Minggu, Oktober 27, 2013

Bhikkhu dan Makhluk Halus Penghuni Hutan

BHIKKHU DAN MAKHLUK HALUS PENGHUNI HUTAN
( Karaniyametta Sutta )

Ketika Sang Buddha sedang berdiam di Savatthi bersama dengan murid-muridnya, Sang Buddha memerintahkan kelima ratus orang muridnya untuk berlatih diri, bermeditasi di hutan untuk mencapai tingkat kesucian. Kelima ratus orang bhikkhu itu lalu pergi menuju ke suatu desa yang cukup besar. Penduduk desa yang ketika mengetahui murid-murid Sang Buddha mendatangi desa mereka, segera menyambutnya dengan menyiapkan tempat untuk beristirahat, dan mempersembahkan bubur dan makanan lainnya. Mereka lalu bertanya: "Kemanakah Bhante akan pergi?".  

Para bhikkhu itu menjawab:  "Kami akan pergi ke suatu tempat yang nyaman".  

Penduduk desa itu menyarankan: "Bhante, tinggallah di hutan di dekat desa kami ini selama tiga bulan, sehingga kami dapat mempelajari Dhamma dibawah bimbinganmu".  

Para bhikkhu menyetujuinya, dan para penduduk berkata lagi: "Bhante, di dekat desa kami ada hutan kecil, Bhante dapat tinggal di sana".  

Kelima ratus orang bhikkhu itu lalu pergi menuju hutan yang ditunjukkan penduduk desa. Di dalam hutan itu banyak terdapat makhluk halus penghuni hutan, mereka mengetahui kedatangan para bhikkhu, "Sekumpulan bhikkhu akan datang ke hutan ini, apabila para bhikkhu itu tinggal di sini, pasti tidak nyaman lagi kita berdiam di sini bersama anak dan istri".  

Mereka turun dari pohon dan duduk di bawah, mereka berpikir lagi: "Kalau bhikkhu-bhikkhu itu tinggal di sini hanya satu malam, besok mereka pasti pergi dari hutan ini".  

Mereka lalu duduk diam di bawah pohon. Tetapi keesokkan harinya setelah para bhikkhu berpindapata ke desa di dekat hutan itu dan makan hasil pindapatanya, ternyata mereka kembali ke hutan itu. Para makhluk halus penghuni hutan itu berpikir: "Besok, kalau ada yang mengundang mereka, mereka pasti pergi dari sini. Kalau hari ini mereka tidak jadi pergi, besok mereka pasti pergi". Setelah berpikir demikian, mereka duduk kembali di bawah pohon sepanjang malam.  

Makhluk halus penghuni hutan ragu-ragu, apakah para bhikkhu itu akan segera pergi dari tempat tinggal mereka, lalu berpikir kembali: "Apabila para bhikkhu ini tinggal di sini selama tiga bulan, pasti tidak nyaman lagi tinggal di sini, lagipula kita sudah lelah sekali duduk di bawah. Bagaimana ya, caranya supaya para bhikkhu ini pergi dari sini?".  

Karena merasa terganggu akhirnya makhluk halus penghuni hutan itu mengganggu para bhikkhu supaya mereka pergi dari tempat tinggal mereka. Siang dan malam hari para bhikkhu itu diganggu, ada yang melihat kepala-kepala beterbangan, ada pula yang melihat badan tanpa ada kepalanya berjalan-jalan, lalu terdengar suara-suara yang menyeramkan.  

Pada waktu yang bersamaan, para bhikkhu itu banyak yang menderita bermacam-macam penyakit, ada yang sakit batuk, pilek dan sakit-sakit lainnya. Mereka lalu saling bertanya:  

"Saudaraku, kamu sakit apa?".  

"Saya sakit pilek".  

"Saya batuk-batuk".  

"Saudaraku, hari ini saya melihat banyak kepala beterbangan".  

"Saudaraku, di malam hari saya melihat badan tanpa kepala berjalan-jalan".  

"Saya mendengar suara-suara yang menyeramkan".  

"Saudaraku,  kita  harus  meninggalkan  tempat ini, tempat ini tidak cocok untuk kita. Mari kita menemui Guru kita, Sang Buddha".  

Mereka meninggalkan hutan itu dan menemui Sang Buddha, setelah memberikan hormatnya dengan bernamaskara, mereka lalu duduk dan menceritakan mengapa mereka kembali, Sang Buddha lalu berkata:  

"Bhikkhu, mengapa kalian tidak dapat tinggal di hutan itu?".  

Para bhikkhu menjawab: "Yang Mulia, kami tidak dapat lagi tinggal di sana, tempat itu sangat menyeramkan, banyak hal menakutkan yang kami lihat dan alami. Tempat itu tidak nyaman untuk kami, jadi kami memutuskan untuk pergi dari sana dan kembali menemui Yang Mulia".  

"Bhikkhu, kamu harus kembali ke tempat itu".  

"Maaf Yang Mulia, kami tidak mau kembali ke sana".  

"Bhikkhu, ketika kamu pergi ke hutan itu untuk pertama kalinya, kamu tidak membawa "senjata". Dan sekarang kamu harus membawa "senjata" bila kamu kembali ke sana".  

"Senjata apakah itu Yang Mulia?"  

Sang Buddha lalu menjawab, "Aku akan memberikan senjata yang dapat kamu bawa kemana pun kamu pergi".

Sang Buddha kemudian mengucapkan syair Karaniyametta Sutta:

Inilah yang harus dilaksanakan
oleh mereka-mereka yang tekun dalam kebaikan.
Dan telah mencapai ketenangan bathin.
Ia harus pandai, jujur, sangat jujur.
Rendah hati, lemah lembut, tiada sombong.

Merasa puas, mudah dirawat
Tiada sibuk, sederhana hidupnya
Tenang indrianya, selalu waspada
Tahu malu, tidak melekat pada keluarga

Tak berbuat kesalahan walaupun kecil
yang dapat dicela oleh para Bijaksana.
Hendaklah ia selalu berpikir:
"Semoga semua makhluk sejahtera dan damai,
semoga semua makhluk berbahagia"

Makhluk apapun juga
Baik yang lemah atau yang kuat tanpa kecuali
Yang panjang atau yang besar
yang sedang, pendek, kurus atau gemuk
Yang terlihat atau tidak terlihat
Yang jauh maupun yang dekat
Yang telah terlahir atau yang akan dilahirkan
Semoga semuanya berbahagia

Jangan menipu orang lain
Atau menghina siapa saja,
Janganlah karena marah dan benci
Mengharapkan orang lain mendapat celaka

Bagaikan seorang ibu mempertaruhkan nyawanya
Untuk melindungi anaknya yang tunggal
Demikianlah terhadap semua makhluk
Dipancarkannya pikiran kasih sayang tanpa batas

Hendaknya pikiran kasih sayang
Dipancarkannya ke seluruh penjuru alam,
ke atas, ke bawah, dan ke sekeliling
Tanpa rintangan, tanpa benci, atau permusuhan

Sewaktu berdiri, berjalan, atau duduk
Atau berbaring sesaat sebelum tidur
Ia tekun mengembangkan kesadaran ini
Yang dinamakan "Kediaman Brahma"

Tidak berpegang pada pandangan yang salah
Tekun dalam sila dan memiliki kebijaksanaan,
Hingga bathinnya bersih dari segala nafsu indria
Maka ia tak akan lahir lagi dalam rahim manapun juga

Seusai Sang Buddha mengucapkan syair Karaniyametta Sutta, Sang Buddha berkata:  

"Bhikkhu, bacakanlah Karaniyametta Sutta ini, ketika kamu hendak masuk ke dalam hutan, dan ketika hendak memasuki tempat meditasi".  

Setelah berkata demikian, Sang Buddha melepaskan para bhikkhu kembali ke hutan. Para bhikkhu menghormat Sang Buddha dan kembali ke hutan dengan membawa "senjata" yang telah Sang Buddha ajarkan. Dengan membacakan Karaniyametta Sutta bersama-sama, mereka masuk ke dalam hutan.  

Makhluk halus penghuni hutan mendengar Karaniyametta Sutta, yang menggambarkan cinta kasih dan belas kasihan kepada semua makhluk. Sesudahnya mereka amat senang dan merasa bersahabat dengan para bhikkhu. Kemudian mereka mendatangi para bhikkhu dan minta ijin agar diperbolehkan membawakan mangkok-mangkok dan jubah-jubah. Mereka membersihkan tangan dan kaki para bhikkhu, lalu menempatkan penjagaan yang kuat di sekelilingnya. Mereka duduk bersama-sama para bhikkhu, berjaga-jaga. Suara-suara dan bayangan-bayangan menakutkan tidak ada lagi, para bhikkhu menjadi tenang dan nyaman.  

Mereka segera duduk bermeditasi, melatih diri pada siang dan malam hari, untuk mendapatkan Pandangan Terang. Dengan pikiran yang terpusat dan terkendali mereka merenungkan kematian, tentang tubuh yang mudah rusak dan membusuk, lalu mereka menarik kesimpulan, "Tubuh ini rapuh bagaikan tempayan". Mereka lalu mengembangkan Pandangan Terang.  

Sang Buddha yang sedang bermeditasi mengetahui bahwa murid-muridnya mulai mengembangkan Pandangan Terang, lalu ia berbicara kepada mereka:  

"Demikianlah bhikkhu. Tubuh ini rapuh bagaikan tempayan". Sambil berkata demikian, Sang Buddha mengirimkan bayangan dirinya yang dapat terlihat dengan jelas oleh murid-muridnya.

Meskipun Sang Buddha berada amat jauh, tetapi para bhikkhu dapat melihat Sang Buddha dalam bentuk yang nyata, dengan memancarkan sinar yang amat terang, Sang Buddha mengucapkan syair:  

Dengan mengetahui bahwa tubuh ini rapuh bagaikan tempayan,
hendaknya seseorang memperkokoh pikirannya bagaikan benteng kota,
dan melenyapkan Mara dengan senjata kebijaksanaan.
Ia harus menjaga apa yang telah dicapainya,
dan hidup tanpa ikatan lagi.
(Dhammapada.40)


Lima ratus bhikkhu itu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.




Kecantikan, Batasnya Hanya Setipis Kulit

KECANTIKAN, BATASNYA HANYA SETIPIS KULIT
Kisah Khema Theri

Permaisuri Raja Bimbisara bernama Ratu Khema, amat memuja kecantikan wajahnya. Ratu Khema telah mengucapkan permohonannya di kaki Buddha Padumuttara, ia ingin sekali mempunyai rupa dan wajah yang cantik. Tetapi ia mendengar bahwa Sang Buddha Gotama mengatakan, kecantikan bukan merupakan hal yang utama. Pada kelahiran-kelahirannya yang terdahulu, Ratu Khema selalu menjadi wanita yang amat cantik. Raja Bimbisara yang mengetahui bahwa istrinya amat mengagumi kecantikan wajahnya lalu meminta pengarang lagu untuk menciptakan lagu yang memuji keindahan hutan Veluvana. Lagu itu kemudian dinyanyikan oleh para penyanyi terkenal.

Ratu Khema ketika mendengar lagu tersebut penasaran, karena Veluvana digambarkan sebagai suatu tempat yang indah itu belum pernah ia dengar dan lihat sendiri.

"Kalian bernyanyi tentang hutan yang mana?", tanyanya kepada para penyanyi.

"Paduka Ratu, kami bernyanyi tentang hutan Veluvana", jawab mereka. Ratu Khema lalu ingin sekali mengunjungi hutan Veluvana.

Sang Buddha yang ketika itu sedang berkumpul dengan murid-muridnya dan memberikan Ajarannya, mengetahui kedatangan Ratu Khema, lalu menciptakan bayangan seorang wanita muda yang amat cantik, berdiri di samping Sang Buddha.

Ketika Ratu Khema mendekat, ia melihat bayangan wanita muda yang amat cantik, ia berpikir,  "Yang saya ketahui Sang Buddha selalu berkata bahwa kecantikan bukanlah hal yang utama. Tetapi di sisi Sang Buddha sekarang berdiri seorang wanita yang kecantikannya luar biasa. Saya belum pernah melihat wanita secantik ini. Orang-orang itu pasti salah dalam menggambar kan pandangan Sang Buddha tentang kecantikan, betul-betul saya tidak mengira".

Ia tidak mendengarkan kata-kata yang diucapkan Sang Buddha, pandangan nya tetap tertuju kepada bayangan wanita cantik di sisi Sang Buddha.

Sang Buddha mengetahui bahwa Ratu Khema amat serius memperhatikan bayangan wanita cantik itu, lalu Sang Buddha mengubah bayangan wanita muda yang amat cantik itu perlahan-lahan menjadi wanita tua, berubah terus sampai akhirnya yang tersisa hanyalah setumpuk tulang-tulang di dalam sebuah kantong. Ratu Khema yang memperhatikan semua itu lalu berkesimpulan, "Pada suatu saat nanti wajah yang muda dan cantik itu akan berubah menjadi tua, rapuh lalu mati. Ah, semua ini bukan kenyataan!".

Sang Buddha mengetahui apa yang ada dalam pikirannya, lalu berkata: "Khema, kamu salah. Inilah kenyataan perubahan dari kecantikan wajah! Sekarang lihatlah semua kenyataan ini".

Sang Buddha lalu mengucapkan syair:

"Khema, lihatlah paduan unsur-unsur ini, berpenyakit, penuh kekotoran dan akhirnya membusuk. Tipu daya dan kemelekatan adalah keinginan orang bodoh".

Ketika Sang Buddha selesai mengucapkan syair ini Ratu Khema mencapai Tingkat Kesucian Pertama (Sotapana). Kemudian Sang Buddha berkata kepadanya:

"Khema, semua makhluk di dunia ini, hanyut dalam nafsu indria, dipenuhi oleh rasa kebencian, diperdaya oleh khayalan, mereka tidak dapat mencapai pantai bahagia, tetapi hanya hilir mudik di tepi sebelah sini saja".

Sang Buddha lalu mengucapkan syair:

"Mereka yang bergembira dengan nafsu indria,
akan jatuh ke dalam arus (kehidupan),
seperti laba-laba yang jatuh ke dalam jaring yang dibuatnya sendiri.
Tetapi para bijaksana dapat memutuskan belenggu itu,
mereka meninggalkan kehidupan duniawi,
tanpa ikatan serta melepaskan kesenangan-kesenangan indria".
(Dhammapada. 347)

Setelah Sang Buddha selesai mengucapkan syairnya, Khema mencapai Tingkat Kesucian Arahat. Sang Buddha lalu berkata kepada Raja Bimbisara, "Baginda, Khema lebih baik meninggalkan keduniawian ataukah mencapai Nibbana?".


Raja Bimbisara menjawab: "Yang Mulia, ijinkanlah ia memasuki Sangha Bhikkhuni, jangan dulu mencapai N ibbana!". Khema meninggalkan keduniawian dan menjadi salah satu murid Sang Buddha yang terkemuka.





Kesucian yang Dibeli

KESUCIAN YANG DIBELI
( Kisah Kala, Putra Anathapindika )

Kisah ini menceritakan tentang Kala, anak seorang jutawan yang bernama Anathapindika. Meskipun ayahnya amat gemar berdana dan percaya akan hasil dari perbuatan baik yang dilakukannya, Kala tidak pernah menunjukkan keinginannya untuk mengunjungi Sang Buddha atau menemui Sang Buddha apabila Beliau datang ke rumah ayahnya, atau mendengarkan Dhamma, ataupun melayani Anggota Sangha. Ayahnya selalu menasehatinya:

"Anakku, jangan berlaku begitu".

Tetapi Kala tidak pernah memperhatikan nasehat ayahnya. Suatu ketika ayahnya berpikir: "Kalau anakku ini tetap bertingkah laku seperti itu, apa bila meninggal ia akan masuk ke Neraka Avici. Bagaimana mungkin saya biarkan hal itu terjadi di depan mata saya?, Tetapi, di dunia ini segala sesuatu dapat dilemahkan oleh hadiah".

Ia berkata kepada anaknya: "Anakku, pergilah ke Vihara, dengarkanlah Dhamma yang di ajarkan oleh Sang Buddha, setelah selesai pulanglah. Kalau kamu mau pergi ke Vihara, saya akan memberikan seratus keping uang".

"Ayah, benarkah ayah akan memberikan saya seratus keping uang, kalau saya pergi ke Vihara?". 

"Benar, anakku", jawab ayahnya.

Sesudah  ayahnya  berjanji,  Kala  lalu  pergi   ke Vihara.  Tetapi  ia  tidak  mendengarkan Dhamma, melainkan ia tidur nyenyak di tempat yang nyaman di Vihara, keesokkan harinya ia baru pulang.

Ayahnya berkata: "Hari ini anakku sudah ke Vihara, cepat sediakan bubur dan makanan lainnya". Jutawan itu segera memberikan bubur dan makanan lain kepada anaknya dan menyuruhnya makan. Tetapi Kala berkata:

"Saya tidak mau makan, kecuali diberi uang terlebih dahulu".

Ia tidak mau menyentuh makanannya. Ayahnya tidak memaksanya untuk makan, tetapi ia memberi uang yang dijanjikannya. Setelah menerima uang, Kala makan makanan yang tersedia di hadapannya.

Keesokan harinya si ayah ingin anaknya pergi lagi ke Vihara, ia berkata: "Anakku, saya akan berikan kamu seribu keping uang kalau kamu mau duduk di hadapan Sang Buddha dan mendengarkan AjaranNya. Pulanglah setelah selesai".

Kala segera pergi ke Vihara. Ia duduk di hadapan Sang Buddha. Dan ketika Sang Buddha mengucapkan satu syair, ia tidak mengerti arti syair itu, tetapi ia tidak mau pulang. Ia berpikir:  "Saya pasti akan dapat mengerti arti syair".

Karena penasaran ia tetap duduk dan mendengarkan Ajaran Sang Buddha, ia berusaha untuk mengerti. Sang Buddha yang mengetahui sebab dari kedatangannya ke Vihara, sengaja membuatnya tidak dapat mengerti dengan jelas arti syair itu.

"Saya harus mengerti arti syair itu", pikir Kala. Jadi ia tetap tinggal dan mendengarkan Ajaran Sang Buddha, akhirnya ia mengerti dan mencapai Tingkat Kesucian.

Keesokan harinya, Kala bersama dengan para bhikkhu ikut menyertai Sang Buddha   pergi   ke   Savatthi.   Ketika   Anathapindika  melihat  anaknya, ia berkata: "Hari ini, kelakuan anakku amat menyenangkan hatiku".

Dan pada saat itu pula Kala berpikir: "Saya harap ayah tidak memberikan saya uang yang dijanjikannya di hadapan Sang Buddha. Saya harap ia tidak bercerita karena sejumlah uanglah saya mau pergi ke Vihara". (Sang Buddha mengetahui bahwa karena sejumlah uang, Kala mau pergi ke Vihara).

Jutawan Anathapindika mempersembahkan bubur dan makanan lainnya kepada Sang Buddha dan kepada bhikkhu Sangha, ia juga mempersembahkan makanan kepada anaknya. Kala duduk dengan diam, ia makan bubur dan makanan lainnya. Ketika Sang Buddha selesai makan, Jutawan itu memberikan sebuah dompet yang berisi seribu keping uang kepada anaknya, dan berkata:

"Anakku, tentu kamu masih ingat bahwa saya membujukmu untuk pergi ke Vihara, dengan janji akan memberimu seribu keping uang, ambillah uang ini".

Ketika Kala melihat kepada Sang Buddha, ia merasa amat malu dan berkata:

"Saya tidak mau uang ini".

"Ambillah, anakku", kata ayahnya.

Tetapi Kala tetap menolaknya. Jutawan Anathapindika itu mengucapkan terima kasih kepada Sang Buddha, seraya berkata:

"Yang Mulia, kelakuan anak saya pada hari ini amat menyenangkan saya".

"Mengapa, saudara?"

"Yang Mulia, kemarin dulu saya menyuruhnya pergi ke Vihara sambil berkata, 'Saya akan memberi kamu seratus keping uang'. Kemarin ia menolak untuk makan sebelum saya berikan uang itu kepadanya. Tetapi pada hari ini, ketika saya berikan uang, ia malahan menolaknya".

Sang Buddha berkata: "Itulah yang telah terjadi, saudara. Hari ini ia telah mencapai Tingkat Kesucian, telah mencapai Alam Surga dan Alam Brahma". Kemudian Sang Buddha mengucapkan syair:

"Ada yang lebih baik dari pada kekuasaan mutlak atas bumi,
dari pada pergi ke Surga atau dari pada memerintah seluruh dunia,
yakni hasil kemuliaan dari seorang Suci
yang telah memenangkan arus (Sotapatti-phala)".

(Dhammapada.178)






Kamis, Oktober 24, 2013

Tubuh Sakit dan Batin Juga Sakit

TUBUH SAKIT DAN BATIN JUGA SAKIT
Oleh : Upa. Amaro Tanhadi

"Semua makhluk memiliki tubuh,
dan karena tubuh itulah
mereka harus mengalami penderitaan jasmani "
(Buddha-SN.22.1)

Dari Cuplikan Sutta tersebut, kita dapat segera memahami bahwa kelahiran inilah merupakan penyebab dari munculnya penderitaan-penderitaan jasmani. Segala jenis rasa sakit yang di alami oleh tubuh yang disebabkan karena terluka, terkena penyakit, dan kerapuhan akibat usia tua, semuanya itu adalah merupakan penderitaan jasmani yang sangat sulit bahkan tak dapat kita hindari.

Hal yang dapat kita lakukan hanyalah upaya-upaya untuk menjaga serta memelihara agar tubuh ini tidak terluka dan tidak mudah jatuh sakit, misalnya dengan berolahraga secara teratur,  makan makanan yg sehat, istirahat yang cukup, dan selalu waspada  terhadap semua kegiatan yang dilakukan oleh tubuh kita yang dapat menimbulkan kerugian/kecelakaan pada diri kita..

"Cukuplah sudah, tubuh ini yang mengalami penderitaan,
jangan kita tambah lagi dengan penderitaan batin."
(Tanhadi)

Lalu, apalah yang dimaksudkan dengan penderitaan batin ini?

KEMELEKATAN terhadap perasaan, persepsi, bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran indra, inilah yang disebutkan sebagai penderitaan batin.

Bagaimana "Lima Unsur Pembentuk Kehidupan" (Pancakhandha) dapat menimbulkan penderitaan batin dan jasmani?

Bagi mereka yang menganggap tubuh, perasaan, persepsi, bentuk-bentuk pikiran dan kesadaran indra adalah 'MILIKKU', ketika semuanya itu mengalami perubahan, (dan mereka tidak memahami sifat alamiah dari semua unsur itu memang selalu berubah-ubah), maka kesedihan, rasa sakit, kekecewaan, ketidakpuasan, ratap tangis dan keputusasaan muncul pada diri mereka. Inilah yang membuat batin dan jasmani mereka menderita. Demikianlah yang disebut Tubuh sakit dan Batin juga sakit.

Sumber :
Samyutta Nikaya 22.1 : Nakulapita Suttta.  


-oOo-