Sabtu, Agustus 27, 2011

(Lanjutan)....Dhamma Vibagha II (Penggolongan Dhamma) Kelompok Tiga

18. PERKEMBANGAN MEDITASI (BHAVANA)

  1. Tingkat pembacaan secara kata-kata atau bathin (parikamma)
  2. Tingkat pendekatan (upacara)
  3. Tingkat pencapaian (appana)

Abhi. San. 51

  •  KETERANGAN

Ini berhubungan dengan gambaran-gambaran pada No. 17 diatas. Tingkat atau kedalaman meditasi yang dicapai selama pembacan (secara kata-kata atau bathin) atau perenungan pada satu obyek meditasi (seperti kesucian-kesucian sang Buddha, pernafasan, sebuah mayat dan sebagainya) adalah langkah perkembangan meditasi yang pertama (parikamma).

Apabila 'gambaran tercapai' (dalam No. 17) muncul, tingkat meditasi kedua yang disebut 'tingkat pendekatan' (upacara) telah dicapai. Akan tetapi ini muncul hanya dalam bentuk meditasi yang mempunyai suatu obyek untuk memusatkan perhatian (seperti : sebuah mayat, pernafasan, warna-warna kasina). Dalam bentuk meditasi yang menggunakan suatu faham atau suatu obyek non-materi untuk memusatkan pikiran (seperti: kematian, kesucian-kesucian Sang Buddha), tidak terdapat gambaran bathin dengan bentuk suatu tindasan gambar yang muncul dalam mata bathin. Karena itu, bagi mereka yang menggunakan obyek meditasi seperti ini, apabila semua lima rintangan bathin (Kelompok Lima, Milid 1) lenyap maka meditasi telah tercapai dengan teguh.

Tingkat meditasi ketiga (appana) tercapai apabila 'gambaran bathin' (No. 17) telah dapat dikuasai dengan sekehendak hati, patuh pada kemauan. Ini disebut tingkat pencapaian atau appana. Dalam bentuk meditasi yang semata-mata berdasarkan pada perenungan suatu faham atau obyek non-materi, dikatakan bahwa tingkat perkembangan meditasi ketiga tidak dapat tercapai.


19. TINGKAT-TINGKAT PENGETAHUAN ATAU PENGERTIAN (PARIÑÑA)

  1.   Pengetahuan analisa (ñatapariñña)
  2.   Pengetahuan perenungan atau kontemplasi (tiranapariñña)
  3.   Pengetahuan peninggalan (pahanapariñña)

Khu. Ma. 29/60

  •   KETERANGAN

Pengetahuan tentang lima kelompok kehidupan (khandha) -melalui metode analisa, membagi atau memisahkan faktor-faktor bagian dari keseluruhan kesatuan-, disebut pengetahuan analisa.

Pengetahuan perenungan adalah pengetahuan yang memungkinkan seorang memahami ciptaan-ciptaan (sankhara) sebagai keadaan yang didasari oleh tiga corak umum: tidak kekal, mengalami kehancuran, dan kosong dari suatu inti atau pribadi yang kekal.

Pengetahuan peninggalan menyatakan pada keadaan dimana seorang siswa menetapkan pikiran-nya untuk meninggalkan kemelekatan keinginan pada kelompok-kelompok kehidupan tersebut.


20. PENINGGALAN (PAHANA)

  1. Peninggalan sementara (tadanga-pahana)
  2. Peninggalan melalui penekanan (vikkhambhana-pahana)
  3. Peninggalan melalui penghancuran (samuccheda-pahana)

Vis. Ñana. Ta. 49

  •   KETERANGAN

Meninggalkan nafsu-nafsu atau kekotoran bathin pada pihak orang duniawi, disebut 'sementara'. Hal ini bisa melalui penahanan diri (virati) dihadapan godaan dan ancaman, atau terkadang melalui penghindaran. Ini adalah bentuk peninggalan yang paling ringan dan sementara saja serta memiliki akibat yang paling lemah.

Peninggalan macam kedua dimiliki oleh mereka yang telah mencapai meditasi tingkat jhana. Peninggalan mereka lebih lama dan lebih kuat apabila dibandingkan dengan peninggalan sementara. Nafsu atau kekotoran bathin yang ditekan tidak mempunyai kesempatan untuk menegakkan kepalanya sedikitpun untuk menerobos kedalam kesadaran siswa meditasi selama meditasi tingkat jhana dipertahankan. Tetapi apabila pikiran melepaskan diri dari tingkat jhana, nafsu atau kekotoran bathin memperoleh kekuatan-nya kembali untuk menerobos kedalam kesadaran siswa meditasi selama tingkat jhana itu tidak berhubungan dengan suatu pandangan terang.

Peninggalan melalui penghancuran menyatakan peninggalan melalui kekuatan 'Sang Jalan' dalam arti yang diterangkan dalam No. 22, Kelompok Empat. Kekotoran-kekotoran atau belenggu-belenggu apapun yang telah dihancurkan dengan Sang Jalan, tidak akan dapat tumbuh lagi. Peninggalan semacam ini akan mengubah seorang manusia duniawi biasa menjadi seorang siswa ariya yang tingkatnya ditentukan dengan 'Sang Jalan' yang telah dicapai dan 'Sang Hasil' yang telah dinikmati (lihat, No.22 dan 23, Kelompok Empat).


21. KEAJAIBAN-KEAJAIBAN (PATIHARIYA)

  1. Keajaiban yang mengesankan (iddhipatihariya)
  2. Keajaiban membaca-pikiran (adesanapatihariya)
  3. Keajaiban dari ajaran (anusasanipatihariya)

Di. Si. 9/237; An. Ti. 20/217

  •   KETERANGAN

Bentuk keajaiban pertama adalah yang paling dikenal, meliputi apa yang seolah-olah tidak mungkin dilakukan dan karena itu cenderung menimbulkan perasaan kagum dan mengesankan. Menurut keterangan dalam kitab-kitab suci, beberapa diantaranya adalah terbang diangkasa, berjalan diatas air, menjadi tidak terlihat, menciptakan bentuk reproduksi kehidupan dari seseorang dan lain-lain.

Yang kedua nampaknya lebih terbatas dalam perwujudan-nya, menyatakan sebagaimana namanya menunjukan, tidak lebih dari perbuatan membaca perbuatan orang lain atau dalam istilah modern: telepati.

Yang ketiga adalah ciri dari Sang Buddha, sekalipun pada kenyataannya Beliau mampu melakukan dua macam keajaiban diatas. Keajaiban ketiga menunjukan pada keajaiban-keajaiban Ajaran Sang Buddha yang sanggup menerima ujian, tantangan keraguan, dan menghasilkan kenyataan, akibat-akibat yang pasti pada para pengikut, yang mempraktekkan dengan sungguh-sungguh.


22. KERANJANG (PITAKA)

  1. Keranjang peraturan-peraturan kedisiplinan (vinaya-pitaka).
  2. Keranjang khotbah-khotbah (sutta-pitaka).
  3. Keranjang metafisika (abhidhamma-pitaka).

Vin. Pari. 8/224

  •   KETERANGAN

Bagian-bagian dari ajaran ini disebut 'keranjang' dalam arti bahwa mereka adalah seperti tempat di mana kumpulan kata-kata Sang Buddha disimpan.

Keranjang peraturan kedisiplinan yang utama adalah kumpulan ajaran Sang Buddha yang berkenaan dengan disiplin ke-vihara-an, terutama dimaksudkan bagi para bhikkhu yang menempuh kehidupan tanpa rumah.

Keranjang khotbah-khotbah adalah suatu kumpulan ceramah dan ajaran yang diberikan kepada bermacam-macam siswa dan pada bermacam-macam kesempatan, yang berhubungan dengan cara-cara praktek yang bukan disiplin.

Ketiga, keranjang metafisika yang juga dikatakan sebagai ajaran Sang Buddha mempunyai suatu corak khusus yaitu tidak berkenaan dengan orang secara tertentu, tetapi secara impersonal membicarakan tentang kejadian-kejadian dan fenomena.


23. TUGAS-TUGAS YANG DILAKUKAN OLEH SANG BUDDHA (BUDDHA-CARIYA)

  1. Tugas-tugas yang dilakukan terhadap dunia (lokattha-cariya)
  2. Tugas-tugas yang dilakukan terhadap sanak keluarga (ñatattha-cariya)
  3. Tugas-tugas yang dilakukan sebagai seorang Buddha (Buddhattha-cariya)

Mano. Pu. Pa. 104

  •   KETERANGAN

Contoh dari terpenuhinya tugas-tugas Sang Buddha yang dilakukan terhadap dunia adalah kesempatan yang tak terhitung, sewaktu tiap pagi hari Beliau memeriksa dengan mata bathin-Nya, mencari makhluk yang telah cukup masak bathin-Nya untuk menerima ajaran pada hari itu, dan setelah melihat mereka masuk di dalam jaring mata-bathin-Nya, beliau melanjutkan perjalanan untuk memberikan khotbah tanpa memperdulikan kesukaran dan bahaya-bahaya yang dapat ditemui dalam perjalanan.

Mengenai tugas-tugas Beliau terhadap sanak keluarga, sebuah contoh dapat dilihat sewaktu Beliau menghentikan pertengkaran mereka mengenai air yang hampir saja berubah menjadi peperangan. Selain dari itu, Beliau juga pergi mengunjungi kota Kapilavatthu untuk memberikan ajaran sehingga banyak di antara mereka masuk ke dalam jalan penerangan sejati. Dan juga ketika Beliau membebaskan mereka dari suatu masa percobaan selama empat bulan.

Macam yang ketiga menyatakan tugas-tugas yang telah Beliau lakukan dalam kemampuan-Nya sebagi seorang Buddha. Misalnya, meletakkan peraturan-peraturan kedisiplinan bagi persaudaraan para bhikkhu untuk mendorong para bhikkhu untuk bersungguh-sungguh dan bersemangat dalam praktek-praktek mereka. Dan pada saat yang sama, untuk menghalang-halangi masuknya mereka yang tidak mengenal malu dan bersifat jahat, dan juga usaha yang tidak mengenal lelah untuk memberikan khotbah-khotbah kepada para siswanya, yang dengan demikian meletakkan suatu dasar yang kuat bagi pembentukan dan perkembangan ajaran-Nya sebelum Beliau wafat.


24. ALAM-ALAM KEHIDUPAN (BHAVA)

  1. Alam-alam ke-indria-an (kama-bhava)
  2. Alam-alam bentuk (rupa-bhava)
  3. Alam-alam tidak berbentuk (arupa-bhava)

Ma. Mu. 12/539

  •   KETERANGAN

Keterangan mengenai alam-alam keindriaan (kama-bhava) dapat dilihat dalam No. 21, Kelompok Empat: Bhumi, demikian juga alam-alam bentuk (rupa-bhava). Untuk keterangan mengenai alam-alam tidak berbentuk, (arupa-bhava) lihat No. 7, kelompok Empat.


25. DUNIA (LOKA)

  1. Dunia ciptaan-ciptaan (sankhara-loka)
  2. Dunia makhluk-makhluk hidup (satta-loka)
  3. Dunia sebagai suatu tempat hidup (okasa-loka)

Vis. Cha-anu. Pa 262

  •   KETERANGAN

Secara harfiah, istilah loka yang diterjemahkan dari kata 'dunia' berarti segala sesuatu yang akan mengalami kelapukan dan kehancuran.

Dari ketiganya, dunia ciptaan-ciptaan yang diterjemahkan dari kata sankhara-loka memiliki suatu arti yang tidak tentu dan meragukan. Dari petunjuk di atas, kata tersebut dipergunakan untuk menunjukkan segala sesuatu yang terkena hukum dunia fenomena (berubah, dapat mengalami kehancuran dan kosong dari suatu inti yang kekal, lihat kelompok Tiga, No. 16), seperti lima kelompok kehidupan. Dunia makhluk hidup berarti makhluk-makhluk yang memiliki kesadaran manusia dan binatang. Dan dunia sebagai suatu tempat hidup adalah tempat di mana manusia dan binatang berdiam.

Kalimat 'dunia ciptaan-ciptaan' disini cukup meragukan dalam artinya, karena di tempat lain istilah sankhara atau 'ciptaan-ciptaan' secara kolektif dipergunakan untuk menunjukan, baik makhluk maupun benda lainnya, dan bukan bagian dari mana makhluk dan benda terbentuk. Dengan makhluk dan benda sebagai semacam dunia, menurut pendapat saya bahwa sankhara atau dunia ciptaan-ciptaan seharusnya menunjukkan pada dunia tumbuh-tumbuhan, ini karena kenyataan bahwa tumbuh-tumbuhan tidak memiliki kesadaran atau pikiran, tetapi juga merupakan suatu makhluk hidup yang mampu untuk berkembang dan makan seperti anggota dunia binatang. Dari sudut pandangan ini, dunia dalam arti yang ketiga adalah suatu tempat hidup bagi dunia dalam kedua arti di atas.

Akan tetapi, istilah sankhara dinyatakan oleh komentar sebagai kondisi dari suatu pencipta, kamma. Ini dapat dilihat dalam kalimat "terdapat ciptaan", terdapat kesadaran (dalam perumusan paticcasamuppada). Jadi dunia dalam arti yang pertama seharusnya berarti kamma, yang merupakan pencipta dari bermacam-macam dunia yang tidak ada akhirnya dalam arti dunia yang kedua dan ketiga.


26. ARTI LAIN DARI DUNIA (LOKA)

  1. Dunia manusia (manussa-loka).
  2. Dunia para dewa dalam alam ke-indria-an (deva-loka)
  3. Dunia para dewa diluar alam ke-indria-an (brahma-loka)

Pa. Su. Du. 269.

  •   KETERANGAN

Keterangan mengenai deva-loka dapat dilihat dalam No.6, Kelompok Enam. Sedangkan brahma-loka (alam para dewa di luar ke-indria-an) menunjukkan pada enam belas alam dari dunia bentuk (lihat No.24, Kelompok Tiga dan No. 21, Kelompok Empat). Nama-nama mereka adalah sebagai berikut:

1.     Brahmaparisaja : untuk jhana pertama tingkat permulaan.
2.     Brahmapurohita : untuk jhana pertama tingkat menengah.
3.     Mahabrahma : untuk jhana pertama tingkat.
4.     Parittabha : untuk jhana kedua tingkat pemulaan.
5.     Appamanabha : untuk jhana kedua tingkat menegah.
6.     Abhassara : untuk jhana kedua tingkat tingkat tinggi.
7.     Parittasubha : untuk jhana ketiga tingkat permulaan.
8.     Appamanasubha : untuk jhana ketiga tingkat menengah.
9.     Subhakinhaka : untuk jhana ketiga tingkat tinggi.
10.      Asaññisatta : untuk jhana keempat.
11.      Vehapphala : untuk jhana keempat.
12.     * Aviha :
13.     * Atappa :
14.     * Sudassa :
15.     * Sudassi :
16.     * Akanittha :
(*) 12 – 16 : untuk jhana ke-empat dari alam kehidupan murni (sukhavati), lihat No. 12, Kelompok Lima

  •   CATATAN :

Tiga macam dunia ini mungkin termasuk macam dunia yang kedua pada nomor sebelumnya (No. 25), dunia makhluk hidup.


27. PERPUTARAN (VATTA)

  1. Perputaran nafsu (kilesavatta)
  2. Perputaran kamma (kammavatta)
  3. Perputaran akibat-akibat (vipaka-vatta).

Abhi. Sañ. 46

  •   KETERANGAN

Yang dimaksud dengan 'perputaran' adalah suatu kondisi tanpa awal maupun akhir. Ketiga perputaran ini saling berhubungan dan saling berkaitan, masing-masing menjadi sebab dan akibat dari lainnya; timbulnya nafsu mendorong seseorang untuk membuat kamma, akibat dari kamma ini sekali lagi menyebabkan timbulnya nafsu-nafsu lainnya. Proses ini berlangsung terus tanpa akhirnya, kecuali sampai diputuskan dengan 'sang jalan dari seorang arahat' (lihat No. 22-23, Kelompok Empat).

Usaha untuk memutuskan atau menghancurkan proses perputaran ini harus ditujukan terhadap nafsu, mengurangi kontak atau kekuatan pendorong mereka, dan akhirnya menetralkan pengaruh mereka.


28. TIGA RANGKAIAN PENGETAHUAN (VIDA)

  1. Pengetahuan mengingat kembali kehidupan lampau (pubbenivasanussati-ñana).
  2. Pengetahuan mengenai kelahiran dan kematian makhluk (cutupapata-ñana).
  3. Pengetahuan mengenai penghancuran mutlak kekotoran bathin (asavakkhaya-ñana).

An. Das. 28/226

  •   KETERANGAN

Menurut kitab suci, pengetahuan yang pertama adalah kemampuan untuk mengingat kembali kejadian-kejadian dari kehidupan lampaunya sendiri, menyusun kembali sebelum kehidupan sekarang, sampai pada jumlah-jumlah kehidupan yang tak terhitung banyaknya di masa lampau. Ia mengetahui semua bagian yang berhubungan, seperti nama, keluarga, macam-macam badan jasmani dan makanan serta kejadian-kejadian berbahagia dan menderita yang dialami pada kehidupan lampau, dan kemudian juga cara dan waktu kematian, setelah yang mana menyusul suatu kehidupan baru dengan suatu bentuk baru.

Pengetahuan yang kedua adalah mata bathin yang mengatasi diluar makhluk-makhluk lain, pengetahuan yang melihat kelahiran dan kematian dari berbagai macam makhluk, baik makhluk yang berbahagia maupun yang menderita, yang baik dan yang jahat, buruk dan cantik, mengetahui bahwa apa yang menyebabkan perbedaan-perbedaan tersebut adalah karena kamma mereka masing-masing.

Penghancuran mutlak kekotoran bathin adalah penyadaran terhadap Empat Kebenaran Mulia: kebenaran tentang penderitaan, sebab penderitaan, akhir penderitaan, dan jalan yang membawa pada akhir penderitaan. Itu juga berarti pengetahuan mengenai apa yang disebut asava; sebab dari asava, akhir dari asava, dan jalan yang membawa pada pengakhiran asava. Setelah menyadari itu, bathin terbebas dari kekotoran kenafsuan (kamasava), Ikatan pada kehidupan (bhavasava) dan ketidak tahuan (avijjasava, lihat 'pengotoran dan pengaliran', No. 8 dalam bab ini). Setelah itu, timbullah pengetahuan mengenai Kebenaran bahwa ini adalah kehidupan yang terakhir, kehidupan suci telah disempurnakan. Apa yang harus dilakukan telah dikerjakan, tak ada lagi yang harus dikerjakan untuk mencapai kesempurnaan.

Tiga pengetahuan ini juga disebut tiga rangkaian Pandangan Terang dan dikatakan menjadi unsur atau ciri-ciri dari Sang Buddha yang telah dimenangkan oleh Beliau dalam tiga jam berturut-turut pada malam pencapaian Penerangan Sempurna.

Pengetahuan pertama (mengingat kembali kehidupan lampau) dikatakan sebagai hasil Pandangan Terang dalam Kebenaran tentang kekosongan dari inti yang kekal (anatta), Suatu faktor Penerangan Sejati yang penting. Hal ini berdasarkan pada kenyataan bahwa setelah menyadari perputaran kelahiran dan kematian yang tidak ada akhirnya, secara wajar seseorang akan melepaskan diri dari keadaan yang berulang-ulang demikian dan menarik diri untuk terbebas dari nafsu-nafsu, sebaliknya dari pada terlibat dalam suatu proses tanpa arti demikian. Ia, kemudian menjadi sadar, sekali dan untuk selamanya, mengenai anggapan akan adanya suatu inti kekal yang membuta melalui proses-proses wajar tersebut.

Yang kedua, pengetahuan mengenai kelahiran dan kematian makhluk-makhluk hidup, sesungguhnya adalah perluasan dari pengetahuan yang pertama, yang memusatkan pikiran pada kelahiran dan kematian dirinya sendiri. Dimulai dengan menambah pengetahuan tentang sebab mula-mula dari suatu proses kelahiran dan kematian semua makhluk tanpa akhir demikian: kekuatan-kekuatan kamma yang meliputi semuanya dibelakang proses berulang-ulang yang tak ada akhirnya itu. Melalui pengetahuan ini, seseorang membebaskan dirinya dari keragu-raguan dan pandangan salah mengenai perbedaan dan ketidak-samaan makhluk-makhluk.

Pengetahuan yang ketiga, pengakhiran mutlak dari kekotoran-kekotoran bathin adalah syarat mutlak untuk pencapaian penerangan sempurna, apakah bagi Sang Buddha atau para siswa mulia lain-nya, yang disebut Arahanta. Pengetahuan ini mempunyai dua fungsi: penembusan atau penyadaran, dan penghancuran mutlak dari kekotoran bathin sebagai akibatnya.


29. KEBEBASAN (VIMOKKHA)

  1. Kebebasan yang ditandai dengan kondisi kekosongan (suññnata-vimokkha)
  2. Kebebasan yang ditandai dengan kondisi tidak memiliki tanda (animitta-vimokkha)
  3. Kebebasan yang ditandai dengan tidak memiliki dasar (appnihita-vimokkha).

Khu. Pati. 30/353

  •   KETERANGAN

Di atas itu adalah terjemahan secara harfiah. Untuk keterangan lebih lanjut, lihat nomor berikut (No.30)


30. MEDITASI (SAMADHI)

  1. Meditasi yang ditandai dengan kondisi kekosongan (suññata-samadhi)
  2. Meditasi yang ditandai dengan kondisi tidak memiliki tanda (animitta-samadhi)
  3. Meditasi yang ditandai dengan kondisi tidak memiliki dasar (appanihita-samadhi).

An. Ti. 20/385

  •   KETERANGAN

Sebutan untuk nomer 29 dan 30 adalah sama, dan mereka nampaknya merupakan sebutan dari kondisi Penerangan Sempurna atau Arahattapphala, tingkat hasil Arahatta (No. 23, Kelompok Empat).

Istilah vimokkha seperti vimutti menunjukan kondisi kemerdekaan atau kebebasan (No. 9, Kelompok Lima). Perbedaannya di sini ialah bahwa istilah ini dipergunakan dalam suatu arti yang terbatas, dan menunjukkan tingkat kebebasan tertinggi, bukan yang lebih rendah.

Menurut komentar, kebebasan dikaruniai dengan kondisi kekosongan, karena keadaan itu kosong dari keserakahan, kebencian, dan ketidak-tahuan. Itu dikatakan tidak memiliki tanda apapun dalam arti bahwa di dalamnya tidak ada jejak dari ketiga kekotoran bathin. Juga dikatakan bahwa ia tidak memiliki dasar atau dukungan bagi ketiganya untuk hidup.

Keterangan menurut komentar di atas agak meragukan, karena nampaknya tidak ada perbedaan apapun kecuali cara mengungkapkannya dan semuanya menyatakan hal yang sama. Jadi, tak perlu pembicaraan yang panjang lebar demikian. Seharusnya, analisa atau penggolongan ini menunjukkan pada pokok meditasi atau perenungan dengan mana dicapai Pandangan Terang. Jadi, seorang siswa yang telah mencapai Penerangan Sempurna dengan melalui Pandangan Terang yang terutama memusatkan pada kebenaran kekosongan dari suatu inti yang kekal (anatta), adalah dikatakan dikaruniai dengan meditasi bentuk pertama yang menghasilkan kebebasan bentuk pertama (suññata-vimokkha).

Seseorang yang telah mencapai Penerangan Sempurna melalui Pandangan Terang yang memusatkan pada kebenaran ketidak kekalan atau sifat berubah (anicca) dikatakan telah dikaruniai dengan meditasi bentuk kedua yang menghasilkan kebebasan bentuk kedua (animitta atau tidak memiliki tanda kekekalan). Ia yang mencapai Penerangan Sempurna dengan bantuan Pandangan Terang yang memusatkan terutama pada kebenaran mengenai apa yang disebut penderitaan atau keadaan lapuk (dukkha) adalah dikaruniai dengan meditasi bentuk ketiga yang demikian pula menghasilkan kebebasan bentuk ketiga (appanihita, tidak memiliki dasar untuk kebahagiaan atau keabadian).

  •   CATATAN :

1.    Sudah tentu, pada akhir saat yang menentukan, tiga tanda-tanda dari keadaan (berubah, lapuk, dan kosong dari satu inti yang kekal) itu adalah terlihat secara serentak dalam semua hal, dan tidak ada perbedaan mengenai hasil-akhir. Tetapi masih terdapat perbedaan mengenai saluran yang dipergunakan oleh orang yang berbeda, sama halnya seperti sejumlah pendaki gunung yang mungkin lebih menyukai jalan yang berbeda untuk mencapai puncaknya. Tetapi, apabila mereka mencapai puncak, hasilnya adalah sama walaupun jalan yang dipergunakan oleh mereka adalah berbeda.

2.    Demikian halnya, apabila Penerangan Sempurna telah diperoleh, semua tanda-tanda itu pasti telah diperoleh dan dipahami secara sama oleh para siswa mulia, tidak peduli pada pemusatan-pemusatan pikiran yang berbeda yang disenangi oleh mereka masing-masing, karena kecenderungan-kecenderungan dan sikap individu masing-masing.


31. PENGASINGAN (VIVEKA)

  1. Pengasingan secara jasmani (kaya-viveka)
  2. Pengasingan bathin (citta-viveka)
  3. Pengasingan spiritual (upadhi-viveka)

Khu. M. 29/29, 270

  •   KETERANGAN

Tinggal di suatu tempat yang terpencil, jauh dari gangguan suara dan pergaulan adalah disebut pengasingan secara jasmani.

Apabila pikiran telah menjadi tenang, bebas dari rintangan (lihat Kelompok Lima, Jilid I) dengan metode meditasi yang disebut Samatha, (No. 2, Kelompok Dua), itu dikatakan berada dalam keadaan pengasingan bathin.

Langkah selanjutnya yang lebih tinggi adalah pengasingan spiritual. Yang menunjukkan pada keadaan bathin, apabila telah diperlengkapi dengan Pandangan Terang yang merupakan hasil dari meditasi yang dimasudkan untuk suatu tujuan demikian (No.2, Kelompok Dua). Kemudian itu dikatakan diberkahi dengan pengasingan spiritual dengan kenyataan bahwa bathin telah bersih dari noda-noda dan kekotoran.


32. CORAK-CORAK SEGALA SESUATU YANG TERBENTUK (SANKHATA-LAKKHANA)

  1. Ada manifestasi kelahiran
  2. Ada manifestasi kematian
  3. Selama kehidupan ada proses manifestasi perubahan

An. Ti. 20/129

  •   KETERANGAN

Istilah 'sankhata' di sini dipergunakan untuk menyatakan apa saja yang diciptakan, karena itu adalah terbentuk atau berkondisi, Sankhata harus dimengerti bahwa ia meliputi hal-hal yang tidak bermateri atau abstrak, juga hal-hal yang bermateri atau konkrit yang hidup atau tidak hidup, kejadian dan fenomena. Dalam arti lain-nya, apa saja yang dihasilkan oleh suatu sebab adalah disebut 'sankhata'. Segala sesuatu yang merupakan sankhata pasti berubah, berkembang, lapuk dan mati; terkena hukum sebab perubahan, perkembangan, kelapukan dan kematian.

Dalam corak ketiga, manifestasi dari perubahan menuju apa yang dianggap perkembangan dan menuju kepada kelapukan serta kematian.

  • CATATAN :

Menurut kebenaran mutlak, dapat dikatakan bahwa kematian terjadi segera setelah kejadian kelahiran. Ini berlaku untuk manusia, baik dari sudut pandang secara biologis maupun dari sudut pandang secara tidak bermateri. Dengan kata lain, ia menjadi tua dan mati saat ia dilahirkan, baik dengan badan jasmaninya maupun dengan bathinnya.


33. PENCIPTA-PENCIPTA (SANKHARA)

  1. Pencipta badan jasmani (kaya-sankhara)
  2. Pencipta kata-kata (vaci-sankhara)
  3. Pencipta pikiran (citta-sankhara)

Ma. Mu. 12/99

·           KETERANGAN

Kata 'pencipta' adalah terjemahan secara harfiah dari istilah 'sankhara'. Dan dapat dipergunakan dalam suatu arti yang luas berarti pemeliharaan di mana yang berhubungan memerlukan.

Pencipta badan jasmani berarti pernafasan -nafas masuk dan keluar, karena mereka adalah salah satu dari pemelihara badan jasmani yang penting, memberikan kekuatan hidup bagi kelangsungan-nya.

Proses-proses bathin yaitu pikiran dan perenungan (dari istilah vitakka dan vicara) adalah apa yang menciptakan kata-kata. Tanpa mereka, kata-kata tidak akan dapat dimengerti, dan hanya akan merupakan suara atau ucapan yang tidak ada artinya.

Selanjutnya, apa yang dianggap sebagai bathin (kemampuan untuk berfikir, merenung dan sebagainya) adalah dihasilkan oleh pencerapan dan perasaan (masing-masing diterjemahkan dari istilah sañña dan vedana). Keduanya ini dianggap sebagai pendorong atau kekuatan yang menciptakan corak-corak pikiran yang tidak terhitung, (dalam bentuk: kesucian, kejahatan, emosi, kecakapan, kegemaran, ketidak-senangan, kecenderungan, kecerdasan, kebodohan dan selanjutnya).

·           CATATAN :

1.     Di sini istilah sankhara diterjemahkan dengan 'pencipta', bukan 'ciptaan' seperti di tempat-tempat lainnya. Ini adalah arti yang diperlukan. Untuk mengatakan 'ciptaan badan jasmani' hanya akan menimbulkan kekeliruan, karena kata 'pencipta' -pernafasan dan lain-lainnya dalam bagian dua dan tiga- adalah dimaksudkan sebagai pelaku atau penghasil mereka sendiri.

2.     Bahwa hanya nafas masuk dan nafas keluar saja yang dimaksudkan sebagai pencipta badan jasmani, menunjukkan pada kenyataan bahwa faktor-faktor lainnya, seperti makanan dan minuman, temperatur dan bahkan orang tua telah ditiadakan, karena sebagaimana dimengerti mereka dianggap kurang penting. Maka dangan menyebutkan pernafasan sebagai pencipta badan jasmani janganlah diambil dalam arti mutlak, dengan meniadakan faktor-faktor lainnya, tetapi harus dimengerti dalam arti relatif, meliputi lain-lain-nya yang telah ditinggalkan juga.


34. SEGI-SEGI DARI AJARAN (SADDHAMMA)

  1. Segi belajar (pariyatti-saddhamma)
  2. Segi praktek (patipatti-saddhamma)
  3. Segi hasil-hasil sebagai akibatnya (pativedha-saddhamma)

Pa. Su. Ta. 532

·         KETERANGAN

Yang pertama adalah seperti sebuah peta yang membimbing seorang pencari menyusuri jalan benar. Yang kedua adalah seperti melakukan suatu penyelidikan dengan mengikuti tanda-tanda pada peta. Yang ketiga adalah tanda kesuksesan yang dicapai dengan mengikuti tanda-tanda dan simbol-simbol itu.

Dalam arti yang dimaksudkan di sini, yang ketiga berarti hasil-hasil diatas keduniawian (lihat No. 22 dan 23, Kelompok Empat dan juga No. 4, Kelompok Sembilan).

·           CATATAN :

1.    Mulai mempraktekkan tanpa belajar adalah seperti menjelajahi suatu tempat yang luas dan asing tanpa suatu buku petunjuk. Kemungkinan besar ia akan hilang atau binasa sebelum berhasil mencapai sesuatu yang berharga. Inilah pentingnya Kitab Suci dan komentar. Karena dalam hal-hal semacam ini akal sehat saja adalah tak cukup, walaupun akal sehat itu sendiri adalah mutlak.

2.    Tetapi, terdapat lebih banyak buku daripada banyaknya hari, bulan dan tahun yang ditinggalkan untuk kita di dunia ini. Sibuk dengan membaca dan mengajar saja tanpa berusaha untuk menyelidiki sesuatu apapun, adalah menyia-nyiakan kesempatan hidup kita yang berharga di dunia ini. Pepatah yang terkenal mengatakan: "membaca menjadikan manusia sempurna" adalah benar-benar keliru. Karena dalam hal seperti ini, membaca saja adalah tidak cukup, walaupun membaca itu sendiri adalah mutlak


35. BERKAH-BERKAH (SAMPATTI)

  1. Berkah di dalam dunia manusia (manussa-sampatti)
  2. Berkah di dalam alam-alam dewa (sagga-sampatti)
  3. Berkah nibbana (nibbana-sampatti)

Khu. U. 25/12

·         KETERANGAN

Kekayaan, kehormatan, kebahagiaan dan pujian-pujian yang diperoleh pada masa kehidupan saat ini disebut berkah-berkah dalam dunia manusia.

Berkah di alam-alam dewa berarti kelahiran dan kebahagian di alam-alam dewa yang bersifat ke-indria-an, yang berbentuk dan tidak berbentuk (lihat, No. 24 dalam bab ini).

Pencapaian penerangan sempurna atau nibbana adalah apa yang dimaksud dengan berkah-berkah nibbana (lihat No. 9, Kelompok Dua).


36. CARA-CARA PRAKTEK YANG TELAH MAJU (SIKKHA).

  1. Praktek peraturan-peraturan atau kemoralan yang lebih tinggi (adhisila-sikkha)
  2. Praktek meditasi yang lebih tinggi (adhicitta-sikkha)
  3. Praktek kebijaksanaan yang lebih tinggi (adhipaññasikkha)

An. Ti. 20/294

·           KETERANGAN

Cara praktek yang lebih tinggi atau lebih maju adalah suatu praktek yang bertujuan meninggalkan kesenangan-kesenangan indria dan menghasilkan pandangan terang ke dalam sifat fenomena, dan bukan praktek yang memiliki alam ke-dewa-an atau kenikmatan di dalam kesenangan-kesenangan indria sebagai tujuannya.

Peraturan yang lebih tinggi berarti peraturan-peraturan yang berhubungan dengan delapan-rangkaian Jalan Mulia, di mana seorang Bhikkhu atau seorang pencari menempatkan dirinya dengan teguh dalam peraturan kedisiplinan dan kelakuan untuk menempuh kehidupan tanpa rumah, selalu menghindari suatu perbuatan jahat yang dianggap mempunyai akibat-akibat kecil sekalipun.

Meditasi yang lebih tinggi berarti mempunyai jhana (lihat No. 14, Kelompok Empat). Kebijaksanaan yang lebih tinggi berarti kebijaksanaan yang memungkinkan seorang pencari untuk menyadari tiga corak umum (Kelompok Tiga, Jilid I) dan Empat Kebenaran Mulia (Kelompok Empat, Jilid I).


37. PEMASUK ARUS (SOTAPANNA)

  1. Satu-kelahiran (ekabiji)
  2. Dua atau tiga kelahiran (kolamkola)
  3. Tujuh kelahiran (sattakkhattuparama)

An. Da. 24/129

·           KETERANGAN

Para siswa mulia yang menikmati sang hasil pertama (lihat No. 23, Kelompok Empat) adalah disebut 'pemasuk-arus.' Ia yang masuk ke dalam arus atau aliran Penerangan Sejati, pasti akan mencapai Penerangan dan tidak akan mengalami suatu kemunduran apapun. Ada tiga macam siswa mulia dari golongan ini:

Yang lebih tinggi adalah mereka yang hanya memiliki satu-kelahiran lagi sebelum mencapai Penerangan tertinggi (arahatta). Jika mereka itu manusia, mereka pasti akan lahir pada suatu alam ke-dewa-an dan, mencapai Penerangan Sempurna di sana. Jika mereka itu sudah sebagai seorang dewa, mereka akan lahir sekali lagi di alam manusia dan mencapai Penerangan Sempurna di sini. Pemasuk-arus golongan ini nampaknya lebih baik dari siswa mulia yang kembali sekali (sakadagami), lihat No.5, Kelompok Empat, yang dalam hal apapun harus kembali kedunia ini sekali lagi.

Golongan kedua adalah mereka yang harus lahir dua atau tiga kali sebelum mencapai Penerangan Sempurna.

Golongan ketiga, golongan tujuh-kelahiran berarti mereka yang harus lahir tujuh kali paling banyak tetapi dalam beberapa hal dapat tidak harus lahir tujuh kali lagi (mungkin empat, lima atau enam kali sudah cukup). Arti yang dimaksudkan di sini adalah 'lebih dari tiga kali tetapi tidak melampaui tujuh kali'.

·           CATATAN :

Kalimat di atas 'jika mereka (para pemasuk-arus) itu sudah sebagai dewa' menunjukkan pada kenyataannya bahwa mereka adalah para dewa yang datang, seperti disebutkan dalam kitab-kitab suci untuk mendengarkan khotbah Sang Buddha, yang biasanya dilakukan pada malam hari. Ini adalah bukti lain yang memperkuat sebutan bagi Sang Buddha yang beberapa para sarjana ragu-ragu: "Guru dari para dewa dan manusia" (satthadevamanussa-nam).



Bersambung ke ===> Dhamma Vibagha - Penggolongan Dhamma (Kelompok Emp...





Dhamma Vibagha II (Penggolongan Dhamma) Kelompok Tiga




DHAMMA VIBHAGA II
(PENGGOLONGAN DHAMMA)
Kelompok Tiga




Sumber : Dhamma Vibhaga - Penggolongan Dhamma;
oleh: H.R.H. The Late Patriarch Prince Vajirananavarorasa;
alih bahasa : Bhikkhu Jeto, Editor : Bhikkhu Abhipanno;
Penerbit : Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta; Cetakan Pertama 2002)



KELOMPOK TIGA

1.  PIKIRAN-PIKIRAN JAHAT (ASUKALA VITAKKA)

1.     Pikiran yang menghasilkan keserakahan atau ketamakan (kama-vitakka).
2.     Pikiran yang menghasilkan kebencian (byapada-vitakka).
3.     Pikiran yang menghasilkan kekejaman atau kebengisan (vihimsa-vitakka).

An.Cha. 22/496.

·            KETERANGAN

Contoh dari jenis pikiran yang pertama dapat dilihat apabila seseorang memanjakan dirinya dalam kelakuan seks yang rendah, seperti perjinahan, atau perbuatan-perbuatan seks yang melanggar, atau apabila seseorang dikuasai oleh keserakahan dan mencari uang melalui sumber-sumber yang melanggar hukum.

Pikiran jahat jenis kedua adalah apa yang ditimbulkan oleh kemarahan dan diperkuat oleh kebencian atau keinginan untuk membalas dendam.

Pikiran jahat jenis ketiga dapat dilihat pada seseorang yang bersenang-senang sendiri sambil mengorbankan orang lain, atau orang yang senang memberi beban tugas yang berlebih-lebihan kepada bawahannya, merasa acuh tak acuh atas penderitaan makhluk lain.

·            CATATAN :

Sejauh berkenaan dengan tiga akar kejahatan (lihat Jilid 1, pikiran-pikiran jahat yang pertama adalah disebabkan oleh keserakahan (raga), pikiran jahat yang kedua adalah disebabkan kemarahan (dosa), dan pikiran jahat yang ketiga adalah disebabkan oleh ketidak tahuan (moha).


2.  PIKIRAN-PIKIRAN MULIA (KUSALA VITAKKA)

1.    Pikiran-pikiran yang menjurus kearah peninggalan (nekkhamma-vitakka)
2.    Pikiran-pikiran yang menjurus kearah penghancuran kebencian (abyapada-vitakka)
3.   Pikiran-pikiran yang menjurus kearah penghancuran kekejaman atau kebengisan (avihimsa-vitakka)

Ma. Mu. 12/232

  •   KETERANGAN

Pikiran mulia macam pertama menunjukkan pikiran yang menahan diri untuk tidak dikuasai oleh watak kenafsuan, dan juga untuk meninggalkan obyek-obyek kenafsuan. Istilah Nekkhamma atau peninggalan biasanya menyatakan faham hidup tidak berkeluarga (hidup suci), jadi kedua pengertian di atas adalah saling berhubungan satu sama lain dengan eratnya, karena suatu pikiran biasanya berakibat ke dalam suatu perbuatan.

Pemancaran pikiran cinta kasih kepada semua makhluk, mengharapkan kebahagiaan dan kesejahteraan mereka, adalah yang dimaksudkan dengan bentuk pikiran mulia yang kedua.

Apabila pikiran berdasarkan pada kasih sayang dan kemauan untuk membantu orang lain agar terbebas dari penderitaan, maka pikiran ini dimasukkan dalam kelompok pikiran mulia ketiga. Pikiran-pikiran demikian memberikan seseorang suatu pengertian terhadap perasaan dan keinginan orang lain. Bagi seorang yang demikian, tak ada perlakuan untuk mementingkan diri sendiri pada binatang-binatang atau pembantu-pembantunya, juga ia tidak akan bersenang-senang dengan mengorbankan makhluk lain.

  •   CATATAN :

1.  Tiga macam pikiran mulia ini dapat digolongkan dalam pikiran benar (samma-sankappa), salah satu dari delapan unsur dalam delapan rangkaian jalan mulia.

2.   Sejauh berkenaan dengan tiga langkah praktek (sikkha), yakni: peraturan kemoralan (sila), meditasi (samadhi) dan kebijaksanaan (pañña), tiga macam pikiran mulia ini dapat digolongkan ke dalam langkah kebijaksanaan atau pañña.

3.   API (AGGI)

a.      Api kenafsuan (ragaggi)
b.      Api kemarahan (dosaggi)
c.      Api ketidaktahuan (mohaggi)

Khu. U. 25/301

  •   KETERANGAN

Nafsu-nafsu ini disebut api karena akibat-akibat mereka yang membakar pikiran

  •   CATATAN :

1.   Ini adalah nama lain untuk tiga akar kejahatan seperti yang telah disebutkan di dalam Jilid I.

2.  Yang dimaksud dengan 'nafsu' adalah keinginan akan kesenangan indria: bentuk-bentuk yang dapat dilihat, suara, bau, rasa, sentuhan yang menyenangkan dan merangsang. Itu adalah api dalam arti mempunyai suatu dasar keinginan yang membakar untuk mendapatkan lebih banyak.

3.  Tidak begitu sukar untuk melihat atau mengerti bagaimana kebencian dapat diumpamakan dengan api. Kebencian dapat dibandingkan dengan kobaran api yang dengan segera akan timbul apabila keinginan-keinginan yang bernafsu seperti di atas terhalang. Artinya meliputi dari semata-mata kejengkelan, atau rasa tidak senang sampai pada kemarahan hebat dan keinginan untuk membalas dendam.

4.   Ketidaktahuan mungkin kurang dapat dikenal sebagai api, tetapi ia berpengaruh paling lama dan paling dalam di dalam pikiran. Ketidaktahuan menimbulkan keserakahan dan kemarahan, sehingga dapat disamakan dengan bara api, sedangkan nafsu disamakan dengan nyala api, dan kemarahan seperti api yang berkobar-kobar.


4.  KEUNTUNGAN (ATTHA)

1.     Keuntungan yang dapat diperoleh sekarang (Ditthadhammikattha)
2. Keuntungan yang dapat diperoleh pada suatu kehidupan yang akan datang (samparayikattha)
3.     Keuntungan yang tertinggi -mengatasi dua keuntungan-keuntungan di atas (Paramattha)

An. Ca. 285

  •   CATATAN :

1.    Macam keuntungan pertama dan kedua telah diterangkan dalam Jilid I (Kelompok Empat)

2.  Keuntungan yang tertinggi dalam Buddhisme menunjukkan pemadaman nafsu-nafsu atau Nibbana, yang tidak terlahir dan karena itu merupakan keadaan tanpa kematian.

3.  Praktek demi keuntungan yang dapat dicapai dalam kehidupan sekarang adalah bersifat keduniawian. Sedangkan praktek yang membawa pada keuntungan yang dapat dicapai dalam suatu kehidupan yang akan datang adalah sebagian bersifat keduniawian dan sebagian bersifat keagamaan. Akan tetapi, keuntungan tertinggi menuntut suatu praktek keagamaan yang murni, yang dapat dilaksanakan dengan sempurna apabila menempuh kehidupan tak berkeluarga.

4. Perbuatan baik yang memberikan akibat-akibat dalam masa kehidupan sekarang dan kehidupan yang akan datang disebut Vattagami-kusala, (perbuatan-perbuatan baik yang menjurus kearah kehidupan berulang-ulang di dalam lingkaran kelahiran kembali), sedangkan keuntungan yang tertinggi yang memerlukan suatu tingkat perbuatan baik yang lebih tinggi adalah disebut Vattagami-kusala (perbuatan-perbuatan baik yang menjurus kearah hancurnya lingkaran kelahiran kembali).


5.  DOMINASI ATAU PENGARUH YANG MENGUASAI (ADHIPATEYYA)

1.      Pengaruh diri sendiri (attadhipateyya)
2.      Pengaruh dunia (lokadhipateyya)
3.      Pengaruh Dhamma atau hukum kebenaran (Dhammadhipateyya)

An. Ti. 20/186

  •   KETERANGAN

Suatu contoh dari bentuk yang pertama dapat dilihat apabila seseorang melakukan perbuatan baik sesuai kesenangan atau kehendaknya sendiri. Orang semacam itu mengikuti pengaruh diri sendiri berdasarkan atas kenyataan bahwa keputusannya berdasarkan atas prinsip-prinsip penilaiannya sendiri.

Akan tetapi, apabila ia berbuat demikian sebagai akibat pengaruh pendapat atau sikap orang lain, apakah karena takut akan kritik yang tidak baik atau bertujuan untuk memperoleh nama baik atau pujian, ia dikatakan telah mengikuti pengaruh dunia atas dasar bahwa ia lebih memperhatikan pendapat orang lain dari pada pendapatnya sendiri.

Selanjutnya, apabila seseorang melakukan perbuatan berjasa atau beberapa perbuatan baik hanya demi kebaikan saja, dengan menyadari bahwa merupakan suatu hal benar dan pantas untuk berbuat demikian (tidak peduli akan kesukaran sendiri atau sikap orang lain), ia dikatakan mengikuti pengaruh Dhamma atau kebenaran.

  •  CATATAN :

1.  Pengaruh-pengaruh ini juga berhubungan dengan seseorang yang melakukan perbuatan jahat. Jadi, apabila seseorang berbuat jahat demi kepentingan dirinya sendiri, tanpa memperhatikan penderitaan orang lain sebagai akibat dari perbuatan itu atau tanpa mempertimbangkan baik buruknya menurut hukum kebenaran, ia dikatakan berada di bawah pengaruh dirinya sendiri. Apabila ia berbuat demikian karena mengikuti contoh dari orang lain, perbuatannya adalah berdasarkan atas pengaruh dunia.

2.  Di antara tiga macam pengaruh diatas, dua yang pertama kadang-kadang mungkin benar dan kadang-kadang mungkin salah, karena pendapat diri sendiri maupun orang lain bukanlah dasar yang tepat untuk mempertimbangkan nilai atau kebenaran suatu perbuatan. Hanya dengan mematuhi hukum kebenaran saja, maka seseorang dapat memastikan atau mempertimbangkan secara benar.


6.  KESEMPURNAAN (ANUTTARIYA)

  1.   Penyadaran yang sempurna (dassananuttariya)
  2.   Praktek yang sempurna (patipadanuttariya)
  3.   Kebebasan yang sempurna (vimuttanariya)

Di. Pati. 11/231

  •  KETERANGAN

Memahami Dhamma seperti yang dimaksudkan dalam kalimat Pali 'yo dhammam passati so mam passati': 'siapa saja yang melihat Dhamma, melihat diriku', disebut penyadaran yang sempurna.

Mengikuti Dhamma yang telah dilihat atau disadari, mengembangkan segi yang baik dan meninggalkan segi yang jelek, disebut praktek yang sempurna.

·            CATATAN :

Kebebasan (vimutti) sebagian dapat pula menjadi mutlak, biasa (keduniawian) atau dapat pula sempurna, dan untuk sementara saja atau dapat pula untuk waktu yang lebih lama (lihat juga kebebasan, Kelompok Lima).

7.   PENCIPTA-PENCIPTA BESAR (ABHISANKHARA)

  1.   Perbuatan-perbuatan berjasa (puññabhisankhara)
  2.   Perbuatan-perbuatan tidak berjasa (apuññabhisankhara)
  3.   Tidak tergoncangkan (aneñjabhisankhara).

Khu. P. 31/181

  •   KETERANGAN

Apapun yang menciptakan adalah disebut: pencipta. Baik perbuatan berjasa maupun perbuatan tidak berjasa mengubah makhluk dengan kekuatan ciptaan mereka, dan kerenanya adalah pantas disebut pencipta-pencipta. Kelompok ketiga atau aneñja, secara harfiah berarti tidak tergerakkan atau tidak tergoncangkan, menyatakan suatu kondisi keteguhan atau keseimbangan. Kadang-kadang istilah ini dimaksudkan sebagai pencapaian tingkat meditasi yang sudah jauh maju, yang disebut Samapatti, menunjukkan empat tingkat meditasi tidak berbentuk (arupa); tetapi kadang-kadang dimaksudkan untuk menyatakan kondisi di atas manusia biasa (uttarimanussadhama). Jadi, apabila meditasi tidak berbentuk dimaksudkan sebagai pencipta kelompok ketiga, meditasi dengan bentuk (rupa-samapatti) disebutkan sebagai pencipta kelompok pertama atau perbuatan-perbuatan berjasa. Dengan arti ini, meditasi dengan bentuk (rupa-samapatti) nampaknya berada pada tingkatan yang sama seperti perbuatan-perbuatan berjasa umum, yang masih berdasarkan pada keinginan indria dari manusia duniawi (kamavacarabhumi).

Jadi, arti aneñja atau tidak tergoncangkan adalah agak kabur dan membingungkan, maka terserah pada pendapat para sarjana. Istilah ini (abhisankhara) muncul di dalam bab-bab keterangan dari kata sankhara di bawah pokok paticcasamuppada (asal mula yang saling bergantungan). Karenanya, dapat disimpulkan bahwa keduanya mempunyai arti yang sama.

  •   CATATAN :

Dari kandarakasutta (Ma. Mu. 13/15), dan devdhavitakka-sutta (Ma.Mu. 12/236,237) istilah aneñja menunjukkan pada jhana ke-empat. Karenanya, itu mungkin dapat diartikan sebagai pencipta kelompok pertama (perbuatan-perbuatan berjasa), menyatakan pikiran-pikiran mulia (kusala-vitakka), lihat No.2 dari bagian ini. Sedangkan pencipta kelompok kedua (perbuatan-perbuatan tidak berjasa) adalah pikiran-pikiran jahat itu sendiri (akusala-vitakka) lihat No. 1 dari bagian ini.


8.   MENGALIR KELUAR ATAU PENGOTORAN (ASAVA)

  1.   Pengotoran dari nafsu (kamasava)
  2.   Pengotoran dari ikatan pada kehidupan (bhavasava)
  3.   Pengotoran dari ketidaktahuan (avijjasava)

Di. M. 10/96

  •   KETERANGAN

Dalam arti pokoknya, istilah Asava menunjukkan sari atau getah dari suatu pohon atau bunga: pupphasavo, suatu minuman beracun yang disarikan dari bunga-bungaan; dan phalasava, suatu minuman beracun yang disarikan dari buah-buahan. Menurut artinya yang lebih luas, kata asava dipergunakan untuk menyatakan kondisi ketika emosi atau insting telah menguasai (atau dipandang secara harfiah berarti, mengalir keluar dari tempat persembunyian-nya yang dalam dan muncul keatas). Akan tetapi, ada suatu pertanyaan, apakah atau seberapa jauh asava dan kilesa (secara harfiah berarti, kekotoran) harus sama atau berbeda dari satu dengan yang lain dengan pengertian-pengertian mereka? Secara harfiah, seharusnya kilesa yang mana menyatakan keadaan pengotoran adalah istilah petunjuk umum bagi pikiran manusia duniawi. Sedangkan asava, yang mana menyatakan keadaan peragian dan pemupukan, mempunyai suatu pengertian khusus yakni menunjukan pada apa yang menguasai watak seseorang. Ia menjadikannya mudah terpengaruh oleh itu dari pada oleh yang belakangan (kilesa).

Misalnya, merupakan suatu hal yang umum bahwa seseorang duniawi kadang-kadang menjadi marah atau menginginkan sesuatu lebih banyak, tetapi tidak semua dari mereka dapat disebut mudah tersinggung atau bersifat serakah, kecuali beberapa orang yang secara kebiasaan dikuasai oleh pengaruh demikian.

Tetapi mungkin juga terdapat beberapa istilah dengan pengertian sama untuk dipergunakan secara berbeda pada kesempatan yang berbeda. Perbedaannya hanya pada nama atau perumpamaannya saja, dan bukan pada arti utamanya. Kadang-kadang, apabila suatu arti kolektif -arti yang mencakup semua atau arti yang tidak tegas- adalah lebih disenangi, maka kata kilesa memenuhi tujuan yang paling baik. Kadang-kadang pula, apabila suatu arti yang lebih terbatas atau lebih jelas diinginkan maka bermacam-macam kata lainnya dipergunakan untuk tujuan-tujuan khusus. Beberapa istilah tersebut adalah: asava (mengalir keluar), anusaya (pengaruh yang tersembunyi), samyojana (belenggu-belenggu), gantha (pengikat), akusalacittuppada (pikiran-pikiran jahat) dan lainnya.

  •   CATATAN :

Kata 'mengalir keluar' (asava) secara etimologis diterjemahkan dari akar-akar 'Su': mengalir keluar, memiliki suatu pengertian mendalam di dalamnya -walaupun dalam bahasa Indonesia kata itu tidak memiliki terjemahan yang tepat, karena asava menyatakan bentuk kekotoran batin yang paling dalam yang pada umumnya kita tidak sadari, yang mengalir keluar bersama-sama dengan setiap pikiran dan perasaan yang berdampak pada setiap perkataan dan perbuatan. Bagi orang duniawi yang belum menyingkirkan rintangan-rintangan bathin (samyojana)- tak ada harapan untuk mencegah tiga asava ini untuk mengalir keluar melalui apapun yang mereka pikirkan (termasuk perasaan), pembicaraan, dan perbuatan. Fakta ini dapat dibuktikan dengan menempatkan rayuan-rayuan dan gangguan-gangguan didalam kehidupan. Hasilnya lebih kurang pasti menggembirakan (pengotoran dari ikatan untuk menjadi) dan terserap (pengotoran dari ketidaktahuan).


9.   PERBUATAN (KAMMA)

  1.   Perbuatan jasmaniah (kayakamma)
  2.   Ucapan (vacikamma)
  3.   Pikiran (manokamma)

Ma. Ma. 13/56

  •   CATATAN :

1.   Istilah kamma (kehendak, perbuatan) mempunyai suatu arti netral dan dapat berarti baik atau buruk sesuai dengan kata sifat yang menyertainya. Apabila kata Bahasa Indonesia "pikiran" digunakan untuk mengartikan aktivitas atau perbuatan batin atau manokamma, maka dalam hal ini harus dimengerti bahwa perasaan, pencerapan atau pengalaman juga termasuk didalamnya.

2.   Kamma dapat juga dibagi menjadi baik (kusala) dan buruk (akusala), atau berjasa dan tidak berjasa. Lihat uraian tentang kusala dan akusala.


10. PINTU ATAU SALURAN (DVARA)

  1.   Pintu jasmani (kayadvara)
  2.   Pintu perkataan (vacidvara)
  3.   Pintu pikiran (manodvara)

Man. Di. Vin. 1/237

  •   KETERANGAN

Membunuh atau mencuri adalah perbuatan-perbuatan jasmani. Apabila dilakukan sendiri, mereka diselesaikan melalui pintu badan jasmani atau saluran jasmani. Apabila dilakukan melalui perintah yang diberikan kepada orang lain, mereka diselesaikan melalui pintu perkataan atau saluran kata-kata.

Berbohong adalah suatu perbuatan verbal, apabila dilakukan melalui pembicaraan, maka diselesaikan melalui pintu perkataan atau saluran kata-kata; dengan isyarat-isyarat atau gerak-gerak yang bermaksud menimbulkan suatu pengertian salah, seperti mengangguk atau menggoyangkan kepala. Sebaliknya dari berbicara, maka diselesaikan melalui pintu badan jasmani atau saluran badan jasmani. Keserakahan atau ketamakan adalah perbuatan bathin. Memegang obyek keserakahan tanpa keinginan untuk memiliki atau mencuri adalah keserakahan yang diwujudkan melalui pintu badan jasmani atau saluran badan jasmani. Menuntut untuk memiliki adalah suatu keserakahan yang terwujud melalui pintu perkataan atau saluran kata-kata. Sedangkan memikirkan sesuatu dengan keserakahan adalah tanda keserakahan melalui pintu pikiran (lihat juga no. 9, yang mempunyai arti sama walaupun berbeda dalam pengungkapannya).


11. PENGETAHUAN BERKENAAN DENGAN WAKTU (ÑANA)

1.    Pengetahuan mengenai waktu lampau (atitansañana)
2.    Pengetahuan mengenai waktu yang akan datang (anagatansañana)
3.    Pengetahuan mengenai waktu sekarang (paccuppanansañana)

Di. Pati. 11/292

  •  KETERANGAN

Kemampuan untuk meneliti kembali akibat-akibat keadaan sekarang pada sebab-sebab mereka di waktu lampau adalah disebut: 'pengetahuan mengenai waktu lampau'. Kemampuan untuk memperhitungkan akibat-akibat yang akan datang melalui sebab-sebab masa sekarang atau yang akan datang disebut 'pengetahuan mengenai waktu yang akan datang'. Kemampuan untuk mengetahui cara berbuat yang tepat dihadapan sebab-sebab atau akibat-akibat yang timbul dengan segera adalah disebut 'pengetahuan mengenai waktu sekarang'.


12. PENGETAHUAN BERKENAAN DENGAN EMPAT KEBENARAN MULIA (ÑANA)

  1. Pengetahuan mengenai pengetahuan itu sendiri (saccañana)

  1. Pengetahuan mengenai apa yang harus dilakukan dengan masing-masing dan setiap kebenaran (kaccañana)

  1. Pengetahuan mengenai apa yang telah dilakukan berkenaan dengan masing-masing dan setiap kebenaran (katañana)

Sam. Maha 19/531

  •   KETERANGAN

Pengetahuan mengenai kenyataan bahwa "Ini adalah penderitaan (dukkha), Ini adalah sebab penderitaan (dukka samudaya), ini adalah akhir dari penderitaan (dukkha nirodha), dan ini adalah jalan yang membawa pada akhir penderitaan (dukkha nirodha gamini patipada atau magga) " adalah disebut pengetahuan mengenai kebenaran itu sendiri.

Pengetahuan mengenai kenyataan bahwa "Penderitaan adalah harus diketahui atau dimengerti, sebab penderitaan adalah harus dilenyapkan, akhir penderitaan harus disadari atau direalisasi, dan jalan yang membawa pada akhir penderitaan harus dilaksanakan serta dikembangkan" : adalah disebut pengetahuan mengenai apa yang dilakukan berkenaan dengan kebenaran itu.

Tiga tingkat pengetahuan ini meliputi tiap-tiap faktor Empat Kebenaran Mulia, dengan demikian menghasilkan apa yang disebut dua belas rangkaian proses atau tiga lingkaran pengetahuan yang berkenaan dengan Empat Kebenaran Mulia.


13. KEINGINAN ATAU KERINDUAN (TANHA)

  1.   Keinginan akan kesenangan-kesenangan indria (kama-tanha)
  2.   Keinganan akan kehidupan atau menjadi (bhava tanha)
  3.   Keinginan akan kemusnahan atau tidak menjadi (vibhava tanha)

An. Cha. 22/439

  •   KETERANGAN

Apapun yang mendorong makhluk hidup ke arah perjuangan atau pergolakan tanpa akhir disebut keinginan atau kerinduan.

Keinginan bentuk pertama menyatakan perjuangan akan kesenangan-kesenangan indria yang belum diperoleh dan pemuasan kesenangan-kesenangan indria yang telah diperoleh.

Yang kedua adalah keinginan terus-menerus untuk kelangsungan kehidupan di alam kehidupan sekarang atau kelahiran kembali di suatu alam kehidupan berbahagia dimasa yang akan datang.

Yang ketiga, sebagai kebalikan dari yang kedua, adalah suatu keinginan untuk tidak berada di alam kehidupan sekarang (ingin mati), karena kejemuan atau kebosanan, atau untuk tidak dilahirkan kembali di alam kehidupan tertentu yang lain. Harus diperhatikan bahwa pada bentuk keinginan yang kedua (bhava-tanha) dapat meliputi keinginan akan nama harum dan kehormatan (yaitu, untuk menjadi begini atau begitu). Demikian pula pada bentuk keinginan ketiga (vibhava-tanha) meliputi keinginan untuk tidak menjadi begini atau begitu.

  •   CATATAN :

1.   Contoh lain dari bekerjanya keiginan-keinginan tersebut dapat dilihat pada seseorang yang telah bosan dengan seseorang atau barang yang dicintai dan menginginkan yang lain, yang ia pikir lebih baik atau lebih menyenangkan. Bahwa ia bosan dengan miliknya dan ingin berpisah dengan miliknya tersebut adalah perwujudan dari keinginan ketiga (vibhava tanha). Sedangkan, ia merindukan yang lain adalah tanda dari keinginan yang pertama (kama-tanha).

2.   Seringkali diperdebatkan bahwa suatu keinginan untuk tidak dilahirkan kembali atau suatu keinginan untuk mencapai Nibbana adalah bukan tanha dengan dugaan bahwa itu adalah suatu keinginan baik dan bukan sesuatu yang jahat atau yang membawa pada kemelekatan dan lebih banyak kebodohan. Tetapi, ukuran untuk mempertimbangkan hal ini tidak hanya berdasarkan pada arti dari persoalannya saja. Lebih dianjurkan, untuk membandingkannya dengan pokok-pokok lain untuk memeriksa berapa banyak keinginan itu dapat bersesuaian dengan yang lainnya. Pertimbangan yang paling baik untuk hal ini mungkin adalah tiga asava (no. 8 dari bab ini), peninggalan mutlak yang memerlukan tidak kurang dari pandangan terang pada tingkat 'sang jalan' (no.22, kelompok empat). Ini berarti bahwa apapun juga yang dipikirkan atau diinginkan oleh seorang manusia duniawi adalah selalu berhubungan atau terisi dengan asava-asava. Karena itu persoalannya adalah, bukan apakah ia berpikir akan melakukan atau tidak melakukan, dan ingin berbuat atau tidak ingin berbuat. Bentuk negatif dari keinginan atau pikiran adalah bukan alasan untuk menjadikannya naik di atas tingkat pasangannya yang positif. Pada kenyataan, keduanya adalah sama seperti kedua sisi dari sebuah mata uang. Karena apabila seorang manusia duniawi ingin memiliki sesuatu, ini juga berarti bahwa ia tidak menginginkan memiliki beberapa hal lain yang berlawanan dengan itu. Dan apabila tidak menginginkan sesuatu, itu juga berarti bahwa ia menginginkan beberapa hal lain yang lebih baik dari pada itu.

3. Sekalipun keinginan akan makanan dan minuman adalah bukan alasan, sesungguhnya, permintaan badan jasmani itu sendiri adalah bukan tanha, tetapi keinginan manusia duniawi akan makanan dan minuman sudah tentu adalah tanha. Karena yang mendasarinya, selalu dan tanpa kecuali adalah keinginan (walaupun kadang-kadang secara tidak sadar) untuk bentuk makanan dan minuman yang lezat. Untuk membuktikannya cukup mudah. Orang yang sama diberikan bermacam-macam makanan dan minuman yang berbeda, pasti akan dipengaruhi oleh emosi-emosi yang berbeda, sesuai dengan apakah makanan dan minuman yang diberikan itu menyenangkan atau menjijikkan baginya.


14. PANDANGAN-PANDANGAN SALAH (DITTHI)

1.    Ajaran yang menolak akibat-akibat kamma (akiriya-ditthi)
2.    Ajaran yang menolak sebab-sebab kamma (ahetuka-ditthi)
3.    Ajaran-ajaran yang menolak semuanya atau ajaran tentang ketiadaan (natthika-ditthi)

Ma. Ma. 13/111

  •   KETERANGAN

Ajaran pertama beranggapan bahwa tidak ada akibat nyata dari apa yang disebut baik atau buruk. Jadi, apabila seseorang melakukan perbuatan baik atau buruk yang tidak dilihat atau diketahui oleh orang lain, maka secara mutlak tidak ada akibat baik atau buruk untuk diharapkan dari perbuatan itu. Apabila ia dihadiahi oleh orang lain, seseorang dikatakan telah menerima hasil dari kebaikan-nya. Sebaliknya, ketika ia dihukum oleh orang lain, ia secara benar dapat dikatakan telah menerima hasil dari perbuatan jahat. Suatu perbuatan baik atau buruk yang berlangsung tanpa diperhatikan oleh orang lain adalah sama seperti tidak ada. Keyakinan semacam ini menolak akibat (vipaka) dari kamma itu sendiri, hanya menerima apa yang dipersembahkan pada seseorang oleh orang lain yang di dalam bahasa Pali disebut akiriya-ditthi.

Pandangan keliru kedua menolak sebab-sebab Kamma itu sendiri. Ini mengajarkan paham nasib atau takdir (dan dengan demikian dapat disebut determinisme). Seseorang yang menganut ajaran ini beranggapan bahwa orang-orang mengalami kebahagiaan atau penderitaan sesuai dengan apa yang ditakdirkan bagi mereka. Selama saat-saat beruntung, apapun yang mereka lakukan pasti akan memberikan hasil baik, seperti kenaikan pangkat, kekayaan dan nama harum. Sedangkan pada saat tidak beruntung, mereka dapat dipecat, gagal dan putus asa, tidak peduli bagaimana bersemangatnya mereka telah berjuang untuk berbuat baik. Ajaran ini menolak kekuatan Kamma sebagai sebab yang mendasari kabahagiaan dan penderitaan dalam bahasa Pali disebut Ahetuka-ditthi.

Pandangan salah ketiga mengajarkan bahwa tidak ada apapun juga dari apa yang disebut manusia atau binatang. Wujud-wujud ini adalah hasil pengelompokan dari apa yang disebut unsur-unsur, yang terkadang membantu antara yang satu dengan yang lain, dan kadang-kadang berlawanan antara yang satu dengan lainnya. Demikianlah keadaan ini, karena sifat dasar masing-masing, tak ada apapun juga dari apa yang dianggap sebagai perbuatan baik atau buruk itu sendiri. Apabila, misalnya, setelah turun hujan, pohon-pohon berbunga dan menghasilkan bunga, adalah tidak masuk akal untuk berpikir bahwa terdapat suatu perbuatan berjasa pada pihak sang hujan. Selanjutnya, apabila suatu api membakar seluruh pohon-pohon di dalam hutan, tak ada seorang pun yang berpikiran waras akan pernah beranggapan bahwa terdapat sesuatu perbuatan jahat yang dilakukan oleh api. Demikianlah keadaannya, tak ada yang dianggap sebagai perbuatan berjasa atau jahat apapun bilamana seseorang 'melukai' atau 'membantu' orang lain.

  •   CATATAN :

1.  Menurut kenyataan, kata 'Filsafat' walaupun ukurannya tinggi dalam beberapa hal, akan tetapi masih dapat disebut ditthi, atau pandangan-pandangan semata. Sebagian besar dari filsafat telah diciptakan oleh pikiran spekulasi seseorang dan semuanya adalah hipotesa atau teori semata dengan bentuk praktek yang tidak teguh. Dengan memiliki nilai intelektual saja, mereka tidak akan membawa para penganutnya ke manapun juga, sejauh berkenaan dengan perkembangan bathin. Kekotoran bathin atau asava tidak pernah dapat dibersihkan dengan intelektual saja. Sekurang-kurangnya memerlukan meditasi tingkat jhana (lihat kelompok Empat) untuk menindas atau memperkecil kekotoran-kekotoran bathin atau asava-asava itu, apabila tidak menghancurkannya.

2.   Akibat buruk dari tiga pandangan salah ini -filsafat- dapat dibandingkan dengan apa yang dihasilkan dari lima kejahatan terberat (kelompok lima, jilid I). Orang yang menganut pandangan ini dikatakan menjadi tahanan abadi dari lingkaran kelahiran dan kematian serta menjadi penjaga dunia sampai pada hari kiamat. Dalam istilah kitab suci, orang yang demikian disebut: Khanuvatta, sebuah tunggak pohon dalam lingkaran kelahiran kembali; dan Pathavigopo, penunggu-penunggu dunia. Ini jelas karena pikiran-pikiran mereka terperangkap dalam materi, terikat pada materi, dan karena itu terbelenggu erat pada materi.


15. PARA DEWA (DEVA)

1.     Dewa melalui anggapan atau perjanjian (sammati-deva)
2.     Dewa melalui kelahiran (uppattideva)
3.     Dewa melalui kesucian (visuddhideva)

Khu. Cu. 30/312

  •  KETERANGAN

Pada dasarnya, istilah dewa menyatakan yang memiliki kemuliaan-kemuliaan dan patut menerima penghormatan dan penghargaan.

Dewa melalui anggapan atau perjanjian, berarti para Raja, termasuk juga keluarga Raja. Secara tradisi, dalam bahasa Pali seorang Raja disebutkan dengan istilah Dewa.

Dewa dengan kelahiran menyatakan makhluk-makhluk tidak terlihat yang dilahirkan secara spontan (lihat, Kelompok Empat, No. 24, bagian 4), dalam bahasa Pali disebut: opapatika. Ada bermacam-macam golongan dewa dari jenis ini, beberapa tinggal di rumah-rumah, di udara dan di dalam alam-alam mereka masing-masing.

Dewa melalui kesucian adalah nama untuk para makhluk suci (lihat Kelompok Empat, No.4) atau arahata, yang terdiri atas empat macam.

  •  CATATAN :

Dalam arti lain, ini menyatakan praktek-praktek kedewaan. Perlu juga untuk mencatat syair dari Dhammapada berikut ini:

Hiri ottappasampañña
sukkadhammasamahita,
Santo sappurisa loke
Devadhammati vuccare'

"Mereka yang dikaruniai dengan sifat-sifat kedewaan adalah mereka yang diperlengkapi dengan rasa malu akan perbuatan jahat dan takut akan akibat-akibatnya serta yang teguh dalam Dhamma (praktek-praktek mulia) ".


16. CORAK ATAU SIFAT DARI DHAMMA (DHAMMANIYAMA)

  1.   Semua ciptaan adalah tidak kekal.
  2.   Semua ciptaan adalah mengalami kehancuran.
  3.   Semua Dhamma adalah tanpa inti yang sejati.

An. Ti. 20/868

  •  CATATAN :

Istilah Dhamma di sini dipergunakan dalam arti yang seluas-luasnya meliputi semua dan setiap benda, orang dan peristiwa, fenomena, perwujudan dan bagian-bagian lain yang dapat dihayati oleh otak. Juga meliputi segalanya, mencakup materi maupun non materi, yang hidup maupun tidak hidup, yang nyata maupun tidak nyata, dan selanjutnya. Dalam istilah yang mutlak, istilah Dhamma mempunyai arti 'terluas', selama istilah 'terluas' itu dapat mencakup keadaan -tak perlu dikatakan- meliputi segalanya dan mencakup semuanya.

'Ciptaan' disini diterjemahkan dari kata sankhara, yang mempunyai arti apapun yang diciptakan dan terbentuk. Mereka pada dasarnya adalah tidak kekal, mengalami perubahan, dan juga dapat hancur, mengalami kelapukan atau keruntuhan, dan mereka adalah tanpa aku atau inti yang kekal dalam analisa terakhir. Sudah tentu, corak yang terakhir termasuk dalam istilah Dhamma di bagian ketiga, tetapi karena Dhamma, seperti telah disebutkan sebelumnya diatas, adalah meliputi segalanya maka sudah tentu meliputi 'ciptaan-ciptaan' didalam cakupannya. Sehingga istilah Dhamma meliputi sankhara atau ciptaan-ciptaan itu.

Akan tetapi, apabila Dhamma dipandang terpisah dari sankhara maka ia memiliki suatu corak atau sifat khusus yaitu kosong dari suatu inti kekal, dipandang dari suatu sudut atau arti apapun juga. Ketiga hal diatas disebut kelangsungan dari Dhamma (dhammathiti).


17. GAMBARAN BATHIN (NIMITTA)

  1.   Gambaran selama pembacaan (perikammanimitta)
  2.   Gambaran tercapai (uggahanimitta)
  3.   Gambaran yang terkendalikan (patibhaganimitta)

Abhi. San. 51

  •  KETERANGAN

Istilah nimitta, secara harfiah berarti tanda atau lambang. Gambaran disini menyatakan tingkat atau perkembangan meditasi atau perenungan pada suatu obyek.

Tingkat gambaran pertama adalah obyek perenungan atau meditasi itu sendiri, -seperti pernafasan, sebuah mayat, kenyataan akan mendekati kematian, kesucian Sang Buddha dan selanjutnya- dimana perhatian dipusatkan selama proses pembacaan, perenungan atau meditasi.

Tingkat kedua adalah bentuk yang sama atau tindasan gambaran, yaitu obyek meditasi yang direproduksi oleh bathin. Ini adalah apa yang disebut 'gambaran tercapai' sebagai tingkat gambaran pertama yang dihasilkan atau diciptakan oleh bathin.

Selanjutnya sampai pada kedalaman dimana bayangan atau gambaran tercapai dapat dikendalikan dibuat lebih besar atau lebih kecil sekehendak hati dan setiap saat selalu merupakan turunan dari bentuk aslinya, dengan perbedaan dalam ukuran tetapi dengan identitas dan struktur umum yang benar-benar terperinci.

  •  CATATAN :

Tindasan gambar yang dilihat dalam mata bathin (bagian 2) janganlah dicampur-adukan dengan bayangan yang dihasilkan oleh akibat sinar apabila seseorang menutup matanya segera setelah memandang sebuah benda dalam sinar yang terang, atau pun dengan bayangan khayalan yang muncul dalam mata bathin ketika sedang bermimpi atau melamun. Tetapi seperti dinyatakan oleh namanya, tindasan gambar diciptakan selama meditasi, tidak sewaktu bermimpi.