Minggu, Oktober 28, 2012

Merawat Orang Sakit


MERAWAT ORANG SAKIT


Suatu hari, ada seorang bhikku yang menderita sakit perut yang parah. Karena kesakitan dan lemah, sewaktu berjalan ia terjatuh. Ia tidak kuat berdiri lagi, dan hanya berbaring saja di atas tanah. Jubah dan badannya kotor.

Saat itu, Sang Buddha dan Bhikku Ananda sedang berkunjung ke tempat tinggal para bhikku. Ketika melihat bhikku yang sedang sakit itu, Sang Buddha mendekatinya dan bertanya :

Buddha : “ Bhikku. Kamu kenapa ? “
Bhikku : “ Saya sakit perut. Bhante “.
Buddha : “ Apa tidak ada orang yang merawatmu ? “
Bhikkhu : “ Tidak. Bhante. “
Buddha : “ Mengapa bhikku yang lain tidak merawatmu ? “
Bhikkhu : “ Karena mereka tidak suka pada saya. Bhante. “

Kemudian Buddha berkata pada bhikku Ananda : “ Ambilkan air. Kita akan membersihkan tubuh bhikku ini. “. Bhikku Ananda pun pergi mengambil air. Setelah kembali, Buddha menyiramkan air itu secara perlahan ke tubuh bhikku yang sakit itu, sambil bhikku Ananda membersihkan seluruh tubuhnya. Setelah bersih, kemudian Buddha dan bhikku Ananda bersama-sama mengangkat dan membaringkannya ke atas tempat tidur.

Lalu Sang Buddha memanggil semua bhikku yang tinggal di sana dan bertanya kepada mereka :

“ Para bhikku, mengapa kalian tidak merawat rekan kalian yang sakit itu ? “

Bhikku yang paling senior menjawab :

“ Karena kami tidak suka padanya. Bhante. “

Buddha : “ Bhikku. Jangan begitu. Kalian tidak memiliki ayah atau ibu yang merawat kalian. Jika kalian tidak saling merawat, lalu kalau sakit mau minta tolong sama siapa ? Ia yang merawat orang sakit, manfaatnya ( Kamma Vipaka ) sama seperti merawat Aku ( Buddha).”

(Vinaya IV, 301)

-oOo-




Ia yang Melihat Dhamma, Melihat Sang Buddha


IA YANG MELIHAT DHAMMA , MELIHAT SANG BUDDHA

Vakkali Sutta

(Bhikkhu Vakkhali mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri karena Ia terkena penyakit kusta sangat parah).

**
Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Rājagaha di Hutan Mambu, Taman Suaka Tupai. Pada saat itu Yang Mulia Vakkali sedang berdiam di gubuk pengrajin tembikar, sakit, menderita, sangat sakit. Kemudian Yang Mulia Vakkali berkata kepada para pelayannya:

“Pergilah, Sahabat-sahabat, datangilah Sang Bhagavā, berikan hormat atas namaku dengan kepala kalian di kaki Beliau, dan katakan: ‘Yang Mulia, Bhikkhu Vakkali sedang sakit, menderita, sangat sakit; ia memberi hormat kepada Bhagavā dengan kepalanya di kaki Beliau.’ Kemudian katakan: ‘Baik sekali, Yang Mulia, jika Bhagavā sudi mengunjungi Bhikkhu Vakkali demi belas kasihan.’”

“Baik, Sahabat,” para bhikkhu itu menjawab, dan mereka mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan menyampaikan pesan. Sang Bhagavā menyetujui dengan berdiam diri.

Kemudian Sang Bhagavā merapikan jubah dan membawa mangkuk dan jubahNya, mengunjungi Yang Mulia Vakkali. Dari jauh Yang Mulia Vakkali melihat Sang Bhagavā datang dan bangun dari tempat tidurnya. Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Cukup, Vakkali, jangan bangun dari tempat tidur. Ada tempat duduk di sini, Aku akan duduk di sini.”

Kemudian Sang Bhagavā duduk di tempat yang telah disediakan dan berkata kepada Yang Mulia Vakkali: “Aku harap engkau bertahan, Vakkali, Aku harap engkau menjadi lebih baik. Aku harap perasaan sakitmu mereda dan bukan meningkat, dan bahwa meredanya, bukan meningkatnya, terlihat.”

“Yang Mulia, aku tidak dapat bertahan, aku tidak menjadi lebih baik. Perasaan sakit yang kuat meningkat, bukan mereda, dan meningkatnya, bukan meredanya, terlihat.”

“Aku harap, Vakkali, engkau tidak terganggu oleh penyesalan.”

“Sebenarnya, Yang Mulia, aku memiliki banyak penyesalan.”

“Aku harap, Vakkali, engkau tidak memiliki alasan untuk mencela dirimu sehubungan dengan moralitas.”

“Aku tidak memiliki alasan apa pun, Yang Mulia, untuk mencela diriku sehubungan dengan moralitas.”

“Kalau begitu, Vakkali, jika engkau tidak memiliki alasan apa pun untuk mencela dirimu sehubungan dengan moralitas, mengapa engkau terganggu oleh penyesalan?”

“Sejak lama, Yang Mulia, aku berkeinginan untuk mengunjungi Sang Bhagavā, namun aku tidak cukup sehat untuk melakukannya.”

“Cukup, Vakkali! Mengapa engkau ingin mengunjungi tubuh menjijikkan ini? Seseorang yang melihat Dhamma, melihat Aku; seseorang yang melihat Aku, melihat Dhamma. Karena dalam melihat Dhamma, Vakkali, maka ia melihat Aku; dan dalam melihat Aku, maka ia melihat Dhamma.

“Bagaimana menurutmu, Vakkali, apakah bentuk adalah kekal atau tidak kekal?”

“Tidak kekal, Yang Mulia.”…

“Oleh karena itu … Melihat demikian … Ia memahami: ‘… tidak ada lagi kondisi bagi makhluk ini.’”

Kemudian Sang Bhagavā, setelah memberikan nasihat kepada Yang Mulia Vakkali, bangkit dari duduknya dan pergi menuju Gunung Puncak Nasar.

Kemudian, tidak lama setelah Sang Bhagavā pergi, Yang Mulia Vakkali berkata kepada para pelayannya: “Marilah, Sahabat-sahabat, angkat aku dari tempat tidur ini dan bawa aku ke Batu Hitam di Lereng Isigili. Bagaimana mungkin orang sepertiku berpikir untuk mati di tengah-tengah perumahan?”

“Baik, Sahabat,” para bhikkhu itu menjawab, setelah mengangkat  Yang Mulia Vakkali dari tempat tidur, mereka membawanya ke Batu Hitam di Lereng Isigili.

Sang Bhagavā melewatkan hari dan malam itu di Gunung Puncak Nasar. Kemudian, pada larut malam, dua devatā dengan keindahan memesona mendekati Sang Bhagavā, menerangi seluruh Gunung Puncak Nasar…. Sambil berdiri di satu sisi, salah satu devatā itu berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, Bhikkhu Vakkali bertekad untuk mencapai Pembebasan.” Devatā lainnya berkata: “Pasti, Yang Mulia, ia akan terbebaskan seperti seorang yang terbebaskan sempurna.” Ini adalah apa yang dikatakan oleh kedua devatā itu. Setelah mengatakan hal itu, mereka memberi hormat kepada Sang Bhagavā dan, dengan Beliau di sisi kanan mereka, mereka lenyap dari sana.

Kemudian, ketika malam telah berlalu, Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Pergilah, para bhikkhu, datangilah Bhikkhu Vakkali dan katakan padanya: ‘Sahabat Vakkali, dengarkanlah kata-kata Sang Bhagavā dan dua devatā. Kemarin malam, Sahabat, pada larut malam, dua devatā dengan keindahan memesona mendekati Sang Bhagavā. Salah satu devatā itu berkata kepada Sang Bhagavā: “Yang Mulia, Bhikkhu Vakkali bertekad untuk mencapai Pembebasan.” Devatā lainnya berkata: “Pasti, Yang Mulia, ia akan terbebaskan seperti seorang yang terbebaskan sempurna.”

Dan Sang Bhagavā berkata kepadamu, Sahabat Vakkali: “Jangan takut, Vakkali, jangan takut! Kematianmu bukanlah kematian yang buruk. Kematianmu bukanlah kematian yang buruk.”’”

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab, dan mereka mendatangi Yang Mulia Vakkali dan berkata kepadanya: “Sahabat Vakkali, dengarkanlah kata-kata Sang Bhagavā dan dua devatā.”

Kemudian Yang Mulia Vakkali berkata kepada para pelayannya:

“Sahabat-sahabat, turunkan aku dari tempat tidur. Bagaimana mungkin seorang sepertiku berpikir untuk mendengarkan Ajaran Sang Bhagavā sambil duduk di tempat yang tinggi.”
“Baik, Sahabat,” para bhikkhu itu menjawab, dan mereka menurunkan Yang Mulia Vakkali dari tempat tidur.

“Kemarin malam, Sahabat, dua devatā dengan keindahan memesona mendekati Sang Bhagavā. Salah satu devatā itu berkata kepada Sang Bhagavā: ‘Yang Mulia, Bhikkhu Vakkali bertekad untuk mencapai Pembebasan.’ Devatā lainnya berkata: ‘Pasti, Yang Mulia, ia akan terbebaskan seperti seorang yang terbebaskan sempurna.’ Dan Sang Bhagavā berkata kepadamu, Sahabat Vakkali: ‘Jangan takut, Vakkali, jangan takut! Kematianmu bukanlah kematian yang buruk. Kematianmu bukanlah kematian yang buruk.’”

“Baiklah, Sahabat-sahabat, berilah hormat kepada Sang Bhagavā atas namaku dengan kepala kalian di kaki Beliau dan katakan: ‘Yang Mulia, Bhikkhu Vakkali sedang sakit, menderita, sangat sakit; ia memberi hormat kepada Bhagavā dengan kepalanya di kaki Beliau.’

Kemudian katakan: ‘Bentuk adalah tidak kekal: aku tidak meragukan hal ini, Yang Mulia, aku tidak meragukan bahwa sehubungan dengan apa yang tidak kekal adalah penderitaan. Aku tidak meragukan bahwa sehubungan dengan apa yang tidak kekal, penderitaan, dan mengalami perubahan, aku tidak lagi memiliki keinginan, nafsu, atau kerinduan. Perasaan adalah tidak kekal … Persepsi adalah tidak kekal … Bentukan-bentukan kehendak adalah tidak kekal … Kesadaran adalah tidak kekal: aku tidak meragukan hal ini, Yang Mulia, aku tidak meragukan bahwa sehubungan dengan apa yang tidak kekal adalah penderitaan. Aku tidak meragukan bahwa sehubungan dengan apa yang tidak kekal, penderitaan, dan mengalami perubahan, aku tidak lagi memiliki keinginan, nafsu, atau kerinduan.’”

“Baik, Sahabat,” para bhikkhu itu menjawab dan kemudian mereka pergi. Kemudian, tidak lama setelah para bhikkhu itu pergi, Yang Mulia Vakkali menggunakan pisau.

Kemudian para bhikkhu itu mendekati Sang Bhagavā … dan menyampaikan pesan itu. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Mari, para bhikkhu, kita pergi ke Batu Hitam di Lereng Isigili, di mana Vakkali telah menggunakan pisaunya.”

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu itu menjawab. Kemudian Sang Bhagavā, bersama dengan sejumlah bhikkhu, pergi ke Batu Hitam di Lereng Isigili. Dari jauh Sang Bhagavā melihat Yang Mulia Vakkali berbaring di tempat tidur dengan bahunya terbalik.

Pada saat itu gumpalan asap, pusaran kegelapan, bergerak ke timur, kemudian ke barat, ke utara, ke selatan, ke atas, ke bawah, dan ke seluruh penjuru di antaranya. Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Apakah kalian melihat, para bhikkhu, gumpalan asap, pusaran kegelapan, bergerak ke timur, kemudian ke barat, ke utara, ke selatan, ke atas, ke bawah, dan ke seluruh penjuru di antaranya?”

“Ya, Yang Mulia.”

“Itu, para bhikkhu, adalah Māra si Jahat yang sedang mencari kesadaran Vakkali, bertanya-tanya: ‘Di manakah sekarang kesadaran Vakkali terbentuk?’ Akan tetapi, para bhikkhu, dengan kesadaran tidak terbentuk, Vakkali telah mencapai Nibbāna akhir.”

( Samyutta Nikaya XXII. 87 /PTS. iii.119 : Vakkali Sutta)

-oOo-




Sang Budha Menghadapi Caci Maki


SANG BUDDHA MENGHADAPI CACI-MAKI

Pada suatu ketika, Sang Bhagavā sedang berdiam di Rājagaha, di Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Brahmana Akkosaka Bhāradvāja, Bhāradvāja si pemaki, mendengar: “Dikatakan bahwa brahmana dari suku Bhāradvāja telah meninggalkan kehidupan rumah tangga dan menjalani kehidupan tanpa rumah di bawah Petapa Gotama.” Marah dan tidak senang, ia mendatangi Sang Bhagavā dan mencaci dan mencerca Beliau dengan kata-kata kasar.

Ketika ia telah selesai berbicara, Sang Bhagavā berkata kepadanya:

“Bagaimana menurutmu, Brahmana? Apakah teman-teman dan sahabat-sahabat, sanak keluarga dan saudara, juga para tamu datang mengunjungimu?”

“Kadang-kadang mereka datang berkunjung, Guru Gotama.”

“Apakah engkau mempersembahkan makanan atau kudapan (makanan kecil) kepada mereka?”

“Kadang-kadang aku melakukannya, Guru Gotama.”

“Tetapi jika mereka tidak menerimanya darimu, maka milik siapakah makanan-makanan itu?”

“Jika mereka tidak menerimanya dariku, maka makanan-makanan itu tetap menjadi milikku.”

“Demikian pula, Brahmana, kami—yang tidak mencaci siapa pun, yang tidak memarahi siapa pun, yang tidak mencerca siapa pun— menolak menerima darimu cacian dan kemarahan dan semburan yang engkau lepaskan kepada kami. Itu masih tetap milikmu, Brahmana! Itu masih tetap milikmu, Brahmana!”

“Brahmana, seseorang yang mencaci orang yang mencacinya, yang memarahi orang yang memarahinya, yang mencerca orang yang mencercanya—ia dikatakan memakan makanan, memasuki pertukaran. Tetapi kami tidak memakan makananmu; kami tidak memasuki pertukaran. Itu masih tetap milikmu, Brahmana! Itu masih tetap milikmu, Brahmana!”

“Raja dan para pengikutnya memahami bahwa Petapa Gotama adalah seorang Arahanta, namun Guru Gotama masih bisa marah.”

(Sang Bhagavā):

“Bagaimana mungkin kemarahan muncul dalam diri
seorang yang tidak memiliki kemarahan,
Dalam diri seorang yang jinak berpenghidupan benar,
Dalam diri seorang yang terbebaskan oleh pengetahuan sempurna,
Dalam diri seorang yang seimbang yang berdiam dalam kedamaian?

“Seseorang yang membalas kemarahan dengan kemarahan
Dengan cara demikian membuat segala sesuatu menjadi lebih buruk bagi dirinya.
Tidak membalas kemarahan dengan kemarahan,
Seseorang memenangkan peperangan yang sulit dimenangkan.

“Ia berlatih demi kesejahteraan kedua belah pihak-
Dirinya dan orang lain ;
Ketika, mengetahui bahwa musuhnya marah,
Ia dengan penuh perhatian mempertahankan kedamaiannya.

“Ketika ia memperoleh penyembuhan bagi kedua belah pihak-
Dirinya dan orang lain;
Orang-orang yang menganggapnya dungu
Adalah tidak terampil dalam Dhamma.”

Ketika hal ini dikatakan, Brahmana Akkosaka Bhāradvāja berkata kepada Sang Bhagavā: “Menakjubkan, Guru Gotama! ... Aku berlindung pada Guru Gotama, dan pada Dhamma, dan pada Bhikkhu Saṅgha. Semoga aku menerima pelepasan keduniawian di bawah Guru Gotama, sudilah memberikan penahbisan yang lebih tinggi kepadaku.”

Kemudian brahmana dari suku Bhāradvāja menerima pelepasan keduniawian di bawah Sang Bhagavā, ia menerima penahbisan yang lebih tinggi. Dan segera, tidak lama setelah penahbisannya, berdiam sendirian ... Yang Mulia Bhāradvāja menjadi salah satu dari para Arahanta.

[Samyutta Nikaya 7.2 : Akkosa Sutta (Caci-maki)]






Sabtu, Oktober 27, 2012

Dhammapada XI: 151 - Kisah Ratu Mallika


KISAH RATU MALLIKA
 Dhammapada XI: 151


Suatu hari, Mallika pergi ke kamar mandi mencuci wajah, kaki dan tangannya. Anjing peliharaannya juga masuk, ketika dia membungkuk untuk mencuci kakinya, anjing itu mencoba berhubungan kelamin dengannya, dan ratu merasa terhibur dan senang.

Raja melihat kejadian aneh lewat jendela kamarnya, ketika ratu masuk, dia berkata dengan marah, "Oh kamu wanita hina! Apa yang kamu lakukan dengan anjing itu di kamar mandi? Jangan menyangkal apa yang saya lihat dengan mataku sendiri".

Ratu menjawab bahwa dia hanya mencuci muka, tangan dan kakinya, tidak melakukan kesalahan apapun.

Kemudian dia melanjutkan, "Tetapi, ruangan itu sangat aneh. Jika seseorang masuk ke ruang itu, bagi orang yang melihat dari jendela ini akan muncul menjadi dua gambaran. Jika anda tidak mempercayaiku, Raja, silahkan masuk ke ruangan itu dan saya akan melihat lewat jendela ini".

Raja pergi ke kamar mandi. Ketika dia keluar, Mallika bertanya kepada raja mengapa dia berlaku tidak pantas dengan seekor kambing betina di kamar itu. Raja menyangkal, tetapi ratu bersikeras bahwa dia melihat mereka dengan mata sendiri. Raja kebingungan tetapi seperti orang tolol dia menerima penjelasan dari ratu dan menyimpulkan bahwa kamar mandi itu benar-benar sangat aneh.

 Sejak saat itu, ratu sangat menyesal karena telah berbohong pada raja dan telah kurang ajar menuduhnya atas kelakuannya yang tidak pantas dengan seekor kambing betina. Kelak, walaupun hampir meninggal dunia, dia melupakan kemurahan hati yang besar tiada bandingannya, yang telah diberikan kepada suaminya, dan hanya mengingat bahwa dia telah bersikap tidak jujur terhadap suaminya. Sebagai akibat dari perbuatannya, setelah meninggal dunia dia dilahirkan di alam neraka (niraya). Setelah pembakaran jenazahnya usai, raja bertanya kepada Sang Buddha, di mana dia dilahirkan kambali. Sang Buddha ingin menunda perasaan raja, dan juga tidak ingin raja berkurang keyakinannya terhadap Dhamma. Beliau mengalihkan pertanyaan itu, bahwa tidak seharusnya pertanyaan itu ditanyakan kepada Beliau sekarang ini sehingga Raja Pasenadi lupa bertanya pada Sang Buddha.

Setelah tujuh hari di alam neraka (niraya), ratu dilahirkan kembali di Surga Tusita. Pada saat itu, Sang Buddha pergi ke istana Raja Pasenadi untuk menerima dana makanan. Beliau berharap dapat beristirahat di bangsal kereta tempat kereta kerajaan disimpan. Setelah mempersembahkan dana makanan, raja bertanya kepada Sang Buddha, dimana Ratu Mallika dilahirkan kembali.

Dan Sang Buddha menjawab "Mallika telah dilahirkan di Surga Tusita".

Mendengar hal ini raja sangat gembira dan berkata, "Dimana lagi dia dapat dilahirkan? Dia selalu berpikir tentang perbuatan baik, selalu berpikir apa yang akan dipersembahkan kepada Sang Buddha besok hari. Bhante, sekarang ia telah pergi, saya, murid-Mu yang rendah ini, hampir tidak tahu apa yang harus dikerjakan".

Kepada raja Sang Buddha berkata, "Lihat pada kereta ayahmu dan kakekmu, semua ini tergeletak sia-sia, sama halnya seperti tubuhmu yang menjadi sasaran kematian dan kerusakan. Hanya Dhamma yang mulia, yang tidak menjadi sasaran kehancuran".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 151 berikut:

Kereta kerajaan yang indah sekalipun pasti akan lapuk,
begitu pula tubuh ini akan menjadi tua.
Tetapi "Ajaran" (Dhamma) orang suci tidak akan lapuk.
Sesungguhnya dengan cara inilah orang suci mengajarkan kebaikan.

]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.



Dhammapada XI: 150 - Kisah Rupananda Theri (Janapadakalyani)


KISAH RUPANANDA THERI (Janapadakalyani)
 Dhammapada XI: 150


Janapadakalyani adalah puteri dari Gotami, ibu tiri Pangeran Siddhattha. Karena sangat cantik Puteri Janapadakalyani dikenal dengan nama Rupananda. Dia menikah dengan Nanda, saudara sepupu Pangeran Siddhattha.

Pada suatu hari dia merenung, "Kakak saya yang akan menjadi raja telah meninggalkan keduniawian menjadi bhikkhu dan telah mencapai ke-Buddha-an. Rahula, anak dari kakak saya, suami saya, ibu saya, mereka semua telah meninggalkan keduniawian untuk menjadi bhikkhu dan bhikkhuni, sekarang tinggal saya sendiri di sini!"

Setelah merenung demikian dia pergi ke vihara untuk ditahbiskan menjadi seorang bhikkhuni, bukan karena keyakinan tetapi hanya meniru orang lain dan merasa kesepian tinggal seorang diri.

Setelah menjadi bhikkhuni, Rupananda sering mendengar bahwa Sang Buddha mengajarkan tentang ketidak-kekalan, sehingga dia berpikir kalau dia bertemu dengan Sang Buddha pasti Beliau akan mencela kecantikannya, sehingga dia berusaha untuk menghindari perjumpaan dengan Sang Buddha. Akan tetapi karena begitu banyak orang memuji Sang Buddha, akhirnya dia memutuskan untuk bertemu dengan Sang Buddha bersama para bhikkhuni.

Ketika Sang Buddha bertemu dengan Rupananda, Beliau berpikir, "Duri hanya dapat dikeluarkan dengan duri. Rupananda sangat melekat terhadap tubuhnya dan sangat sombong akan kecantikannya, dia harus meninggalkan kemelekatan dan kesombongan akan kecantikannya".

Kemudian Sang Buddha dengan kemampuan batin luar biasa menciptakan seorang anak gadis yang sangat cantik, berusia kira-kira 16 tahun dan duduk di dekatnya. Anak gadis itu hanya dapat dilihat oleh Sang Buddha dan Rupananda. Ketika Rupananda melihat anak gadis tersebut, Rupananda merasa dirinya hanyalah seekor gagak yang tua dan jelek dibandingkan dengan anak gadis itu, yang seperti seekor angsa putih. Rupananda begitu mengagumi wajah anak gadis tersebut yang cantik jelita. Tetapi ketika Rupananda memperhatikan sungguh-sungguh, dia terkejut karena anak gadis tersebut bertambah tua berusia 20, terus menerus ia memperhatikan anak gadis yang berada di samping Sang Buddha itu bertambah tua dan menjadi sangat tua. Anak gadis itu berubah dari anak gadis muda, menjadi setengah baya tua, dan sangat tua.

Rupananda menyadari bahwa dengan timbulnya bayangan baru, bayangan lama lenyap, dan dia mulai menyadari dari proses perubahan yang terus menerus dan kelapukan tubuh. Dengan kesadaran ini, kemelekatan terhadap tubuhnya berkurang. Pada saat itu bayangan anak gadis yang ada di dekat Sang Buddha telah berubah menjadi wanita jompo, yang tidak dapat mengatur gerak tubuhnya lagi, terjatuh. Akhirnya bayangan wanita itu meninggal dunia. Dari tubuhnya muncul belatung, cairan tubuh keluar dari sembilan lubang, burung gagak dan pemakan bangkai mencabik-cabik bangkai itu.

Setelah melihat semua ini, Rupananda merenung, "Gadis muda itu menjadi tua dan jompo kemudian meninggal dunia di sini di hadapan mataku. Sama halnya dengan tubuhku akan menjadi tua dan rusak; akan merupakan sarang penyakit dan juga akan meninggal dunia".

Kemudian Rupananda menyadari akan corak sebenarnya kenyataan kelompok kehidupan. Pada saat itu Sang Buddha memberikan khotbah tentang ketidak-kekalan, ketidak-puasan, dan ketanpa-intian dari kelompok kehidupan (khanda) dan Rupananda mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 150 berikut:

Kota (tubuh) ini terbuat dari tulang belulang
yang dibungkus oleh daging dan darah.
Di sinilah terdapat kelapukan dan kematian,
kesombongan dan iri hati.

Rupananda mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.


Dhammapada XI: 149 - Kisah Bhikkhu-bhikkhu Adhimanika


KISAH BHIKKHU-BHIKKHU ADHIMANIKA
 Dhammapada XI: 149


Setelah lima ratus bhikkhu menerima objek meditasi yang diberikan Sang Buddha, mereka pergi ke hutan. Di sana mereka melatih meditasi dengan bersemangat dan rajin sehingga mencapai "Penunggalan Kesadaran" (jhana). Setelah mencapai Jhana mereka berpikir bahwa mereka telah bebas dari hawa nafsu oleh karena itu mereka telah mencapai tingkat kesucian arahat.

Padahal kenyataannya, mereka hanya menilai dirinya sendiri berlebihan. Mereka pergi menjumpai Sang Buddha dengan maksud untuk memberitahukan tentang pencapaian ke-arahat-an mereka.

Ketika mereka tiba di gerbang luar vihara, Sang Buddha berkata kepada Y.A. Ananda, "Bhikkhu-bhikkhu itu tidak akan mendapat banyak manfaat apabila menemui-Ku sekarang, biarkan mereka pergi ke kuburan sekarang, baru kemudian menemui-Ku sesudahnya".

 Kemudian Ananda memberitahukan pesan Sang Buddha kepada para bhikkhu, dan mereka merenung, "Sang Buddha mengetahui segalanya, Beliau pasti mempunyai beberapa alasan agar kita pergi ke kuburan terlebih dahulu".

Maka pergilah para bhikkhu tersebut ke kuburan.

Setelah tiba di kuburan, mereka melihat banyak mayat yang telah membusuk, kemudian mereka melihat dirinya sendiri bagaikan kerangka dan tulang belulang, dan ketika mereka melihat mayat-mayat yang baru, mereka menyadari bahwa mereka masih memiliki hawa nafsu.

Sang Buddha dengan kemampuan batin luar biasa Beliau melihat dan muncul di hadapan para bhikkhu.

Kemudian Beliau berkata, "Para bhikkhu! Dengan melihat tulang belulang yang telah memutih, apakah pantas mempunyai hawa nafsu dalam dirimu?"

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 149 berikut:

Bagaikan labu yang dibuang pada musim rontok,
demikian pula halnya dengan tulang-tulang yang memutih ini.
Kesenangan apakah yang didapat dari memandangnya?

Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.


Dhammapada XI: 148- Kisah Uttara Theri


KISAH UTTARA THERI
 Dhammapada XI: 148


Uttara Theri yang berusia 120 tahun, pada suatu hari ia berjalan kembali dari berpindapatta. Ia bertemu dengan seorang bhikkhu, dan memohon bhikkhu itu untuk menerima persembahan dana makanannya. Tanpa pertimbangan bhikkhu tersebut menerima semua dana makanannya, sehingga Uttara harus pergi tanpa membawa makanan sedikitpun. Hal yang sama terjadi dua hari berikutnya, sehingga selama tiga hari berturut-turut Uttara Theri tidak makan dan tubuhnya sangat lemas.

Pada hari keempat, ketika ia dalam perjalanan berpindapatta, ia bertemu dengan Sang Buddha di jalan yang sempit. Ia memberi hormat kepada Beliau, kemudian berjalan mundur. Pada saat ia berjalan mundur, secara tidak sengaja ia menginjak jubahnya sendiri dan kemudian terjatuh ke tanah dan kepalanya terluka.

Sang Buddha mendekati Uttara dan berkata, "Tubuhmu telah menjadi sangat tua dan lemah, akan segera hancur dan binasa".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 148 berikut:

Tubuh ini benar-benar rapuh,
sarang penyakit dan mudah membusuk.
Tumpukan yang menjijikkan ini akan hancur berkeping-keping. Sesungguhnya,
kehidupan ini akan berakhir dengan kematian.

Uttara Theri mencapai tingkat kesucian sotapatti, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.


]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.


Dhammapada XI: 147- Kisah Sirima


KISAH SIRIMA
 Dhammapada XI: 147


Saat itu di Rajagaha tinggal seorang pelacur yang sangat cantik bernama Sirima. Setiap hari Sirima berdana makanan kepada delapan bhikkhu. Suatu ketika, salah seorang dari bhikkhu-bhikkhu itu mengatakan kepada bhikkhu lain betapa cantiknya Sirima dan setiap hari ia mempersembahkan dana makanan kepada para bhikkhu.

Mendengar hal ini, seorang bhikkhu muda langsung jatuh cinta pada Sirima meskipun belum pernah melihat Sirima. Hari berikutnya bhikkhu muda itu bersama dengan para bhikkhu yang lain pergi ke rumah Sirima untuk menerima dana makanan, pada hari itu Sirima sedang sakit. Tetapi karena Sirima ingin berdana makanan maka ia menerima kehadiran para bhikkhu.

Begitu bhikkhu muda tersebut melihat Sirima lalu bhikkhu muda berpikir, "Meskipun ia sedang sakit, ia sangat cantik!"

Bhikkhu muda tersebut memiliki hawa nafsu yang kuat terhadapnya.

Larut malam itu, Sirima meninggal dunia. Raja Bimbisara pergi menghadap Sang Buddha dan memberitahukan bahwa Sirima, saudara perempuan Jivaka, telah meninggal dunia. Sang Buddha menyuruh Raja Bimbisara membawa jenazah Sirima ke kuburan dan menyimpannya di sana selama 3 hari tanpa dikubur, tetapi hendaknya dilindungi dari burung gagak dan burung hering.

Raja melakukan perintah Sang Buddha. Pada hari keempat jenazah Sirima yang cantik sudah tidak lagi cantik dan menarik. Jenazah itu mulai membengkak dan mengeluarkan cairan dari enam lubang.

Hari itu Sang Buddha bersama para bhikkhu pergi ke kuburan untuk melihat jenazah Sirima. Raja Bimbisara dan pengawal kerajaan juga pergi ke kuburan untuk melihat jenazah Sirima.

Bhikkhu muda yang telah tergila-gila kepada Sirima tidak mengetahui bahwa Sirima telah meninggal dunia. Ketika ia mengetahui perihal itu dari Sang Buddha dan para bhikkhu yang pergi melihat jenazah Sirima, maka ia pun turut serta bersama mereka. Setelah mereka tiba di makam, Sang Buddha, para bhikkhu, raja, dan pengawalnya mengelilingi jenazah Sirima.

Kemudian Sang Buddha meminta kepada Raja Bimbisara untuk mengumumkan kepada penduduk yang hadir, siapa yang menginginkan tubuh Sirima satu malam boleh membayar 1.000 tail, akan tetapi tak seorang pun yang bersedia mengambilnya dengan membayar seharga 1.000 tail, atau 500, atau 250, ataupun cuma-cuma.

Kemudian Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, lihat Sirima! Ketika ia masih hidup, banyak sekali orang yang ingin membayar seribu tail untuk menghabiskan satu malam bersamanya, tetapi sekarang tak seorangpun yang ingin memgambil tubuhnya walaupun dengan cuma-cuma. Tubuh manusia sesungguhnya subjek dari kelapukan dan kehancuran".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 147 berikut:

Pandanglah tubuh yang indah ini,
penuh luka, terdiri dari rangkaian tulang,
berpenyakit serta memerlukan banyak perawatan.
Ia tidak kekal serta tidak tetap keadaannya.

Bhikkhu muda itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.

]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.


Dhammapada XI: 146- Kisah Teman-teman Visakha


KISAH TEMAN-TEMAN VISAKHA
 Dhammapada XI: 146


Terdapat 500 orang pria dari Savatthi, mereka mengharapkan istri-istrinya menjadi orang yang murah hati, baik hati dan bersusila seperti Visakha. Kelima-ratus pria tersebut mengirim para istrinya kepada Visakha agar menjadi teman dekat Visakha. Pada pesta Bacchanalian yang berlangsung salama 7 hari, istri-istri tersebut mengambil semua minuman keras yang ditinggalkan suami mereka dan kemudian meminumnya tanpa diketahui oleh Visakha. Karena perbuatan yang tidak baik itu, mereka dipukuli oleh suami mereka. Pada keajadian lainnya, dikatakan bahwa mereka hendak mendengarkan khotbah Sang Buddha, mereka memohon agar Visakha membawa mereka kepada Sang Buddha, tetapi secara diam-diam mereka masing-masing membawa sebotol kecil minuman keras yang disembunyikan dalam bajunya.

Pada saat tiba di vihara, mereka meminum semua minuman keras yang mereka bawa dan membuang botol-botol tersebut. Visakha memohon kepada Sang Buddha untuk mengajarkan Dhamma kepada mereka. Pada saat itu, para wanita menjadi mabuk, bernyanyi, menari, bertepuk tangan, melompat-lompat di dalam vihara. Sang Buddha melihat Mara yang membuat tingkah laku yang memalukan wanita-wanita tersebut.

Sang Buddha berkata pada diri sendiri, "Mara tidak boleh diberi kesempatan".

Oleh karena itu, tubuh Sang Buddha memancarkan sinar biru gelap yang menyebabkan wanita-wanita tersebut ketakutan dan mulai sadar. Kemudian Sang Buddha menghilang dari tempat duduknya dan berdiri diatas Gunung Meru, dari tempat itu Beliau memancarkan sinar putih yang menerangi langit bagaikan diterangi seribu bulan.

Setelah itu Sang Buddha berkata kepada kelima ratus wanita tersebut, "Sebagai wanita, kalian tidak seharusnya datang ke vihara dalam keadaan batin tidak sadar. Karena kalian telah lalai, Mara mendapat kesempatan membuat kalian berkelakuan yang memalukan, tertawa, menyanyi keras-keras dalam vihara. Sekarang berusahalah untuk memadamkan api hawa nafsu yang terdapat dalam diri kalian".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 146 berikut:

Mengapa tertawa,
mengapa bergembira kalau dunia ini selalu terbakar?
Dalam kegelapan, tidakkah engkau ingin mencari terang?

Lima ratus wanita itu mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma berakhir.

]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.


Dhammapada X: 145- Kisah Samanera Sukha


KISAH SAMANERA SUKHA
 Dhammapada X: 145


Sukha menjadi samanera pada usia 7 tahun dan ditahbiskan oleh Sariputta Thera. Setelah 8 hari menjadi samanera, ia bersama Sariputta Thera pergi berpindapatta. Ketika sedang berjalan berkeliling mereka melihat para petani sedang mengairi sawahnya, para pemanah sedang meluruskan anak panah, dan beberapa tukang kayu sedang membuat roda pedati, dan sebagainya.

Setelah melihat semua ini, ia bertanya kepada Sariputta Thera, apakah hal-hal (barang-barang) itu dapat diarahkan ke sesuatu tujuan tertentu sesuai dengan keinginan seseorang, atau dapat dibuat menjadi sesuatu sesuai dengan keinginan seseorang.

Sang thera menjawab memang demikian. Kemudian samanera muda memahami bahwa dengan demikian tidak ada alasan mengapa seseorang tidak dapat mengendalikan batinnya, serta melatih "Meditasi Ketenangan" dan "Meditasi Pandangan Terang".

Kemudian, ia meminta izin kepada Sariputta Thera untuk pulang kembali ke vihara. Di sana ia masuk ke dalam kamarnya dan berlatih meditasi dalam ketenangan.

Dewa Sakka dan para dewa membantu latihan meditasinya dengan cara menjaga suasana vihara agar tetap tenang.

Pada hari kedelapan setelah ia menjadi samanera, Sukha mencapai tingkat kesucian arahat.

Berhubungan dengan hal ini, Sang Buddha berkata kepada para bhikkhu: "Ketika seseorang melaksanakan Dhamma dengan sungguh-sungguh, maka Sakka dan para dewa akan menolong dan melindunginya. Saya sendiri telah meminta Sariputta Thera berjaga di depan pintu kamarnya sehingga ia tidak terganggu. Samanera telah melihat para petani bekerja dengan giat mengairi sawahnya, para pemanah meluruskan anak panahnya, tukang kayu membuat roda pedati, dan lain-lain, kemudian ia berusaha melatih batinnya dan melaksanakan Dhamma. Ia telah mencapai tingkat kesucian arahat".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 145 berikut:

Pembuat saluran air mengatur jalannya air,
tukang panah meluruskan anak panah,
tukang kayu melengkungkan kayu;
orang bajik mengendalikan dirinya sendiri.

]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.