Selasa, Juli 31, 2012

Sutta Tentang Neraka dalam Agama Buddha


SUTTA TENTANG NERAKA DALAM AGAMA BUDDHA
Majjhima Nikaya 130
Devadūta Sutta

Utusan Surgawi



1. DEMIKIANLAH YANG KUDENGAR. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Beliau memanggil para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu.” – “Yang Mulia,” mereka menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

2. “Para bhikkhu, misalkan terdapat dua rumah berpintu dan seseorang yang berpenglihatan baik berdiri di antara kedua rumah itu melihat orang-orang masuk dan keluar dan berlalu-lalang. Demikian pula, dengan mata dewa, yang murni dan melampaui manusia, Aku melihat makhluk-makhluk meninggal dunia dan muncul kembali, hina dan mulia, cantik dan buruk rupa, kaya dan miskin. Aku memahami bagaimana makhluk-makhluk berlanjut sesuai dengan perbuatan mereka: ‘Makhluk-makhluk ini, yang berperilaku baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, bukan pencela para mulia, berpandangan benar, memberikan dampak pandangan benar dalam perbuatan mereka, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali di alam yang bahagia, bahkan di alam surga. Atau Makhluk-makhluk mulia ini, yang berperilaku baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, bukan [179] pencela para mulia, berpandangan benar, memberikan dampak pandangan benar dalam perbuatan mereka, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali di alam manusia. Tetapi makhluk-makhluk ini yang berperilaku buruk dalam jasmani, ucapan, dan pikiran, pencela para mulia, keliru dalam pandangan, memberikan dampak pandangan salah dalam perbuatan mereka, ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali di alam hantu. Atau makhluk-makhluk ini yang berperilaku buruk … ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali di alam binatang. Atau makhluk-makhluk ini yang berperilaku buruk … ketika hancurnya jasmani, setelah kematian, telah muncul kembali dalam kondisi buruk, di alam rendah, dalam kehancuran, bahkan di dalam neraka.’

3. “Sekarang para penjaga neraka menangkap makhluk itu pada kedua lengannya dan membawanya ke hadapan Raja Yama, dengan berkata: ‘Baginda, orang ini telah memperlakukan ibunya dengan buruk, memperlakukan ayahnya dengan buruk, memperlakukan para petapa dengan buruk, memperlakukan para brahmana dengan buruk; ia tidak menghormati para tetua sukunya. Silahkan Raja menjatuhkan hukuman.’

4. “Kemudian Raja Yama mendesak dan mempertanyakan dan mendebatnya tentang utusan surgawi pertama: ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi pertama muncul di dunia?’ ia berkata: ‘Tidak, Tuan.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah engkau melihat di dunia seorang bayi lembut yang berbaring telungkup, kotor dengan kotoran dan air kencingnya sendiri?’ Ia berkata: ‘Pernah, Tuan.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah terpikir olehmu – seorang manusia yang cerdas dan dewasa – “Aku juga tunduk pada kelahiran, aku tidak terbebas dari kelahiran: tentu saja aku lebih baik melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ Ia berkata: “Aku tidak mampu, Tuan, aku lalai.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai kelalaianmu. Tetapi perbuatan jahatmu ini bukan dilakukan oleh ibumu atau ayahmu, [180] atau oleh saudara laki-laki atau saudara perempuanmu, atau oleh teman-teman dan sahabatmu, atau oleh sanak saudara dan kerabatmu, atau oleh para petapa dan brahmana, atau oleh para dewa; perbuatan jahat ini dilakukan oleh dirimu, dan engkau sendiri yang akan mengalami akibatnya.’

5. “Kemudian, setelah mendesak dan mempertanyakan dan mendebatnya tentang utusan surgawi pertama, Raja Yama mendesak dan mempertanyakan dan mendebatnya tentang utusan surgawi ke dua: ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi ke dua muncul di dunia?’ ia berkata: ‘Tidak, Tuan.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah engkau melihat di dunia seorang laki-laki – atau seorang perempuan – berumur delapan puluh, Sembilan puluh, atau seratus tahun, tua, bungkuk seperti rusuk atap, terlipat dua, berjalan dengan ditopang oleh tongkat, terhuyung-huyung, lemah, tiada kemudaan, gigi tanggal, rambut memutih, rambut berguguran, botal, keriput, dengan bercak pada bagian-bagian tubuh?’ Ia berkata: ‘Pernah, Tuan.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah terpikir olehmu – seorang manusia yang cerdas dan dewasa – “Aku juga tunduk pada penuaan, aku tidak terbebas dari penuaan: tentu saja aku lebih baik melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ Ia berkata: “Aku tidak mampu, Tuan, aku lalai.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai kelalaianmu. Tetapi perbuatan jahatmu ini bukan dilakukan oleh ibumu … atau oleh para dewa; perbuatan jahat ini dilakukan oleh dirimu, dan engkau sendiri yang akan mengalami akibatnya.’

6. “Kemudian, setelah mendesak dan mempertanyakan dan mendebatnya tentang utusan surgawi ke dua, Raja Yama mendesak dan mempertanyakan dan mendebatnya tentang utusan surgawi ke tiga: [181] ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi ke tiga muncul di dunia?’ ia berkata: ‘Tidak, Tuan.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah engkau melihat di dunia seorang laki-laki – atau seorang perempuan – yang sakit, menderita, dan sakit parah, berbaring dengan dikotori oleh kotoran dan air kencingnya sendiri, diangkat oleh beberapa orang dan dibaringkan oleh beberapa orang lainnya?’ Ia berkata: ‘Pernah, Tuan.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah terpikir olehmu – seorang manusia yang cerdas dan dewasa – “Aku juga tunduk pada penyakit, aku tidak terbebas dari penyakit: tentu saja aku lebih baik melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ Ia berkata: “Aku tidak mampu, Tuan, aku lalai.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai kelalaianmu. Tetapi perbuatan jahatmu ini bukan dilakukan oleh ibumu … atau oleh para dewa; perbuatan jahat ini dilakukan oleh dirimu, dan engkau sendiri yang akan mengalami akibatnya.’

7. “Kemudian, setelah mendesak dan mempertanyakan dan mendebatnya tentang utusan surgawi ke tiga, Raja Yama mendesak dan mempertanyakan dan mendebatnya tentang utusan surgawi ke empat: ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi ke tiga muncul di dunia?’ ia berkata: ‘Tidak, Tuan.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah engkau melihat di dunia, ketika seorang penjahat perampok tertangkap, raja-raja menjatuhkan berbagai jenis hukuman padanya: setelah menderanya dengan cambukan ... (seperti Sutta 129, §4) ... dan kepala mereka dipenggal dengan pedang?’ Ia berkata: ‘Pernah, Tuan.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah terpikir olehmu – seorang manusia yang cerdas dan dewasa – “Mereka yang melakukan perbuatan jahat akan mengalami berbagai jenis siksaan di sini dan saat ini; [182] apa lagi setelah kematian? tentu saja aku lebih baik melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ Ia berkata: “Aku tidak mampu, Tuan, aku lalai.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai kelalaianmu. Tetapi perbuatan jahatmu ini bukan dilakukan oleh ibumu … atau oleh para dewa; perbuatan jahat ini dilakukan oleh dirimu, dan engkau sendiri yang akan mengalami akibatnya.’

8. “Kemudian, setelah mendesak dan mempertanyakan dan mendebatnya tentang utusan surgawi ke empat, Raja Yama mendesak dan mempertanyakan dan mendebatnya tentang utusan surgawi ke lima: ‘Tidak pernahkah engkau melihat utusan surgawi ke dua muncul di dunia?’ ia berkata: ‘Tidak, Tuan.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah engkau melihat di dunia seorang laki-laki – atau seorang perempuan – satu hari setelah mati, dua hari setelah mati, tiga hari setelah mati, membengkak, memucat, dan meneteskan cairan?’ Ia berkata: ‘Pernah, Tuan.’

“Kemudian Raja Yama berkata: ‘Tidak pernahkah terpikir olehmu – seorang manusia yang cerdas dan dewasa – “Aku juga tunduk pada lematian, aku tidak terbebas dari kematian: tentu saja aku lebih baik melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran”?’ Ia berkata: “Aku tidak mampu, Tuan, aku lalai.’ Kemudian Raja Yama berkata: ‘Karena kelalaian maka engkau telah gagal melakukan perbuatan baik dalam jasmani, ucapan, dan pikiran. Tentu saja mereka akan memperlakukanmu sesuai kelalaianmu. Tetapi perbuatan jahatmu ini bukan dilakukan oleh ibumu … atau oleh para dewa; perbuatan jahat ini dilakukan oleh dirimu, dan engkau sendiri yang akan mengalami akibatnya.’

9. “Kemudian, setelah mendesak dan mempertanyakan dan mendebatnya tentang utusan surgawi ke lima, Raja Yama berdiam diri.

10. “Kemudian para penjaga neraka [183] menyiksanya dengan lima tusukan. Mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus satu tangan, mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus tangan lainnya, mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus satu kakinya, mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus kaki lainnya, mereka menusukkan sebatang pancang besi membara menembus perutnya. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

11. “Kemudian para penjaga neraka melemparnya ke bawah dan mengulitinya dengan kapak. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

12. “Kemudian para penjaga neraka menggantungnya dengan kaki di atas dan kepala di bawah dan mengulitinya dengan alat pengukir kayu. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

13. “Kemudian para penjaga neraka mengikatnya pada sebuah kereta dan menariknya kesana-kemari di atas tanah yang terbakar, menyala, dan berpijar. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

14. “Kemudian para penjaga neraka menyuruhnya memanjat naik dan turun di atas gundukan arang yang terbakar, menyala, dan berpijar. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

15. “Kemudian para penjaga neraka menggantungnya dengan kaki di atas dan kepala di bawah dan mencelupkannya ke dalam panci logam panas yang terbakar, menyala, dan berpijar. Ia direbus di sana di dalam pusaran buih. Dan ketika ia direbus di sana di dalam pusaran buih, ia kadang-kadang terhanyut ke atas, kadang-kadangn ke bawah, kadang-kadang ke sekeliling. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

16. “Kemudian para penjaga neraka melemparnya ke dalam Neraka Besar. Sekarang sehubungan dengan Neraka Besar, para bhikkhu:

Neraka ini memiliki empat sudut dan dibangun
Dengan empat pintu, satu di setiap sisinya,
Berdinding ke atas dan ke sekeliling terbuat dari besi
Dan ditutup dengan atap besi.
Lantainya juga terbuat dari besi
Dan dipanaskan dengan api hingga berpijar
Luasnya seratus liga
Yang mencakup seluruh wilayah itu.

17. “Sekarang lidah api yang menyambar dari tembok timur mengenai tembok barat. Lidah api yang menyambar dari tembok barat mengenai [184] tembok timur. Lidah api yang menyambar dari tembok utara mengenai tembok selatan. Lidah api yang menyambar dari tembok selatan mengenai tembok utara. Lidah api yang menyambar dari lantai mengenai atap. Lidah api yang menyambar dari atap mengenai lantai. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

18. Pada suatu saat, di akhir suatu masa yang lama, pintu timur Neraka Besar itu terbuka. Ia berlari menuju pintu itu, melangkah dengan cepat. Ketika berlari itu, kulit luarnya terbakar, kulit dalamnya terbakar, dagingnya terbakar, uratnya terbakar, tulangnya berasap; dan hal yang sama terjadi ketika kakinya diangkat. Ketika akhirnya ia mencapai pintu itu, pintu itu tertutup. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.
 “Pada suatu saat, di akhir suatu masa yang lama, pintu barat Neraka Besar itu terbuka ... pintu utara Neraka Besar itu terbuka ... pintu selatan Neraka Besar itu terbuka. Ia berlari menuju pintu itu, melangkah dengan cepat ... Ketika akhirnya ia mencapai pintu itu, pintu itu tertutup. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

19. “Pada suatu saat, di akhir suatu masa yang lama, pintu timur Neraka Besar itu terbuka. Ia berlari menuju pintu itu, melangkah dengan cepat. Ketika berlari itu, kulit luarnya terbakar, kulit dalamnya terbakar, dagingnya terbakar, uratnya terbakar, tulangnya berasap; dan hal yang sama terjadi ketika kakinya diangkat. Ia keluar melalui pintu itu.

20. “Persis di sebelah Neraka Besar [185] adalah Neraka Kotoran yang luas. Ia terjatuh ke dalam neraka itu. Di dalam Neraka Kotoran itu makhluk-makhluk bermulut jarum mengebor kulit luarnya dan mengebor kulit dalamnya dan mengebor dagingnya dan mengebor uratnya dan mengebor tulangnya dan melahap sumsumnya. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

21. “Persis di sebelah Neraka Kotoran adalah Neraka Bara Api Panas yang luas. Ia terjatuh di sana. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

22. “Persis di sebelah Neraka Bara Api Panas adalah Hutan Pepohonan Simbali yang luas, tingginya satu liga, berduri dengan duri-duri sepanjang enam belas lebar jari, yang terbakar, menyala, dan berpijar. Mereka menyuruhnya memanjat pepohonan itu naik dan turun. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

23. “Persis di sebelah Hutan Pepohonan Simbali adalah Hutan Daun-pedang yang luas. Ia masuk ke sana. Dedaunannya, digerakkan oleh angin, memotong tangannya dan memotong kakinya dan memotong tngan dan kakinya; memotong telinganya dan memotong hidungnya dan memotong telinga dan hidungnya. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

24. “Persis di sebelah Hutan Daun-pedang adalah sungai besar berair tajam. Ia terjatuh di sana. di sana ia tersapu mengikuti arus dan melawan arus dan mengikuti-sekaligus-melawan arus. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

25. “Kemudian para penjaga neraka menariknya dengan kail, [186] dan menaikkannya ke atas tanah, mereka bertanya kepadanya: ‘Apa yang engkau inginkan?’ Ia berkata: ‘Aku lapar, Tuan-tuan.’ Kemudian para penjaga neraka membuka paksa mulutnya dengan penjepit besi yang panas membara, yang terbakar, menyala, dan berpijar, dan mereka memasukkan bola besi yang panas membara, yang terbakar, menyala, dan berpijar ke dalam mulutnya, bola besi itu membakar tenggorokannya, membakar perutnya, dan menerobos keluar melalui bawah membawa usus besar dan usus kecilnya. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

26. “Kemudian para penjaga bertanya kepadanya: ‘Apa yang engkau inginkan?’ ia berkata: ‘Aku haus, Tuan-tuan.’ Kemudian para penjaga neraka membuka paksa mulutnya dengan penjepit besi yang panas membara, yang terbakar, menyala, dan berpijar, dan mereka menuangkan tembaga cair yang terbakar, menyala, dan berpijar ke dalam mulutnya. Tembaga itu membakar bibirnya, membakar mulutnya, membakar tenggorokannya, membakar perutnya, dan menerobos keluar melalui bawah membawa usus besar dan usus kecilnya. Di sana ia merasakan perasaan menyakitkan, menyiksa, menusuk. Namun ia tidak mati selama akibat dari perbuatan jahatnya belum habis.

27. “Kemudian para penjaga neraka melemparnya kembali ke dalam Neraka Besar.

28. “Pernah Raja Yama berpikir: ‘Mereka yang di dunia melakukan perbuatan-perbuatan tidak bermanfaat sungguh akan mengalami berbagai jenis siksaan yang dijatuhkan pada mereka. Oh, Semoga aku terlahir kembali menjadi manusia, semoga seorang Tathāgata, yang sempurna dan tercerahkan sempurna, muncul di dunia, semoga aku dapat melayani Sang Bhagavā itu, semoga Sang Bhagavā mengajarkan Dhamma kepadaku, dan semoga aku memahami Dhamma Sang Bhagavā itu!”

29. “Para bhikkhu, Aku mengatakan hal ini kepada kalian bukan sebagai sesuatu yang Kudengar dari petapa atau brahmana lain. Aku mengatakan hal ini kepada kalian sesbagai sesuatu yang sebenarnya diketahui, dilihat, dan ditemukan olehKu sendiri.” [187]

30. Itu adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah Yang Sempurna mengatakan itu, Sang Guru berkata lebih lanjut:

“Walaupun diperingatkan oleh para utusan surgawi,
Banyak yang lalai,
Dan orang-orang sungguh akan berdukacita dalam waktu yang lama
Begitu pergi ke alam rendah.
Tetapi ketika oleh para utusan surgawi
Orang-orang baik di sini dalam kehidupan ini teringat,
Mereka tidak berdiam dalam kelalaian
Namun mempraktikkan Dhamma mulia dengan baik.
Dengan takut mereka melihat kemelekatan
Karena dapat mengakibatkan kelahiran dan kematian;
Dan melalui ketidak-melekatan mereka terbebas
Dalam hancurnya kelahiran dan kematian.
Mereka berdiam dalam kebahagiaan karena mereka aman
Dan mencapai Nibbāna di sini dan saat ini.
Mereka melampaui segala ketakutan dan kebencian;
Mereka telah membebaskan diri dari segala penderitaan.

Sumber: Majjhima Nikaya, Bagian III (Lima puluh khotbah terakhir)




Sang Buddha Tidak Dapat Membantu Kita Untuk Terlahir di Alam Surga


Sang Buddha Tidak Dapat Membantu Kita
Untuk Terlahir di Alam Surga

Ada seorang  Kepala Desa dari suatu desa datang untuk berbicara pada Sang Buddha. Kepala desa tersebut berkata pada Sang Buddha bahwa di sana di sebelah Barat terdapat kumpulan Brahmana yang memiliki tradisi yang aneh.

Di samping tradisi memikul air, mandi di air untuk memurnikan diri mereka dan memuja api, ketika sanak keluarga mereka meninggal dunia, mereka segera membawa jasad tubuh keluar dari rumah, dan merentangkan jasad tersebut tinggi-tinggi di udara. Jasad tersebut dihadapkan ke langit dan mereka meneriaki nama dari orang yang meninggal tersebut dan menunjukkan dia jalan ke surga. Mereka percaya karena jasad tersebut menghadap langit, yang meninggal dapat melihat langit, dan ketika mereka meneriaki rohnya, secara otomatis, rohnya akan naik ke surga. Lalu kepala desa berkata mungkin Sang Buddha (yang memiliki kekuatan supranormal) dapat membawa setiap orang yang telah meninggal dunia untuk terlahir kembali di alam surga. (Ini adalah pertanyaan yang menarik karena bahkan sampai pada era yang moderen ini, orang-orang tertentu masih mempercayai Sang Buddha dapat membantu kita untuk terlahir kembali di alam surga).

Sang Buddha kemudian menjawab dengan sebuah perumpamaan;

Sang Buddha : “Andaikan seorang pria datang menuju ke tepi danau yang sangat dalam, dan memegang sebuah batu besar yang berat di kedua tangannya, dan kemudian melemparnya ke tengah danau. Sekarang, dikarenakan batunya mulai tenggelam ke dalam air, semua orang ramai berdatangan dan berteriak pada batu tersebut, memuji batu itu, meminta (Berdoa) batu tersebut untuk mengapung di permukaan dan mengapung menuju tepian. Apakah batunya dapat mengapung?”.

Kepala desa :” Itu tidak mungkin karena batunya berat, secara alamiah akan tenggelam ke dalam air.

Sang Buddha : “ Dengan cara yang sama, andaikan seseorang telah melakukan banyak kejahatan, dia telah membunuh, mencuri, berasusila, berbohong dan sebagainya. Ketika dia meninggal dunia (dan kamma buruknya menarik dia ke bawah), orang ramai berdatangan dan meneriaki dia untuk pergi ke surga; mungkinkah ia dapat pergi ke sana?

Kepala desa : “Itu tidak mungkin karena ia telah banyak melakukan kejahatan; sama kasusnya dengan batu tersebut, dia akan tenggelam menuju kelahiran kembali yang buruk.

Kemudian Sang Buddha berkata  :” Andaikan seseorang lainnya datang ke tepian danau yang dalam. Dia mengambil secangkir minyak dan melemparkan secangkir minyak itu ke tengah danau. Cangkirnya akan tenggelam tetapi minyaknya, karena ringan, akan mengapung di permukaan. Dikarenakan minyaknya mengapung di permukaan, orang berdatangan dan meneriaki minyaknya untuk tenggalam ke dalam air. Mungkinkah minyak tersebut dapat tenggelam?”.

Kepala desa :” Itu tidak mungkin karena minyaknya ringan, dan secara alami akan mengapung.

Sang Buddha : “ Dengan cara yang sama, andaikan seseorang telah melakukan banyak kebajikan, tidak pernah melukai makhluk hidup, dan ketika saatnya tiba dia meninggal dunia. Jika banyak orang berdatangan dan berteriak, dan mengutuknya pergi ke neraka, mungkinkah ia dapat pergi ke neraka?

Kepala desa :” Itu tidak mungkin karena dia adalah orang yang baik. Secara alamiah dia akan pergi ke surga, diangkat oleh kamma baiknya sendiri

Dengan menjawab pertanyaan ini, kepala desa memahami apa yang dimaksudkan Sang Buddha, yakni, Sang Buddha tak dapat menolong kita. Apakah kita mengapung atau tenggelam, adalah tergantung pada kamma kita. Itulah sebabnya mengapa ajaran Buddhis berbeda dengan ajaran lainnya, dengan kata lain Sang Buddha tidak berkata bahwa dengan menjadi seorang Buddhis, anda dijaminkan suatu tempat di surga. Tidak ada pilih kasih.

Apakah anda pergi ke surga atau tempat manapun, tergantung pada kamma anda sendiri. Kita tidak dapat menyuap surga untuk membukakan pintu bagi kita – ini adil.

Sumber :
-         Only We Can Help Ourselves -Bhikkhu Dhammavuddho Maha Thera
-         Samyutta Nikaya 42.6 : Paccha-bumika Sutta






Selasa, Juli 24, 2012

Kiasan Satipatthana


KIASAN SATIPATTHANA


Satipatthana Samyutta 47.2.10 memberikan kiasan yang mengesankan dalam menunjukkan bagaimana satipatthana harus dilatih.

Dalam kiasan ini, seorang pria dipaksa untuk membawa sebuah mangkuk yang diisi penuh dengan minyak diantara kerumunan orang-orang yang menonton gadis tercantik dinegeri itu yang sedang bernyanyi dan menari. Dia diikuti oleh seorang pria lainnya dengan pedang yang diangkat, siap untuk memotong kepalanya jika setetes saja dari minyak tersebut ditumpahkan.  

Oleh karenanya, dia harus memperhatikan dengan seksama mangkuk dari minyak tersebut tanpa mengizinkan dirinya untuk terganggu sedikitpun oleh hal-hal lain, yaitu perhatian yang berpusat kepada satu obyek.

Ini adalah penjelasan yang jelas dari makna Satipatthana.


Dikutip dari:
Segenggam Daun Bodhi - Bhikkhu Dhammavuddho Maha Thera Hal 209



Sabtu, Juli 21, 2012

Asal-usul Sebutan " Bhante"


ASAL USUL SEBUTAN “BHANTE”
Oleh : Tanhadi

Bagi Umat Buddhis pasti tidak asing lagi ketika mengucapkan kata “Bhante” yang ditujukan kepada para Bhikkhu, namun tahukah Anda asal-usul sebutan "Bhante" tersebut? Siapakah yang pertama kali mencetuskan sebutan “Bhante” tersebut? dan Siapakah yang seharusnya mengatakan sebutan “Bhante” kepada para Bhikkhu?

Inilah nasihat Sang Buddha kepada Ananda ketika Beliau tak lama kemudian Parinibbana :

“ Ananda, sebagaimana pada saat ini para bhikkhu saling menegur satu dengan yang lainnya sebagai "Avuso", namun janganlah demikian apabila Aku telah tiada.

Para bhikkhu yang lebih tua, bolehlah menegur kepada yang lebih muda dengan menyebut namanya, atau nama keluarganya, atau dengan sebutan avuso, sedangkan bhikkhu yang lebih muda seharusnya berkata kepada yang lebih tua dengan sebutan "Bhante" *). 

(Digha Nikaya 16 : Mahaparinibbana Sutta)

*) Bhante : Guru Yang Mulia




Jumat, Juli 20, 2012

Tidak Semua Orang Bisa Menjadi Bhikkhu


TIDAK SEMUA ORANG BISA MENJADI BHIKKHU
Oleh : Guntono Dhammasukha


Terlahir sebagai manusia dan dapat mengenal serta bertemu dengan ajaran Sang Buddha yang disebut DHAMMA adalah hal yang amat sangat sulit. Karena tidak semua manusia/makhluk didunia ini memiliki kesempatan untuk bertemu dan mendengarkan Dhamma Ajaran Sang Buddha.

Untuk itu kita sebagai manusia yang mengenal Dhamma merupakan hasil dari kamma baik kita di masa lampau dan juga didukung oleh kamma baik kita dimasa sekarang ini.

Meskipun kita mengenal dan bertemu dengan Dhamma yang telah di ajarkan oleh Sang Buddha namun tidaklah semua orang bisa sepenuhnya untuk bisa menjadi seorang Samana1 ,dalam hal ini adalah menjadi seorang Bhikkhu.

Sedangkan masyarakat Buddhis dapat di bedakan menjadi dua, yaitu :
-       Umat Buddha yang hidup sebagai perumah tangga (Upasaka dan Upasika) dan

-       Umat Buddha yang meninggalkan keduniawian (Samanera, Samaneri, Bhikkhu dan Bhikkhuni).

Pernah ada orang yang mengatakan bahwa “ Jika semua orang menjadi Bhikkhu, maka tidak akan ada pelaku ekonomi, dan perekonomian pastinya akan lumpuh dan tidak ada orang yang akan menjalankan roda perekonomian.”

Pertanyaan atau perkataan seperti ini hanya akan muncul pada pikiran orang yang sama sekali tidak paham akan Buddhisme dan tidak mengerti tentang tata cara dan kehidupan seorang Bhikkhu. Karena tidak semua orang itu bisa diterima dalam komunitas Sangha, Untuk bisa menjadi seorang Bhikkhu tidaklah mudah sebenarnya, karena ada berbagai persyaratan yang harus dipenuhi agar bisa di Upasampada2 sebagai seorang bhikkhu.

Adapun penyebab yang menjadikan seseorang tidak bisa di Umpasampada yaitu di karenakan :
1.    Usianya kurang dari 20 tahun dihitung mulai dari saat pembuahan dalam rahim.

2.    Memiliki jenis kelamin yang tidak normal.
Dalam Vinaya disebut ‘Pandaka’ dan ‘Ubhatobyanjanka’ yang berarti manusia yang memiliki dua jenis kelamin.

3.    Seseorang yang mempunyai ciri pembawaan dan perangai yang berlainan dengan jenis kelaminnya sendiri. Contoh seorang laki-laki yang memiliki ciri seperti wanita/banci.

Agak sulit untuk memahami manusia yang manakah yang dimaksud dengan Pandaka.

Menurut Vinaya dan Atthakatha, Pandaka menunjuk pada :
-       Seseorang yang memiliki nafsu seksual yang sangat kuat, melewati batas perilaku seksual yang baik dan wajar dan mendorong orang lain untuk berbuat yang demikian juga.

-       Orang yang dikebiri

-       Orang yang tidak dapat ditentukan jenis kelaminnya sejak dilahirkan.

4.    Orang yang telah melakukan kesalahan terhadap Dhamma dan Vinaya , ada Tujuh jenis yaitu :
o   Orang yang telah membunuh seorang Arahat

o   Orang yang telah mengganggu dan memperkosa seorang bhikkhuni.

o   Orang yang telah Theyya Samvasa (Orang yang hidup dalam suatu komunitas secara tidak sah, orang ini mengambil kedudukan sebagai bhikkhu oleh dirinya sendiri dengan niat berkedok sebagai bhikkhu dan hidup bersama-sama diantara para bhikkhu).

o   Orang telah pindah ke agama lain.

o   Orang yang telah melakukan Parajika, yaitu empat pelanggaran berat bagi seorang bhikkhu yang mengakibatkan seseorang segera dikeluarkan dari persamuan dan tidak diijinkan memasuki Sangha Theravada lagi selama hidupnya.

o   Orang yang telah memecah belah Sangha.

o   Orang yang menyakiti gurunya hingga berdarah.

5.    Sedangkan mereka yang dilarang menerima Pabbaja 3  ada Delapan jenis, yaitu :

-   Orang yang menderita penyakit menular yang tidak diobati/kronis dan ada lima penyakit yang disebutkan :
a. Lepra
b. Cacar.
c. Kurap dan Cacingan.
d. Asma
e. Epilepsi
dan kelima penyakit ini harus ditanyakan terlebih dahulu sebelum Pabbaja.

-       Paparogo yaitu orang yang mengidap penyakit sebagai akibat dari perbuatan buruk, yaitu memiliki penyakit pembengkakan pada buah penisnya dan orang yang mengalami kelumpuhan sebagian pada tubuhnya.

-       Orang yang memiliki anggota badan cacat.

-       Orang yang berbeda dengan orang lain. Contoh, orang yang terlalu tinggi/jangkung dan orang yang terlalu pendek/kerdil.

-       Orang yang memiliki warna kulit hitam dan putih karena penyakit.

-       Orang yang sangat kurus dan gemuk.

-       Orang yang memiliki kepala yang terlalu besar/terlalu kecil.

-       Orang yang setengah buta, khususnya mereka yang menderita katarak.

-       Orang yang tidak bisa berjalan dengan normal/pincang, jari-jari tangan dan kakinya yang telah berubah bentuk menjadi tidak normal.

-       Orang buta, bisu dan tuli.

-       Orang tua dan lemah, yang tidak mampu melakukan 4 sikap meditasi.

-       Orang yang tidak mendapat ijin dari orang tuanya, pejabat pemerintah, bagi mereka yang mungkin bekerja di kantor pemerintahan, orang yang tidak mendapat ijin dari istrinya bagi mereka yang telah menikah.

-       Orang yang menjadi budak, dan orang yang mempunyai hutang tidak bisa di Umpasampada untuk menjadi seorang bhikkhu.

-       Orang yang memiliki tanda telah menerima hukuman yang sangat berat. Contoh, orang yang dicambuk dan mempunyai bekas di punggungnya, orang yang di tato yang menunjukkan bahwa orang tersebut telah bersalah (jaman dulu orang di tato mukanya karena telah melakukan parajika)

-       Perusak ketenangan di masyarakat dalam kategori ini adalah perampok,DPO dan seorang penjahat yang tidak dilindungi oleh undang-Undang.

-       Orang yang tidak sehat secara batin (gila).

Mereka yang tidak dapat atau tidak boleh menjalani Pabbaja ,maka mereka juga tidak dapat untuk di Upasampada. Kalau tidak menjalani Pabbaja bagaimana mungkin bisa menjalani Upasampada, karena Pabbaja merupakan langkah pertama untuk bisa di Upasampada..

Orang yang tidak dapat menjalani Upasampada :
-       Orang yang tanpa upajjhaya4 atau yang tidak memiliki Upajjhaya untuk menahbiskan dia sebagai Bhikkhu.

-       Orang yang tidak memiliki jubah dan Mangkuk.

-       Orang yang meminjam mangkuk dan jubah.

Kesimpulannya adalah, bahwa untuk menjadi seorang Bhikkhu itu tidaklah mudah, karena ada berbagai persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi.

Untuk menjadi seorang Bhikkhu haruslah orang yang benar-benar sehat secara nama dan rupa/batin dan jasmani. Selain itu juga harus ada seorang Upajjhaya yang akan menahbis untuk menjadi Bhikkhu.

Untuk itu tidaklah mungkin jika semua umat Buddha atau semua laki-laki itu bisa menjadi seorang Bhikkhu. Kalau sudah demikian, berarti roda perekonomian tentunya masih bisa berjalan dengan baik dan lancar. Biarpun seorang sehat secara jasmani dan batin, belum tentu orang tersebut mau dan mampu menjalani kehidupan sebagai seorang Bhikkhu, karena seorang Bhikkhu mempunyai kewajiban untuk melaksanakan Vinaya Kebhikkhuan sebanyak 227 Sila5 .Jadi kalau ada orang yang mengatakan bagaimanakah kalau semua orang menjadi Bhikkhu? maka jawabannya adalah, ‘tidak mungkin kalau semua orang bisa, dan hidup sebagai seorang Bhikkhu’. Karena tidak semua orang bisa memenuhi kriteria/persyaratan yang telah ditetapkan agar bisa di Umpasampada untuk menjadi seorang bhikkhu.

Untuk itu merupakan kamma yang sangat baik sekali bagi beliau-beliau yang bisa mengenal Dhamma dan bisa hidup sebagai seorang Samana/Bhikkhu.

Semoga para Beliau-beliau yang telah menjalankan kehidupan sebagai seorang Bhikkhu, bertambah maju dalam Dhamma dan Vinaya, dan semoga pada akhirnya beliau-beliau ini bisa secepatnya mencapai apa yang di cita-citakan yaitu mencapai Nibbana.


Sumber : Materi Pokok Kitab Suci Vinaya Pitaka II
Disadur dari Majalah Dawai- edisi 56-Mei 2012  Oleh: Tanhadi
______________
Catatan kaki :
1 Samana : Petapa
2 Upasampada : Penahbisan menjadi bhikkhu
3  Pabbaja : Kehidupan sebagai petapa atau bhikkhu (tidak berumah tangga)
4 Upajjhaya:  Guru pembimbing
5 227 Sila : 227 Pãtimokkha : tata-tertib untuk seorang Bhikkhu.




Rabu, Juli 18, 2012

Tinggalkanlah Kejahatan


TINGGALKANLAH KEJAHATAN !


Ada sebuah cerita di dalam Dhammapada Atthakatta tentang seorang upasaka yang bernama Mahakala, dia telah melakukan kebajikan tetapi ketika karma buruknya berbuah ,dia tetap tidak bisa menghindarnya. Ceritanya seperti ini : 

Pada suatu hari uposatha, Mahakala pergi ke Vihara Jetavana. Hari itu ia melaksanakan delapan peraturan moral (athasila) dan mendengarkan khotbah Dhamma sepanjang malam.

Pada malam hari itu juga beberapa pencuri masuk menyusup ke dalam sebuah rumah. Pemilik rumah terbangun dan mengejar para pencuri. Pencuri-pencuri itu berlarian ke segala arah. Beberapa pencuri berlarian ke arah vihara. Mereka berlari mendekat vihara.

Pada saat itu Mahakala sedang mencuci muka di tepi kolam dekat vihara. Pencuri-pencuri itu meninggalkan barang curiannya di depan Mahakala dan kemudian mereka berlari pergi. Ketika pemilik barang tiba di tempat itu, mereka melihat Mahakala dengan barang curian. Mengira bahwa Mahakala adalah salah seorang pencuri, mereka berteriak ke arahnya, mengancamnya dan memukulnya dengan keras. Mahakala meninggal dunia di tempat itu. Pada pagi harinya, ketika beberapa bhikkhu muda dan samanera-samanera dari vihara pergi ke kolam untuk mengambil air, mereka melihat mayatnya dan mengenalinya.

Sekembali mereka ke vihara, mereka melaporkan hal yang dilihatnya kepada Sang Buddha. "Bhante, seorang upasaka di vihara yang telah mendengarkan khotbah Dhamma sepanjang malam ditemukan telah meninggal dunia secara tidak pantas".

Kepada mereka Sang Buddha menjawab,
"Para bhikkhu, jika kalian hanya mengetahui perbuatan baik yang telah ia lakukan pada kehidupan saat ini, tentunya ia tidak akan ditemukan meninggal dunia secara tidak layak. Tetapi kenyataannya, ia harus menerima akibat perbuatan jahat yang telah ia lakukan pada kehidupan lampaunya.

Pada salah satu kehidupan lampaunya, ketika ia sebagai salah seorang anggota istana kerajaan, ia jatuh cinta pada istri orang lain dan memukul suami wanita tersebut sehingga suami itu meninggal dunia. Oleh karena perbuatan jahatnya, pasti akan membuat seseorang menderita, bahkan dapat mengakibatkan kelahiran kembali dalam salah satu dari empat alam penderitaan (apaya)".

Apa yang kita bisa ambil dari cerita di atas?

Salah satu hal yang bisa kita ambil makna dari cerita di atas adalah kita harus sering-sering melakukan suatu kebaikan, kita harus mengurangi setiap perilaku kita yang bisa menimbulkan hal yang tidak baik. Karena sudah jelas sekali bahwa setiap perbuatan walau sekecil apapun juga pasti akan mendapatkan hasil yang sesuai dengan perbuatannya. Seseorang yang sering mencuri pasti akan mendapatkan hasil yang setimpal, seseorang yang sering melakukan puja bhakti di Vihara pasti akan mendapatkan hasil yang setimpal, begitu pula dengan seseorang yang sering berdana pasti akan mendapatkan hasil yang setimpal. Jangan pernah berpikir kalau perbuatan kita tidak akan berbuah, walaupun sekecil apapun perbuatan itu pasti akan mendapatkan hasil yang setimpal. Misalnya apabila kita selalu tersenyum ketika bertemu dengan orang lain, maka kita akan di sukai oleh orang-orang yang ada disekitar. Hanya karena tersenyum kita bisa mendapatkan hasil yang baik apalagi kita melakukan hal yang lebih dari sekedar senyuman.
Tentu untuk melakukan perbuatan bajik penuh dengan kesulitan, tetapi apabila kita sudah yakin dengan perbuatan kita maka kita tidak akan mundur dalam melakukan perbuatan yang baik dan tentu saja kita kurangi setiap perbuatan kita yang tidak baik.

Sang Buddha telah mengajarkan kepada kita untuk meninggalkan kejahatan, Beliau mengatakan ;

Tinggalkanlah kejahatan, O para bhikkhu!
Para bhikkhu, manusia dapat meninggalkan kejahatan.
Seandainya saja manusia tidak mungkin meninggalkan kejahatan,
aku tidak akan menyuruh kalian melakukannya.
Tetapi karena hal itu dapat dilakukan ,
maka kukatakan, "Tinggalkanlah kejahatan!"

Seandainya saja meninggalkan kejahatan ini akan membawa kerugian dan penderitaan, aku tidak akan menyuruh kalian meninggalkan kejahatan.
Tetapi karena meninggalkan kejahatan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan,
maka kukatakan , "Tinggalkanlah kejahatan!"

Kembangkanlah kebaikan, O para bhikkhu!
Para bhikkhu, manusia dapat mengembangkan kebaikan.
Seandainya saja manusia tidak mungkin mengembangkan kebaikan,
maka aku tidak akan menyuruh kalian melakukannya.
Tetapi karena hal itu dapat dilakukan,
maka kukatakan, "Kembangkanlah kebaikan!"

Seandainya saja pengembangan kebaikan ini akan membawa kerugian dan penderitaan, aku tidak akan menyuruh kalian mengembangkannya.
Tetapi karena mengembangkan kebaikan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan, maka kukatakan, "Kembangkanlah kebaikan!"

 ( Anguttara Nikaya .2,19 )


Demikianlah, Sang Buddha telah memberikan penjelasan kepada kita bahwa kita bisa meninggalkan semua hal yang buruk di dalam diri kita, kita bisa mengurangi perbuatan buruk dalam diri kita, kita bisa meminimalkan perbuatan buruk yang ada dalam diri kita. Namun, apakah itu saja sudah cukup? Tentu tidak, karena selain itu kita harus sering melaksanakan perbuatan yang baik.

Pada kesimpulannya kita harus mengurangi setiap perbuatan buruk yang akan kita lakukan dan menambah perbuatan-perbuatan bajik yang bisa membuat kita bahagia.

Sang Buddha pernah bersabda :

Kejahatan yang dilakukan oleh diri sendiri,
timbul dari diri sendiri disebabkan oleh diri sendiri,
akan menghancurkan orang bodoh,
bagaikan intan memecah permata yang keras.
( Dhammapada .161 )

Kita tentu tidak ingin menjadi orang yang bodoh, orang yang selalu berbuat kesalahan karena hal itu hanya akan menambahkan penderitaan kita yang baru. Kita harus selalu menjadi orang yang penuh kesadaran dalam setiap hal yang akan kita lakukan.