Senin, Mei 31, 2010

KWAN KONG


"GENERAL KWAN"


(Ini adalah hasil lukisanku pada thn.1978 diatas kertas dengan media cat air, ukuran +/- 80 cm x 100 cm. 
Huruf mandarin yang tercantum disitu adalah tulisan dari Ayahku sendiri dan ada riwayat tersendiri antara lukisan ini dengan  kehidupanku saat itu, sehingga memungkinkan aku dapat melanjutkan sekolahku....) 

Kamis, Mei 27, 2010

BAGAIMANA MENGHADAPI KEMARAHAN ORANG LAIN?

Suatu kali, Sang Buddha berdiam di vihara Veluvana di kota Rajagaha.

Adalah seorang brahmani bernama Dhananjani, seorang Ariya savika Sotapanna yang mempunyai keyakinan penuh pada Buddha, Dhamma dan Sangha. Sementara, brahmana Bharadvaja Gotara, suaminya, adalah seorang micchaditthi yang selalu menutup telinga bila mendengar istrinya mengucapkan penghormatan terhadap Sang Buddha.

Suatu hari, brahmana Bharadvaja Gotara berkata pada istrinya bahwa ia akan mengundang lima ratus orang brahmana lainnya untuk makan di rumah mereka pada esok harinya. Dan minta pada istrinya agar tidak mengucapkan penghormatan pada Sang Buddha seperti biasanya, di depan brahmana lainnya pada perhelatan esok.

Tapi, istrinya tak menjanjikan apa-apa. Ia hanya berkata : "Brahmana suamiku, walau kepala saya harus terpisah dari badan karena pedang brahmana lainnya, saya tak akan mungkin bisa menahan diri untuk tidak menghormat Guru saya. Tak sesuatu pun bisa menahan saya agar tidak menghormat Buddha, Dhamma dan Sangha."

Keesokan harinya, brahmani Dhananjani berdandan dengan rapi, mengenakan perhiasan yang indah-indah. Bersama para pembantu, ia menyiapkan dan mengatur makanan bagi para brahmana di dapur. Kemudian ia membawa satu nampan berisi makanan untuk brahmana Bharadvaja Gotara. Saat itulah kakinya terantuk kaki meja yang membuatnya hendak terjatuh. Dan ia pun berseru :

"Namo Tassa Bhagavato Arahato SammĂ sambuddhassa," sebanyak tiga kali.

Mendengar itu, para brahmana merasa kepalanya dihantam dengan palu godam yang besar. Telinganya bagaikan ditusuk dengan tombak yang tajam. Dadanya bagaikan diguncang oleh kepundan gunung berapi, panas. Dengan marah, mereka mendongakkan kepala dan kedua mata yang terbelalak lebar. Mereka berteriak-teriak : "Kita telah diundang oleh orang-orang murtad. Kita telah masuk ke rumah orang-orang murtad."

Sambil mencaci maki tuan rumah dan membuang piring-piring berisi makanan yang dipegangnya, mereka berlarian tunggang langgang meninggalkan rumah brahmana Bharadvaja Gotara yang terbengong-bengong dibuatnya.

Brahmana Bharadvaja Gotara berdiri bertolak pinggang, dengan mata melotot memandang istrinya dari kepala sampai ujung kaki. Sebenarnya kemarahannya telah memuncak sampai ke ubun-ubun. Ingin ia melumat dan menghancurkan istrinya itu. Namun tak tahu mengapa, ia tak mampu untuk melakukannya. Rasanya ada sesuatu yang membuat nyalinya menjadi kecil.

Ia hanya bisa mencaci maki istrinya dengan kata-kata kasar : "Hai perempuan hina, kau merupakan sesuatu yang berbahaya bagi diriku. Aku minta dengan baik-baik padamu agar tidak memuji dan memuja pertapa gundul itu untuk sehari saja, tapi kau tak mengindahkannya. Dimanapun kau berada, kau tetap saja memuji dan memuja pertapa gundul itu."

Dengan napas tersengal-sengal menahan marah, ia meneruskan : "Kini aku mau tahu. Apa kelebihan gurumu itu. Aku akan pergi berdebat dengannya barang sejenak. Mampukah ia mengalahkanku?!"

Namun, brahmani Dhananjani berkata dengan tenangnya : "Saya tidak melihat seorang pun akan mampu mengalahkan seorang Sammasambuddha. Pergilah kau, suamiku. Nanti kau akan tahu sendiri."

Dengan bergegas, brahmana pergi menemui Sang Buddha. Dalam perjalanannya, ia memikirkan pertanyaan apa yang sebaiknya diajukan pada Sang Buddha agar bisa mengalahkannya. Akhirnya ia mendapat akal.  Ia akan menanyakan sebuah pertanyaan yang membuat si penjawab serba salah.

Ia akan bertanya : "Seseorang telah membunuh, apakah membuatnya bisa tidur tenang dan nyenyak ? Seseorang telah membunuh apakah, maka ia akan berbahagia tidak menemui penderitaan? Wahai Samana Gotama, jawablah pertanyaanku ini." Itulah pertanyaan yang akan ia ajukan.

Ia berpikir, bila Sang Buddha menjawab akan membunuh orang bernama ini atau itu, ia akan menuduh sebagai pembunuh dan apa gunanya menjadi pertapa. Bila Sang Buddha menjawab, tidak suka membunuh apapun; ia akan menuduh Sang Buddha tidak membunuh kilesa atau nafsu-nafsu duniawi. Bila demikian, untuk apa mengembara mengajarkan ajaran. Ia berpikir, pertanyaan itu bagaikan makanan yang masuk kerongkongan tapi ditelan tidak masuk, dimuntahkan pun tidak keluar.

Setelah bertemu Sang Buddha, iapun segera mengajukan pertanyaan yang telah ia siapkan itu.

Sang Tathagata menjawab : "Seseorang yang mampu membunuh kemarahan, akan tidur tenang dan nyenyak. Seseorang yang berhasil membunuh kemarahan, akan menemui kebahagiaan, terhindar dari penderitaan. Wahai brahmana, para Ariya memuji pembunuhan terhadap kemarahan yang mempunyai akar sebagai racun yang berbisa dan puncak sebagai madu yang manis. Oleh karena itu, seseorang yang berhasil membunuh kemarahan akan terhindar dari penderitaan dan menemui kebahagiaan."

Mendengar jawaban itu, brahmana Bharadvaja menjadi tercengang, karena tidak seperti yang diharapkannya. Jawaban itu amat jelas dan mengena, tak terbantahkan, membuat kemarahannya lenyap seketika. Ia sadar bahwa perkataan istrinya adalah benar.

"Bhante, jawaban Sang Buddha amat jelas dan terang, bagaikan seseorang yang menengadahkan sesuatu yang tengkurap, membuka sesuatu yang tertutup, menunjukkan jalan pada seseorang yang tersesat. Atau bagaikan seseorang menyalakan cahaya di tempat yang gelap agar seseorang yang mempunyai mata yang baik akan bisa melihat. Dengan ini saya menyatakan diri berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha."
Kemudia ia melanjutkan :

"Saya mohon Bhante mentahbiskan saya menjadi bhikkhu dalam Dhamma dan Vinaya."

Tidak lama sesudah ditahbiskan, bhikkhu Bharadvaja berhasil mencapai kesucian Arahat. (Dhananjani Sutta dan Atthakatha 15/626-620)

Sementara Akkosaka Bharadvaja, begitu tahu kakaknya meninggalkan kehidupan berumah tangga dan tahbis sebagai pabbajita dalam Dhamma Vinaya Sang Buddha, menjadi marah dan jengkel. Segera pergi menemui Sang Buddha, mengata-ngatai Sang Buddha dengan kata-kata kasar seperti orang yang tak mengenal sopan santun.

Setelah selesai ucapan kasar Akkosaka Bharadvaja, Sang Buddha berkata dengan tenang :
"Wahai brahmana, pernahkah saudara-saudara, keluarga atau teman dan sahabat anda bertamu ke rumah anda?"

"Ya, mereka kadang-kadang datang," jawab brahmana yang belum tahu arah pembicaraan Sang Buddha.

"Lalu, apakah anda menghidangkan sekedar makanan dan minuman untuk menjamu tamu tersebut?"

"Ya, memang demikian."

"Apabila saudara-saudara, keluarga atau teman dan sahabat anda itu tak menerima makanan dan minuman yang anda hidangkan, akan menjadi milik siapakah hidangan itu?"

"Tentu saja akan tetap menjadi milik saya," jawab brahmana.

"Demikian pula persoalan kita ini, brahmana. Anda mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor pada Tathagata yang tidak mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor. Anda marah pada Tathagata yang tidak marah. Tathagata tidak menerima dan memakan hidangan anda itu. Kemarahan dan kata-kata kasar itu tentu milik anda seorang. Barang siapa membalas cacian dan kemarahan yang ia terima, Tathagata menyebutnya sebagai orang yang sama-sama menikmati hidangan. Pasti akan terus saling balas membalas. Namun, Tathagata tidak sama-sama menikmati hidangan. Tidak membalas kemarahan dan cacian anda. Jadi, cacian dan kata-kata kasar itu milik anda sendiri, untuk anda sendiri."

Kemudian Sang Buddha meneruskan : "Seseorang yang telah mengalahkan kemarahan dalam dirinya mempunyai kehidupan yang tenang, teguh dan hening, karena tahu akan kesunyataan. Kemarahan tak akan muncul kembali. Barang siapa membalas kemarahan dengan kemarahan, ia disebut sebagai orang yang lebih buruk daripada orang yang marah padanya. Seseorang yang tidak membalas kemarahan dengan kemarahan, dialah orang yang memenangkan peperangan yang sulit dimenangkan. Ia memberi manfaat pada dirinya sendiri dan juga orang lain. Tapi, orang bodoh mengatakannya sebagai orang bodoh."

Setelah mendengar penjelasan Dhamma ini, Akkosaka Bharadvaja tersadar dan timbul keyakinan terhadap Buddha Sasana. Ia menyatakan diri sebagai upasaka yang berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu dalam Dhamma Vinaya. Tak lama sesudah itu, iapun mencapai kesucian Arahat. (Akkosaka Sutta 15/631-634)

Demikian pula Asurindaka Bharadvaja. Begitu mendengar kedua kakaknya meninggalkan kehidupan berumah tangga dan menjadi bhikkhu, ia menjadi marah dan kesal pada Sang Buddha. Dengan marahnya ia mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor pada Sang Buddha. Namun, Sang Buddha membalasnya dengan diam, tak berkata sepatahpun.

Demi melihat ini, Asurindaka mengira bahwa Sang Buddha takut dan tak mampu membalasnya. Maka, ia merasa telah memenangkan perdebatan. Dengan bangganya ia berteriak-teriak : "Samana, saya telah mengalahkan Anda. Samana, saya telah mengalahkan Anda."
Sang Buddha dengan tenang berkata : "Orang bodoh mengeluarkan kata-kata kasar dan kotor, merasa dirinya menang. Tapi, kemampuan meredam kemarahan adalah suatu kemenangan bagi para bijaksana yang telah menembus kesunyataan. Barang siapa membalas kemarahan dengan kemarahan, adalah lebih buruk dari orang yang marah padanya. Barang siapa tidak membalas kemarahan dengan kemarahan, dialah yang memenangkan peperangan yang sulit dimenangkan. Ia telah memberi manfaat bagi dirinya sendiri maupun orang lain."

Setelah mendengar kata-kata Sang Buddha itu, muncul keyakinan terhadap Buddha Sasana pada diri Asurindaka Bharadvaja. Ia menyatakan diri berlindung pada Buddha, Dhamma dan Sangha dan mohon ditahbiskan menjadi bhikkhu dalam Dhamma Vinaya. Tak lama sesudah itu, bhikkhu Asurindaka mencapai kesucian Arahat. (Asurindaka Sutta 15/635-637)

KESUNYATAAN

Disusun oleh : Tanhadi


Kesunyataan, berasal dari kata “Sunnata” (Pali) , “Sunyata” (Sansekerta), yang berarti Jalan Pikiran (konsepsi) yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata manusia, ia hanya dapat ditembus dengan intuisi/pandangan terang dan kata Sunya/Sunna ini memiliki makna pencirian segala sesuatu yang Kosong ( suwung) dari sebuah definisi yang tepat.

Kesunyataan berarti “ Kenyataan Mutlak yang tidak tergantung pada waktu dan tempat ”. Didalam Madhayanika Shastra XV disebutkan bahwa :

“ Tidak dapat disebut Kosong atau tidak kosong atau kedua-duanya atau bukan kedua-duanya (netral), tetapi untuk mencirikannya disebut saja Sunya/Sunna”.

Dalam Bahasa Indonesia  Kenyataan Mutlak ini disebut KESUNYATAAN.

Contohnya:
Pada Tgl. 8 Desember 1941 Jepang menyerang Pearl Harbor di Samudera Pasifik. Ini bukan Kesunyataan, tapi Kenyataan; karena jika kita mengatakannya padda Tgl. 8 Januari 1941, adalah waktunya yang salah. Atau kita mengatakan di Samudera Atlantik, adalah tempatnya yang salah. Jadi kebenaran ini masih tergantung Waktu dan tempat yang benar.

Hukum alam, hukum gaya tarik bumi padda tingkat lapisan tertentu dari angkasa luar tidak berlaku lagi. Karena benda-benda disitu bebas dari gaya tarik bumi. Hukum ini juga bukan Kesunyataan.

Ada kata-kata “Sabbe sankhara anicca”, artinya: Semua bentuk yang terdiri dari gabungan/perpaduan unsur (terkondisi/berkondisi) adalah tidak kekal. Ini adalah sebuah Kesunyataan, karena berlaku kapan saja dan dimana saja.

Parinibbana adalah sebuah Kesunyataan, karena hanya dapat ditembus oleh Pandangan terang dan intuisi.

PENGERTIAN HUKUM KESUNYATAAN

Hukum Kesunyataan berarti hukum abadi yang berlaku dimana-mana, mengatasi waktu dan tempat serta keadaan. Ini berarti bahwa hukum Kesunyataan bersifat kekal dan abadi sepanjang masa yang berlaku disemua tempat, didalam semua keadaan/kondisi di setiap waktu.

Hukum Kesunyataan berbeda dengan hukum yang dibuat oleh manusia. Karena hukum yang dibuat oleh manusia sifatnya tidak kekal dan tidak dapat mengatasi waktu, tempat dan keadaan. Jadi berbeda sekali dengan hukum Kesunyataan yang dibuat oleh sesuatu yang kekal dan abadi yaitu Sanghyang Adi Buddha.

AGAMA BUDDHA DISEBUT AGAMA KESUNYATAAN

Dari uraian diatas, ternyata bahwa agama Buddha adalah sebuah agama Kesunyataan dan bukan agama Kepercayaan. Karena Sang Buddha Gotama mengundang kita untuk membuktikan Kebenaran Ajaran yang telah dibentangkan “ EHIPASSIKO”, yaitu “Datang dan buktikan”.

** Kesunyataan (Sanskerta: sunyata), yang merupakan salah satu kebenaran yang paling mendalam di dalam ajaran Buddha, sering disalahpahami. Sunya adalah istilah yang paling tepat, meskipun tidak pas diterjemahkan sebagai ‘kekosongan’. Kesunyataan merupakan kebenaran praktis yang sangat membantu kita dalam kehidupan sehari-hari.

Contoh-Contoh Kesunyataan

Sebuah analogi untuk menjelaskan Kesunyataan adalah sebuah sungai. Sebuah sungai tidak sungguh-sungguh eksis karena sungai itu merupakan banyak arus air yang datang dan pergi, yang merupakan penyusunnya. Setiap arus ini tidak substansial, masing-masing tersusun dari kumpulan arus-arus yang lebih kecil lagi di dalamnya. Tidak ada sungai yang substansial atau “riil”—yang ada hanya aliran. Kita mengatakan bahwa sungai itu kosong dari sifat nyata yang pasti—inilah Kesunyataan. Segala sesuatu di alam semesta (fenomena fisik dan mental) menunjukkan karakteristik Kesunyataan.

Contoh lain adalah sebuah air terjun. Sebuah air terjun yang dilihat dari jauh tampak seperti ujud utuh helaian yang berkilau. Namun, ketika diamati lebih dekat, kita melihat dengan jelas bahwa “helaian” itu tak lain adalah sebuah arus air yang mengalir secara sinambung. Pada hakikatnya, tidak ada “air terjun” yang riil—yang ada hanyalah tetes air yang terjun.

DUA SISI KESUNYATAAN

Berikut adalah sebuah ungkapan yang berguna untuk mengingat konsep pokok Kesunyataan:

* Kesunyataan menerima Keberadaan dari Keberadaan;
* Kesunyataan menolak Inti Diri dalam Keberadaan.

Ini berarti bahwa Kesunyataan TIDAK menyangkal keberadaan segala sesuatu, tetapi menyangkal adanya suatu diri yang tetap dan tidak berubah di dalam atau di balik segala sesuatu.

Kembali memakai perumpamaan sebuah sungai, kita dapat mengatakan bahwa keberadaan sebuah sungai (yang tersusun dari banyak arus kecil) tergantung pada atau terkondisi oleh arus-arus kecil tersebut—ini menjelaskan aspek pertama dari ungkapan di atas. Karena sungai terus mengalir (terus mengalami perubahan), kita mengatakan bahwa sungai tidak eksis secara bebas lepas atau tidak terkondisi (karena ia tidak memiliki hakikat atau diri yang tidak mengalami perubahan)—ini menjelaskan aspek kedua dari ungkapan di atas.

KESUNYATAAN DAN JALAN TENGAH

Kedua aspek Kesunyataan di atas harus disadari secara bersama karena keduanya secara bersama-sama menunjukkan Jalan Tengah yang mengatasi segala ekstrem.

Menyadari aspek Kesunyataan pertama tanpa menyadari aspek yang kedua dapat menyebabkan kita menjadi serakah dan mementingkan diri sendiri, secara keliru percaya bahwa segala kenikmatan dan materi adalah “nyata” dan abadi.

Menyadari aspek kedua tanpa menyadari aspek yang pertama dapat membuat kita menjadi pesimistik, pasif, atau amoral, berpandangan salah bahwa tidak ada apa pun yang layak diperjuangkan karena segala sesuatu itu hampa dan tak berarti.

Karena itu, sangatlah penting untuk melihat kedua aspek ini secara bersama untuk difungsikan dengan Kebijaksanaan dalam suatu cara yang seimbang dalam kehidupan sehari-hari. Kita harus belajar memandang segala sesuatu sebagaimana adanya sembari mengetahui sifat sejati keberadaan mereka. Seseorang yang menyadari Kesunyaan dapat hidup dengan positif dalam ketenteraman dan kebebasan, menghargai segala sesuatu tanpa kemelekatan.

KESUNYATAAN BUKAN BERARTI TIDAK ADA APA-APA

Kesunyataan TIDAK berarti kehampaan fisik atau mental—ini adalah kaidah keterbukaan total dan kemungkinan-kemungkinan tanpa batas. Kesunyataan, bagaikan langit luas nan cerah yang membiarkan awan-awan, burung-burung, pesawat-pesawat terbang, dan lain-lain datang dan pergi, membiarkan segala fenomena terjadi di dalamnya. Dengan demikian, Kesunyaan jauh melampaui segala sesuatu yang dapat dicerap oleh makhluk yang belum tercerahkan. Karena Kesunyataan, segala sesuatu—termasuk kita—dapat terus berubah ke arah yang lebih baik. Apa pun dapat berubah menjadi sesuatu yang lain jika ada perpaduan sebab dan kondisi yang tepat. Demikian pula, siapa saja dapat menjadi tercerahkan jika dia berkembang secara spiritual. Dengan demikian, Kesunyataan merupakan ajaran yang penuh harapan.

KESUNYATAAN MENTAL DAN MATERI

Kesunyataan berlaku untuk semua entitas(keberadaan) fisik/materi. Jauh lebih halus lagi, Kesunyaan juga berlaku untuk semua entitas mental (keadaan pikiran). Dalam pemeriksaan yang terperinci, semua entitas fisik hanyalah fluktuasi molekul, atom, elektron, netron, proton, partikel, partikel sub-atom, dan energi yang tiada hentinya. Semua hanyalah manifestasi energi yang tiada batasnya.

Dalam pemeriksaan yang terperinci, semua entitas mental hanyalah proses-proses yang berubah dengan hampir tidak kentara sepanjang waktu. Misalnya, kita tahu bahwa kita memiliki gagasan, tetapi bagaimana suatu gagasan mengalir dari satu gagasan ke gagasan yang lain adalah hal yang paling tidak kentara bagi pikiran yang tidak terlatih.

PESONA KESUNYATAAN

Segala sesuatu semata-mata adalah seperti apa yang tampak, di balik itu… tidak ada “apa-apa”.

Di depan kita ada segala sesuatu, tetapi di belakang segala sesuatu itu tidak ada sesuatu yang substansial (karena semuanya adalah perubahan abadi). Namun segala sesuatu yang ada di sini sesungguhnya ADA di sini! Dan “ketiadaan” di balik mereka sesungguhnya ADA di sini, sekaligus di tempat dan waktu yang sama!

SEGALA SESUATU ADALAH SAMA, SEKALIGUS BERBEDA.

Segala sesuatu adalah sama dalam pengertian bahwa semuanya sama-sama kosong. Bagaimanapun juga, segala sesuatu jelas berbeda karena mereka bermanifestasi dalam berbagai bentuk yang tak terhingga banyaknya. “Segala sesuatu” juga merujuk pada semua kepemilikan kita, keluarga, kesehatan, kekayaan, ketenaran, dan lain-lain.

Sebagaimana dalam perumpamaan sungai, sungai adalah di sini sekaligus tidak di sini pada tempat dan saat yang sama. Hal ini berlaku untuk segala sesuatu. Seluruh jagad raya yang kita ketahui adalah “nyata tapi tidak nyata” pada saat yang sama. Ini adalah “tipuan sulap” yang terhebat, yang mana orang yang belum tercerahkan tidak mampu melihatnya, sehingga terpikat padanya.

MANFAAT MENYADARI KESUNYATAAN

Kegelapan batin kita melihat ilusi sebagai sesuatu yang “begitu nyata”. Kita melihat perubahan yang terus-menerus sebagai sesuatu yang tidak berubah dan menjadi melekat pada hal-hal yang tidak substansial. Ketidak-mampuan melihat ketidak-nyataan diri menciptakan penderitaan yang terpusat di sekitar pandangan kita yang salah tentang diri. Tidak ada petunjuk tentang suatu diri yang kekal di dalam segala sesuatu, baik fisik maupun mental. Tidak ada “saya, kamu, milik saya, milik kamu…”. Jika diri disadari sebagai kosong dan tidak nyata, segala perbedaan yang bertentangan akan sirna, semuanya tampak sebagaimana adanya dalam realitas mereka yang telanjang tanpa label-label kosong, penghakiman, atau prasangka.

Kemampuan menerapkan Kesunyataan dalam kehidupan sehari-hari membawa kemudahan dan kebahagiaan yang tak terkira karena kita menjadi terbebaskan dari belenggu kemelekatan. Menyadari Kesunyataan adalah mencapai Kebijaksanaan tentang ketiadaan diri (melihat hakikat tiada inti diri dalam segala sesuatu). Berfungsinya ketiadaan inti diri adalah Welas Asih. Jadi, Kebijaksanaan sejati adalah Welas Asih dan Welas Asih sejati adalah Bijaksana—keduanya saling berkaitan. Kesempurnaan Kebijaksanaan dan Welas Asih membentuk puncak ganda pengembangan spiritual atau Pencerahan.

Jika kita membiasakan diri kita dengan Kesunyataan, secara berangsur-angsur kita membuka pikiran kita dan membebaskan diri kita dari belenggu ketidaktahuan yang memahami realita secara salah. Pada waktunya, kita akan mengenyahkan segala kegelapan batin, kemarahan, kemelekatan, keangkuhan, iri hati, dan sikap-sikap negatif lainnya dari pikiran kita. Dengan berbuat demikian, kita tidak lagi menciptakan tindakan-tindakan merusak yang termotivasi oleh semua ketidakbaikan itu. Selanjutnya kita akan terbebaskan dari semua masalah. Dengan kata lain, menyadari Kesunyaan mendatangkan Kebahagiaan Sejati.

Sebagai rangkuman, sebuah penerapan praktis Kesunyataan dalam kehidupan sehari-hari adalah:

Hargailah segala sesuatu ( pada saat ini )
karena semuanya adalah sementara;
Janganlah melekat pada segala sesuatu ( pada saat ini )
karena semuanya adalah sementara.


Sumber :
Sumber : Kebahagiaan dalam Dhamma- Majelis Buddhayana Indonesia

KEADILAN SOSIAL DI DALAM AGAMA BUDDHA

Bagian ini akan menjelaskan mengenai prinsip-prinsip keadilan sosial menurut Agama Buddha.

Di dalam membicarakan mengenai keadilan sosial maka prinsip yang terkait erat adalah mengenai penyelenggaraan pemerintahan. Yang mana pemerintah bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi rakyatnya.

Di dalam berbagai Sutta dan Sutra Sang Buddha banyak membahas mengenai hal ini.

Di dalam Kutadanta Sutta yang merupakan Sutta ke 5 dari Digha Nikaya dikatakan demikian:

"Brahmana yang baik, dengar dan perhatikanlah apa yang akan Saya katakan."

"Baik," jawab Brahmana Kutadanta.

"Dahulu kala ada seorang raja bernama Mahavijito yang memiliki harta dan kekayaan yang besar sekali;  memiliki gudang-gudang emas dan perak serta hal-hal yang menyenangkan, barang-barang serta panen yang baik; lumbung dan penyimpanan harta yang penuh.

Pada suatu hari ia sedang duduk sendiri, merenung dan berpikir:

"Saya memiliki segala sesuatu yang dapat dinikmati oleh manusia. Seluruh dunia menjadi milikku karena saya taklukkan. Suatu hal yang baik jika saya melakukan upacara korban yang besar guna memantapkan kesejahteraan dan kejayaanku saya untuk kemudian hari."

Raja memanggil brahmana penasehat spiritualnya dan mengatakan apa yang telah dipikirkannya dengan berkata: "Saya akan senang sekali melakukan upacara pengorbanan yang besar demi kejayaan dan kesejahteraanku untuk masa yang lama. Katakan padaku bagaimana caranya?"

Penasehat raja menjawab: "Kerajaan sedang dalam kekacauan. Ada perampok yang merajalela di desa-desa dan kota-kota dan mengakibatkan jalan-jalan tidak aman. Bilamana hal itu masih seperti itu, lalu raja akan menarik pajak,  maka raja akan bertindak salah. Namun bilamana raja berpendapat, akan segera menghentikan perampok-perampok itu dengan cara penangkapan, mendenda, mengikat dan menghukum mati!' Tetapi kejahatan itu tidak akan lenyap dengan seperti itu. Karena penjahat yang tak tertangkap akan tetap melakukan kejahatan. Ada sebuah cara yang dapat dilakukan untuk menghentikan kekacauan ini. Siapa saja dalam kerajaan yang hidup sebagai peternak dan petani, Raja berikan makanan dan bibit kepada mereka.

Siapa saja dalam kerajaan yang hidup sebagai pedagang, raja berikan modal kepada mereka.

Siapa saja dalam kerajaan yang hidupnya sebagai pegawai negara, Raja berikan gaji dan makanan kepada mereka.

Orang-orang itu melaksanakan pekerjaan mereka masing-masing, maka pendapatan negara akan meningkat, kerajaan akan aman dan damai, rakyat akan senang dan bahagia, mereka akan menari dengan anak-anak mereka dan mereka hidup dengan rumah yang aman.

Raja Mahavijita menerima dan melaksanakan seperti apa yang disampaikan oleh penasehat kepadanya.

Demikianlah, rakyat hidup melaksanakan tugas mereka masing-masing, akibatnya kejahatan lenyap.

Perbendaharaan raja bertambah. Kerajaan menjadi aman dan damai. Rakyat menjadi senang dan bahagia, mereka menari dengan anak-anak mereka dan mereka hidup dengan rumah yang aman."

Membaca kutipan di atas kita akan langsung mengetahui bahwa pemimpin yang baik adalah yang memikirkan kesejahteraan rakyatnya. Pemerintahan yang baik seyogyanya mewujudkan kemakmuran bagi rakyatnya dengan menyediakan kebutuhan mereka, seperti misalnya dalam bidang sosial ekonomi.

Sesuatu dengan sabda Sang Buddha di atas maka dengan meningkatkan kemakmuran hal tersebut dapat mengurangi kriminalitas.

Nasehat Sang Buddha tersebut sungguh tepat dan jitu, hanya saja dibutuhkan seorang pemimpin yang berkualitas dan berhati nurani untuk melaksanakannya.

Di dalam Cakkavati Sihanada Sutta atau Sutta ke 26 dari Digha Nikaya kita dapat menemukan contoh lain mengenai pemimpin yang baik:

"Para bhikkhu, pada zaman dahulu ada seorang maharaja dunia (cakkavatti) yang bernama Dalhanemi yang jujur, memerintah berdasarkan kebenaran, raja dari empat penjuru dunia, penakluk, pelindung rakyatnya, pemilik tujuh macam permata. "

Di sini ditekankan fungsi pemimpin sebagai pelindung rakyatnya. Yang dimaksud pelindung adalah pelindung bagi segenap rakyatnya dan bukan hanya pelindung bagi golongan tertentu saja.

Pada bagian berikutnya dari Sutta tersebut Sang Buddha menegaskan kembali sebagai berikut:

"Para bhikkhu, demikianlah karena dana-dana tidak diberikan kepada orang yang miskin maka kemelaratan meluas. Karena kemelaratan bertambah maka pencuri bertambah. Karena pencuri bertambah maka kekerasan berkembang dengan cepat. Disebabkan adanya kekerasan yang meluas maka pembunuhan menjadi biasa."

Demikianlah dari sabda Sang Buddha di atas kita jadi memahami bahwa untuk menekan angka kriminalitas adalah dengan mewujudkan keadilan sosial di dalam masyarakat. Salah satunya adalah dengan memberikan bantuan bagi kaum miskin. Namun bantuan atau dana tersebut tidak harus berupa uang.

Ada pepatah mengatakan bahwa lebih baik kita memberikan pancing daripada memberikan ikannya. Ikan dapat habis setelah dimakan, tetapi dengan pancing kita dapat mencari ikan sendiri, yang mana hal tersebut dapat menghidupi sepanjang hidup kita.

Kunci dari masalah ini adalah pemberdayaan masyarakat miskin, industri kecillah yang seharusnya disokong dan dibantu dan bukannya perusahaan konglomerat. Jika pemerintah terlalu berpihak pada kaum kaya maka keadilan sosial tidak akan terwujud.

Pada Suvarnabhasottama Sutra bab 12
(Petunjuk mengenai raja yang baik)

Sang Buddha memberikan perbandingan antara pemimpin yang bajik dan tidak bajik:

"Seorang raja adalah orang tua bagi mereka yang melakukan tindakan bajik."

"Jika seorang raja membiarkan kejahatan di negerinya, serta tidak menghukum mereka yang melakukan kejahatan, maka kejahatan akan bertambah banyak, serta pertengkaran dan keributan akan terjadi di mana-mana, juga bencana-bencana alam, seperti panen yang gagal, hujan yang tidak dikehendaki, serta kelaparan. Raja itu juga akan terpisah dari yang dicintai dan kehilangan kekuasaannya."

"Sebaliknya ada raja yang menegakkan Dharma di negerinya. Ia melakukan keadilan dan menindak tegas mereka yang melakukan kejahatan, bahkan demi keadilan, ia rela mengorbankan hidupnya sendiri.

Maka para raja-raja dewata akan melindungi. Hujan akan tepat waktu dan raja itu sendiri akan menjadi termashyur." "Sang raja harus melindungi rakyatnya sesuai dengan Dharma."

"Sang raja harus mengajarkan Dharma serta membimbing para makhluk melaksanakan kebajikan."

Demikianlah pada Sutra di atas telah dibabarkan mengenai dasar-dasar kepemimpinan. Seorang pemimpin yang membiarkan kejahatan dan bahkan terlibat dalam kejahatan tersebut akan kehilangan kekuasaannya, namun sebaliknya pemimpin yang mengajarkan dan melaksanakan kebenaran maka negerinya akan aman dan makmur, dan bahkan namanya sendiri akan harum.

Lebih jauh lagi di dalam kitab Jataka dapat dibaca cara untuk mendapatkan pemerintahan yang jujur dan bersih diterangkan dalam ajaran-Nya tentang "Sepuluh kewajiban seorang raja" (dasa-raja-dhamma). Tentu saja istilah raja sekarang dapat diganti dengan istilah pimpinan secara umum.

Sepuluh kewajiban dari seorang raja adalah sebagai berikut :

1. Dana (suka menolong orang, tidak kikir dan ramah tamah)
Seorang raja tidak boleh terlalu terikat kepada harta kekayaannya, tetapi pada waktu diperlukan ia harus berani/bersedia mengorbankannya demi kepentingan rakyat.

2.Sila (moralitas yang tinggi)
Ia seharusnya jangan membinasakan makhluk hidup, menipu, mencuri, korupsi, melakukan perbuatan asusila, berbicara tidak benar dan minum-minuman keras.

3.Pariccaga (mengorbankan segala sesuatu demi kepentingan rakyat)
Ia harus bersedia mengorbankan semua kesenangan pribadi, nama dan keagungan, sampaipun nyawa demi kepentingan rakyat.

4.Ajjava (jujur dan bersih)
Ia harus jujur, bebas dari rasa takut dan tidak boleh mempunyai kepentingan pribadi sewaktu menjalankan tugas, bersih tujuannya dan jangan sekali-kali menipu rakyat.

5.Maddava (ramah tamah dan sopan santun)
Ia harus mempunyai watak yang simpatik dan selalu ramah tamah terhadap siapapun.

6.Tapa (sederhana dalam penghidupan)
Ia harus membiasakan diri untuk hidup sederhana dan menjauhkan diri dari penghidupan yang berlebih-lebihan.


7.Akkodha (bebas dari kebencian,
keinginan jahat dan sikap bermusuhan).
Ia seharusnya tidak mempunyai rasa dendam terhadap siapapun juga.

8.Avihimsa (tanpa kekerasan).
Ini bukan saja berarti bahwa ia tidak boleh menyakiti orang lain, tetapi ia harus pula memelihara perdamaian dengan mengelakkan peperangan dan semua hal yang mengandung unsur kekerasan dan penghancuran hidup.

9.Khanti (sabar, rendah hati, dapat memaafkan kesalahan orang lain)
Ia harus dapat menghadapi halangan, kesulitan-kesulitan dan ejekan- ejekan dengan hati yang sabar, penuh pengertian dan memaafkan perbuatan orang lain yang menyakiti hatinya.

10.Avirodha (tidak menentang, tidak menghalang-halangi)
Ini berarti ia tidak boleh menentang kemauan rakyat, tidak boleh menghalang-halangi usaha untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat. Dengan perkataan lain. Ia harus hidup bersatu dengan rakyat sesuai dengan tuntutan hati nurani rakyat.

Berikutnya kita dapat melihat prinsip keadilan sosial tersebut di dalam peraturan kebhikkhuan yang mana seluruh bhikkhu tidak memandang kastanya mengenakan jubah dan melaksakan aturan (vinaya) yang sama.

KESIMPULAN:

1)  Agama Buddha telah mengajarkan mengenai keadilan sosial di dalam  masyarakat.

2)  Pemimpin yang baik mempunyai kewajiban untuk mewujudkan keadilan sosial.

3)  Dengan meningkatnya keadilan sosial maka kejahatan akan berkurang dan negeri akan menjadi aman dan makmur

4)  Pemimpin yang baik haruslah adil dan tidak hanya berpihak pada yang kaya atau yang kuat.  

5)  Agama Buddha telah mengajarkan prinsip-prinsip kemimpinan yang baik.