan banyak yang rusak terinjak-injak oleh para serombongan bhikkhu yang selalu mengadakan perjalanan.

Melihat peristiwa tersebut banyak masyarakat yang mengkritiknya dengan mengatakan “mengapa para bhikkhu Sakyaputta selalu mengadakan perjalanan pada musim dingin, panas, dan hujan sehingga mereka menginjak tunas-tunas muda, rerumputan dan mengakibatkan binatang-binatang yang kecil mati terinjak ?. Tetapi para petapa yang tidak baik dalam melaksanakan vinaya, mereka menetap selama musim hujan.

Mendegar keluhan masyarakat tersebut, beberapa orang bhikkhu menghadap Samng Buddha dan melaporkan kejadian tersebut. Sang Buddha kemudian memberikan keterangan yang masuk akal dan bersabda, “Para bhikkhu, saya izinkan kalian untuk melaksanakan masa vassa”.Mereka kemudian menayakan hal itu kepada Sang Buddha kapan dimulai masa vassa itu dan berapa banyak masa periodenya ?

Menurut penangalan lunar yang mengadakan di mulainya musim hujan dinamakan vassupaniyika.

Di dalam Vinaya pali, ada dua waktu yang ditetapkan untuk vassa, yaitu
purimika-vassupaniyika (waktu pertama untuk memasuki vassa) dan waktu atau periode kedua adalah pacchima-vassupaniyika (hari memasuki vassa periode terahkir). Untuk memasuki masa vassa ditetapkan pada bulan purnama yang telah lewat satu hari menurut ilmu perbintangan Asadha, yaitu hari pertama bulan pudar pada kedelapan dan hari untuk memasuki periode terahir vassa ditetapkan pada bulan purnama sebulan kemudian, yaitu hari pertama dari bulan menyusut bulan sembilan dalam ilmu perbintangan Asadha.

Bagi para bhikkhu yang memasuki vassa harus mempunyai tempat tinggal berteduh yang ada pintu dan dapat dibuka dan ditutup untuk melindungi diri mereka. Bhikkhu dilarng untuk menghuni tempat-tempat yang tidak sesuai untuk bertempat tinggal, misalnya : tempat untuk penyimpanan mayat, di bawah sebuah paying, tenda kain dibawah kuti, di dalam bejana, di bawah pohon yang besar, dalam pohon yang berlubang atau di tanggul sebuah pohon yang besar.

Mengenai upacara untuk memasuki vassa, dalam Kitab Pali hanyalah dikatakan bagi seorang bhikkhu harus memutuskan atau bertekad untuk hidup di vihara selama tiga bulan. Selama masa vassa bagi para bhikkhu harus berlatih dengan tenang dan dilarang untuk membuat peraturan yang tidak sesuai dengan dhamma. Selaui itu ada peraturan yang harus dilaksanakan dan dijalankan oleh para bhikkhu selama masa vassa yaitu : tidak meninggalkan tempat tinggal selama lebih tujuh hari yang disebut sattaha karaniya (tujuh hari untuk apa yang harus dikerjakan) atau sattha pendek. Jika tidak, maka vassa bhikkhu itu tidak berlaku lagi.Seorang bhikkhu diperbolehkan meninggalkan tempat apabila mempunyai tujuan untuk mengunjungi ayah, ibu atau bhikkhu-bhikkhu lain yang sakit, mencegah seorang bhikkhu yang lainya untuk lepas jubah dan ia dating untuk menasehatinya agar tetap bertahan dalam latihannya, mencari bahan-bahan untuk membangun vihara yang hancu dan yang terahir memberikan keyakian terhadap umat yang ingin meningkatkan kusala-kamma.

Selain kepentingan tersebut bagi para bhikkhu diperbolehkan untuk pergi apabila ada hal-hal yang tidak layak untuk bertahan ditempat itu dalam menjalankan masa vassanya. Dimana para bhikkhu yang tidak dapat tinggal lebih lama dan harus pergi maka masa vassa mereka rusak akan tetapi mereka tidak jatuh dalam apatti (kesalahan) apabila tempat ia tinggal selama masa vassa ada bahaya. Dalam kitab suci pali bahaya tersebut adalah para bhikkhu diganggu oleh binatang buas, perampok, atau hantu-hantu. Pondok-pondok mereka terbakar, atau hanyut oleh bencana alam, sulitnya untuk mendapatkan dana makanan, ada para wanita yang menganggunya, terjadinya suatu perpecahan dalam sangha dimana bhikkhu berusaha untuk mendamaikannya. Tiga bulan masa vassa seorang bhikkhu di ahkiri dengan pavarana, para bhikkhu berkesedian untuk dikeritik dan setelah itu selesai dilanjutkan dengan upacara Kathina pun telah tiba.

C. Masa Vassa Para Bhikkhu

Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan masa vassa ini, dalam Kitab Suci Tipitika bagian Vinaya Pitika, Mahavagga Vassupaniyikakkhandhaka, Sang Buddha bersabda, :

“Anujanami Bhikkhave vassane vassam upagantum dwe
Ma bhikkhave vassupaniyikaya purimika pacchimika
Aparajju-gataya asalhiya purimika upagantabha”

Artinya : Secara jelas ringkas bahwa masa vassa haruslah dilaksanakan oleh para Bhikkhu. Selama masa vassa itu terdapatlah hari yang pertama untuk memulai dan terdapat hari penutup guna mengakhirinya.

Masa vassa menurut tradisi pada musim penhujan bagi para bhikkhu harus berdiam diri disuatu tempat dan mentaati aturan-aturan vassa. Massa vassa ini berlangsung selama 90 hari dimulai sehari sesudah purnama-sidhi bulan kedelapan (Asalhamasa) dan diahkiri pada purnamasidhi bulan kesebelas (Assajujamasa), menurut system perhitungan sekarang jatuh pada bulan oktober.

Menurut tahun kabisat, dimana terdapat bulan Asalha ganda, maka dengan sendirinya masa vassa dimulai sehari sesudah purnamasidhi bulan Asadha yang kedua dan bukan yang pertama. Hari Asadha kala purnama-sidhi adalah patokan, untuk memulai masa vassa. Masa vassa dimulainya bila memasuki konstelasi Asadha, namun pada tahun kabisat haruslah dimulai 30 hari kemudian. Malam menjelang hari penutupan masa vassa yaitu dikala purnama-sidhi bulan assayuja, yang diselenggarakan pavarana dan upacara persembahan yang secara umum dengan hari Kathina. Upacara Kathina akan berlangsung mulai hari pertama bulan menyusut (tanggal 16) bulan Assyuja sampai purnama-sidhi, namun ini hakekatnya akan berlangsung selama satu bulan untuk memberi kesempatan pada umat guna mempersembahkan dana kepada Sangha.

Sebelum hari Asadha, para bhikkhu sangha sudah mulai berikran untuk memasuki masa vassa dalam berdiam diri selama tiga bulam di vihara yang mereka tempati. Meskipun hari bepergian menginap selama tujuh hari berturu-turut, maka masa vassa menjadi gugur dan dianggap tidak ada vassa. Masa kebhikkhuan seorang bhikkhu dari tradisi Theravada, tergantungberapa lama dalam menjalani masa vassa itu dengan baik.Bisa saja bagi seorang bhikkhu yang sudah menjadi bhikkhu selama 10 tahun namun baru menjalani lima vassa.

D. Upacara Pavarana

Di Vihara dapat dilaksanakan upacara Kathina secara benar apabila di vihara tersebut terdapat paling sedikitnya ada empat bhikkhu yang menjalani masa vassa selama 90 hari secara sempurna, tidak termasuk samanera. Bagi para bhikkhu yang telah melaksanakan masa vassa tersebut sebelumnya melakukan Parisudhi (pensucian batin), dengan cara mengakui kesalahan-kesalahan yang telah diperbuatnya baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Sesudah itu mereka bersama melakukan pembacaan patimokha atau pembacaan peraturan - peraturan bagi para bhikkhu.

Upacara yang terpenting dalam memutuskan rantai masa vassa adalah upacara Pavarana yang diselengarakan oleh para bhikkhu yang ber-vassa di tempat itu, dengan cara mereka menyatakan kesiapan dan kesediaannya pada hari terahkir vassa tersebut untuk menerima kritikan, saran dan nasehat serta umpan balik dari para bhikkhu yang senior guna kemajuan batin yang lebih untuk mereka didalam latihannya.

Pavarana yang berasal dari umat adalah sebagai peryataan kepada bhikkhu tertentu terhadap kesediaannya menjadi seponsor dan membantu kebutuhannya untuk suatu jangka waktu tertentu ataupun untuk waktu yang tak terbatas.

E. Sejarah Kathina

Sekilas tentang istilah Kathina berasal dari sebilah bambu atau kayu yang dibuat kerangka dimana kain yang akan dijahit dikembangkan terlebih dahulu. Bhikkhu yang tidak trampil untuk menjahit, melakukan dengan cara demikian. Sang Buddha mengizinkan perpanjangan waktu untuk membuat jubah. Biasanya waktu dalam pembuatan jubah hanya pada waktu terahkir bulan dari masa vassa atau musim hujan dibulan kathika. Jika jubah lagi dikerjakan, maka batas itu diperpanjang sepanjang musim dingin. Terlebih lagi dalam pembuatan jubah bhikkhu merupakan peristiwa yang bersejarah.

Bagi para bhikkhu yang akan melaksanakan kathina harus melaksanakan vassa selama tiga bulan penuh lamanya di satu vihara (avasa) dengan lima atau lebih bhikkhu lainya. Kain yang diserahkan kepada sangha cukup membuat ticivara dan sangha setuju dalam satu hari juga menginformasikan kepada bhikkhu yang diberikan kepada Sangha untuk menyatakan terima kasih atau anumodhana. Kain tersebut tidak diperkenankan kain yang bukan miliknya, misalnya kain pinjaman, atau yang diperoleh dengan tidak benar, tentunya kain yang digunakan itu adalah kain yang didapat secara wajar. Kain itu harus segera dibuat jubah, tidak boleh disimpan semalam. Kain yang telah disimpan satu malam tidak boleh di gunakan untuk kain kathina.

Sangha yang memberikan jubah yang harus paling tidak lima bhikkhu dan tidak boleh kurang dari lima bhikkhu karena salah satu ditunjuk untuk menerima kain kathina dan menjahitnya menjadi jubah dan empat lagi membentuk Sangha. Atthakatha Acariya yang menyusun menjelaskan bahwa kain kathina harus diberikan kepada Sangha kepada bhikkhu yang memakai jubah yang lusuk (tua) jika banyak bhikkhu yang demikian, maka kain Kathina diberikan kepada Bhikkhu yang memiliki vassa yang lebih tinggi. Apabila bhikkhu sama masa vassanya, maka kain kathina diberikan kepada bhikkhu maha purissa.

F. Upacara Kathina

Serangkain Kathina telah hadir dihadapan kita sebagai rasa syukur dan terima kasih para umat kepada para bhikkhu yang telah selesai menjalani masa vassa, maka dipersembahkannya pada bhikkhu sangha sebuah kain untuk dipotong dan dijahit menjadi jubah, yang disebut jubah Kathina (Kathina-Chivara). Upacara khusus tersebut dinamakan Kathina-pinkama. Dalam prosedurnya menurut Vinayaadalah sebagai berikut.

1. Adalah hak Sangha untuk menentukan apakah upacara Kathina dilaksanakan atau tidak.

2. Bila dikehendaki, maka dipilihnya seorang bhikkhu untuk menerima persembahan kain untuk dibuat jubah dari umat.

3. Kain putih yang dipersembahkan dalam prosedur formalitas pada hari Kathina, oleh bhikkhu Sangha diserahkan oleh bhikkhu maka terpilihlah untuk diukur, dipotong dan dijahit sesuai vinaya dan menjadi jubah. Proses ini dibantu oleh Bhikkhu lainya, sesudah selesai, jubah putih tersebut dicucu, dicelup warna kuning dan dikeringkan. Semua prosedur itu harus dilakukan dalam satu hari, dari pagi hingga petang.

4. Jubah-jubah tersebut setelah selesai dikerjakan siap untuk dibagi oleh Sangha, dalam suatu upacara, pada seorang yang berhak menerimanya. Hak para bhikkhu yang bervasa di vihara tersebut atas jubah Kathina.

5. Pada malam harinya, bhikkhu yang terpilih dengan mengenakan jubah Kathina menempati dampar dan kemudian berkhotbah dan berterima kasih apa umat atas dukungannya pada Sangha.

Dalam upacara ini sangat penting dengan tujuan untuk kemanunggalan antara Sangha dan umat sebagai pendukunya dalam menjalani kehidupan ke-bhikkhuan (Pisungsung). Disamping itu dalam upacara Kathina ini mendorong seorang bhikkhu yang baik dan taat dalm sila dan Vinaya serta bagi umat untuk taat dan patuh kepada sila, yang telah disabdakan oleh Sang Buddha “Engkaulah yang harus meningatkan dan memeriksa diri sendiri, Oh para bhikkhu bila dapat menjaga dirimu dengan baik dan selalu sadar maka engkau akan hidup dalam kebahagiaan”

G. Sanghadana

Di suatu vihara apabila tidak memenuhi syarat diselengarakan upacara Kathina, maka umat dapat menyelenggarakan Sanghadana atau chivaradana. Sanghadana adalah segala bentuk dana (uang atau barang-barang kebutuhan pokok bagi para bhikkhu) yang dipersembahkan pada Sangha melalui seorang atau beberapa bhikkhu, sedangkan chivaradana adalah persembahan berupa jubah bhikkhu. Apabila persembahan dana dipersembahkan kepada Sangha, maka umat dengan tegas menyatakan hal itu sebagai Sanghadana. Sang Buddha bersabda, “berdana pada sangha mempunyai nilai-dhamma yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan berdana pada bhikkhu ataupun pada pribadi Sang Buddha sendiri”.

Hal ini berbeda dengan dana persembahan yang khusus diberikan pada seorang atau beberapa bhikkhu penerima dan bukan pada Sangha. Upacara Kathina diselenggarakan dengan ataupun tanpa kehadiran bhikkhu, maka perlu diperhatikan umat adalah :

1. Seluruh dana yang dipersembahkan harus diserahkan pada Sangha tanpa syarat, misalnya dipotong lebih dahulu oleh panitian untuk kegiatan vihara atau pandita.

2. Tidak dibenarkan sebelum berdana, memberikan isyarat pada sangha, bahwa dana yang terkumpul akan dibagi dengan vihara atau panitia.

3. Bhikkhu yang menerima dana atas Sangha wajib untuk menyerahkan secara utuh kepada Sangha dan tidak dibenarkan untuk mengambilnya demi kepentingan sendirinya atau membagikannya pada orang lain, tanpa seizin Sangha.

Atas keputusan Sangha dan yang terkumpul sebagian atau seluruhnya di danakan kembali untuk kepentingan Sangha atau berbagai macam kegiatan dan keperluan lain yang dibutuhkan oleh vihara atau Sangha.

H. Dana Kathina

Sebagai umat Buddha hendaknya memiliki pengertian terhadap dana, bukan merasa takut. Dimana berdana merupakan proses dasar dalam berbuat jasa atau kebajikan. Jika kita ingin memperoleh pahala yang baik, dari perbuatan berdana tentunya perlu diketahui bagaimana cara untuk melakukannya dengan benar. Karena itulah kita harus memiliki bekal pengetahuan atau petunjuk untuk meyakinkan bahwa kita mengerti apa yang patut dan tidak patut dilakukan, berkenaan dengan hal itu.

Dalam Sutta Pitaka dana dapat dibedakan menjadi sepuluh macam yaitu; makanan, pakaian atau jubah, kendaraan atau fasilitas transportasi, bunga, dupa, wangi-wangian, keset atau tikar, bahan-bahn untuk alas, obat-obatan, dan lampu atau penerangan.Kesepuluh jenis dari persembahan tersebut dapat dipersembahkan kepada sesama manusia dan binatang pada umumnya. Tetapi binatang mereaka hanya dapat menerima beberapa jenis dari dana tersebut.

Sebagai contoh apabila kita memiliki beras, tetapi kita tidak dapat memberikannya kepada kerbau, karena kerbau tidak makan beras. Sebaliknya kita akan mempersembahkan barang-barang tersebut kepada manusia, seperti orang yang cacat, tuna netra, tuna runggu, cacat mental, fakir miskin, yatim piatu, korban bencana alam, banjir topan, paceklik, peperangan, dan lainnya. Kesepuluh jenis barang ini dapat di danakan atau disumbangkan kepada mereka yang mengalami kesulitan sebagai amal atau dermawan secara umum dengan maksud untuk meringankan beban penderitaan orang lain atau mahluk lain dan untuk mendapatkan atau menumbuhkan kebahagiaan yang lebih besar.

Di dalam Vinaya Pitaka, dana terdiri dari empat macam yang dipersembahkan kepada para Bhikkhu Sangha dan Samanera, yang disebutkan adalah Nisaya atau empat macam kebutuhan pokok, dalam kehidupan sebagai viharawan tentunya tergantung akan empat kebutuhan tersebut, diantaranya; (1) Civara atau jubah. (2) Pindapatta atau makanan dan minuman. (3) Senasana atau fasilitas tempat tinggal. (4) Bhesajja atau obat-obatan dan peralatan medis lainya.

I. Siripada Puja

Siripada puja merupakan wujud untuk memberikan penghormatan (memuja) tapak kaki Sang Buddha, biasanya dilakukan pada waktu purnama-sidhi di bulan Kathika. Secara ringkas dapat diuraikan secara sekila mengenai tradisi siripada puja.

Pada suatu kesempatan, Sang Buddha mengunjungi Y.A. Punna Mantaniputta di Sunaparanta. Dalam perjalanan itu beliau singgah ditepi sungai Nammada di dekat gunung Saccabandha. Pada saat itu Raja Naga muncul memberikan penghormatan yang luar biasa kepada Sang Buddha untuk meninggalkan tapak kaki mulia (Siripada Valanja) sebagai obyek pemujaan Sang Buddha berkenan dengan permohonan tersebut. Beliau membuat jejak tapak kaki di atas batu keras ditepi sungai Nammada. Karena kekuatan kesaktinan yang luar biasa, meskipun di batu yang keras jejak tapak kaki Sang Buddha tampak jelas, lengkap dengan tanda-tanda istimewa seorang maha sempurna. Tanda utama di anatara tanda-tanda yang terdapat pada kaki Sang Buddha adalah guratan Dhammacakha (roda dhamma) ditengah-tengahnya. Inilah salah satu terdapat 32 tanda istimewa (maha lakhana) yang terdapat pada jasmani seorang Sammasambuddha. Guratan roda Dhamma ini melambangkan sebagai petunjuk “ikutilah jejak mulia Sang Buddha” atau “Ikutilah Dhamma”.

Siripada ini dijaga dan dihormati oleh para naga sebagai obyek pemujaan kepada Sang Buddha. Cukup susah untuk dapat melihat Siripada di sungai tersebut karena tertutup oleh arus sungai yang deras. Selain siripada di sungai Nammada dalam kitab-kitab kronik tercatat bahwa masih terdapat 4 siripada di tempat lain yang dipercaya dibuat langsung oleh Sang Buddha.

Pada jaman dahulu pada bulan di bulan kattika masyarakat menunggu saat air sungai pasang karena musim hujan, mempersembahkan puja kepada Siripada di sungai Nammada. Hal ini dikarenakan bagi mereka yang tinggal jauh dari tempat Siripada, sulitnya perjalanan menuju tepi sungai tempat Siripada. Maka mereka mempersembahkan puja dari jauh dengan bantuan arus sungai yang sedang pasang tersebut. Mereka membuat semacam bunga teratai yang harum, dupa dan juga penerangan (lilin/pelita). setelah bulan muncul di langit mereka berbondong-bondong menuju tepi sungai Nammada. Setelah memanjatkan Siripada Puja Gatha, Amisa puja (bunga, dupa dan lilin) ini ribuan berkali-kali membawa udara harum mengikuti arus sungai menuju tempat Siripada.

Sampai sekarang tradisi ini masih dilakukan oleh masyarkat di India, Nepal,Myammar, Thailad dan beberapa tempat di Indonesia. Meskipun jauhdari sungai Nmmada, mereka bias mengapungkan Mamisa puja tersebut di sungai-sungai, danau atau bahkan di kolam-kolam vihara dengan niat yang tulus untuk memuja Sang Buddha. Ini adalah salah satu cara untuk memberikan penghormatan kepada Guru Agung junjungan kita Sang Buddha Gautama.

J. Kesimpulan

Hari Suci Kathina adalah suatu bentuk upacara keagamaan dalam agama buddha yang terpenting. Dimana uamt buddha mendapatkan satu kesempatan untuk membaktikan dirinya kepada Sangha dengan memberi persembahan, seperti jubah, dana makan, obat-obatan, serta keperluan yang lainnya dalam mendukung kehidupan dan kelestarian Sangha serta Buddha Dhamma. Sebab itu kathina juga sebagai hari bakti umat buddha kepada sangha.

Ada beberapa hal yang tidak dapat kita pisahkan dengan hari kathina tersebut, yaitu hari persembahan jubah kepada Sangha setiap setahun sekali, setelah para bhikkhu sangha melakukan latihan diri selama masa vassa selama tiga bulan. Massa vassa adalah suatu bentuk latihan dan penggemblengan diri pribadi bhikkhu untuk berlatih pendalaman dhamma melalui meditasi, memanjatkan paritta-paritta suci, introspeksi diri dan lainya. Serta umat buddha mendapat kesempatan dalam berdana paramita kepada Sangha. Karena dana yang diberika kepada Sangha pada waktu bulan kathina sangat tinggi nilainya, dan merupakan benih kebajikan pada ladang yang subur. Oleh karena itu, marilah kita tanamkan kembali benih yang kita miliki di saat yang istimewa ini dengan berdana kepada Sangha. Adapun syarat yang harus dipenuhi agar dana yang kita persembahkan ini menjadi dan yang bermanfaat, yaitudana yang dipersembahkan tentunya berasal dari hasil perbuatan yang baik dan di dasari dengan kehendak yang baik sebelum, pada saat, serta setelah berdana sehingga dana yang kita persembahkan kepada yang patut menerimanya, akan membawa banyak manfaat.

Begitu pula hari kathina adalah saat yang tepat untuk mengikuti keteladanan dan kegigihkan seorang manusia dalam perjuangan mencapai kesempurnaan atas usaha sendiri. Siddharta bukanlah seorang manusia yang lahir dari dunia mistik, tetapi beliau adalah manusia yang berjuang membangun dirinya secara utuh demi kemanusiaan dan keberhasilan dan beliau telah berhasil. Sejak peristiwa agung penerangan sempurna itulah dikenal sebagai Buddha Sakyamuni. Perjuangan, pengabdiannya dipersembahkan kepada dunia ini adalah kekuatan keyakinan bagi umat Buddha yang tiada habisnya.

Siripada puja merupakan wujud untuk memberikan penghormatan (memuja) tapak kaki Sang Buddha, biasanya dilakukan pada waktu purnama-sidhi di bulan Kathika. Secara ringkas dapat diuraikan secara sekila mengenai tradisi siripada puja.

Ia yang memberikan semua mahluk hidup dimana saja berada, dengan penuh belas kasihan dan cinta kasih, berikanlah, ia berseru bagaikan guntur yang mengelegar dan bergemuruh membasahi dan mengisi seluruh permukaan bumi. Demikian pula hendaknya ia yang selalu berusaha mengumpulkan kekayaan dengan halal lalu mempersembahkan makanan dan minuman kepada yang membutuhkannya akan membawa kebahagiaan. Semoga dengan kebajikan yang diperbuatnya tumbuh subur dengan baik diladang yang subur, hidup bersusila maka perkembangan dalam hidup ini akan melahirkan di alam yang berbahagia tanpa kesulitan apapun.

Reffrensi :
Buku Panduan Rangkaian Kathina Dana dan Siripada Puja 2547 BE/ 2003, Di Vihara Buddha Prabha, Yogyakarta.
Bhikkhu Bodhi, 2000, Mengapa Berdana, Wisma Sambodhi, Klaten
Buku Pegangan Bhikkhu, 2000, Medan.
Drs. Teja S.M. Rasyid, 1994,Materi Pokok Kitab Suci Vinaya Pitaka IIDirjed Bimas Hindu dan Buddha dan Universitas Terbuka, Jakarta.
CundaJ. Supandi, 1997, Dhammapada, Karaniya, Jakarta
Herman S. Endro SH. ,1997, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996 – 2026, Yayasan Dharmadiepa Arama, Jakarta.
Phra Ajahn Plien Panyapatipo, 1991, Cara Yang Benar Dalam Berdana, Mutiara Dhamma, Bali.
Nyanaponika Thera dan Bhikkhu Bodhi, 2001, An Anthology of Suttas From The Anguttara Nikaya, Wisma Meditasi dan pelatihan
Majalah Jalan Tengah edisi 9 Febuari 1991, Vihara Dhammacakka Jaya, Jakarta.
Yan Saccakiriyaputta, 1993, Kunci Rahasia Kehidupan, Dhamma-Dana, Singaraja.


Salam Metta,

Sabbe satta bhavantu sukhitatta
Semoga semua makhluk berbahagia

]˜