Minggu, Juni 09, 2013

6. Adosa (Tidak Membenci, Niat Baik)

6. ADOSA
Tidak Membenci, Niat Baik

Adosa bisa diartikan sebagai kelembutan atau tanpa kekejaman. Adosa adalah lawan dari dosa. Mereka yang memiliki adosa berkelakuan sopan, sedangkan mereka dengan dosa bersikap agresif. Mereka mampu menenangkan dirinya sendiri walaupun orang lain berbicara dengan penuh kebencian terhadap mereka, ini karena pikiran mereka penuh damai. Tidak hanya pikiran mereka yang tenang, pancaran wajah mereka juga menyenangkan dan menawan bagaikan rembulan; sebaliknya orang yang selalu diliputi dosa, pembawaannya tegang dan tidak tenang. Lebih jauh, seseorang dengan adosa tampak anggun, perkataannya menyenangkan, dan tak seorang  pun yang pernah bertemu dengannya akan membencinya. Jadi sifat bawaan adosa banyak sekali manfaatnya. Sebenarnya adosa merupakan persamaan dari metta (cinta kasih), yang selalu disambut hangat di seluruh dunia.

Alobha dan Adosa Bodhisatta
Suatu ketika, Bodhisatta terlahir sebagai putra Raja Brahmadatta dari Baranasi. Ketika ratu pertama meninggal, raja mengangkat seorang ratu baru yang muda dan cantik. Pada saat itu kerajaan sedang menghadapi pemberontakan, tahta kerajaan diserahkan kepada Pangeran Mahapaduma, Sang Bodhisatta, untuk bertanggung jawab atas seluruh istana, sementara raja sendiri pergi untuk mengatasi para pemberontak, Ketika Raja akan segera kembali ke istana, pangeran bertemu dengan ratu untuk mengumumkan penyerahan tahta kembali kepada ayahnya. Pada saat itu ratu sedang sendirian, dan karena dikuasai oleh nafsu, dia mencoba merayu pangeran sampai tiga kali, tetapi penolakan pangeran membuat ratu jadi malu dan menjadi geram. Berniat untuk balas dendam, ratu mengarang sebuah cerita dan menuduh pangeran telah berbuat kurang ajar kepadanya. Dia menggunakan segala cara (pariyaya dan maya) untuk menjatuhkan Pangeran Mahapaduma. Raja percaya begitu saja dengan tuduhan palsu ini.

Tanpa berpikir panjang, raja menjatuhkan hukuman mati kepada putranya. Karena Pangeran sangat akrab dengan rakyat, raja khawatir rakyat akan menyelamatkan Pangeran dari hukuman mati. Jadi raja sendiri turun tangan memimpin arakan untuk menghukum mati putranya di sebuah puncak gunung; dari sana raja mendorong putranya ke jurang. Berkat kekuatan metta yang dimiliki Pangeran, ia diselamatkan oleh makhluk halus penjaga gunung itu.

Ulasan Jataka
Dalam bagian pertama Jataka di atas, ketika permaisuri muda bertemu dengan Pangeran Paduma, dia dikuasai oleh nafsu (tanha), namun pangeran mengembangkan alobha, lawan dari keserakahan dan nafsu. Selanjutnya untuk menutupi keburukan yang dilakukannya, ratu mengarang sebuah cerita untuk menjatuhkan pangeran. Ini adalah maya bersama dengan musavada (kebohongan). Raja sendiri juga dikuasai oleh kemarahan sejak mendengar cerita buatan sang ratu sampai akhirnya menghukum mati putranya sendiri. Sifat yang ditunjukkan oleh Pangeran Paduma adalah contoh dari alobha, tidak dendam, sabar, dan penuh kasih sayang. Dalam Jataka ini pangeran adalah seorang Bodhisatta, sang ratu kelak terlahir kembali sebagai Cincamanavika, dan raja Brahmadatta kelak terlahir sebagai Devadatta.

Aksi Dan Reaksi
Setelah Pangeran didorong oleh raja dari puncak gunung, dia diselamatkan oleh raja naga dan dibawa ke kerajaan naga untuk tinggal selama setahun disana. Kemudian dia kembali ke alam manusia dan hidup sebagai petapa. Setelah beberapa tahun, seorang pemburu melihat pangeran dan melaporkan hal tersebut kepada raja. Raja, ayahnya, mendatanginya dan memintanya untuk kembali ke istana, namun Pangeran Paduma menolak dan memilih tinggal sebagai petapa. Sekarang raja belajar dari kenyataan dan menjatuhkan hukuman kepada ratunya dengan mendorongnya dari atas gunung. Ratu sangat menderita atas perbuatan jahatnya sebelum dia meninggal.

Sumber :
Abhidhamma sehari-hari Bab III. hal 92-94 _ Oleh : Ashin Janakabhivamsa.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar