Kamis, Maret 22, 2012

Manfaat Memiliki Buddha Rupang di Rumah


MANFAAT MEMILIKI BUDDHA RUPANG DI RUMAH

Oleh: Bhikkhu Gunasilo

Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa

Puja ca pujaniyanam, etammangalamuttaman’ti

Menghormat yang patut dihormat. Itulah berkah utama
(Mahamangala Sutta, Sutta Nipata, Khuddaka Nikaya)

Sebagai umat Buddha, tentu kita tahu tentang simbol Buddharupang, yaitu untuk menghormati nilai-nilai luhur dari Sang Buddha, karena Sang Buddha telah menyebarkan ajaran kebenaran demi keselamatan umat manusia agar terbebas dari penderitaan. Sesungguhnya Buddharupang yang telah dibuat dari berbagai negara seperti Jepang, Thailand, Korea, Indonesia, dan sebagainya, memiliki nilai-nilai luhur yang sama, hanya masing-masing negara berbeda versinya dalam membuat Buddharupam.  

Alangkah baiknya kalau kita juga memiliki Buddharupang sendiri di rumah untuk kita hormati dan kita puja sekaligus sebagai sarana untuk melakukan puja bakti di rumah. Tetapi, sayangnya sebagian umat Buddha belum memiliki Buddharupang atau altar di rumah. Mereka beralasan karena sibuk, jarang berada di rumah, kesulitan mengurus dan sebagainya.

Bahkan ada juga yang memiliki pandangan salah, dengan mengatakan bahwa, memiliki Buddharupang atau altar terlebih dahulu dikwe-kwang atau diisi, diblessing, dengan tujuan agar tidak dimasuki oleh makhluk halus yang jahat. Kemudian dirawat dan sering dibacakan paritta-paritta suci dan bermeditasi setiap sore. Apabila hal ini tidak dilakukan maka Buddharupang ini akan marah dan nantinya seluruh keluarga akan celaka. Di samping itu merupakan perbuatan kamma buruk yang sangat besar.

Berdasarkan pandangan salah inilah para umat Buddha enggan untuk memiliki altar atau Buddharupang di rumah. Padahal dengan memiliki Buddharupang, kita bisa melakukan puja bakti setiap hari di rumah, sekaligus mendidik dan membiasakan anak-anak agar terlatih dalam membaca paritta-paritta suci. Dengan melakukan puja bakti secara rutin dan teratur, maka kita akan melatih beberapa hal yang sangat utama yang akan menjadikan landasan kita untuk selalu berdisiplin mengenal Dhamma, membina batin, mengingatkan kita akan pentingnya pelaksanaan sila, membina hubungan keluarga yang harmonis serta meningkatkan keyakinan kita kepada Sang Tiratana.

Dalam melakukan puja bakti di rumah yang terpenting adalah ketulusan hati. Segala macam persembahan bukan menjadi jaminan untuk memperoleh pahala yang besar. Persembahan ini adalah wujud bakti dan terima kasih kita atas segala petunjuk dan bimbingan yang telah diberikan oleh Sang Buddha.

Untuk melakukan puja bakti di rumah, hal yang perlu dilakukan adalah:

1.  Pertama kita menyalakan sepasang lilin dilanjutkan dengan membakar hio sebanyak tiga batang sambil mengucapkan ’semoga semua makhluk selalu hidup berbahagia’.

2.  Membacakan Namakara Patha, dilanjutkan dengan membaca Pubbabhaganamakara, Saranagamanapatha, Pañcasila, Buddhanussati, Dhammanussati, Sanghanussati, Saccakiriya Gatha, Karaniyametta Sutta (minimal sampai Karaniyametta Sutta) bisa juga ditambah dengan paritta yang lain.

3.  Setelah kita membacakan paritta-paritta suci, kita memulai meditasi minimal 15 menit, pada saat mengakhiri latihan meditasi, kita mengucapkan sabbe satta bhavantu sukhitatta; semoga semua makhluk hidup berbahagia.

4.   Puja bakti diakhiri dengan membaca Ettavata dan ditutup dengan Namakara Patha.

Demikianlah cara melakukan puja bakti di rumah. Bila kita dapat melakukan puja bakti setiap hari lebih baik, lalukanlah setiap pagi dan sore, bila tidak memungkinkan tidak menjadi masalah, dan semua ini dilakukan dengan penuh kebijaksanaan, bukan dengan pemaksaan dan keharusan. Memang dalam agama Buddha untuk melakukan puja bakti tidak harus ada Buddharupang pun tidak apa-apa, yang penting pikirannya dapat terkonsentrasi. Masalahnya kebanyakan umat awam belum dapat mencapai tahap melatih diri tanpa objek puja bakti. Maka itulah perlu kiranya kita memiliki Buddharupang di rumah sebagai sarana untuk melatih batin dan sebagai alat konsentrasi. Dengan demikian timbullah keyakinan yang kuat dalam batin kita.  

Sesungguhnya memiliki altar atau Buddharupang di rumah sangat baik sekali bagi kita, di samping untuk memperkuat keyakinan kepada Sang Tiratana, juga untuk mengingatkan kita akan keluhuran dari sifat-sifat Sang Buddha yang penuh cinta kasih kepada semua makhluk hidup. Dengan demikian kita dapat mencontoh dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari. Demikian pula ketika kita sedang dalam berduka, banyak masalah, bingung, takut, maka kita selalu teringat akan ajaran Sang Buddha pada saat itu, sehingga muncullah kebijaksanaan, keyakinan serta ketegaran dalam menghadapi berbagai macam derita. Selain itu kita juga dapat lebih giat lagi dalam membaca paritta-paritta suci maupun bermeditasi, sehingga batin menjadi lebih tenang, tentram, dan damai. Dengan adanya altar atau Buddharupang ini, maka umat Buddha diingatkan untuk selalu mengikuti jejak langkah Sang Buddha, agar dapat mencapai pembebasan.

Peletakan altar boleh diletakkan di mana saja yang penting terhormat, tidak mengganggu orang lewat, jadi tidak ada keharusan untuk menghadap ke samping, atau ke belakang agar rumahnya bisa banyak hoki atau rejeki. Altar sebaiknya diletakkan di tempat terhormat seperti; ruang utama, ruang khusus, ruang tamu, dapat pula diletakkan di meja kecil yang ditempatkan di dinding. Apabila kita memiliki loteng atau lantai bertingkat dua, sebaiknya altar diletakkan di lantai dua. Bagian atas altar sebaiknya tidak merupakan tempat yang dilalui orang-orang lewat.

Beberapa hal yang perlu diletakkan di meja altar antara lain; Buddharupang, lilin, pelita, bunga, dupa/hio, air, dan persembahan lainnya seperti buah-buahan. Buah yang diletakkan di altar misalnya; jeruk, anggur, apel, pisang, jambu, kelengkeng, dan sebagainya. Jadi tidak harus buah yang khusus. Dengan memiliki altar atau Buddharupang di rumah, umat Buddha diharapkan dapat melakukan puja bakti setiap pagi dan sore bersama-sama keluarga di hadapan Sang Tiratana. Dengan demikian kita juga dapat mendidik dan mengajarkan anak-anak kita untuk selalu membiasakan puja bakti di rumah dengan membaca paritta dan bermeditasi, dengan demikian anak-anak akan memiliki keyakinan yang lebih kuat terhadap agamanya sendiri dan kepada Sang Tiratana yaitu Buddharatana, Dhammaratana, dan Sangharatana, sehingga batinnya tak mudah tergoyahkan.

Puja bakti ini juga merupakan salah satu penghormatan kepada Sang Tiratana dan ini merupakan sikap yang sangat terpuji yang menunjukkan sikap rendah hati. Penghormatan ini dapat dilakukan melalui tiga cara:

1.  Bersikap añjali;
2.   Ber-namakara sebanyak tiga kali; dan
3.   Padakkhina (mengelilingi vihara sebanyak tiga kali searah jarum jam).

Sang Buddha bersabda :
puja ca pujaniyanang, etammangalamuttamang
(menghormat yang patut dihormat itulah berkah utama).

Oleh karena itu, milikilah altar atau Buddharupang di rumah, jangan takut dan jangan ragu, karena dengan memiliki altar Buddharupang di rumah membuat kita lebih yakin kepada Sang Tiratana, sehingga dapat mengkondisikan batin kita menjadi lebih tenang, tentram, damai, dan bahagia. Selain itu, pada saat membaca paritta, berdoa, maupun bermeditasi, pikiran akan lebih membantu untuk berkonsentrasi. 


Rupang Sang Buddha


RUPANG SANG BUDDHA

Sang Buddha adalah seorang manusia yang telah mencapai penerangan sempurna atau telah tercerahkan sepenuhnya. Walaupun Beliau telah meninggal dunia, namun ajaranya masih bermanfaat bagi orang-orang, contoh-contohnya masih menginspirasikan banyak orang dan kata-kata bijaknya juga masih mengubah kehidupan orang banyak. Oleh karena itu, merupakan suatu hal yang wajar bila kita memuja rupang (patung) Sang Buddha, dengan cara menunjukan bentuk penghormatan dan pemujaan atas kekaguman kita pada Sang Buddha. Seperti ketika seorang guru yang masuk ke dalam ruangan dan murid-murid berdiri, ketika kita bertemu dengan orang yang terkemuka dan kita segera menjabat tangannya, ketika lagu kebangsaan dikumandangkan dan kita berdiri memberi hormat. Pemujaan seperti inilah yang dilakukan seorang umat Buddha, yakni dengan melaksanakan ajaran-ajaran Buddha seperti berusaha tidak menyakiti makhluk hidup, menghindari mencuri, melatih kejujuran dengan tidak berbohong, dan lain sebagainya; bukan meminta kekayaan, kesehatan, dan sebagainya yang jelas tidak mungkin karena patung tidak bisa memberi kekayaan atau kesehatan. Rupang Buddha dengan tangan yang diletakkan dengan lembut diatas pangkuannya dan senyuman cinta kasihnya mengingatkan kita untuk berusaha mengembangkan kedamaian dan cinta diantara kita. Ketika kita membungkuk padanya, kita menunjukkan apa yang kita rasakan di dalam diri kita sendiri; yaitu penghargaan pada Sang Buddha atas ajaran yang telah diberikan pada kita. Orang-orang mengatakan bahwa umat Buddha menyembah berhala, pernyataan seperti ini adalah sebuah kesalah pahaman. Berhala sendiri mempunyai arti sebuah image atau patung yang disembah sebagai Tuhan. Buddha bukanlah Tuhan, jadi bagaimana mungkin kita dapat meyakini bahwa sepotong kayu atau logam adalah Tuhan.

Semua agama menggunakan simbol-simbol untuk mengekspresikan berbagai macam konsep yang bervariasi. Dan dalam Buddhisme, rupang Buddha menunjukkan seorang manusia yang sempurna. Rupang Buddha juga mengingatkan kita akan ukuran manusia dalam ajaran Buddha Dhamma. Faktanya Buddhisme lebih tertuju pada persoalan manusia (humancentered) daripada persoalan Tuhan (god-centered).

Sejarah Rupang Buddha

Sejak 600 tahun setelah kematian Sang Buddha, Sang Buddha dan ajaran-ajarannya direpresentasikan melalui seni yang berbentuk simbol-simbol. Simbol tersebut seperti beruparoda, jejak kaki, atau singgasana kosong. Kemudian SangBuddha yang direpresentasikan dalam bentuk manusia melalui patung-patung mulai bermunculan pada abad I Masehi. Inovasi untuk merepresentasikan diri Sang Buddha dalam bentuk manusia ini tidak dilarang dalam ajaran agama Buddha.

Patung tersebut menggambarkan Sang Buddha memakai jubah bhikkhu dengan ekspresi muka yang tenang. Rupang Buddha pada umumnya dibuat dengan bentuk dalam keadaan sedang berdiri ataupun sedang duduk dengan posisi lotus (yang menunjukkan bahwa Beliau sedang bermeditasi), terkadang rupang Sang Buddha juga menggenggam sebuah mangkuk atau membentuk suatu gerakan tangan yang menunjukkan ketidaktakutan.  

Ghandara yang sekarang dikenal sebagai Punjab di Pakistan dan daerah Mathura yang terletak dipusat India bagian utara, dulunya dikenal sebagai pusat tempat pembuatan rupang Buddha. Terdapat pengaruh kesenian Yunani dalam rupang Buddha yang terdapat di Ghandara, hal ini dapat dibuktikan dengan penemuan rupang Buddha di Ghandara yang memiliki ciri-ciri persis dengan ciri-ciri manusia bangsa Yunani, yaitu berdada bidang, berwajah Eropa dan bertelanjang dada.

Karakteristik dari rupang Buddha dimulai dari idealisme yang realisitis, dikombinasikan dengan ciri-ciri manusia, saling berimbang, sikap-sikap dan atribut, bersamaan dengan kesan-kesan kesempurnaan dan ketenangan yang mencapai pada suatu sifat luhur. Ekspresi yang ditunjukkan oleh Buddha sebagai seorang manusia sekaligus sebagai ‘manusia super’ dijadikan sebagai suatu ukuran dasar iconographic untuk kesenian Buddhis.  

Kesenian Buddhis lanjut berkembang di India selamabeberapa abad. Pahatan yang berasal dari Mathura berkembang selama periode Gupta (abad IV s/dabad VI) hingga mencapai puncak kejayaannya. Seni Gupta dianggap sebagai puncak seni Buddha di India. Kesenian yang berasal dari sekolah Gupta juga hampir memengaruhi semua wilayah di Asia.

Selanjutnya kesenian Buddhis menghilang dari India pada abadX, saat agama Hindu dan Islam mendominasi India. Namun kesenian tersebut berkembang dengan cara-cara yang baru dan khas di Cina, Jepang, Thailand, dan negara-negara lainnya di Asia Selatan dan Timur.  

Dalam pembuatan rupang Buddha, terdapat 10 hal yang perlu diperhatikan. 10 hal inimerupakan pedoman yang sudah dipelajari dan dialami sejak zaman Universitas Nalanda diIndia, kira-kira 14 abad yang lalu. Adapun 10 pedoman tersebut adalah sebagai berikut:

   Ciri Kebuddhaan

Setiap rupang Sang Buddha harus mencerminkan sifat-sifat ke-Buddha-an yang terdiri dari kesucian yang sempurna dan kebijaksanaan yang sempurna. Dengan melihat rupang Buddha, seseorang bisa mengetahui sifat kebuddhaan tersebut.

   Ciri Sangha

Rupang Sang Buddha dibuat dengan memerhatikan ciri-ciri Sangha, dan ciri-ciri seorang Biksu. Sang Buddha mengenakan jubah dengan bahu sebelah kanan terbuka. Tiga jubah utama seorang Biksu bisa tampak dalam sebuah patung. Secara keseluruhan, patung Sang Buddha merupakan patung yang sederhana namun agung. Sederhana karena hanya mengenakan jubah, tanpa hiasan permata dan lainnya. Agung karena mencerminkan sifat ke-Buddha-an (Bijaksana dan WelasAsih).

   Ciri Manusia Agung (Maha Purisa)

Rupang Sang Buddha dibuat dengan memperlihatkan 32c iri manusia agung. Beberapa diantaranya seperti: di atas kepala Sang Buddha terdapat bagian yang menonjol ke atas(unhisa), rambut ikal ke kanan, di tengah-tengah di antara mata Beliau terdapat bulu halus yangmelingkar (unna) dan berdada bidang seperti singa.

   Ciri Seorang Pemimpin

Dengan melihat rupang SangBuddha, kita serasa berhadapan dengan seorang pemimpin besar yang berkarisma, tegar, cakap, dan berani.

  Tidak Menyebabkan Timbulnya Nafsu Seksual

Seseorang yang melihat rupang Sang Buddha akan merasakan kehadiran seorang pria sejati. Bila seorang pria yang melihatnya, maka disamping merasakan kehadiran seorang pria sejati juga merangkap sifat-sifat halus dan lembut seperti layaknya seorang wanita. Hal itu tidak disertai timbulnya nafsu seksual. Demikian pula sebaliknya, bila seorang wanita memandang patung Sang Buddha. Ia benar-benar merasakan kehadiran seorang pria sejati, namun juga sama sekali tidak ada nafsuseksual.

   Ciri mengatasi keduniawian

Rupang Sang Buddha memberi kesan bahwa Beliau bukan manusia biasa, tetapi seorang manusia luar biasa. Beliau adalah seorang manusia yang dengan tekad dan kemampuannya sendiri, telah dapat mencapai Penerangan Sempurna. Oleh karena itu, walaupun Sang Buddha dibuat secara sederhana tetapi tampak agung dan luar biasa.

   Ciri Nasional

Dalam pembuatan rupang Sang Buddha, biasanya setiap bangsa berusaha meletakkan ciri nasional bangsanya, seperti bentuk wajah dan tubuhnya yang diusahakan sesuai dengan bangsa tersebut. Kalau kita mau meneliti maka akan tampak suatu ciri nasional tertentu pada rupang Sang Buddha yang dibuat oleh bangsa-bangsa India, Burma, Sri Lanka, Thailand, Cina, Indonesia, Eropa,dan sebagainya. Ciri nasional ini sangat penting karena bila rupang Sang Buddha tidak mengandung ciri nasional suatu bangsa maka rupang itu tidak akan menyentuh sanubari yang terdalam dari bangsa tersebut. Rupang Sang Buddha yang terdapat di Borobudur sendiri, banyak dipengaruhi oleh aliran seni Gupta dari India. Tetapi rupang tersebut juga telah mencerminkan ciri-ciri nasional kita. Wajah, sikap, dan bentuk jasmaninya adalah campuran seorang manusiaIndonesia yang dianggap ideal.

   Ciri–Ciri Keindahan

Setiap rupang Sang Buddha hendaknya dibuat dengan proporsi yang harmoni antara bagian kepala, badan dan anggota badan lainnya. Ada suatu keseimbangan antar bagian atas dengan bagian bawah, antara antara bagian samping kanan dan kiri. Ciri-ciri ini sering disebut sebagai ciri keseimbangan.

   Faktor Nilai

Rupang Sang Buddha bisa dibuat dari bahan-bahan sederhana seperti tanah, kayu, dan semacamnya. Tidak harus dari emas, perak, dan logam berharga lainnya. Dengan bahan sederhana, kalau telah dibentuk menjadi sebuah rupang Sang Buddha maka akan tak ternilai harganya. Rupang Sang Buddha sebagai suatu lambang dapat memberikan arti dan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kita.

   Ciri Filsafat

Bila seseorang berhadapan dengan rupang Sang Buddha maka akan timbul rasa hormat, rendah hati, dan semua kesombongan akan lenyap. Rasa bakti atau keyakinan terhadap hal yang telah Beliau ajarkan akan bertambah kuat. Kemudian timbul semangat untuk menempuh kehidupan, berani menghadapi segala macam rintangan dan halangan dalam kehidupan ini. Nehru pernah mengatakan bahwa rupang Sang Buddha adalah sumber inspirasi yang sangat besar bagi dirinya.  

WinstonChurchill pernah berkata, “Apabila suatu saat anda merasa cemas, pandanglah pada sikap yang penuh ketenangan dari rupang Sang Buddha dan tersenyumlah pada kesusahan anda.”

Itulah sepuluh hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan rupang Sang Buddha. Memang cukup susah untuk membuat rupang Sang Buddha yang baik dan patut dijadikan objek pemujaan. Perhatian yang harus diberikan pada sepuluh hal diatas bersama curahan rasa baktidan rasa seni yang mendalam memerlukan waktu yang cukup lama. Dengan demikian rupang Sang Buddha sebagai suatu lambang dapat memberikan arti dan manfaat sebesar-besarnya bagi kita.


Referensi :
1.Ven. S. Dhammika : Good Question Good Answer
2.www.wikipedia.org:“Buddhist Art” dan dari situs lainnya.




Arti Kata Boddhisattva


ARTI KATA BODHISATTVA
Disusun Oleh : Tanhadi

Analisa dari segi etimologis , kata Bodhisattva (Sansekerta)/Bodhisatta (Pali) terbentuk dari dua kata, yakni Bodhi yang bermakna penerangan atau pencerahan dan Sattva/Satta yang berarti makhluk. Sehingga Bodhisattva/Bodhisatta berarti  :  

" makhluk yang bercita-cita untuk mencapai pencerahan sempurna."

Setelah membandingkan kedua pandangan di atas, dapat disimpulkan bahwa kedua aliran sepakat bahwa:

1. Seorang Bodhisattva adalah calon Buddha.

2. Seorang Bodhisattva berikrar untuk menjadi Buddha.

3. Seorang Bodhisattva berjuang demi menguntungkan makhluk lainnya.

Di dalam ajaran agama Buddha, seorang Bodhisattva / Bodhisatta atau Photishat (bahasa Thai) adalah makhluk yang mendedikasikan dirinya demi kebahagiaan makhluk semesta.

Bodhisattva juga merujuk kepada Buddha di kehidupan sebelum-Nya.

Dalam ajaran Mahayana, Bodhisattva mengambil janji untuk tidak memasuki nirvana sebelum semua mahkluk mencapai ke-Buddha-an. Ini tidak sama dengan di tradisi Theravada kebanyakan, dimana makluk yang mencapai pencerahan adalah Arahat, bukan Buddha.

Arti Bodhisatta pada Pali Canon (kumpulan koleksi kitab pada ajaran Theravada) dan tradisi Theravada tidak mengatakan bahwa seorang Bodhisattva membuat janji ‘tidak akan mencapai pencerahan sebelum semua orang lain mencapai penerangan’. Ini merupakan inovasi dari Mahayana.  

Jadi seorang Bodhisatta dan seorang Bodhisattva merupakan hal yang berbeda.

Bodhisattva pada Ajaran Mahayana

Dalam pandangan Mahayana, seorang Bodhisattva memiliki tekad penuh kasih guna membantu seluruh mahluk untuk menuju pencerahan. Motivasi yang demikian dikenal dengan sebutan Bodhicitta.

Bodhisatta pada Ajaran Theravada

Kata Bodhisatta bahasa Pali digunakan oleh Buddha di kitab Pali Canon untuk menunjuk kepada dirinya di kehidupan sebelumnya dan di kehidupannya yang sekarang menuju pencerahan dan pada periode ketika ia masih bergerak menuju pembebasan.

Kehidupan Siddhattha Gotama sebagai seorang Bodhisatta dicatat dalam Kitab Jataka. Ketika Siddhattha Gotama menceritakan dirinya dahulu, ia menggunakan istilah “ketika saya masih seorang Bodhisatta”.

Seorang Bodhisatta yang seringkali diceritakan dalam Pali Canon adalah Calon Buddha Metteya/Maitreya, yang oleh karenanya Ajaran Theravada tidak menceritakan Bodhisattva lain selain Bodhisatta Metteya.

Siddhattha Gotama pun menggambarkan dirinya sebagai Bodhisatta, sebagai berikut:

“ Para bhikkhu, sebelum mencapai penerangan sempurna, sementara saya masih seorang Bodhisatta yang belum mencapai penerangan sempurna, Saya juga, diriku sendiri mengalami kelahiran, usia tua, sakit, kematian, kesedihan dan kekotoran, mencari apa yang mengalami kelahiran, usia tua, sakit, kematian, kesedihan dan kekotoran. ” (Ariyapariyesana Sutta 26)

Dalam Vissudhi magga IX disebutkan :

“Sebagaimana halnya dengan Makhluk Agung memperhatikan kesejahteraan para makhluk, tidak dapat membiarkan penderitaan para makhluk, mengharapkan waktu yang lebih lama bagi tingkat kebahagiaan para makhluk yang lebih tinggi, tidak membeda-bedakan serta adil bagi para makhluk”.

Pada Buddhavamsa, pandangan ideal seorang Bodhisatta dikembangkan hingga mencapai puncak yang tertinggi.

Pada  kitab ini disebutkan bahwa seorang Bodhisatta adalah seseorang yang berikrar untuk menjadi seorang Buddha yang sempurna (Sammasambuddha) dikarenakan oleh belas kasihnya pada semua makhluk, yang melakukan berbagai macam kebajikan, dan yang menerima peramalan untuk pencapaian Kebuddhaannya pada masa mendatang (vyakarana).  

Sebagai tambahan, seorang Bodhisatta yang disebutkan dalam Buddhavamsa berikrar untuk menjadi Bodhisatta pada saat akan mencapai Kearahatan. Hal ini tercermin pada riwayat Bodhisatta Sumedha, kelahiran masa lampau dari Sang Buddha saat ia masih menempuh Jalan Bodhisatta. Saat itu Beliau terlahir pada masa Buddha Dipankara. Pada saat itu Sumedha merelakan tubuhnya diinjak oleh Buddha Dipankara agar kakiNya tidak kotor. Pada saat itu Pertapa Sumedha berpikir: "Jika mau, aku dapat membakar sampai habis kekotoranku sekarang [juga]. [Namun] apakah gunanya merealisasi Dhamma di sini [tanpa menguntungkan makhluk  lain]? Setelah mencapai kemahatahuan, aku akan menjadi Buddha di dunia ini…"


Sumber :
-      Wikipedia bahasa Indonesia.
-      Media Internet

Rabu, Maret 21, 2012

Monoteisme


MONOTEISME
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Monoteisme (berasal dari kata Yunani monon yang berarti tunggal dan Theos yang berarti Tuhan) adalah kepercayaan bahwa Tuhan adalah satu/tunggal dan berkuasa penuh atas segala sesuatu.

Terdapat berbagai bentuk kepercayaan monoteis, termasuk:

Teisme, istilah yang mengacu kepada keyakinan akan tuhan yang 'pribadi', artinya satu tuhan dengan kepribadian yang khas, dan bukan sekadar suatu kekuatan ilahi saja.

Deisme adalah bentuk monoteisme yang meyakini bahwa tuhan itu ada. Namun demikian, seorang deis menolak gagasan bahwa tuhan ini ikut campur di dalam dunia. Jadi, deisme menolak wahyu yang khusus. Sifat tuhan ini hanya dapat dikenal melalui nalar dan pengamatan terhadap alam. Karena itu, seorang deis menolak hal-hal yang ajaib dan klaim bahwa suatu agama atau kitab suci memiliki pengenalan akan tuhan.

Teisme monistik adalah suatu bentuk monoteisme yang ada dalam Hindu. Teisme seperti ini berbeda dengan agama-agama Semit karena ia mencakup panenteisme, monisme, dan pada saat yang sama juga mencakup konsep tentang Tuhan yang pribadi sebagai Yang Tertinggi, Mahakuasa, dan universal. Tipe-tipe monoteisme yang lainnya adalah monisme bersyarat, aliran Ramanuja atau Vishishtadvaita, yang mengakui bahwa alam adalah bagian dari Tuhan, atau Narayana, suatu bentuk panenteisme, namun di dalam Yang Mahatinggi ini ada pluralitas jiwa dan Dvaita, yang berbeda dalam arti bahwa ia bersifat dualistik, karena tuhan itu terpisah dan tidak bersifat panenteistik.

Panteisme berpendapat bahwa alam sendiri itulah Tuhan. Pemikiran ini menyangkal kehadiran Yang Mahatinggi yang transenden dan yang bukan merupakan bagian dari alam. Tergantung akan pemahamannya, pandangan ini dapat dibandingkan sepadan dengan ateisme, deisme atau teisme.

Panenteism adalah suatu bentuk teisme yang berkeyakinan bahwa alam adalah bagian dari tuhan, tapi tuhan tidaklah identik dengan alam. Pandangan ini diikuti oleh teologi proses dan juga Hindu. Menurut Hindu, alam adalah bagian dari Tuhan, tetapi Tuhan tidak sama dengan alam melainkan mentransendensikannya. Akan tetapi, berbeda dengan teologi proses, Tuhan dalam Hinduisme itu Mahakuasa. Panenteisme dipahami sebagai "Tuhan ada di dalam alam sebagaimana jiwa berada di dalam tubuh". Dengan penjelasan yang sama, panenteisme juga disebut teisme monistik di dalam Hinduisme. Namun karena teologi proses juga tercakup di dalam definisi yang luas dari panenteisme dan tidak menerima kehadiran Yang Mahatinggi dan Yang Mahakuasa, pandangan Hindu dapat disebut sebagai teisme yang monistik.

Monoteisme substansi, ditemukan misalnya dalam sejumlah agama pribumi Afrika, yang berpendapat bahwa tuhan yang banyak itu adalah perwujudan dari substansi yang satu yang ada di belakangnya, dan bahwa substansi yang ada di belakangnya itulah Allah. Pandangan ini banyak miripnya dengan pandangan Tritunggal Kristen tentang tiga pribadi yang mempunyai hakikat yang sama.

Sebagai perbandingan, lihat Politeisme, yang berpendapat bahwa ada banyak tuhan. Dualisme mengajarkan bahwa ada dua kekuatan ilahi atau prinsip-prinsip kekal yang independen, yang satu adalah Kebaikan, dan yang lainnya adalah kuasa jahat, seperti yang diajarkan oleh Zoroastrianisme kuno (Zoroastrianisme modern sepenuhnya bersifat monoteistik). Pandangan ini lebih lengkap diajarkan dalam aliran-aliran yang muncul belakangan dari sistem Gonistik, seperti misalnya Manikeanisme.

Kebanyakan kaum monoteis akan mengatakan bahwa berdasarkan definisinya, monoteisme pasti berlawanan dengan politeisme. Namun demikian, para pemeluk di lingkungan tradisi politeistik seringkali berperilaku seperti kaum monoteis. Ini disebabkan karena keyakinan akan tuhan yang banyak itu tidak berarti bahwa mereka menyembah banyak tuhan. Secara historis, banyak pemeluk politeis percaya akan keberadaan banyak tuhan, tetapi mereka hanya menyembah satu saja, yang dianggap oleh si pemeluk itu sebagai Tuhan yang Mahatinggi. Praktek ini disebut henoteisme.

Ada pula teologi-teologi monoteistik di dalam Hinduisme yang mengajarkan bahwa rupa-rupa Tuhan yang banyak itu, yaitu Wisnu, Syiwa, atau Dewi, semata-mata mewakili aspek-aspek dari kekuatan Ilahi yang ada di belakangnya atau Brahman (lih. artikel tentang Nirguna Brahman dan Saguna Brahman). Sebagian orang mengklaim bahwa Hinduisme tidak pernah mengajarkan politeisme [1], dan klaim seperti itu bisa dianggap benar sebagai salah satu pandangan Hinduisme, yaitu pandangan Smarta yang adalah sebuah pandangan monoteistik yang inklusif dari monoteisme, seperti yang akan dibahas kelak. Pandangan Smarta ini mendominasi pandangan Hinduisme di Barat dan telah membingungkan semua orang Hindu karena mereka dianggap politeistik. Aliran Smarta ini adalah satu-satunya cabang dalam Hinduisme yang sepenuhnya mengikuti pandangan ini. Swami Vivekananda, seorang pengikut Ramakrishna, serta banyak tokoh lainnya yang memperkenalkan agama Hindu ke Barat, semuanya adalah penganut aliran Smarta. Hanya seorang pemeluk Smarta yang tidak mempunyai masalah untuk menyembah Syiwa atau Wisnu bersama-sama karena ia memahaminya sebagai aspek-aspek yang berbeda dari Tuhan yang semuanya membawa kepada Tuhan yang sama. Jadi, menurut teologi Smarta, Tuhan dapat memiliki banyak sekali aspek, dan dengan demikian, begitu keyakinan ini, mereka percaya bahwa Wisnu dan Syiwa sesungguhnya adalah Tuhan yang satu dan sama. Para teolog Smarta telah banyak mengutip referensi untuk mendukung pandangan ini. Misalnya, mereka menafsirkan ayat-ayat dalam Sri Rudram, mantra yang paling suci dalam Syiwaisme, dan Wisnu sahasranama, salah astu doa yang paling suci dalam Wisnuisme, untuk membuktikan keyakinan ini. Sebaliknya, seorang pemeluk Wisnuisme menganggap Wisnu sebagai Tuhan satu-satunya yang sejati, yang layak disembah dan menganggap penyembahan terhadap bentuk-bentuk yang lainnya lebih rendah atau sama sekali keliru.

Monoteisme dapat dibagi menjadi berbagai bentuk berdasarkan sikapnya terhadap politeisme: monoteisme inklusif menganggap bahwa semua tuhan atau dewa dalam politeisme semata-mata hanyalah nama-nama yang lain dari Tuhan monoteistik yang sama; Smartaisme, sebuah denominasi Hindu, mengikuti keyakinan ini dan percaya bahwa Tuhan itu hanya satu namun mempunyai berbagai aspek dan dapat disapa dengan nama yang berbeda-beda. Keyakinan ini mendominasi pandangan Hinduisme di barat. Sebaliknya, monoteisme eksklusif mengklaim bahwa semua tuhan ini adalah salah dan berbeda dari Tuhan yang monoteistik. Mereka itu hanyalah rekaan kuasa jahat, atau semata-mata suatu kekeliruan, sebagaimana yang dipahami oleh Wisnuisme, suatu aliran dalam Hinduisme, terhadap penyembahan apapun selain kepada Wisnu. Monoteisme eksklusif adalah ajaran yang terkenal dalam ajaran agama-agama Abrahamik.

Monoteisme diduga berasal dari ibadah kepada tuhan yang tunggal di dalam suatu panteon dan penghapusan tuhan-tuhan yang lain, seperti dalam kasus penyembahan Aten dalam pemerintahan firaun Mesir Akhenaten, di bawah pengaruh istrinya yang berasal dari Timur, Nefertiti. Ikonoklasme pada masa pemerintahan firaun ini dianggap sebagai asal-usul utama penghancuran berhala-berhala dalam tradisi Abrahamik, yang didasarkan pada keyakinan bahwa tidak ada Tuhan lain di luar tuhan yang mereka akui. Dengan demikian, sebetulnya di sini tergantung pengakuan dualistik dan diam-diam tentang keberadaan tuhan-tuhan yang lain, namun hanya sebagai lawan yang harus dihancurkan karena mereka mengalihkan perhatian dari tuhan utama mereka.

Monoteisme sebagaimana yang diwarisi oleh bangsa Israel dalam pengalaman Exodus di bawah pimpinan Musa, dianggap, oleh mereka yang berpendapat bahwa bangsa Israel ini adalah orang-orang Hiksos, sebagai pewaris kebijakan-kebijakan keagamaan Akhenaten, karena sebelumnya orang-orang Yahudi ini adalah politeis seperti halnya orang-orang Mesir. Masalah-masalah lain seperti Hak ilahi Raja juga muncul dari hukum-hukum firaun tentang penguasa sebagai demigod atau wakil-wakil dari Pencipta di muka bumi. Kuburan-kuburan yang besar di piramida Mesir yang mengikuti observasi astronomis, menggambarkan hubungan antara firaun dengan langit atau sorga dan karena itu kemudian diambil oleh para penguasa Krisen yang mengklaim bahwa mereka diberikan kekuasaan langsung oleh Allah.

Zoroastrianisme dianggap oleh sebagian pakar sebagai bentuk kepercayaan monoteistik yang paling awal yang berevolusi dalam kehidupan manusia, meskipun sebagian turunannya tidak sepenuhnya demikian, karena Tuhan yang utama dalam turunan-turunan seperti Zurvanisme bukanlah pencipta satu-satunya. Ada teori yang menyatakan bahwa Yudaisme dipengaruhi oleh Zoroastrianisme, terutama pada masa pembuangan di Babel, dan setelah itu banyak bagian dari Perjanjian Lama yang ditulis dan disunting. Yudaisme yang lebih awal diasumsikan hanya mengakui bahwa YHVH adalah allah suku mereka (kemungkinan terkait dengan Yaw) yang merupakan dewa pelindung para keturunan Abraham, atau bahwa ada banyak allah tetapi bahwa hanya allah mereka sajalah yang paling kuat. Pandangan ini tidak sesuai dengan pemahaman diri agama-agama Abrahamik - Yudaisme, Kristen, Islam – yang secara tradisional menegaskan bahwa monoteisme eksklusif adalah agama asli dari seluruh umat manusia, sementara allah-allah lainnya dipandang sebagai berhala dan makhluk-makhluk yang keliru disembah sebagai tuhan.

Beberapa profesor arkeologi membuat klaim yang controversial bahwa banyak cerita di dalam Kitab Suci Ibrani, termasuk catatan-catatan penting mengenai Musa, Salomo, dan lain-lainnya, sesungguhnya mula-mula dikembangkan oleh para penulis yang dipekerjakan oleh Raja Yosias (abad ke-7 SM) untuk merasionalisasikan keyakinan monoteistik terhadap YHVH. Teori ini mencatat bahwa negara-negara tetangga, seperti misalnya Mesir, Persia dll., meskipun menyimpan catatan-catatan tertulis, tidak mempunyai tulisan-tulisan mengenai cerita-cerita Alkitab atau tokoh-tokoh utamanya sebelum 650 SM. Klaim-klaim seperti itu diuraikan secara terinci dalam buku Who Were the Early Israelites? oleh William G. Dever, William B. Eerdmans Publishing Co., Grand Rapids, MI (2003). Buku lainnya yang serupa adalah The Bible Unearthed oleh Neil A. Silberman dan rekan-rekannya, Simon dan Schuster, New York (2001).

Meskipun orang Kristen percaya akan satu Allah, mereka mengakui bahwa Allah ini, pada kenyataannya, mempunyai tiga pribadi: Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus (bersama-sama disebut Tritunggal), Orang Kristen menekankan bahwa agama mereka bersifat monoteis. Biasanya teologi Kristen mengaku bahwa ketiga pribadi ini tidaklah independen melainkan 'homoousios', artinya bersama-sama mereka mempunyai hakikat atau substansi ilahi yang sama. Namun, sebagian orang mengatakan bahwa agama Kristen adalah suatu bentuk dari Triteisme. Lebih jauh, sebagian sekte minoritas dari agama Kristen, seperti misalnya Saksi Yehuwa, menyangkal gagasan tentang Tritunggal , sementara yang lainnya, seperti sekte Mormonisme, menyembah hanya satu Allah, namun terbuka terhadap keberadaan yang lain-lainnya. Rastafarian, seperti banyak orang Kristen lainnya, percaya bahwa Allah adalah esa dan juga Tritunggal, dalam kasus mereka, Allah adalah Haile Selassie. Kaum Rasta memandang diri mereka sendiri, dan kemungkinan juga semua orang, sebagai unsure Roh Kudus dari Tritunggal, dengan Haile Selassie sebagai penjelmaan dari Allah Bapa dan Allah Anak. Haile Selassie juga dipandang sebagai kepala, dan kaum Rastafarian sebagai tubuh, dari Allah.

Monoteisme dalam Islam

Dalam Al-Qur'an, Surah Al Baqarah 2:115
ولله المشرق والمغرب فاينما تولوا فثم وجه الله ان الله وسع عليم
Terjemahan : Dan kepunyaan Allah-lah Timur dan Barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.

Dari pernyataan di atas, kita dapat melihat bahwa seperti Yudaisme dan Kekristenan--penafsiran Al Qur'an tentang Allah adalah Tuhan yang kehadiran rohaninya dialami di dalam seluruh jagad raya. Islam menjelaskan monoteisme dalam cara yang sederhana. Terjemahan monoteisme dalam bahasa Arab adalah (Tauhid). Tauhīd berarti satu (berasal dari kata wahid/ahad). Kata ini menyiratkan penyatuan, kesatuan atau mempertahankan sesuatu agar tetap satu. Syahadat (الشهادة), adalah pengakuan atau pernyataan percaya akan keesaan Allah dan bahwa Muhammad adalah nabinya. "Kalimat tauhīd" yang berbunyi: "Lailahailallah" yang berarti bahwa satu-satunya tuhan (ilah) yang pantas untuk diabdi, ditaati, disembah, diikuti ajarannya hanyalah Allah.

Ajaran Tauhid menurut Islam dibawa oleh seluruh Nabi/Rasul tak terkecuali. Tidak semua Nabi dikisahkan dalam Al Quran. Hanya saja setelah Kenabian Muhammad tidak akan ada Nabi lagi. Nabi-nabi sebelum Muhammad diutus untuk umatnya masing-masing, sedangkan Muhammad sebagai penutup para Nabi diutus untuk seluruh umat manusia hingga akhir zaman.

Pengucapan syahadat dalam Islam adalah salah satu dari kelima Rukun Islam yang diakui oleh Muslim . Bila diucapkan dengan suara keras dan dengan bersungguh-sungguh, maka orang yang mengucapkannya dianggap telah menyatakan dirinya sebagai pemeluk agama Islam. Salat di dalam Islam, misalnya, mencakup pernyataan kesaksian tentang monoteisme. Islam menyatakan "Keesaan Allah" sebagai ajaran utama mereka. Lebih jauh, Islam menganggap ajaran Tritunggal yang dipahami Islam sebagaimana yang ada pada agama Kristen sebagai penyimpangan terhadap ajaran (Yesus/Isa) yang ada di dalam ajaran Islam tersebut.

Kebenaran seseorang dalam Islam diukur dari "penyerahan dirinya secara total kepada ajaran Allah". Penyerahan diri yang dimaksud adalah menempatkan diri sebagai pelayan Tuhan maksudnya hidup karena mencari keridhaan Allah dan tidak lagi hidup untuk kepentingannya sendiri, karena hanya dengan demikian pemeluk Islam dianggap kaffah dalam beragama. Mereka yang mengaku diri Islam namun dalam kehidupan mereka tidak melaksanakan ajaran-ajaran yang ada dalam Islam, dapat disebut sebagai orang munafik. Orang munafik adalah orang yang tidak jelas keyakinannya, orang yang di satu sisi mengakui Islam namun di sisi lain ia tidak melaksanakan apa yang diperintahkan dalam Islam. Orang-orang yang seperti inilah yang disebut dengan orang-orang yang kafir dengan sebenar-benarnya.

Dalam pengertian yang universal tauhīd sering juga dilambangkan dengan angka O (nol), yang berarti suatu keadaan di mana seseorang sudah mengikhlaskan diri sepenuhnya kepada Allah, sudah menanggalkan egonya, kepentingannya sehingga dirinya dengan kesadaran hidup meridukan ridha dari Allah , yang ada hanyalah Allah dan dirinya hanyalah perpanjangan tangan Allah. Jika ego telah hilang maka inilah penyatuan dengan Yang Maha Kuasa atau Manunggaling Kawulo Gusti yang sebenarnya hanya ada dalam agama Hindu. Ketika Syeh Siti Jenar mengungkapkan ini di tolak oleh sebagian besar umat Islam. Karena itu simbol nol tidak ada artinya dalam umat Islam. Nol berarti nir kehampaan dan ini padanannya adalah nirwana atau nirguna Tuhan tak tergambarkan, namun kenyataannya Islam menggambarkan Tuhan dengan sifat-sifat, Maha Besar, Maha Kuasa, dll.

Monoteisme dalam agama Bahá'í

Seperti dalam agama Islam, agama Bahá'í memahami monoteisme dalam pengertian yang sederhana. Doa wajib dalam agama Bahá'í, misalnya, mengandung pernyataan kesaksian monoteistik yang jelas. Kedua agama ini menyatakan "Keesaan Allah" (Tauhīd) sebagai ajaran utama mereka. Seperti juga halnya Islam, Bahá'í menganggap ajaran Tritunggal dalam agama Kristen sebagai penyimpangan terhadap ajaran asli Yesus yang ada dalam Bahá'í. Bahá'í memandang ajaran-ajaran non-monoteisme yang muncul sebelumnya sebagai versi kebenaran yang kurang dewasa.

Agama Bahá'í juga menerima keotentikan para pendiri agama yang mengajarkan monoteisme, seperti misalnya Wisnuisme Gaudiya, yang memusatkan ibadahnya kepada Krisna sebagai Tuhan atau bahkan apa yang kadang-kadang dipahami sebagai ajaran-ajaran ateistik seperti misalnya Buddhisme.

Hinduisme

Dalam Hinduisme, ada beberapa pandangan yang terdiri dari monisme, dualisme, panteisme, panenteisme, yang disebut oleh sebagian pakar sebagai teisme monistik, serta monoteisme yang ketat. Namun mereka bukan politeistik, seperti yang dipandang kebanyakan orang luar. Hinduisme seringkali keliru ditafsirkan banyak orang sebagai agama politeistik. Contohnya adalah pemeluk Hindu sendiri, contohnya kaum Smarta, yang mengikuti filsafat Advaita, adalah monis, dan memahami berbagai manifestasi dari Tuhan yang esa atau sumber keberadaan. Kaum monis Hindu memahami satu keesaan, dengan berbagai pribadi Tuhan, sebagai aspek-aspek yang berbeda dari Yang Maha Tinggi dan Esa, seperti halnya satu pancaran cahaya yang dipisah-pisahkan menjadi berbagai macam warna oleh sebuah prisma, dan semuanya sah untuk disembah. Sebagian dari aspek-aspek Tuhan di dalam agama Hindu mencakup Dewi, Wisnu, Ganesya, dan Syiwa. Pandangan Smarta inilah yang mendominasi pandangan tentang Hinduisme di Barat. hal ini disebabkan karena Swami Vivekananda, seorang pengikut Ramakrishna, di antara banyak orang lainnya, yang memperkenalkan keyakinan Hindu ke dunia Barat, semuanya adalah penganut Smarta. Aliran-aliran Hinduisme lainnya, seperti yang digambarkan kelak, tidak menganut keyakinan ini secara ketat dan lebih erat berpegang pada persepsi Barat tentang arti keyakinan yang monoteistik. Selain itu, seperti agama-agama Yudeo-Kristen yang percaya akan malaikat, orang Hindu juga percaya akan keberadaan yang tidak begitu kuat, seperti halnya para dewa.

Hinduisme kontemporer saat ini dibagi menjadi empat pembagian utama yaitu, Wisnuisme, Syiwaisme, Saktiisme, dan Smartaisme. Seperti halnya Yahudi, Kristen, dan Muslim yang mempercayai satu Tuhan namun berbeda dalam konsep Ketuhanan, semua pengikut agama Hindu percaya pada satu Tuhan namun berbeda dalam konsepnya. Dua bentuk utama dari perbedaan ini adalah antara dua kepercayaan monoteistik dari Wisnuisme yang menganggap Tuhan adalah Wisnu dan Syiwaisme, yang memahami Tuhan sebagai Syiwa. Aspek-aspek Tuhan yang lainnya pada kenyataannya adalah aspek-aspek dari Wisnu atau Syiwa; lihat Smartaisme untuk informasi lebih lanjut.

Hanya seorang pemeluk Smartaisme tidak akan mengalami masalah untuk menyembah Syiwa atau Wisnu bersama-sama karena ia memandang berbagai aspek dari Tuhan menuntun kepada satu Tuhan yang sama. Pandangan Smartalah yang mendominasi pandangan Hinduisme di Barat. Sebaliknya, seorang pemeluk Wisnuisme menganggap Wisnu sebagau Tuhan satu-satunya yang sejati, yang layak disembah, sementara bentuk-bentuk lainnya adalah penampakan yang lebih rendah. Lihat misalnya, ilustrasi tentang pandangan pemeluk Wisnuisme tentang Wisnu sebagai Tuhan sejati yang esa di sini.

Dengan demikian, banyak pemeluk Wisnuisme, misalnya, percaya bahwa hanya Wisnu lah yang dapat menganugerahkan tujuan terakhir manusia, moksa. Lihat misalnya, di sini. Demikian pula, banyak pemeluk Syiwaisme juga menganut keyakinan yang sama, seperti yang diilustrasikan pada di sini dan di sini.

Namun, bahkan pemeluk Wisnuisme, seperti orang-orang Hindu lainnya, mempunyai toleransi terhadap keyakinan-keyakinan yang lain karena Dewa Krisna, avatar Wisnu, mengatakannya demikian di dalam Gita. Beberapa pandangan melukiskan pandangan toleran ini:

Krisna berkata: "Dewa atau bentuk apapun yang disembah seorang percaya, aku akan menguatkan imannya. Namun demikian, hanya Akulah yang mengaruniakan keinginan mereka." (Gita: 7:21-22)

Kutipan lain di dalam Gita mengatakan:
"O Arjuna, bahkan pemeluk-pemeluk yang menyembah tuhan-tuhan lain yang lebih rendah, (mis. dewa-dewa) dengan iman, mereka pun menyembah Aku, tetapi dalam cara yang tidak tepat, karena Akulah yang Maha Tinggi. Hanya akulah yang menikmati semua ibadah kurban (Seva, Yajna) dan Tuhan sarwa sekalian alam." (Gita: 9:23)

Bahkan sebuah ayat Weda melukiskan tema toleransi ini. Kitab-kitab Weda dihormati di dalam Hinduisme, apapun juga alirannya. Misalnya, sebuah nyanyian Rig Weda yang terkenal menyatakan bahwa: "Kebenaran hanya Satu, meskipun para bijak mengenalnya dalam berbagai bentuk." Hal ini berlawanan dengan keyakinan-keyakinan di dalam tradisi-tradisi agama lain, yang mewajibkan pemeluknya mempercayai Allah hanya dalam satu aspek dan menolak sama sekali atau meremehkan keyakinan-keyakinan lainnya.

Monoteisme dalam Taoisme

Tao adalah Yang Tertinggi yang tidak dapat didefinisikan dengan bahasa manusia, sifatnya adalah ketiadaan (nothingness) dan mengandung tuhan-tuhan yang lainnya. Berbeda dengan monoteisme Timur Tengah, Tao tidak mempunyai sifat-sifat pribadi seperti kesucian, cinta kasih, dan kebenaran. Hal ini membuat Taoisme terbebas dari masalah-masalah teodisi.

Teisme


TEISME
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Teisme, dalam penggunaannya yang paling luas, adalah kepercayaan terhadap satu dewa. Beberapa penggunaan lebih kecil menjelaskan bahwa dewa berada dalam entitas yang dapat dikenali tapi berbeda, sama dengan panteisme. Penggunaan kecil lainnya mengatakan bahwa dewwa adalah kekuatan eksistensi di alam semesta, dan tidak termasuk sejenis bentuk deisme. Teisme dapat dikelompokkan menjadi banyak jenis, seperti monoteisme (dimana kata Tuhan dikapitalkan) dan politeisme.

Sebutan teisme pertama digunakan oleh Ralph Cudworth (1617-1688) [1], dan digunakan sebagai lawan kata ateisme, sebutan yang dicetuskan sekitar tahun 1587. 

Skeptisisme


SKEPTISISME
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Skeptisisme atau mempertanyakan, ketidakpercayaan (Yunani: skeptomai, dalam penggunaan umumnya adalah untuk melihat sekitar, untuk mempertimbangkan; jika dilihat dari kata perbedaan ejaan kata) merujuk kepada:

1. suatu sikap keraguan atau disposisi untuk keraguan baik secara umum atau menuju objek tertentu;

2.  doktrin yang benar ilmu pengetahuan atau terdapat di wilayah tertentu belum pasti; atau

3. metode ditangguhkan pertimbangan, keraguan sistematis, atau kritik yang karakteristik skeptis (Merriam-Webster).

Dalam filsafat, mempertanyakan adalah merujuk lebih bermakna khusus untuk suatu atau dari beberapa sudut pandang. Termasuk sudut pandang tentang:

1.    sebuah pertanyaan,
2.    metode mendapatkan pengetahuan melalui keraguan sistematis dan terus menerus pengujian,
3.    kesembarangan, relativitas, atau subyektivitas dari nilai-nilai moral,
4.    keterbatasan pengetahuan,
5.    metode intelektual kehati-hatian dan pertimbangan yang ditangguhkan.

Dalam filsafat klasik, mempertanyakan merujuk kepada ajaran traits mengenai "Skeptikoi",, Dalam ilmu filsafat dari yang dikatakan bahwa mereka "tidak menyatakan apa-apa selain pandangan sendiri saja." (Liddell and Scott) (Liddell and Scott), Dalam hal ini, keraguan filsafati, atau Pyrrhonisme adalah posisi filsafat yang harus menangguhkan satu keputusan dalam penyelidikan.

Dalam agama, mempertanyakan merujuk kepada "keraguan tentang prinsip-prinsip dasar agama (seperti keabadian, pemeliharaan, dan wahyu)." (Merriam–Webster) Kata mempertanyakan dapat menggambarkan posisi pada sebuah klaim, namun di kalangan lain lebih sering menjelaskan yang menetapkan kekekalan pikiran dan pendekatan untuk menerima atau menolak informasi baru. Individu yang menyatakan memiliki pandangan mempertanyakan sering disebut bersikap skeptis, akan tetapi sering terlupakan apakah sikap secara filsafati mempertanyakan atau ketidakpercayaan secara empiris sebenarnya malahan adalah pernyataan sebuah pengakuan.

Panteisme


PANTEISME
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Rujukan KBBI

panteisme /pantéisme/ n 1 ajaran yg menyamakan Tuhan dng kekuatan-kekuatan dan hukum-hukum alam semesta; 2 penyembahan (pemujaan) kpd semua dewa dr berbagai kepercayaan

Panteisme atau pantheisme (Yunani: ( 'pan' ) = semua dan ( 'theos' ) = Tuhan) secara harafiah artinya adalah "Tuhan adalah Semuanya" dan "Semua adalah Tuhan". Ini merupakan sebuah pendapat bahwa segala barang merupakan Tuhan abstrak imanen yang mencakup semuanya; atau bahwa Alam Semesta, atau alam, dan Tuhan adalah sama. Definisi yang lebih mendetail cenderung menekankan gagasan bahwa hukum alam, Keadaan, dan Alam Semesta (jumlah total dari semuanya adalah dan akan selalu) diwakili atau dipersonifikasikan dalam prinsip teologis 'Tuhan' atau 'Dewa' yang abstrak. Walau begitu, perlu dimengerti bahwa kaum panteis niet percaya terhadap seorang Dewa atau Dewa-Dewa yang pribadi dan kreatif dalam segala bentuk, yaitu merupakan ciri khas utama yang membedakan mereka dari kaum panenteis dan pandeis. Dengan begiru, meskipun banyak agama mungkin mengklaim memiliki unsur-unsur panteis, mereka biasanya sebenarnya sejatinya panenteis atau pandeistik.

Sejarah

Istilah panteis – yang diturunkan dari kata panteisme – pertama kali digunakan secara langsung oleh penulis Irlandia John Toland dalam karyanya yang berasal dari tahun 1705, "Sosinianisme Benar-Benar Dicanangkan oleh seorang panteis". Namun konsep ini telah dibicarakan jauh sebelumnya pada zaman filsuf Yunani Kuna, oleh Thales, Parmenides dan Heraklitus. Latar belakang Yahudi untuk panteisme bahkan mencapai zaman ketika kitab Taurat diturunkan dalam ceritanya mengenai penciptaan dalam kitab Kejadian dan bahan-bahan yang lebih awal berbentuk nubuat di mana secara nyata dikatakan bahwa kejadian alam" [seperti banjir, badai, letusan gunung dst.] semuanya diidentifikasikan sebagai "Tangan Tuhan" melalui idioma personifikasi, dan jadi menjelaskan rujukan terbuka terhadap konsep ini di dalam baik Perjanjian Baru maupun sastra Kabbalistik.

Pada tahun 1785, ada sebuah kontroversi besar yang muncul antara Friedrich Jacobi dan Moses Mendelssohn, yang akhirnya menyangkut banyak orang penting kala itu. Jacobi mengklaim bahwa pantheisme Lessing bersifat materialistik. Maksudnya ialah bahwa seluruh Alam dan Tuhan sebagai sebuah substansi yang luas. Untuk Jacobi, ini adalah hasil dari berbaktinya Zaman Pencerahan untuk mencari logika dan akhirnya ini akan berakhir kepada ateisme. Mendelssohn tidak setuju dengan menyatakan bahwa panteisme adalah sama dengan teisme.       

Panteisme

Istilah panteisme terbentuk dari dua akar kata Yunani yakni pan berarti “semua” dan Theos. Pantheisme berarti paham yang mengajarkan bahwa segala realitas adalah Tuhan. Di dalam realitas tersebut Tuhan diidentikan dengan dan sebaliknya. Sedangkan panentheisme memandang bahwa dunia dipandang atau dianggap sebagai Allah namun tidak identik dengan Allah. Panteisme versi Barat berbeda dengan Timur. Di Barat lebih menekankan pada spekulasi filosofis dan bukan dalam konteks keagamaan (devosi) sedangkan di Tumur muncul dalam konteks devosi keagamaan. berarti “Tuhan”

Di Barat, misalnya:   

·         Heiraklitos: memandang api sebagai unsur ilahi dan pengatur atau menjadi dasar bagi alam semesta. Anggapan Heiraklitos merupakan panteisme imanenistik. Anaxagoras: memandang api sebagai the world of nous. Sehingga Heiraklitos dan Anaaxagoras masuk dalam kategori panteisme imanenis.

·         Parmenides berbeda dari dua filsuf di atas. Ia beranggapan bahwa dunia merupakan suatu realitas mutlak yang tidak berubah. Realitas tersebut melebur dalam satu yang mutlak yang abadi. Pemikiran Parmenides ini masuk dalam kategori panteisme kosmik. Dalam konteks Timur, panteisme muncul dalam penyembahan (devosi). Jenis ini dapat kita jumpai dalam ajaran agama Hindu dan Budha.  

Dalam kitab-kitab Hindu baik Veda maupun Upanizad memandang diri manusia dan yang ilahi identik (Bagus, Kamus Filsafat, 2002:777). Dalam Budhisme, Ashvaghosa beranggapan bahwa dunia merupakan perairan yang  dipusatkan oleh angin yang sewaktu dalam realitas hanya ada yang absolut (Panteisme Akosmik).  

Dalam Kamus Filsafat dijelaskan bahwa istilah “absolute/Ing” dan  “Absolutus/Lat” merupakan partisip perfek dari absolvere. Kata kerja absolvere merupakan penggabungan dari kata ab artinya dari dan solvere yang berarti membebaskan, melepaskan. Sehingga secara hurufiah absolvere berarti terlepas dari. Artinya tidak bergantung pada yang lain, independent, mandiri bahkan tidak relasi ketergantungan dengan yang lain.  

Dengan demikian maka panteisme imanenistik mengidentikan totalitas Allah dengan segala sesuatu. Pemikiran ini seyogyanya identik dengan panteisme materialistic yang mereduksi totalitas Allah dalam materi. Sedangkan panteisme transendental menemukan yang ilahi hanya dalam inti terdalam segala sesuatu khususnya jiwa sehingga makhluk ciptaan menjadi Allah hanya sesudah meninggalkan tubuh / materi. NB