Sabtu, Oktober 29, 2011

Dhamma ketika buang angin


DHAMMA KETIKA BUANG ANGIN
( Perilaku dalam melakukan perbuatan )


Kita semua tentunya sudah tahu bahwa dalam kehidupan ini ada yang disebut sebagai hukum kamma. Hukum yang berlaku sebagaimana adanya. Hukum yang berproses secara alami. Sebuah hukum tentang perbuatan yang berproses sesuai hukum sebab akibat. Apabila kita berbuat sesuatu dalam kehidupan kita saat ini, maka secara alamiah perbuatan itu akan membuahkan hasil sebagai akibatnya. Bukan berarti apa yang kita perbuat ini nantinya berhenti sampai saat ini saja.

Terkadang kita merasakan bahwa yang kita perbuat ini telah selesai. Tetapi terkadang kita merasa apa yang kita perbuat ini belumlah selesai. Bahkan suatu kali kita seperti terdorong oleh kekuatan dalam diri untuk berbuat sesuatu yang tidak kita inginkan dan semua akibat dari perbuatan kita ini nantinya secara wajar pasti akan kembali berproses menjadi kondisikondisi yang menjadi atmosfir kehidupan kita.

Ibarat buang angin melalui kentut, maka bau yang ada diudara akan berbau busuk dan akan terhirup kedalam hidung kita. Ketika udara tersimpan dalam perut, kita tidak mengetahui kalau baunya busuk. Tetapi ketika kentut itu sudah dikeluarkan, kita baru menyadari kalau baunya tidak menyenangkan.

Perbuatan tidak baik yang kita lakukan ibarat seperti itu, pada saat perbuatan itu masih dalam pikiran kita dalam bentuk niatan, kita tidak menyadari kalau niatan itu tidak baik. Tetapi pada saat perbuatan itu sudah dilaksanakan, kita baru menyadari ketika atmosfir kehidupan kita menjadi cenderung tidak baik. Ketika angin busuk dalam perut akan keluar, maka akan terasa sekali dorongan kuat yang membuat kita kepingin kentut. Semakin kita tahan, semakin menjadi keinginan untuk buang angin. Kita seringkali tersiksa karenanya. Sebagian orang cuek akan hal ini dan bisa saja buang angin di depan orang lain tanpa peduli. Sebagian lainnya akan menahan kentut ini sekuat mungkin agar tidak keluar di depan orang lain.

Apabila angin yang keluar semakin banyak, lalu dengan seluruh kekuatan kita upayakan keluar, maka bunyi yang merdu akan terdengar mengikuti  keluarnya angin busuk tersebut. Nah bila sudah begitu, kita akan merasakan kepuasan yang menyenangkan. Kelegaan karena dorongan keinginan yang tadinya menekan bisa dikeluarkan. Apalagi bunyi nyaring yang terdengar terkadang mendukung kepuasan tersebut.


Begitu juga dengan kamma yang kita lakukan. Terkadang sebelum melakukan sebuah perbuatan, kita akan merasakan dorongan keinginan untuk melakukan perbuatan tersebut.  Semakin kita tahan keinginan itu, semakin kuat dorongan itu mendesak kita untuk melakukannya. Semakin lama kita tahan, semakin tersiksa diri kita. Terkadang ketika dorongan untuk berbuat ini didasari oleh niat yang tidak baik, maka sebagian orang akan merasa malu melakukannya secara terang-terangan. Tetapi sebagian orang dengan perasaan tidak bersalah melakukannya secara terang-terangan dan bila perbuatannya itu diketahui orang, maka dia merasa bangga dan tidak merasa menyesal. Terlepas dari sikap yang dilakukan orang yang berbeda-beda, bau kentut tetap harus dibaui oleh hidungnya sendiri, bahkan orang disekitar mereka juga nantinya akan membauinya. Tentunya ini tidak menyenangkan bagi dirinya sendiri maupun orang lain.

Begitu juga perbuatan buruk yang kita lakukan akan berakibat tidak baik pada diri kita dan orang lain. Beberapa orang sudah kebal dengan penderitaan yang terjadi oleh perbuatannya sendiri, tetapi sebagian orang yang masih memiliki kebijaksanaan akan merasa bahwa perbuatan ini tidak selayaknya dilakukan.

Sekarang apa bedanya orang kentut yang dipaksakan keluar dengan cepat dengan orang yang menahan diri dan berusaha dikeluarkan dengan tanpa bunyi? Atau orang yang kentut di depan orang yang sedang makan dengan orang yang kentut dengan menghindar dari orang lain?

Orang yang kentut di depan orang dengan bunyi yang sangat keras adalah orang yang menyalurkan keinginannya tanpa memperhatikan norma-norma kebaikan disekitarnya. Orang seperti ini lama kelamaan akan merasakan bahwa perbuatan yang dilakukan itu adalah sebuah kewajaran. Bahkan mungkin dia akan menganggap bau kentut busuk ini adalah bau yang menyenangkan. Dia tidak akan peduli apakah orang lain terganggu atau tidak. Orang seperti ini akan dijauhi oleh orang yang tidak suka bau kentut.

Demikian juga dengan orang yang melakukan perbuatan tidak baik, apabila dia tidak merasa malu melakukannya secara terang-terangan, maka dia tidak akan mengindahkan norma-norma kebaikan disekitarnya. Orang seperti ini biasanya tidak memiliki rasa malu melakukan perbuatannya. Dia tidak peduli akibat dari perbuatannya akan membuat orang lain dan diri sendiri menderita. Bahkan mungkin dia menganggap penderitaan inilah kebahagiaan.

Dia akan terus menghancurkan orang lain. Semua orang yang tidak suka dihancurkan akan menghindarinya. Tanpa disadarinya semua perbuatannya itu juga akan berakibat pada dirinya dan secara pasti akan menghancurkan dirinya sendiri.

Pada umumnya setelah melakukan dorongan keinginan yang menggebu, akan muncul kepuasan dalam diri kita ketika keinginan itu terlepas dan keluar dari dalam diri. Inilah yang disebut nafsu –nafsu keinginan yang seperti angin busuk dalam pikiran kita. Apabila angin-angin ini terus memberikan kontribusi pada pikiran kita, maka apabila pikiran kita sudah tidak lagi menampung gelembung nafsu keinginan, maka kita secara naluri akan mengeksekusinya dalam perbuatan dan ucapan kita.

Tahukah anda apa yang membuat pikiran ini terus menciptakan dorongan nafsu-nafsu keinginan yang terus menggelembung? Dan kenapa kita tidak mampu menahan nafsu keinginan itu untuk tidak keluar? Mengapa semakin ditahan kita semakin menderita? Bukankah kalau kita ingin kentut lalu anginnya tidak dikeluarkan akan menjadi penyakit? Tahukah kamu bahwa kentut timbul karena produksi gas dari dalam lambung kita karena adanya produksi asam lambung yang berlebihan? Bila kita tidak ingin kentut terus menerus, maka kita harus menjaga pola makan kita agar tidak merangsang asam lambung dalam tubuh berproduksi berlebihan.

Demikian juga dengan pikiran kita. Gelembung nafsu keinginan ini dikarenakan oleh intensitas keserakahan , kebencian dan kekurang-kebijaksanaan dalam diri.
Apabila ketiga hal ini dibiarkan terus berkembang dalam diri kita, maka gelembung nafsu keinginan akan terus muncul dalam pikiran kita setiap saat. Semakin banyak intensitas ketiga hal diatas, semakin sering pikiran kita terdorong oleh nafsu-nafsu keinginan tersebut.

Tahukah anda mengapa keserakahan, kebencian dan kurangnya kebijaksanaan ini           bisa menggelembung dalam pikiran kita?

Inilah yang dikatakan oleh Sang Buddha sebagai kebenaran tentang Dukkha , bahwa memiliki pancakhanda (batin jasmani) adalah dukkha . Tetapi ini adalah kewajaran kehidupan (bukan kewajaran nibbana).


Sama halnya dengan asam lambung dalam perut kita, terkadang perut memang membutuhkan produksi asam lambung, tetapi hanya cukup untuk kebutuhan proses pencernaan saja. Demikian juga dengan nafsu keinginan dalam kehidupan manusia. Terkadang kita masih membutuhkan keinginan-keinginan ketika kita hidup sebagai manusia, karena kehidupan ini adalah kumpulan hasil kamma yang juga bermuatan keinginankeinginan. Jadi untuk hidup sebagai manusia kita masih membutuhkan keinginan-keinginan tersebut, tetapi jagalah agar keinginan itu tidak menggelembung menjadi nafsu yang tidak terkendali. Jagalah agar keinginan itu menjadi hal-hal yang positif dan bermanfaat.

Jadi bagaimana sebenarnya mencegah agar nafsu keinginan kita tidak terpengaruh oleh keserakahan, kebencian dan ketidakbijaksanaan?

Jawabannya adalah pelaksaaan sila dan kemoralan dalam kehidupan. Dengan menjalankan sila / kemoralan ibarat seseorang yang menjaga pola makan agar tidak banyak memasukkan barang-barang yang bisa memancing produksi asam lambung berlebihan. Demikian juga dengan pelaksanaan sila dan kemoralan adalah cara untuk mencegah keserakahan, kebencian dan ketidak pedulian yang membuat kita tidak bijaksana kedalam pikiran kita. Dengan menjalankan sila dan kemoralan kita akan selalu waspada terhadap apa yang akan kita rasakan, lihat dan dengar. Sehingga kita juga tidak menciptakan hal-hal negatif dalam pikiran dan perbuatan kita.

Berhati-hatilah dalam segala hal, jangan melihat dari sisi yang tidak baik, jangan mendengar hal-hal yang tidak baik, jangan selalu merasakan hal-hal yang tidak baik. Berusahalah menjaga kemoralan dan sila agar konsumsi indera kita juga hal-hal yang positif. Dengan demikian maka kita bisa menjaga konsumsi keinginan secara seimbang hanya untuk hal-hal yang berManfaat saja.

Selain mencegah munculnya tekanan nafsu keinginan, lalu bagaimana bila pikiran sudah terlanjut berisi gelembung nafsu keinginan yang berlebihan dan terus mendorong kita untuk melampiaskan semua tekanan tersebut? Ibarat kentut yang tidak bisa keluar, maka akan membuat kita menderita dan sakit. Demikian juga dengan gelembung nafsu keinginan yang sudah memuncak. Apabila kita tekan dalam diri maka akan menimbulkan penderitaan dan pergolakan batin yang sangat hebat. Begitu juga dengan angin busuk dalam perut, harus dikeluarkan dari dalam perut agar kita tidak sakit.

Gelembung nafsu keinginan yang menekan seseorang akan membuat seseorang sakit apabila tidak bisa dikeluarkan. Namun masalahnya adalah secara bagaimana agar nafsu keinginan tersebut bisa tersalurkan dengan benar?

Misalnya kita kentut di tempat yang tidak ada orang agar orang lain tidak menerima bau busuk yang kita keluarkan. Atau berusaha mengeluarkan angin busuk tersebut tanpa suara. Dan masih banyak cara-cara lain mengatasi hal-hal yang sudah terlanjur saat ini. Demikian juga dengan nafsu keinginan yang terlanjur ada dalam pikiran kita dan mendesak kita untuk segera dieksekusi. Kita tidak perlu menahannya, juga tidak perlu mengikutinya. Cobalah lepaskan semuanya dengan cara yang lepas dan rileks. Biarkan semua hal itu berproses dalam pikiran, tetapi usahakan kesadaran kita tidak terpaku pada nafsu-nafsu keinginan tersebut. Bila kita bisa bertahan untuk tidak mengikutinya, maka ketika prosesnya berakhir, semuanya akan menjadi reda karena dorongan itu sudah terselesaikan. Beda dengan ketika kita menekan nafsu-nafsu tersebut dalam diri. Kita bukan melepaskan tekanan tetapi kita malah menambah tekanan dengan semakin fokus pada nafsu-nafsu tersebut, kita semakin terikat oleh mereka.

Jadi bila ini terjadi berusahalah lepas dan biarkan berproses secara wajar. Jangan diikuti jangan ditolak. Bila kita mengikuti berarti kita ibarat makan keserakahan yang berbuah nafsu keinginan, bila kita menolak ibarat makan kebencian yang berbuah nafsu keinginan . Semua hal ini akan semakin menggelembungkan nafsu keinginan kita. Ini tidak menyelesaikan masalah. Apalagi kalau kita kemudian berpandangan bahwa dengan menolak dan mengikuti maka semua tekanan menjadi hilang. Pandangan salah seperti inilah yang membuat kita semakin jauh terperosok kedalam buaian nafsu keinginan. Biasanya diawali dengan hal-hal yang kecil lalu menggulung secara terus menerus menjadi semakin besar. Hal inilah yang membuat kita semakin menderita.

Kehidupan seperti apakah yang anda inginkan? Apabila anda memilih hidup dalam lingkungan udara berbau busuk sepanjang hari, maka biarkanlah mulut anda terus makan makanan enak yang menyebabkan asam lambung kita berproduksi berlebihan dan lama kelamaan lambung akan mengalami kegagalan karena ketidakseimbangan. Ataukah anda memilih hidup dalam atmosfir yang bersih sepanjang hari dengan bau harum bunga-bunga Dhamma, sementara lambung kita sehat dan terhindar dari iritasi asam lambung.

Demikian juga dengan kehidupan ini. Apabila kita memilih kehidupan dengan penuh kamma baik, mulailah mewaspadai apa yang kita rasa, apa yang kita lihat dan apa yang kita dengar sehingga kita bisa menjaga pikiran dan perbuatan kita untuk tidak berbuat tidak baik. Dengan demikian maka pikiran kita akan semakin seimbang dan sehat untuk bisa melihat dukkha dalam kehidupan ini.

Demikianlah sedikit perumpamaan tentang kamma dalam kehidupan. Semoga mereka yang waspada dan menjalankan sila dengan benar dapat terbebas dari tekanan nafsu keinginan yang tidak baik dalam kehidupannya.


Sumber : Dawai edisi ke : 51


]˜



Senin, Oktober 24, 2011

Budha berbeda dengan Buddha


BUDHA BERBEDA DENGAN BUDDHA
Oleh : Tanhadi


  
Bila kita perhatikan dengan seksama, ternyata masih banyak umat Buddhis sendiri yang masih menyebutkan / menuliskan nama Sang Buddha (2 huruf ‘d’ ) dengan Budha (hanya 1 huruf ‘d’). Tentu saja hal ini adalah penulisan yang salah, karena arti dari masing-masing nama tersebut adalah berbeda pula.


Budha berbeda dengan Buddha

* BUDHA

Kata Budha memiliki 2 makna yang merujuk kepada:
-      Dewa Budha, Dewa planet Merkurius, dewa perniagaan dan pelindung para pedagang dalam kepercayaan Hindu.

-      Hari Rabu dalam bahasa Sanskerta dan bahasa Bali serta bahasa Jawa Kuno.

Dalam mitologi Hindu, Budha adalah nama untuk planet Merkurius, putra Candra (bulan) dengan Tara alias Rohini. Ia juga dewa barang dagangan dan pelindung para pedagang.

Dalam kitab Purana diceritakan bahwa pada zaman dahulu kala, Candra sang dewa bulan, bertikai dengan Wrehaspati, guru paradewa. Perselisihan tersebut disebabkan karena Candra menculik Tara, istri Wrehaspati.

Untuk merebut Tara kembali, Wrehaspati berperang melawan Candra dengan bantuan laskar para dewa, sedangkan Candra dibantu oleh Sukracarya dengan laskar raksasa. Peperangan tersebut dikenal sebagai Tarakamaya Sanggrama. Brahma menengahi perang tersebut sehingga akhirnya perdamaian pun tercapai. Namun, Candra dan Tara sudah terlanjur memiliki keturunan, dan diberi nama Budha. Sebagai anak yang lahir dari hubungan yang tak direstui, Wrehaspati pun enggan mengasuh Budha sebagai putra tirinya.

Budha jatuh cinta kepada Ila, putri Manu. Mereka akhirnya menikah dan memiliki putra yang diberi nama Pururawa. Kemudian, Pururawa berputra Ayu, Ayu berputra Nahusa, Nahusa berputra Yayati, dan Yayati berputra Puru. Para raja tersebut merupakan para raja Dinasti Candra, karena mereka adalah keturunan Candra. Setelah beberapa generasi, lahirlah para Pandawa dan Korawa yang termahsyur dalam wiracarita Mahabharata. (Kutipan dari: Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas)


* BUDDHA

Buddha berarti : Ia Yang Sadar, merupakan gelar bagi individu Yang telah mencapai pencerahan sempurna.

Pada era Buddha saat ini, gelar Buddha tersebut merujuk pada Buddha Gotama (Siddhattha Gotama) yang dianggap sebagai cikal-bakal/pendiri agama Buddha yang kita kenal saat ini. Beliaulah yang menemukan kembali Dhamma/Dharma dan mengajarkan temuanNya tersebut (Dhamma) kepada manusia di bumi dan para dewa di alam Surga. Sehingga Beliau dikenal juga sebagai Guru para dewa dan manusia.

Agama Buddha dalam pengertian doktrin berarti Ajaran dan Peraturan ( Dhamma dan Vinaya ) dinamakan Buddha-sasana. Karena Dhamma ditemukan kembali oleh Sang Buddha, maka seluruh Ajaran Sang Buddha dapat disarikan dalam satu kata saja dan lebih sering disebut Buddha Dhamma dan di Barat orang-orang memakai istilah Buddhism.

Sang Buddha, yang nama sebenarnya adalah : Siddhattha (Skt.Siddharta) dan nama keluarganya Gotama (Skt.Gautama) bertempat tinggal di India Utara di Kapilavatthu pada abad ke 6 S.M.

Ayahnya, Raja Suddhodana, adalah raja kerajaan wangsa Sakya (sekarang Nepal). Ibunya bernama Maya Devi. Menurut tradisi pada waktu itu, Beliau dinikahkan pada usia yang sangat muda, yaitu usia 16 tahun dengan seorang putri yang cantik sekali yang bernama Yasodhara.

Pangeran muda ini hidup dalam sebuah istana yang mewah sekali. Tetapi pada suatu ketika Pangeran melihat kenyataan bahwa hidup ini sebenarnya penuh dengan penderitaan dan oleh karena itu Ia mengambil keputusan untuk mencari suatu cara yang dapat membebaskan manusia dari penderitaan.

Pada usia 29 tahun, setelah putra tunggalnya Rahula dilahirkan, Sang Pangeran meninggalkan istananya yang mewah dan menjalankan kehidupan sebagai seorang petapa.

Selama enam tahun Sang Petapa Gotama berkeliling di hutan-hutan dekat Sungai Gangga menemui dan berguru kepada Guru-guru Yogi yang termashur dan menjalani pula cara mereka bersamadhi serta cara-cara lain lagi untuk menjadi seorang petapa yang sejati. Tetapi semuanya ini tidak dapat memuaskan hati Sang Petapa Gotama. Oleh karena itu, Ia melepaskan diri dari semua tata cara agama yang ada pada waktu itu dan ia melakukan usaha-usaha dengan caranya sendiri.

Pada suatu malam, ketika duduk dibawah pohon Assattha (yang dikemudian hari dikenal sebagai pohon Bodhi) di tepi Sungai Neranjara di Buddha Gaya (dekat Gaya di Bihar sekarang), Sang Petapa Gotama pada usia 35 tahun memperoleh Kesadaran Agung dan mencapai tingkat Buddha, yaitu orang yang mendapatkan Pencerahan Sempurna.

Sesudah itu Sang Buddha Gotama memberikan khotbah-Nya yang pertama kepada lima orang petapa yang dahulu pernah menjadi teman se-pertapa-an disebuah taman rusa di Isipatana (Sarnath sekarang) dekat kota Benares. Semenjak itu untuk 45 tahun lamanya Beliau memberikan khotbah kepada khalayak ramai dari berbagai macam tingkatan dan asal usul dengan tidak pernah melakukan perbedaan.

Pada usia 80 tahun Sang Buddha Gotama mangkat (Parinibbana) di kota Kusinara (sekarang Utar Pradesh). Kini agama Buddha dianut dinegara-negara Srilangka, Burma, Thailand, Kampuchea, Laos, Vietnam, Tibet, Tiongkok, Jepang, Mongolia, Korea, Taiwan, Indonesia , beberapa bagian dari India, Pakistan, Nepal dan juga di Uni Soviet. Pengikut agama Buddha di seluruh dunia kini ditaksir lebih dari 500 juta orang.


Demikianlah, Semoga pengetahuan ini dapat memberikan manfaat , khususnya bagi umat se-Dhamma agar dapat lebih jelas mengetahui bahwasanya BUDHA dengan BUDDHA adalah dua hal yang berbeda sosok maupun maknanya.


]˜