PENTINGNYA MEMPELAJARI SUTTA
Oleh : Tanhadi
Sekarang
ini, beberapa umat awam melatih meditasi tanpa mempelajari Sutta dan menjadi
sombong dengan pencapaian mereka. Kebanggaan mereka bertambah sementara
keterikatan tidak berkurang.
Jika
mereka berlatih sesuai dengan Dhamma, kekotoran-kekotoran bathin dan
kualitas-kualitas yang tidak baik, termasuk kebanggaan itu, seharusnya tidak
bertambah.
Mungkin
sering kita baca juga komentar-komentar di beberapa forum diskusi Buddhis, yang
mengatakan :”Ahhh..kamu bisanya cuman ber-Teori melulu secara pemahaman
Intelektual.., percuma saja ! yang penting adalah ‘praktek’ !”
Apa
yang dikatakan oleh orang tsb. memang ada benarnya, namun tidak seluruhnya
benar, bahkan ada kecenderungan bahwa ia merasa “Iri” karena tidak dapat
mengimbangi pengetahuan yang dimiliki oleh teman diskusinya itu.
Nah...dari
secuil kata-kata itulah biasanya diskusi dapat berkembang menjadi ‘perdebatan
sengit’ untuk saling mencari pembenaran versi masing-masing.
Seseorang
yang hanya ‘mementingkan praktek’ dengan membuta terhadap Sutta-sutta yang merupakan
instruksi Sang Buddha, tidak akan dapat memastikan dirinya bahwa apa yang
dipraktekkannya itu sudah sesuai dengan jalan yang benar atau malah menjauh
dari Ajaran Buddha.
Seperti yang dinyatakan di
Anguttara Nikaya Sutta 8.2.19, ”…..di dalam Dhamma-Vinaya
ini ada latihan yang bertahap, praktek yang bertahap, kemajuan yang bertahap,
tidak secara tiba-tiba (na ayatakena),
termasuk penembusan pengetahuan tersebut (annapativedha).”
Dhamma
dalam Dhammanussati ada tiga pengertian, dan salah satunya adalah Pariyati
Dhamma, adalah Dhamma sebagai ajaran-ajaran yang terdiri dari berbagai teori
dan dasar-dasar kepercayaan dan perilaku yang meliputi seluruh kerangka agama
Buddha dan dicatat dalam kitab suci serta dipelihara sebagai sabda Sang Buddha
( Buddha-vacana ) atau ajaran Sang Guru (
Satthu-sasana ).
Di dalam Anguttara Nikaya
Sutta 5.3.26,
dijelaskan pula tentang lima keadaan yang mampu membuat seorang bhikkhu
mencapai pencerahan. yaitu a.l :
Mendengarkan Dhamma
(Kalau
sekarang bisa dengan membaca Sutta-sutta di Kitab Suci Tipitaka, mendengarkan
ceramah dhamma secara langsung atau pun lewat CD dll.).
Membawa
kegirangan, khususnya jika seseorang mempunyai ketertarikan dengan Dhamma. Ini
secara alami menenangkan pikiran dan membuatnya damai dan tenang. Pikiran yang damai dengan mudah menjadi
konsentrasi. Dengan pikiran yang terkonsentrasi, akan muncul pengetahuan.
Mengajari Dhamma
Mengajari
Dhamma , seseorang perlu memahami dan merenungi Dhamma. Dari sini kegirangan
juga timbul yang mana akan menuntun secara berturut-turut pada ketenangan,
konsentrasi dan pengetahuan.
Mengulangi Dhamma
Walaupun
tidak umum sekarang ini, hal tersebut cukup umum di masa Sang Buddha ketika
buku-buku belum ada. Pada saat itu, Dhamma dipertahankan dan diteruskan kepada
generasi berikutnya oleh orang-orang
yang menghafalnya secara teratur. Jika para bhikkhu akan meneruskan
Dhamma, mereka harus sangat kenal dengan Dhamma. Demikianlah, para bhikkhu
menghabiskan banyak waktu menghafal Dhamma.
Pada
kenyataannya, pada saat tersebut, adalah merupakan tugas dari para bhikkhu
untuk mengulang dan menghafal Dhamma. Pengulangan yang terus-menerus ini akan
membuat anda sangat mengenalinya.
Pertama
kali anda membaca, mendengar atau menghafal Sutta, anda akan mempunyai tingkat
pemahaman tertentu. Dengan pengulangan
yang lebih sering, pemahaman anda menjadi semakin dalam dan semakin dalam.
Urutan kegirangan, ketenangan, konsentrasi dan pengetahuan yang serupa
mengikuti
Di dalam Majjhima Nikaya
Sutta 43, disebutkan
bahwa satu dari dua kondisi yang dibutuhkan untuk munculnya Pandangan Benar
adalah dengan mendengarkan Dhamma. Dan pada Sutta yang sama ini menyatakan
bahwa setelah pencapaian Pandangan Benar, lima kondisi yang penting lainnya
juga dibutuhkan untuk mendukung Pandangan Benar untuk pembebasan akhir, tingkat
kesucian Arahat. yaitu :
·
Moral yang baik (sila)
·
Mendengarkan Dhamma (dhammasavana)
·
Diskusi Dhamma (dhammasakaccha)
·
Ketenangan pikiran (samatha), dan
·
Perenungan (vipassana)
Di dalam Anguttara Nikaya
Sutta 5.3.26 dan Samyutta Nikaya Sutta 45.1.8 , membuktikan pentingnya mendengarkan
Dhamma dari langkah pertama (yakni untuk mencapai Pandangan Benar), sampai pada
langkah yang terakhir (yakni mencapai tingkat kesucian Arahat).
Digha Nikaya Sutta 25, Sang
Buddha bersabda :
“Para bhikkhu, latihlah diri kalian
seperti demikian: Terhadap Sutta-Sutta inilah kami akan mendengar, akan
mengkondisikan telinga yang siap untuk mendengar, memahami, menghafal dan
menguasainya.”
PENTINGNYA MEMPELAJARI EMPAT NIKAYA
Sang
Buddha menekankan pentingnya banyak belajar (bahusacca) dalam banyak Sutta,
misalnya di MN 43 dikatakan bahwa Pandangan Benar didukung oleh banyak belajar
menuntun pada pencerahan. Tidak mempelajari Sutta adalah suatu ekstrim, dan
mempelajari terlalu banyak buku adalah ekstrim yang lainnya – jalan tengah
adalah mempelajari empat Nikaya yang tertua. Pentingnya mempelajari Nikaya
dapat dipahami dari kenyataan bahwa Sang Buddha berbicara tentang 5000 Sutta
dan siswa-siswa Beliau disebut Savaka (Pendengar). Satu Sutta menjelaskan
kebenaran dari satu sudut jadi dengan banyaknya Sutta yang kita pelajari, maka
semakin baik pemahaman kita karena kita melihat Dhamma dijelaskan dari sudut
yang berbeda dan kita dapat menghubungkan yang satu dengan yang lainnya (yakni
membandingkan mereka).
Pada
kenyataannya, kita lihat dari Nikaya dan Vinaya bahwa orang-orang mencapai
Sotapanna hanya dengan mendengarkan Sutta daripada bermeditasi.
1.
Sutta AN 9.20 mendefinisikan Pemasukan arus (Tingkat Kesucian Jalan Pertama)
sebagai pencapaian Pandangan Benar.
2.
Di SN 43 dan AN 12.11.9, disebutkan bahwa Pandangan Benar dicapai hanya dengan
dua kondisi: mendengarkan penuturan orang lain dan memiliki pertimbangan yang
seksama. (Yoniso manasikara). Tingkat dari pertimbangan yang seksama yang
diperlukan untuk pencapaian Sotapanna tentu saja berbeda dari pencapaian
Arahat.
3.
Di SN 55.3.4, Sang Buddha berkata bahwa jika pohon-pohon bisa memahami
perkataan Beliau, (bukan bermeditasi!), bahkan pohon-pohon tersebut bisa
menjadi Sotapanna.
4.
Di SN 46.4.8, Sang Buddha berkata bahwa ketika seseorang mendengarkan Dhamma
dengan penuh perhatian, 5 rintangan tidak muncul di diri seseorang dan 7
Bojjhanga terpenuhi. Ini adalah kondisi untuk pencapaian Ariya.
5.
Di SN 55.1.2, karakteristik untuk seorang Sotapanna adalah: memiliki keyakinan
pada Buddha, Dhamma, Sangha, dan sila yang sempurna – tidak disebutkan tentang
meditasi,dsb.
6.
Di AN 3.85; 9.12, Sotapanna dan Sakadagami dikatakan memiliki Sila yang
sempurna; Anagami memiliki Sila dan Samadhi yang sempurna; Arahat memiliki
Sila, Samadhi, Panna yang sempurna. Ini berarti bahwa Sotapanna dan Sakadagami
tidak membutuhkan Jhana sementara Anagami dan Arahat harus memiliki empat
Jhana.
7.
Di MN 22, Sotapanna dikatakan telah melenyapkan 3 belenggu dan Sakadagami telah
melenyapkan 3 belenggu dan melemahkan nafsu sensual dan kedengkian. Jadi
Sakadagami membutuhkan tingkat konsentrasi tertentu sebelum Jhana (yakni
Upacara Samadhi) sementara Sotapanna tidak perlu, dan hanya perlu merenungi dan
refleksi pada Dhamma yang telah dia pelajari.
8.
Ada beberapa contoh dalam Nikaya dan Vinaya tentang umat awam yang datang
mendengarkan
Sutta dari Sang Buddha (persis serupa dengan yang kita miliki dalam
Nikaya)
untuk pertama kalinya dan mencapai Sotapanna, misalnya mendengarkan Sutta dari
Sang Buddha (persis serupa dengan yang kita miliki dalam Nikaya) untuk pertama
kalinya dan mencapai Sotapanna, misalnya DN 3, 5; MN 56, 91; AN 8.12, 8.21.
Salah
satu dari penyebab Dhamma yang asli ini tidak dikenali , al. adalah karena :
Tentu
saja, selain kita mempelajari dan menguasai Sutta-sutta yang terdapat didalam
Tipitaka (4 Nikaya) melalui mendengar, mengulang/membaca dan berdiskusi
((Pariyatti Dhamma) , kita juga harus merenungkan dan melaksanakannya (praktek)
sesuai dengan apa yang telah kita pelajari tersebut(Patipatti Dhamma). Sehingga
setelah dua hal ini kita laksanakan, maka buah/pahala Dhamma, yaitu
“Pativedha Dhamma” adalah: lenyapnya
nafsu, tercapainya kedamaian dan kebahagiaan/Nibbâna dapat terealisasi
Di
Sutta SN 55.6.3. Sang Buddha menasehati umat awam untuk mempelajari Sutta.
Di
SN 20.7, Sang Buddha memperingatkan bahwa di masa depan, orang-orang tidak akan
mempelajari Sutta tetapi lebih menyenangi untuk mempelajari karya dari
pengikutnya yaitu bhikkhu lain (yakni buku-buku belakangan) dan ini akan
menuntun pada lenyapnya Sutta.
KESIMPULAN :
*
Sebagai umat Buddhis , sudah seharusnya kita mengenal , mempelajari dan
memahami dengan sebaik-baiknya ke- empat
Nikaya yang ada dalam Tipitaka , sehingga kita dapat terbebas dari pandangan
yang salah terhadap Ajaran Sang Buddha .
Sang
Buddha berkata jika kita mengajarkan Dhamma yang salah, hal itu akan
menyebabnya lenyapnya Dhamma yang asli. Sang Buddha berkata di SN 16.13 bahwa
ada lima hal yang akan menjadi penyebab Dhamma yang asli tidak dikenali lagi
dan ini terjadi secara bertahap.
*
Tidak adanya rasa hormat pada Dhamma, yakni Sutta Sang Buddha dalam 4 Nikaya.
Sang
Buddha berkata di SN 20.7 bahwa di masa depan orang-orang tidak ingin
mendengarkan dan menguasai khotbah-khotbah Sang Buddha. Mereka lebih menyenangi
untuk mendengarkan dan menguasai kata-kata para siswanya, dan ini hanya
persajakan belaka, dibandingkan dengan Sutta Sang Buddha.
“Bahucaccan ca sippan ca
vinayo ca susikkhito
Sushasita ca ya vaca
Etam mangalamuttamam”
“Banyak Belajar, dan memiliki keterampilan,
Disiplin yang terlatih baik,
Tutur kata apapun diucapkan dengan baik
Inilah Berkah Utama”
Referensi/sumber
bacaan :
-
Samatha dan Vipassana - Bhikkhu Dhammavuddho Mahathera
-
Beberapa Artikel Buddhis dari Internet