Kamis, September 27, 2012

Kebahagiaan Semu


KEBAHAGIAAN SEMU
Oleh: Upa. Amaro Tanhadi

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa

“ Segala sesuatu yang terbentuk tidaklah kekal,
timbul dan tenggelam sifatnya ;
Setelah muncul akan hancur dan lenyap.
Terbebas darinya adalah kebahagiaan tertinggi. “
 (Mahāparinibbāna Sutta)

Sudah menjadi impian semua orang bahwasanya hidup ini dipenuhi dengan bunga-bunga kebahagiaan dan menjauhi sekecil apapun bentuk-bentuk penderitaan .

Sehingga tidak sedikit orang-orang berlomba untuk mengejar impian hidup bahagia dengan caranya masing-masing.

-  Ada yang bekerja keras-mati-matian untuk mengumpulkan harta materi, dimana pikirnya hal itu (harta) merupakan sarana utama untuk dapat memberikan kebahagiaan bagi dirinya dan keluarganya, semua yang diinginkan dan  disenangi bisa dibeli dengan uang.

-   Ada pula yang hidup dengan segala kekayaannya dengan menikmati hari-harinya dengan bersantai, melancong keluar negeri, makan enak dan berpesta-pora.

-    Namun ada pula yang hidup dengan segala kesederhanaannya sebagaimana apa adanya (jawa : Nrimo).

Benarkah demikian cara menyikapi hidup agar berbahagia? Benarkah ia mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya seperti yang diimpikan?

Hal tersebut samasekali tidak menjamin kita dapat hidup berbahagia, karena kebahagiaan itu sesungguhnya timbul dari sikap mental yang senantiasa bersyukur dengan apa yang telah dimiliki dan tahu batas untuk merasa cukup.

Masih sangat banyak orang yang hidup didunia ini belum mengetahui dan bahkan tidak menyadari akan adanya sifat-sifat dari kehidupan yang tidak dapat disangkal keberadaannya, dan bagi orang yang belum mengenal dan  memahami sifat-sifat kehidupan ini dapat dikatakan sesungguhnya ia terbelenggu oleh penderitaan, rasa ketidak puasan, mengeluh, merasa selalu kurang dsb.

Apakah sifat-sifat kehidupan itu ? mari kita simak bersama-sama dan kenalilah bahwa ;

1.    Semua yang bersyarat / terkondisi ,yaitu sesuatu yang terbentuk dari perpaduan unsur akan mengalami perubahan , olehkarenanya tidaklah kekal adanya. (Sabbe sankhara anicca)

Ini adalah salah satu Kebenaran yang sering diabaikan oleh kebanyakan orang, karena pada umumnya mereka tidak mengerti dan tidak menyadari akan hakikat perubahan ini, sehingga hal ini menimbulkan perasaan takut akan kehilangan atau takut akan berpisah dengan apa yang mereka cintai maupun terhadap segala sesuatu yang mereka sukai.  Akibatnya, jika apa yang dicintai dan disukai itu mengalami perubahan, misalnya orang yang dicintai itu meninggal dunia atau barang yang disukai itu mengalami kerusakan, maka saat itu juga muncul penderitaan, kesedihan, ratap tangis , penyesalan, kekecewaan dan lain-lain. Dan didalam benaknya akan diliputi oleh pertanyaan-pertanyaan : “ Mengapa ini harus terjadi?, Mengapa begitu cepat semua ini terjadi ?, Mengapa semua ini harus aku alami?”

Disinilah pentingnya kita senantiasa melatih diri untuk mengamati , merenungkan dan menerima kebenaran ini sebagaimana apa adanya, hal ini bukan berarti menjadikan kita sebagai orang yang pesimis, cuek terhadap segala sesuatu, tapi justru Kebenaran ini mengajarkan kita untuk melihat realitas yang sesungguhnya, karena memang demikianlah kebenaran ini pasti akan terjadi dalam hidup manusia. Dengan demikian ketika sewaktu-waktu kita berpisah atau ditinggalkan oleh orang yang paling kita cintai pun, kita tidak sampai larut dalam penderitaan/kesedihan yang berkepanjangan.


2.    Semua yang bersyarat / terkondisi -yang terbentuk dari perpaduan unsur dan mengalami perubahan adalah dukkha. (Sabbe sankhara dukkha)

Dukkha disini tidak hanya terbatas pada pengertian Penderitaan saja,  tetapi dukkha juga mencakup pengertian tidak memuaskan, sukar bertahan, keberadaan yang menekan, menghimpit.  

Kebenaran yang kedua ini adalah yang paling banyak disalahpahami oleh kebanyakan orang dan beranggapan bahwa agama Buddha/Sang Buddha semata-mata hanya mengajarkan bahwa hidup ini adalah penuh dengan penderitaan dan Sang Buddha tidak mengajarkan tentang adanya kebahagiaan di dunia ini dsb. Ini jelas adalah pandangan yang keliru terhadap Ajaran Sang Buddha, karena mereka pada umumnya hanya membaca atau mendengar sebait kalimat saja tanpa berusaha untuk menelusuri lebih dalam lagi apa makna yang telah diajarkan oleh Sang Buddha tentang penderitaan itu. Dan adalah tidak benar jika Sang Buddha tidak mengajarkan tentang kebahagiaan hidup didunia ini.

Sebenarnya mereka yang beranggapan keliru seperti itu tidak menyadari bahwa dirinya itu sesungguhnya sedang berada didalam lingkaran penderitaan itu sendiri, mereka beranggapan bahwa kehidupan ini adalah penuh dengan keindahan dan kebahagiaan.

Tapi mereka lupa bahwa setiap saat hidup dan kehidupannya sering dihinggapi oleh dukkha, yang muncul sebagai perasaan sedih, kecewa, rataptangis, kemarahan dan ketidak puasan terhadap sesuatu.

Manusia memang ingin selalu bahagia, bahagia muncul tidak harus dengan merubah derita, tetapi bahagia akan muncul tatkala seseorang bisa memahami akan derita. Dengan memahami akan kebenaran ini, derita yang kita alami akan semakin berkurang.


3.  Segala sesuatu yang bersyarat maupun yang tidak bersyarat adalah bukan diri (Sabbe dhammā anattā)

Mengapa dikatakan bukan diri ? Sebab keberadaannya berada diluar kekuasaan kita, ia tidak bisa kita atur,  dan ia tidak bisa menuruti kehendak kita. Bisakah kita dengan mengatakan kepada kulit kita : ‘wahai kulitku , janganlah kamu menjadi keriput’ ,apakah ia patuh serta menuruti apa yang kita inginkan ?  tentu saja tidak ! ia tetap saja menjadi keriput. ‘ wahai rambutku janganlah kamu menjadi putih- ia tetap saja tidak akan patuh dan menuruti kehendak kita , ia tetap saja menjadi putih.  

Dengan demikian , apakah sesuatu yang tidak bisa kita atur dan tidak bisa menuruti kehendak atau perintah kita itu dapat disebut sebagai diriku, aku atau milikku ?.

Bila diri ini adalah ‘Aku’ (Atta) dan dia adalah milikku, maka sudah semestinya ia dapat dikuasai dikendalikan dan dapat kita ubah sekehendak hati kita. Oleh karena itu sesungguhnya tidak ada sesuatu pun pada diri kita yang dapat disebut sebagai “Aku” , ‘diriku’ atau  ‘Milikku’.

Seseorang yang masih beranggapan bahwa diri sebagai aku, atau milikku, dan ketika apa yang disebut aku atau milikku itu mengalami perubahan maka yang timbul adalah ketidakpuasan, kekecewaan, kesedihan, menderita dan itulah dukkha.

Sebagai contoh: ketika ada keluarga kita sendiri yang meninggal dunia, kenapa kita sedih?, tetapi kalau ada tetangga kita yang meninggal dunia, kita tidak sedih. Ini disebabkan karena masih adanya kemelekatan terhadap keakuan bahwa itu adalah keluargaku dan yang itu bukan keluargaku . Kata ”ku” inilah yang menjadikan kita menderita.

Sang Buddha telah mengajarkan kepada kita bahwa yang terlihat sebagai diri ini (tubuh) hanyalah terdiri dari Lima kelompok unsur pembentuk kehidupan (pancakkhanda), dan mereka bukanlah ‘atta’ (Jiwa, Diri, Ego, Aku, Pribadi, Roh) karena mereka terikat oleh hukum-hukum perubahan /kefanaan, tidak memuaskan dan tiada inti diri.

Tidak ada suatu diri atau ego yang kekal yang merekat di dalam ataupun di luar segala fenomena fisik dan mental dari setiap eksistensi atau keberadaan; bahwa setiap eksistensi hanyalah merupakan perwujudan dari muncul dan lenyapnya fenomena-fenomena atau gejala-gejala fisik dan mental tanpa adanya diri atau atta yang lain yang terpisah di dalam ataupun di luar proses-proses itu sendiri.

Sifat Anatta tidak hanya berlaku untuk bentuk dan keadaan yang tercakup dalam Panca Khandha ( lima unsur penyusun ‘diri’ /kehidupan) melainkan merupakan sifat dari seluruh keadaan, bentuk atau jelmaan dari yang sangat halus sampai yang maha besar.

Tidak ada Atta atau diri yang kekal baik di dalam suatu individu ataupun dalam bentuk semesta yang lebih besar.  Yang ada hanyalah diri atau sifat yang sementara, yang senantiasa berubah dari saat ke saat.

Dalam Majjhima Nikaya, Sang Buddha menguraikan bahwa kepercayaan akan atta adalah gagasan yang hanya akan menimbulkan egoisme dan keangkuhan .

Dengan memahami Tiga Sifat Kehidupan tersebut sebagaimana adanya, maka sampailah kita pada suatu kesimpulan bahwa dengan melepas gagasan atau persepsi tentang keakuan, maka kita akan dapat terbebas dari kemelekatan, bebas dari derita, bebas dari kesedihan dan bebas dari ilusi kebahagiaan yang semu menuju kebahagiaan sejati.


Mettacittena,
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta


Referensi :
-         Majjhima Nikaya I : 228
-         Anattalakkhana Sutta -SN 22.59.
-         Khandha Samyutta, SN 104
-         Ceramah Bhikkhu Atthadhiro : Ketidaktahuan Penyebab Penderitaan


(26 September 2012)

-oOo-



2 komentar:

  1. 3. Segala sesuatu yang bersyarat maupun yang tidak bersyarat adalah bukan diri (Sabbe dhammā anattā)

    apa tidak salah pak terjemahannya?
    "yang bersyarat maupun yang tidak bersyarat" ?? terlihat aneh peryataannya, susah dilogikakan..
    jadi yang mana yang disebut diri?

    BalasHapus
  2. Uraian dan penjelasan tsb. sudah benar, hanya perlu pengertian lebih dalam lagi untuk mempetoleh pemahamannya.

    Singkatnya :
    Segala sesuatu yg bersyarat/berkondisi/bentukan atau perwujudan adalah merupakan perpaduan dari berbagai unsur/material yang selalu berubah, sehingga tidak ada unsur 'Inti' yg bisa disebut sebagai 'Diri' yang kekal.

    Kalau yg bersyarat atau yg berwujud saja tidak ada 'Inti' yang bisa disebutkan sebagai 'Diri' , apalagi dengan segala sesuatu yang tidak bersyarat/tidak berkondisi/ tidak berbentuk atau tidak berwujud?

    Diatas sudah dijelaskan '...bahwa setiap eksistensi hanyalah merupakan perwujudan dari muncul dan lenyapnya fenomena-fenomena atau gejala-gejala fisik dan mental tanpa adanya diri atau atta yang lain yang terpisah di dalam ataupun di luar proses-proses itu sendiri.

    Sifat Anatta tidak hanya berlaku untuk bentuk dan keadaan yang tercakup dalam Panca Khandha ( lima unsur penyusun ‘diri’ /kehidupan) melainkan merupakan sifat dari seluruh keadaan, bentuk atau jelmaan dari yang sangat halus sampai yang maha besar.'

    Demikian penjelasan yg dapat saya sampaikan dan terima kasih telah berkunjung ke Blog ini.

    Salam Metta,
    Tanhadi

    BalasHapus