Kamis, Januari 01, 2015

Hidup Bagahagia Sebagai Perumah Tangga

HIDUP BAHAGIA SEBAGAI PERUMAH TANGGA
Oleh Bhikkhu Indadharo

”Cattārome, dhammā kulaputtassa
diṭṭhadhammahitāya savattanti diṭṭhadhammasukhāya.
Katame cattāro?
Uṭṭhānasampadā, ārakkhasampadā,
kalyāamittatā, samajīvitā”.

”Empat kondisi,
untuk kesejahteraan rumah tangga dan kebahagiaan dalam kehidupan ini.
Apakah yang empat itu?
Rajin dan semangat, Penuh hati-hati,
Persahabatan yang baik dan Kehidupan yang seimbang.”
(Vyagghapajja Sutta-Agutara Nikāya)

Kebahagiaan adalah kata umum yang sering kali orang ucapkan dan kita dengar. Hampir semua orang mengharapkan hidupnya bahagia, baik di kehidupan sekarang maupun di dunia selanjutnya, walaupun pengertian kebahagiaan itu sendiri dan cara mencapainya berbeda-beda. Untuk mencapai kebahagiaan tentunya tidak cukup hanya berdoa, tetapi diperlukan adanya usaha untuk mengkondisikan munculnya kebahagiaan itu.

Banyak orang yang masih memiliki salah pengertian mengatakan bahwa, Agama Buddha hanya menaruh perhatian kepada cita-cita yang luhur, moral tinggi, dan pikiran yang mengandung filsafat tinggi saja, dengan mengabaikan kebahagiaan atau kesejahteraan kehidupan duniawi dari umat manusia. Padahal, Sang Buddha di dalam ajaran-Nya, juga menaruh perhatian besar terhadap kesejahteraan kehidupan duniawi dari umat manusia, yang merupakan kebahagiaan yang masih berkondisi.

Memang, walaupun kesejahteraan kehidupan duniawi bukanlah merupakan tujuan akhir dalam Agama Buddha, tetapi hal itu bisa juga merupakan salah satu kondisi (sarana/syarat) untuk tercapainya tujuan yang lebih tinggi dan luhur, yang merupakan kebahagiaan yang tidak berkondisi, yaitu terealisasinya Nibbāna. Sang Buddha tidak pernah mengatakan bahwa kesuksesan dalam kehidupan duniawi adalah merupakan suatu penghalang bagi tercapainya kebahagiaan akhir yang mengatasi keduniawian. Sesungguhnya yg menghalangi perealisasian Nibbāna, bukanlah kesuksesan atau kesejahteraan kehidupan duniawi tersebut, tetapi kehausan dan keterikatan batin kepadanya itulah, yang merupakan halangan untuk terealisasinya Nibbāna.

Di dalam Vyagghapajja Sutta-Agutara Nikāya, seorang upasaka bernama Dighajanu dari suku Koliya, datang menghadap Sang Buddha. Setelah memberi hormat lalu bertanya “sebagai upasaka yang masih menyenangi ke kehidupan duniawi, hidup berkeluarga, mempunyai istri dan anak. Kepada mereka yang seperti kami ini, Bhante ajarkanlah suatu ajaran (Dhamma) yang berguna untuk memperoleh kebahagiaan di kehidupan sekarang ini”

Menjawab pertanyaan tersebut Sang Buddha kemudian menunjukan cara untuk dapat memperoleh kebahagian duniawi dalam kehidupan sekarang ini yaitu dengan menjalankan empat macam Ditthadhammikatthapayojana (hal-hal yang berguna pada saat sekarang) yaitu:

1.    Uṭṭhānasampadā: (rajin dan semangat di dalam bekerja mencari nafkah).
Rajin adalah sebuah ketekunan dan keuletan serta mau bekerja keras sesuai dengan keahlian yang dimiliki. Mereka yang rajin adalah mereka yang tidak menunda-nunda pekerjaan, tidak banyak membuat alasan seperti masih terlalu pagi, terlalu panas, terlalu dingin, masih ngatuk dan berbagai macam alasan lainnya. Jika seseorang rajin dan memiliki semangat juang yang tinggi dalam bekerja tentu kebutuhan hidupnya akan terpenuhi secara otomatis ini menciptakan kebahagiaan saat ini, karena memiliki harta kekayaan.

2.    Ārakkhasampadā: (Penuh hati-hati, dengan kata lain, menjaga dengan hati-hati kekayaan apapun yang telah diperoleh dengan kerajinan dan semangat, tidak membiarkannnya mudah hilang atau dicuri).

Setelah berhasil memperoleh kebahagiaan (memiliki harta kekayaan), tentunya berusaha untuk mempertahankan kebahagiaan itu dengan cara selalu menjaga dan merawat apa yang dimiliki. Karena harta kekayaan yang dimiliki dapat hilang dan lenyap. Entah hilang karena dicuri, dirampok atau karena hal-hal lain yang disebabkan oleh kelalaian dan ketidakwaspadaan dalam menjaga harta tersebut. Sehingga perlu adanya kewaspadaan untuk menjaga materi yang dimiliki. Tidak sembarangan menyimpan atau meletakkan barang berharga yang di miliki. Dengan demikian materi yang dimiliki akan dapat dimanfaatkan dalam jangka waktu yang lebih lama. Paling tidak dengan selalu waspada menjaga apa yang kita miliki, tidak mengundang niat buruk dari orang lain untuk mengambilnya.

Memang semua yang kita miliki di dunia ini pada dasarnya tidak kekal, mengalami perubahan dan suatu saat akan kita tinggalkan. Karena harta kekayaan yang  dimiliki, sesungguhnya hanya hak pakai bukan hak milik. Harta kekayaan hanya bisa dimanfaatkan di dunia ini saja tidak bisa dibawa mati. Namun demikian bukan berarti kita tidak merawat dan menjaga harta benda yang dimiliki. Justru dengan selalu menjaga apa yang sudah dimiliki akan menunjang kebahagiaan di dunia ini. 

3.    Kalyāamittatā: (memiliki teman-teman baik, dan tidak bergaul dengan orang jahat).

Setelah dapat menjaga dan merawat apa yang dimiliki, kita juga hendaknya berteman dengan sahabat yang baik (kalyanamitta). Karena berteman dengan orang yang baik akan membawa dampak yang positif bagi kita. Kita akan terbiasa untuk ikut melakukan hal-hal baik yang dia lakukan. Seperti daun yang dipakai membungkus kayu cendana akan ikut berbau wangi, demikian pula pergaulan dengan orang baik akan membawa dampak yang positif bagi kita.

Berbeda jika berteman dengan orang yang tidak baik, misalnya dengan orang yang boros. Kita akan cenderung ikut boros dan akibatnya harta kekayaan yang dengan susah payah di dapatkan akan habis percuma. Karena ada juga jenis teman yang hanya mengincar harta kekayaan yang telah kita dapatkan. Selain itu, apabila bergaul dengan orang yang jahat akan mengakibatkan namanya tercemar. Seperti rumput alang-alang yang dipakai membungkus ikan busuk akan ikut berbau busuk, demikian pula pergaulan dengan orang dungu akan menimbulkan ketercelaan atau reputasi yang buruk. Oleh karena itu harus lebih jeli dalam bergaul, berteman dengan teman yang baik bukan teman yang palsu.

Namun bagi orang yang sudah maju batinnya, tidak ada salahnya berada di antara orang yang kurang baik dengan tujuan dapat membimbing mereka ke jalan yang benar. Ia boleh bergaul dengan orang dungu bila sudah yakin pengaruhnya yang baik akan mengalir kepada mereka, bukan sebaliknya yaitu pengaruh mereka yang buruk akan mengalir kepada dirinya.

4.   Samajīvitā: (harus dapat hidup sesuai dengan batas-batas kemampuannya. Artinya bisa menempuh cara hidup yang sesuai dan seimbang dengan penghasilan yang diperolehnya, tidak boros, tetapi juga tidak pelit/kikir).

Seseorang yang hidupnya boros akan sulit untuk hidup sejahtera. Apapun penghasilan yang didapatkan akan cepat habis. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan banyak hutang karena hidupnya yang boros. Selain itu cara hidup boros ini juga dapat memicu masalah dalam rumah tangga disebabkan pengeluarannya lebih besar daripada penghasilan. Maka ada istilah masyarakat yang menggambarkan hidup boros yaitu ”besar pasak daripada tiang”.

Selain tidak boros hendaknya juga tidak kikir. Sebab seseorang yang hemat namun kikir, hanya akan menambah kemelekatan dan keserakahan dalam dirinya. Karena itu, salah satu cara untuk mengikis kekikiran adalah berdana. Tindakan berdana selain dapat mengikis kekikiran dan ketamakan, juga secara otomatis menambah jasa kebajikan. Selalu berbagi apa yang kita miliki kepada orang, berarti kita memanfaatkan materi yang kita miliki dengan bijaksana.

Keempat hal tersebut adalah merupakan persyaratan (kondisi) yang dapat menghasilkan kebahagiaan dalam kehidupan duniawi sekarang ini. Dari semua uraian di atas, bisa kita ketahui bahwa Sang Buddha juga memperhatikan kesejahteraan dalam kehidupan duniawi; tetapi memang, Beliau tidak memandang kemajuan duniawi sebagai sesuatu yang benar, kalau hal tersebut hanya didasarkan pada kemajuan materi semata, dengan mengabaikan dasar-dasar moral dan spiritual. Maka meskipun menganjurkan kemajuan material dalam rangka kesejahteraan dalam kehidupan duniawi, Sang Buddha juga selalu menekankan pentingnya perkembangan watak, moral, dan spiritual, untuk menghasilkan suatu masyarakat yang bahagia, aman, dan sejahtera secara lahir maupun batin; dalam rangka tercapainya tujuan akhir, yaitu terbebas dari dukkha atau terealisasinya Nibbāna.

Sumber:
    Dhamma Vibhāga, Penggolongan Dhamma, Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta.

    http://suttacentral.net 






Tidak ada komentar:

Posting Komentar