Senin, Januari 23, 2012

GONG XI FAT CAI - IMLEK 2563 / 2012 !!


10 HARAPAN BAIK
Menyambut Tahun Baru Imlek


1. Dana (Memberi)
Semoga aku senantiasa mencari siapa yang bisa kubantu.
Semoga aku memberi untuk mengikis keakuan.

2. Sila (Moralitas)
Semoga aku santun dan tidak merugikan pihak lain.
Semoga aku terkendali dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan.

3. Nekkhama (Pelepasan keduniawian)
Semoga aku mengutamakan kepentingan pihak lain.
Semoga aku tak lekat pada yang buruk maupun pada yang baik.

4. Panna (Kebijaksanaan)
Semoga aku penuh kesadaran dan pemahaman jernih.
Semoga aku piawai dalam membantu pihak lain.

5. Viriya (Semangat)
Semoga aku giat berjuang untuk mencapai tujuan muliaku.
Semoga aku tak gentar menghadapi segala rintangan.

6. Khanti (Kesabaran)
Semoga aku mampu menanggung kekeliruan pihak lain.
Semoga aku melihat sisi baik dari segala sesuatu.

7. Sacca (Kebenaran)
Semoga aku tidak menyembunyikan kebenaran.
Semoga aku tulus dan dapat dipercaya

8. Adhitthana (Tekad kuat)
Semoga aku terus berpegang teguh pada kebenaran.
Semoga aku lembut bagai bunga dan kokoh bagai karang.

9. Metta (Cinta kasih)
Semoga aku mengasihi tanpa pilih kasih.
Semoga aku bahagia dan membawa kebahagiaan bagi pihak lain.

10. Upekkha (Keseimbangan batin)
Semoga aku memperlakukan semua makhluk dengan setara.
Semoga aku teduh dan seimbang dalam segala keadaan.


Happy Imlek New Year 2563/ 2012 !

Tanhadi & Fam


Sabtu, Januari 21, 2012

Panca- Niyama Dhamma


PANCA-NIYAMA DHAMMA
(Lima Hukum Alam)

52. Salah satu pandangan keliru mengenai hukum kamma adalah menganggap hukum kamma merupakan satu-satunya hukum yang mengatur kehidupan manusia dan menganggap hasilnya (vipaka) sebagai nasib atau takdir yang tidak bisa diubah, sehingga seseorang hanya bisa pasrah menerima hasil dari kamma (kamma vipaka). Tetapi kenyataannya tidaklah demikian.

53. Dalam Abhidhamma Vatara 54, dan Digha Nikaya Atthakatha II-432 menjelaskan bahwa Hukum Kamma sendiri hanya merupakan satu dari 24 sebab (paccaya 24) atau salah satu dari Panca Niyama (Lima Hukum) yang bekerja di alam Semesta ini, masing-masing hukum alam ini memiliki sifat-sifatnya sendiri dan tidak diatur oleh suatu kekuatan sosok makhluk Adikuasa manapun.

54. Menurut agama Buddha, semua fenomena di alam semesta ini bekerja menurut salah satu dasar dari Lima Hukum Alam (Panca Niyama Dhamma), Hukum alam semesta inilah yang mengatur segala gejala, proses, aktivitas, sebab-akibat batin dan jasmani (fisik) yang ada dialam semesta itu sendiri. Hukum ini tidak bisa diraba, dilihat, didengar dan dicium keberadaannya, namun bisa diketahui dan dipelajari cara kerjanya dari gejala-gejala yang muncul secara fisik maupun batin. Hukum alam ini terdiri atas :


1. UTU NIYAMA ( Hukum Musim )
Adalah hukum tertib “Physical inorganik” misalnya : gejala timbulnya angin dan hujan yang mencakup pula tertib silih bergantinya musim-musim dan perubahan iklim yang disebabkan oleh angin, hujan, sifat-sifat panas , sifat benda seperti gas, cair dan padat, kecepatan cahaya , terbentuk dan hancurnya tata surya dan sebagainya. Semua  aspek  fisika  dari  alam  diatur  oleh hukum ini.

Dunia materi terbentuk dari empat unsur utama (mahabhuta), yaitu unsur Pathavi, Apo, Tejo, dan Vayo. (Majjhima Nikaya 22).

Unsur Pathavi (secara harafiah berarti "tanah") merupakan unsur yang bersifat "padat" dan liat, yang berfungsi menjadi basis unsur lainnya. Unsur kedua tidak dapat saling mengikat tanpa dasar untuk ikatan tersebut; unsur ketiga tidak dapat menghangatkan tanpa basis bahan bakar; unsur keempat tidak dapat bergerak tanpa dasar untuk gerakannya; semua materi bahkan atom sekali pun membutuhkan unsur Pathavi sebagai basisnya.

• Unsur Apo (secara harfiah berarti "air") merupakan unsur yang bersifat kohesif (ikat-mengikat) dan dapat menyesuaikan diri, yang berfungsi memberikan sifat ikat-mengikat pada unsur lainnya. Unsur ini juga memberikan kelembaban dan cairan pada tubuh makhluk hidup.

• Unsur Tejo (secara harfiah berarti "api") merupakan unsur yang bersifat panas, yang memberikan fungsi panas dan dingin pada unsur lainnya. Karena unsur ini, semua materi dapat dihasilkan kembali untuk tumbuh dan berkembang setelah mencapai kematangan.

• Unsur Vayo (secara harfiah berarti "udara") merupakan unsur yang bersifat gerakan dan memberikan fungsi gerak pada unsur lainnya. Unsur gerak ini membentuk kekuatan tarikan dan tolakan pada semua materi.

Unsur-unsur ini jika bertahan dalam kondisi yang tetap, dapat bertambah kekuatannya jika terdapat sebab yang cukup untuk bertambah, dan berkurang kekuatannya jika terdapat sebab yang cukup untuk berkurang. Misalnya, dalam benda padat unsur cair dapat memperoleh kekuatan gerak yang cukup sehingga menyebabkan benda padat tersebut mencair, dalam zat cair unsur panas dapat mengubahnya menjadi nyala api dan unsur cairnya hanya memberi sifat ikatan. Karena sifat intensitas dan jumlahnya ini, keempat unsur tersebut disebut unsur besar (mahabhutani). Intensitas dan jumlah unsur-unsur ini mencapai puncaknya ketika terjadinya pembentukan dan kehancuran alam semesta.

Energi (utu) merupakan benih awal semua fenomena pada dunia materi dan merupakan bentuk awal dari unsur panas. Hukum energi merupakan proses berkelanjutan yang mengatur empat rangkaian pembentukan, kelanjutan, kehancuran, dan kekosongan alam semesta. Ia juga mengatur pergantian musim dan menentukan musim di mana tumbuhan menghasilkan bunga dan buah. Tidak ada yang mengatur kejadian-kejadian ini apakah manusia, dewa, atau Tuhan, kecuali hukum Utu-niyama ini.


2. BIJA NIYAMA ( Hukum Biologis )
Adalah hukum tertib yang mengatur tumbuh-tumbuhan dari benih/biji-bijian dan pertumbuhan tanam-tanaman, misalnya padi berasal dari tumbuhnya benih padi, manisnya gula berasal dari batang tebu atau madu, adanya keistimewaan daripada berbagai jenis buah-buahan , hukum genetika /penurunan sifat dan sebagainya . Semua aspek Biologis makhluk hidup diatur oleh hukum ini.

Bija berarti "benih" di mana tumbuhan tumbuh dan berkembang darinya dalam berbagai bentuk. Dari pandangan filosofi, hukum pembenihan hanyalah bentuk lain dari hukum energi. Dengan demikian pengatur perkembangan dan pertumbuhan dunia tumbuhan merupakan hukum energi yang cenderung mewujudkan kehidupan tumbuhan dan disebut Bija-niyama.

Hukum pembenihan menentukan kecambah, tunas, batang, cabang, ranting, daun, bunga, dan buah di mana dapat tumbuh. Dengan demikian, biji jambu tidak akan berhenti menghasilkan keturunan spesies jambu yang sama. Hal ini juga berlaku untuk semua jenis tumbuhan lainnya dan tidak ada sosok pencipta yang mengaturnya.


3. KAMMA NIYAMA ( Hukum Perbuatan )
Adalah hukum tertib yang mengatur sebab akibat dari perbuatan , misalnya : perbuatan baik / membahagiakan dan perbuatan buruk terhadap pihak lain, menghasilkan pula akibat baik dan buruk yang sesuai .

Perbuatan (kamma) merupakan perbuatan baik maupun buruk yang dilakukan seseorang yang disertai kehendak (cetana). Seperti yang disebutkan dalam kitab Pali :

“Aku katakan, Kehendak adalah Kamma,
karena didahului oleh kehendak,
seseorang lalu bertindak dengan jasmani, ucapan dan pikiran “.
(Anguttara Nikaya III : 415)

Disini, kehendak merupakan kemauan (tindakan mental). Dalam melakukan sesuatu, baik maupun buruk, kehendak mempertimbangkan dan memutuskan langkah-langkah yang diambil, menjadi pemimpin semua fungsi mental yang terlibat dalam perbuatan tersebut. Ia menyediakan tekanan mental pada fungsi-fungsi ini terhadap objek yang diinginkan. Dalam melaksanakan tugasnya, termasuk juga tugas-tugas semua proses mental lainnya yang terlibat, kehendak menjadi pemimpin tertinggi dalam pengertian ia memberitahukan semua sisanya. Kehendak menyebabkan semua aktivitas mental cenderung bergerak dalam satu arah.

Hukum perbuatan mengatur akibat-akibat dari suatu perbuatan apakah baik atau buruk. Contoh-contoh akibat moral dari suatu perbuatan dapat dijumpai dalam berbagai sutta, misalnya dalam Majjhima-Nikaya, Cula-Kamma-Vibhanga-Sutta:

"Akibat dari membunuh menyebabkan umur pendek, dan tidak melakukan pembunuhan menyebabkan umur panjang. Iri hati menghasilkan banyak perselisihan, sedangkan kebaikan hati menghasilkan perdamaian. Kemarahan merampas kecantikan seseorang, sedangkan kesabaran menambah kecantikan diri. Kebencian menghasilkan kelemahan, sedangkan persahabatan menghasilkan kekuatan. Pencurian menghasilkan kemiskinan, sedangkan pekerjaan yang jujur menghasilkan kemakmuran. Kesombongan berakhir dengan hilangnya kehormatan, sedangkan kerendahan hati membawa kehormatan. Pergaulan dengan orang bodoh menyebabkan hilangnya kebijaksanaan, sedangkan pengetahuan merupakan hadiah dari pergaulan dengan orang bijaksana."

Di sini pernyataan "membunuh menyebabkan umur pendek" mengandung makna bahwa ketika seseorang telah membunuh sekali saja manusia atau makhluk lainnya, perbuatan ini “menyediakan akibat” untuk terlahir kembali dalam keadaan menderita dengan berbagai cara. Selama masa ketika ia terlahir kembali sebagai manusia, perbuatan tersebut menyebabkannya berumur pendek dalam ribuan kelahiran. Penjelasan yang sejenis juga berlaku untuk pernyataan sebab akibat yang lain di atas.


4. DHAMMA NIYAMA ( Fenomena Alam)
Adalah hukum tertib yang mengatur sebab-sebab terjadinya keselarasan /persamaan dari satu gejala yang khas, misalnya : terjadinya keajaiban alam seperti bumi bergetar pada waktu seseorang Bodhisattva hendak mengakhiri hidupnya sebagai seorang calon Buddha, atau pada saat Ia akan terlahir untuk menjadi Buddha. Hukum gaya berat (gravitasi) , daya listrik, gerakan gelombang dan sebagainya, termasuk dalam hukum ini.

Dhamma adalah sesuatu yang menghasilkan sifat dasarnya sendiri (dhareti), yaitu kekerasannya sendiri ketika disentuh, sifat khusus sekaligus sifat universalnya adalah berkembang, melapuk, hancur, dan seterusnya. Dhamma yang dikategorikan dalam hubungan sebab "menghasilkan" fungsi hubungan sebab tersebut, dan yang dikategorikan dalam hubungan akibat "menghasilkan" fungsi akibat atau hasil. Pengertian ini meliputi semua Dhamma yang dibahas dalam Suttanta dan Abhidhamma Pitaka. Ini juga meliputi hal-hal yang disebutkan dalam Vinaya Pitaka dengan nama "tubuh aturan" (silakkhandha).

Di antara sutta-sutta, keseluruhan Mahanidana-Suttanta dan Nidana-samyutta membahas tentang  Dhamma-niyama. Dalam salah satu sutta disebutkan:

"Karena kebodohan muncul kamma: sekarang, O para bhikkhu, apakah para Tathagata muncul atau tidak, unsur (dhatu) ini ada, yaitu pembentukan Dhamma sebagai akibat, ketetapan Dhamma sebagai akibat (Dhammatthitata Dhammaniyamata). Karena kamma... (dan seterusnya seperti pada hubungan sebab akibat yang saling bergantungan)"
(Samyutta-Nikaya, ii. 25)

Ia juga disinggung dalam ungkapan:

"Semua hal yang berkondisi (sankhara) adalah tidak kekal, penuh dengan penderitaan, dan tanpa aku."

Dalam beberapa teks, niyama ini disebut Dhammata:

"Sesuai dengan Dhammata (hukum), para bhikkhu, bahwa ketika seorang Bodhisatta turun dari surga Tusita, memasuki rahim ibunya, cahaya yang sangat cemerlang muncul di seluruh dunia, termasuk dunia para dewa dan brahma... dan seribu sistem dunia berguncang...."
(Digha-Nikaya, ii. 12)

Sifat Dhamma-niyama dapat diringkas dalam rumusan:

"Ketika itu ada, ini ada.
Dari kemunculan itu maka ini muncul.
Ketika itu tidak ada, ini tidak ada.
Ketika itu berakhir, maka ini berakhir"

atau dalam pernyataan:

"Inilah, para bhikkhu, tiga sifat khas dari hal yang berkondisi: dapat dipahami perkembangannya, dapat dipahami kelapukannya, dapat dipahami perubahannya ketika ia masih bertahan. Inilah, para bhikkhu, tiga sifat khas dari hal yang tidak berkondisi: perkembangannya tidak dapat dipahami, kelapukannya tidak dapat dipahami, perubahan dan durasinya tidak dapat dipahami"
(Anguttara-Nikaya, i 152)

Dhamma-niyama merupakan keseluruhan sistem yang mengatur alam semesta. Empat niyama lainnya merupakan hukum alam yang spesifik yang mengkhususkan pada aspek tertentu dari alam semesta. Jadi, hukum alam apa pun yang tidak termasuk dalam keempat niyama yang pertama dikategorikan sebagai Dhamma-niyama.

Di sini kata Dhamma menunjuk pada semua hal mental maupun materi. Oleh sebab itu, Bija, Kamma, dan Citta merupakan Dhamma, dan ia mengandung semua hal tersebut. Namun dalam klasifikasi niyama, nama-nama individual digunakan untuk keempat hal pertama untuk mengkhususkan dan membedakannya dari hal-hal lain, baik mental maupun materi, yang digolongkan di bawah nama umum "Dhamma". Karena alasan ini Dhamma-niyama tidak digunakan dalam penerapan yang sepenuhnya, tetapi dibatasi pada hal-hal yang tidak termasuk keempat hal pertama. Ketika dibutuhkan untuk menggunakan utu sebagai niyama, seseorang tidak seharusnya menyebutnya Dhamma-niyama walaupun Utu termasuk Dhamma, tetapi harus menggunakan nama individual yang sesuai dan menyebutnya sebagai utu-niyama.


5. CITTA NIYAMA ( Hukum Psikologis )
Adalah hukum tertib mengenai proses jalannya alam pikiran atau hukum alam batiniah, misalnya : proses kesadaran, timbul dan lenyapnya kesadaran, sifat-sifat kesadaran, kekuatan pikiran / batin (Abhinna), serta fenomena ekstrasensorik seperti Telepati, kewaskitaan (Clairvoyance), kemampuan untuk mengingat hal-hal yang telah lampau, kemampuan untuk mengetahui hal-hal yang akan terjadi dalam jangka pendek atau jauh, kemampuan membaca pikiran orang lain, dan semua gejala batiniah yang kini masih belum terpecahkan oleh ilmu pengetahuan modern termasuk dalam hukum terakhir ini.

Citta berarti "yang berpikir" (perbuatan berpikir), yang mengandung pengertian: yang menyadari suatu objek. Juga berarti: menyelidiki atau memeriksa suatu objek. Lebih jauh lagi, citta dikatakan berbeda-beda bergantung pada berbagai bentuk pikiran atas objek. Hal ini dinyatakan dalam kitab Pali:

"Para bhikkhu, Aku tidak melihat hal lain yang sangat beraneka ragam seperti pikiran (citta). Para bhikkhu, Aku tidak melihat kelompok (nikaya) lain yang sangat beraneka ragam seperti makhluk-makhluk alam rendah (binatang, burung, dan seterusnya). Makhluk-makhluk alam rendah ini hanya berbeda dalam pikiran. Namun pikiran, O para bhikkhu, lebih beraneka ragam dibandingkan makhluk-makhluk ini."
(Samyutta-Nikaya, iii. 152)

Pikiran menjadi lebih beraneka ragam berkaitan dengan hal-hal yang tidak baik dibandingkan dengan hal-hal yang baik sehingga dikatakan "Pikiran menyenangi hal-hal yang buruk". Oleh sebab itu, mahkluk-makhluk di alam rendah yang dibuat dan diciptakan oleh pikiran lebih beraneka ragam dibandingkan semua makhluk lainnya. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Dikatakan dalam kitab Pali:

"O, para bhikkhu, Aku akan menyatakan bagaimana dunia berasal, dan bagaimana dunia berakhir. Apakah asal mula dunia itu, O para bhikkhu? Dikondisikan oleh mata dan objek-objek muncul kesadaran penglihatan. Ketiga hal ini disebut kontak. Karena kontak, muncul perasaan; karena perasaan, muncul keinginan.... Demikianlah asal mula seluruh tubuh yang berpenyakitan ini. Dikondisikan oleh telinga dan objek-objek... oleh hidung... oleh lidah... oleh tubuh, dan seterusnya... dikondisikan oleh indera pikiran dan benda-benda muncul kesadaran pikiran. Ketiga hal ini adalah kontak. Karena kontak, muncul perasaan; karena perasaan, muncul keinginan.... Demikianlah asal mula seluruh tubuh yang berpenyakitan ini. Inilah, O para bhikkhu, apa yang disebut asal mula dunia."

"Apakah akhir dunia itu, O para bhikkhu? Dikondisikan oleh mata dan objek-objek muncul kesadaran pikiran. Ketiga hal ini disebut kontak. Karena kontak, muncul perasaan; karena perasaan.... Karena keinginan sepenuhnya berakhir, ketamakan berakhir; karena ketamakan berakhir, kemenjadian berakhir. Demikianlah akhir dari seluruh tubuh yang berpenyakitan ini. Demikian halnya juga berhubungan dengan telinga dan alat indera lainnya. Inilah, O para bhikkhu, apa yang disebut akhir dunia"
(Samyutta-Nikaya, iv 87)

Di sini ungkapan "dikondisikan oleh mata dan objek-objek muncul kesadaran mata, dan seterusnya" menunjukkan bahwa di dunia ini kesadaran dan proses pikiran orang-orang secara umum berbeda-beda dari momen ke momen dan menjadi sebab kelahiran kembali mereka dalam bentuk-bentuk yang berbeda dalam kehidupan berikutnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa bentuk-bentuk yang berbeda pada kehidupan yang akan datang dibuat dan diciptakan oleh pikiran pada kehidupan sekarang. Karena perbedaan kesadaran, persepsi juga berbeda. Karena perbedaan persepsi, keinginan berbeda, dan karena hal ini berbeda, maka perbuatan (kamma) berbeda. Beberapa orang juga berpendapat bahwa karena kamma berbeda, kelahiran kembali di alam binatang beraneka ragam.

55. Apapun yang terjadi dialam semesta ini bekerja sesuai dengan lima hukum tersebut diatas dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah. Keberadaan hukum-hukum alam semesta bekerja sesuai dengan ada tidaknya kondisi-kondisi pendukung yang muncul. Hukum alam semesta bersifat Universal, hukum ini tidak pandang bulu, selama kondisi-kondisinya tepat maka hukum ini akan bekerja. Contohnya api, api muncul diatur oleh hukum alam, karena ada kondisi yang mendukungnya. Api akan membakar apa saja yang bisa dibakarnya.

- Apabila ada anak kecil yang tidak tahu bahwa api itu panas dan membakar, lalu anak itu memasukkan tangannya ke dalam bara api, maka tangannya pasti akan terbakar.

- Orang yang tahu bahwa api bisa membakar, juga akan terbakar bila tangannya masuk ke dalam bara api.

- Orang yang tidak percaya bahwa api bisa membakar juga akan terbakar.

- Orang yang percaya juga akan terbakar.

- Orang yang memuja api tiap hari, menjadi pengikut setia api, juga akan terbakar bila tangannya dimasukkan kedalam bara api.

- Tahu atau tidak tahu, percaya atau tidak percaya, dipuja atau dibenci, dimanapun, siapapun dan kapanpun selama ada kondisi pendukung yang tepat, maka api akan membakar tanpa pandang bulu.

56. Berdasarkan pengetahuan bahwa ada Lima hukum yang mengatur alam semesta, jelas bahwa Kamma hanyalah salah satu dari beberapa penyebab yang menjadikan kita , misalnya ;

- Terlahir cantik, jelek, utuh atau cacat mungkin disebabkan oleh Turunan ( hukum Biologis / Bija niyama ), bukan semata-mata oleh perbuatan yang baik atau buruk di masa lampau.

- Cerdas atau bodoh mungkin disebabkan oleh keadaan sosial dan pengaruh orang tua ( hukum fisika dan hukum psikologik ), bukan semata-mata oleh perbuatan yang baik atau buruk di masa lampau.

- Mati muda atau berumur panjang mungkin karena gabungan antara masalah gizi ( hukum Biologis), lingkungan yang sehat ( hukum Fisika) dan mungkin pula sikap dan pandangan hidup (hukum psikologik), bukan semata-mata oleh perbuatan yang baik atau buruk di masa lampau.

57. Menghubungkan semua yang terjadi pada kita (baik ataupun buruk) sebagai semata-mata akibat dari perbuatan masa lampau, menurut Sang Buddha, berarti menutup mata pada kaidah sebab dan akibat yang telah dibenarkan oleh pengalaman kita sendiri, Beliau bersabda :

“Sehubungan dengan itu, ada penderitaan yang ditimbulkan oleh empedu, oleh lendir, dari udara, oleh kecelakaan, oleh keadaan yang tak dapat diketahui sebelumnya dan juga oleh hasil perbuatan lampau seperti diketahui dari pengalamanmu sendiri. Dan kenyataan bahwa penderitaan timbul dari berbagai penyebab telah diketahui dunia sebagai suatu kebenaran.... Oleh karenanya pertapa dan kaum Brahmin yang berkata : “ Apapun kesenangan atau penderitaan atau keadaan batin yang dialami seseorang, kesemuanya disebabkan oleh perbuatan masa lampau,” Maka pernyataan mereka bertentangan dengan pengalaman setiap orang yang telah diakui kebenarannya oleh dunia. Oleh karenanya, aku katakan bahwa mereka itu keliru“.
(Samyutta Nikaya IV:229- Anguttara Nikaya II: 86)

58. Sering kita dengar di lingkungan kita, orang mengatakan bahwa Tuhan Maha Adil berdasarkan pengamatannya pada kehidupan manusia. Sebenarnya orang tersebut sedang menggambarkan sifat Hukum Kamma yang adil. Hukum kamma akan mengatur bahwa perbuatan baik akan berbuah menjadi kebahagiaan. Sedangkan perbuatan buruk akan membuahkan penderitaan pada pelakunya. Hukum kamma akan bekerja dengan tanpa pandang bulu, umat agama apapun, yang percaya atau yang tidak percaya, yang tahu  ataupun tidak tahu, tua, muda, kaya, miskin, jahat, saleh, beriman ataupun tidak beriman, suku apapun dan bangsa apapun tidak berbeda di “mata” Hukum Kamma. Selama perbuatan itu dilakukan dengan kehendak, pikiran, ucapan dan tindakan jasmani, pasti akan membuahkan hasil.

Pada saat Kamma akan berbuah karena kondisi-kondisi pendukungnya telah matang , maka tidak ada satu makhlukpun yang dapat menghindar darinya, tidak juga para dewa-dewi. Hukum kamma berkuasa penuh.  Orang sering melihat bahwa biarpun Presiden, Raja, orang kuat dan sekaya apapun, apabila waktunya tiba, dapat mengalami kejatuhan yang menyakitkan dalam bentuk kehilangan kekuasaan, sakit dan mati.

59. Pada saat Tsunami terjadi, tidak ada satu orangpun atau negara manapun yang dengan senjatanya atau tehnologinya yang canggih bisa meredam kekuatan alam ini. Hukum kamma dan hukum alam semesta lainnya bekerja sama sesuai dengan kondisinya. Mereka yang meninggal dan yang selamat/hidup sedang menuai kamma buruknya secara kolektif tanpa bisa ditawar. Bukan karena Hukum Kamma ini sedang murka, tetapi karena perbuatan-perbuatan mereka di masa lampau mendapatkan kondisi yang tepat untuk berbuah bersama-sama. Jika ada yang menjelaskan bahwa kejadian itu sebagai gambaran kekuasaan Tuhan yang maha kuasa, sebenarnya dia sedang menceritakan bekerjanya kekuatan Hukum kamma dan hukum alam lainnya.

60. Sebagai contoh bahwa Hukum kamma bekerja bersama dengan hukum alam semesta yang lain adalah seorang yang terlahir dengan cacat tubuh, maka prasyarat yang harus dipenuhi untuk hal tersebut adalah :

1) Adanya buah Kamma buruk yang telah matang dan memenuhi persyaratan untuk terlahir cacat tubuh (Kamma  Niyama / Hukum Kamma).

2) Adanya sepasang laki-laki dan perempuan yang memiliki buah kamma buruk sebagai calon kedua orang tuanya dan memenuhi syarat pendukung untuk terlahirnya si bayi tersebut (Bija Niyama /Hukum reproduksi/hukum Biologis /Hukum  genetika).

Setelah sang bayi terlahir dengan kondisi seperti itu, maka yang dirasakan kedua orang tuanya adalah kesedihan dan penderitaan yang berkepanjangan. Bagi si bayi juga demikian, karena dalam keseluruhan hidupnya akan mengalami banyak hambatan / penderitaan yang disebabkan oleh keterbatasan fisiknya. Tiga sosok manusia menuai kamma buruknya dalam satu keluarga inilah yang dikatakan sebagai  Kamma Keluarga. Adapula Kamma Kelompok yang diterima secara kolektif/bersama-sama dalam kelompok desa, kecamatan, kota, propinsi atau negara.

61. Sebagai contoh Kamma buruk kelompok negara adalah perang fisik antar negara, yang mengakibatkan banyak kematian, kelaparan, keresahan, ketakutan, kemiskinan  dan  penderitaan  batin / traumatis  yang berdampak sangat buruk terhadap seluruh warganegaranya secara bersama-sama. Seberapa besar atau kecil dampak dari peperangan itu terhadap seseorang tidaklah sama persis, semua tergantung kamma masing-masing.

“Tidak di langit, di tengah lautan, di celah-celah gunung atau dimanapun juga, dapat ditemukan suatu tempat bagi seseorang untuk dapat menyembunyikan diri dari akibat perbuatan jahatnya .”
(Dhammapada  IX ;127)

62. Sebagai contoh untuk memudahkan pemahaman kita terhadap Hukum Kamma atau Hukum Sebab-Akibat adalah demikian :

- Bila kita menolong kesulitan seseorang (Suatu Perbuatan baik) akan mendapatkan persahabatan baru. (Suatu hasil perbuatan baik).

- Pula sebaliknya, bila kita berdusta (Suatu perbuatan buruk) suatu saat ketahuan bahwa kita telah membohongi mereka dan oleh karenanya kita di-caci-maki dan dipermalukan. (Suatu hasil perbuatan buruk).

63. Tentunya, kehendak untuk berbuat sesuatu (belum dilaksanakan) berbeda dengan bila telah dilaksanakan, walau keduanya berdampak, yang pertama (kehendak saja) lebih ringan dari yang kedua (telah melaksanakannya). Setiap kali kita dengan sengaja berpikir, berkata dan bertindak, maka jelas terjadi perubahan pada kesadaran kita. Dengan demikian, kita saat ini tergolong tipe manusia yang bagaimana adalah tergantung dari timbunan perbuatan yang telah dilakukan pada masa-masa sebelumnya, demikian pula apa yang kita lakukan sekarang akan membentuk watak kita di hari kemudian.


"Sesuai dengan benih yang di tabur,
begitulah buah yang akan dipetiknya.
Pembuat kebajikan akan mendapatkan kebaikan,
pembuat kejahatan akan memetik kejahatan pula.
Taburlah biji-biji benih
dan engkau pulalah yang akan merasakan buah dari padanya".
( Samuddaka Sutta; Samyutta Nikaya 11.10 {S 1.227} )



Selanjutnya ----> Jenis-jenis Kamma


Bab II : Hukum Kamma


BAB II

HUKUM KAMMA


25. Ajaran Sang Buddha tentang Hukum Kamma (Karma) berbeda dengan paham yang meyakini adanya Takdir Ilahi. Hukum Kamma berpusat pada suatu perbuatan yang dilakukan oleh diri sendiri dan hasilnya hanya untuk diri sendiri, tidak ada Si pemberi hukuman atas perbuatan buruk yang kita lakukan, tidak ada pula Si Pemberi pahala atas perbuatan baik yang kita lakukan, dengan demikian hukum Kamma adalah hukum yang sangat adil, sekaligus dapat menjawab semua pertanyaan-pertanyaan sulit tentang adanya perbedaan-perbedaan jalan hidup serta fenomena kehidupan yang tampaknya jauh dari azas Keadilan ini ;

•  Mengapa seseorang kaya dan berkuasa, sedangkan yang lain miskin dan tertekan ?

•  Mengapa seseorang sepanjang hidupnya sehat, sementara yang lain sejak lahir telah sakit dan cenderung  sakit-sakitan ?

•  Mengapa ada yang terlahir dengan anggota tubuh lengkap, sementara ada yang terlahir dengan cacat, tanpa  lengan  atau kaki ?

•  Mengapa seseorang terberkahi rupa yang menawan dan kecerdasan, sedang yang lain buruk rupa dan dungu ?

•  Mengapa ada yang buta, tuli, bisu dan idiot, sedang yang lain tidak ?

•  Mengapa seorang anak terlahir diantara kemelaratan dan kemalangan,  namun ada yang terlahir ditengah kemakmuran dan kesenangan ?

•  Mengapa seorang anak terlahir dari seorang penjahat, sementara ada  yang terlahir dari orang tua yang mulia dan mengenyam pendidikan  moral yang baik ?

•  Mengapa seseorang seringkali tanpa bersusah payah, sukses dalam seluruh bidang usahanya, sedangkan yang lain walaupun telah bekerja keras, selalu gagal mewujudkan rencananya?   

•  Mengapa seseorang dapat hidup dalam kelimpahan, sedangkan yang lain harus hidup dalam kemelaratan ?

•  Mengapa ada yang menikmati panjang usia, namun ada yang meninggal pada awal kehidupannya, bahkan sebelum sempat dilahirkan ?

Mengapa Nuansa-nuansa tersebut terjadi didunia ini ?


Bila kita merenungkan dunia ini dan memikirkan berbagai macam nasib makhluk hidup yang hidup didalamnya, tampak bahwa seakan-akan segala sesuatu dialam ini Tidaklah adil !!

26. Begitu banyak kita menjumpai ketidakadilan dan diskriminasi diantara sesama manusia. Apakah ketidak-adilan yang menyolok ini terjadi secara kebetulan atau direncanakan oleh “ Sesuatu ? ”.

27. Bila Sesuatu itu Maha Pengasih, Maha Pemurah, Maha Adil dan Maha Sempurna, Mengapa Ia menciptakan keadaan yang tidak mengenakkan bagi makhluknya untuk tinggal didalamnya?. Suatu Sosok yang Maha Pemurah semestinya sanggup berbuat sesuatu untuk mengatasi ketidak adilan ini.

28. Atau mungkinkah segala perbedaan yang ada pada manusia ini disebabkan oleh faktor keturunan dan lingkungan?, kita harus mengakui bahwa semua fenomena fisik-kimiawi yang diungkapkan oleh para ilmuwan, sebagian adalah sebagai faktor pembantu, tetapi tidak seluruhnya mutlak bertanggung jawab atas perbedaan-perbedaan besar yang terdapat di antara individu-individu. Lalu mengapa ada anak kembar yang memiliki tubuh serupa, mewarisi gen yang sejenis, menikmati kesempatan asuhan yang sama, seringkali
memiliki watak, moral dan kecerdasan yang sangat berbeda ?

Keturunan saja tidak dapat menyebabkan perbedaan-perbedaan yang besar ini. Sesungguhnya, faktor keturunan lebih masuk akal atas persamaan-persamaan mereka daripada atas perbedaan-perbedaan. Benih fisik-kimiawi dengan panjangnya kira-kira sepertiga puluh inci yang diwarisi dari orang tua, hanya menerangkan satu bagian dari manusia, yaitu dasar fisiknya. Mengenai perbedaan-perbedaan batin, intelektual dan moral yang jauh lebih kompleks dan halus itu diperlukan penerangan batin yang lebih dalam. Teori keturunan tidak dapat memberikan suatu jawaban yang memuaskan tentang lahirnya seorang kriminal dalam sebuah keluarga yang mempunyai leluhur terhormat atau kelahiran seorang suci atau mulia dalam sebuah keluarga yang memiliki reputasi jelek dan tentang lahirnya seorang ideot, manusia genius dan guru-guru besar spiritual.

29. Menurut agama Buddha, perbedaan-perbedaan ini tidak hanya disebabkan oleh faktor keturunan dan lingkungan, tetapi juga disebabkan oleh kamma kita sendiri, suatu perbuatan baik atau buruk memiliki akibatnya pada suatu saat, disuatu tempat.

30. Sejak dari jaman dahulu kala sampai dengan saat ini Hukum Kamma merupakan sebuah teka-teki bagi kebanyakan masyarakat non-Buddhis, karena mereka lebih mengenal paham Takdir atau Nasib ketimbang Hukum Kamma. Hal ini dapat dimaklumi, karena di –kitab-kitab suci mereka tidak ada satu katapun yang menyebutkan tentang Hukum Kamma.

31. Kebanyakan orang akan mengatakan bahwa semuanya i tu adalah merupakan Nasib atau Takdir Illahi, semua yang terjadi adalah atas rencana dan kehendak Tuhan. Penjelasan-penjelasan seperti itu, pada awalnya memang bisa menghibur, memberikan ketabahan dan harapan bagi manusia untuk menghadapi kenyataan-kenyataan pahit dalam hidupnya. Tetapi karena Tuhan dilibatkan dalam penjelasan tersebut dan di gambarkan sebagai “ Sosok Yang Maha Kuasa ” yang memiliki sifat-sifat seperti manusia; murka, cemburu, menghukum, berjanji, memberikan hadiah dan sebagainya, akhirnya justeru menimbulkan banyak kerancuan dan gambaran Tuhan jadi tidak sempurna bahkan membingungkan.

32. Agama Buddha menyangkal adanya nasib baik atau buruk yang disebabkan oleh takdir ataupun atas kehendak dan Rencana Tuhan. Agama Buddha mengajarkan sebab-musabab yang alami sepertihalnya ilmu pengetahuan tentang aksi-reaksi. Dalam ajaran Buddha, apa yang tampak tidak adil itu dijelaskan dengan dalil Kamma (Karma);

“Semua makhluk adalah pemilik kammanya sendiri,
pewaris kammanya, kammanya adalah kandungan yang melahirkannya,
dengan kammanya dia berhubungan,
kammanya adalah pelindungnya.
Apapun kammanya, baik atau buruk, mereka akan mewarisinya.”
(Majjhima Nikaya III : 135)

“Semua makhluk memiliki kammanya sendiri,
mewarisi kammanya sendiri, lahir dari kammanya sendiri,
berhubungan dengan kammanya sendiri,
terlindung oleh kammanya sendiri.
Kammalah yang membuat semua makhluk menjadi berbeda,
hina atau mulia.”
(Majjhima Nikaya 55)

33. Dalil Kamma adalah dalil  Sebab dan Akibat,  Aksi dan Reaksi, merupakan Hukum Alam, yang tak ada hubungannya dengan gagasan mengenai Penghakiman, Ganjaran, Pahala atau Penjatuhan Hukuman.

34. Setiap perbuatan yang dilandasi oleh Kehendak yang dilakukan melalui Pikiran, Ucapan dan Tindakan jasmani, akan membuahkan hasil atau akibat.  Perbuatan baik akan berbuah baik, perbuatan buruk akan berbuah buruk. Ini bukan penjatuhan hukuman ataupun pahala yang diberikan oleh siapapun atau kekuatan apapun yang menghakimi perbuatan kita, namun hal ini berdasar pada sifat itu sendiri, yaitu Hukum itu Sendiri.

Sang Buddha bersabda :

“Aku katakan, Kehendak adalah Kamma,
karena didahului oleh kehendak,
seseorang lalu bertindak dengan jasmani, ucapan dan pikiran “.
(Anguttara Nikaya III : 415)

35. Jadi, Kamma berarti semua jenis kehendak (cetana), perbuatan yang baik maupun buruk/jahat, yang dilakukan oleh jasmani (kaya), perkataan (vaci) dan pikiran (mano), yang baik (kusala) maupun yang jahat (akusala).


Hukum Kamma atau sering hanya disebut sebagai Kamma, merupakan salah satu hukum universal atau hukum alam yang bekerja berdasarkan prinsip sebab-akibat. Selama suatu makhluk berkehendak, melakukan kamma (perbuatan) sebagai sebab, maka akan menimbulkan akibat atau hasil.


36. Sering kita mendengar bahwa suatu kejadian yang tidak diduga sebelumnya dikatakan sebagai suatu kebetulan saja. Didalam paham Buddhisme tidak mengenal adanya istilah Kebetulan saja, sebab didunia ini tidak ada sesuatupun yang muncul dari ketidak-adaan, tidak ada sesuatupun yang terjadi begitu saja tanpa ada sebab yang mendahuluinya, hal ini telah dijelaskan oleh Sang Buddha :

“Dengan adanya ini, terjadilah itu.
Dengan timbulnya ini, timbulah itu.
Dengan tidak adanya ini, maka tidak ada itu.
Dengan lenyapnya ini, maka lenyaplah itu.”
(Khuddhaka Nikaya, Udana 40 )

Mungkin akan timbul suatu pertanyaan dalam diri  kita; kalau bukan suatu kebetulan, apa yang dapat kita jelaskan tentang hal tersebut ?

Menyatakan suatu kebetulan adalah boleh-boleh saja, seperti halnya seorang pria dan wanita yang saling berjumpa disuatu toko, mereka mengatakan; “wah....kebetulan sekali kita bertemu disini...emang kamu mau beli apa ?”..dan bermula dari pertemuan saat itu, kemudian berlanjut hingga terjalinnya suatu hubungan yang lebih serius dan dikemudian hari merekapun pada akhirnya memutuskan untuk menikah.


Kejadian tersebut sebenarnya samasekali bukan suatu kebetulan, karena baik si A maupun si B sejak keluar dari rumahnya masing-masing, sama-sama mempunyai alasan, rencana, niat maupun tujuan tertentu ke toko tersebut, .... disini “ada suatu proses  Sebab - akibat yang sedang terjadi”. Jalinan perasaan yang sangat kuat diantara mereka pada kehidupan lampaunya adalah salah satu penyebab terjadinya pertemuan kembali dalam kehidupan saat ini, begitu pula kehidupan kita saat ini menjadi seorang anak dari ayah dan ibu kita…, disini Hukum Kamma bekerja karena adanya keterikatan batin yang sangat kuat antara kita dengan orang tua kita.

37. Hukum kamma adalah  salah satu bagian dari ajaran Sang Buddha yang sangat penting dan cukup sulit untuk dipahami oleh kebanyakan orang, namun bagi yang mempercayai maupun yang tidak mempercayai adanya hukum kamma, ia tetap akan menerima hukum kamma yang sifatnya universal ini.

“ Tidak ada tempat sembunyi untuk melarikan diri dari hasil Kamma “
(Dhammapada 127)

“Sesuai dengan benih yang di tabur,
begitulah buah yang akan dipetiknya.
Pembuat kebajikan akan mendapatkan kebaikan,
pembuat kejahatan akan memetik kejahatan pula.
Taburlah biji-biji benih
dan engkau pulalah yang akan merasakan buah dari padanya”.
{Samuddaka Sutta; Samyutta Nikaya 11.10 (S 1.227)}

38. Kamma bersifat Samvattanika, artinya “mengarah terjadinya”, Dengan demikian, Hukum Kamma adalah berarti suatu kecenderungan, bukan sekadar suatu konsekuensi yang tak dapat diubah dan mutlak tidak dapat dihindari. Perbuatan yang dikehendaki atau kamma yang diperbuat dalam kelahiran sebelumnya, merupakan benih atau akar yang mempengaruhi nasib baik atau malang dikehidupan saat ini, dan perbuatan baik atau buruk saat ini akan turut menyebabkan nasib baik atau malang pada kehidupan berikutnya. Jadi apapun kondisi yang terjadi saat ini, apakah bahagia atau menderita adalah merupakan hasil Akumulasi perbuatan yang dilakukan sebelumnya.

39. Kamma dapat berbuah jika hadir secara lengkap beberapa unsur/ kondisi yang mendukungnya. Jadi, tidak semua benih kamma menghasilkan buah kamma (vipaka). Bila unsur pendukung berupa kondisi tidak ada, maka benih kamma tidak bisa berbuah menjadi suatu efek/akibat. Kamma yang tidak menghasilkan buah kamma disebut sebagai Ahosi kamma (kamma yang sudah tidak efektif lagi).

40. Cara kerja Hukum Kamma terkadang tampak bertolak belakang dengan kenyataan yang ada. Kita sering menemukan orang yang dalam kehidupan sehari-harinya banyak melakukan kebajikan tetapi hidupnya banyak mengalami rintangan dan penderitaan, dan sebaliknya ada seseorang yang pekerjaannya sebagai perampok, lintah darat dan hal-hal yang berbau kejahatan, tetapi hidupnya makmur, serba mewah dan terpandang. Mengapa demikian? Apakah hukum kamma-nya keliru?

Tentu saja bukan hukum kammanya yang keliru....., bila hukum kamma diumpamakan sebagai sebuah lahan yang ditanami bibit pohon  pisang dan bibit pohon rambutan, maka sudah tentu pohon pisang akan tumbuh terlebih dahulu daripada pohon rambutan, karena keduanya mempunyai usia pertumbuhan yang berbeda. Demikian pula halnya dengan perbuatan baik dan buruk, Kalau kita sudah berbuat baik tetapi masih menderita, ini disebabkan karena perbuatan baik kita belum saatnya dituai / dipanen. Dalam hal ini kita memetik buah dari perbuatan buruk terlebih dahulu. Jadi semua itu ada waktunya, walaupun adakalanya masih bisa dipercepat sampai batas-batas tertentu.

41. Menurut ajaran Buddha, matangnya buah kamma seseorang dipengaruhi oleh banyak sekali kondisi-kondisi dan sangat kompleks. Cara kerja hukum kamma sangat rumit, melibatkan banyak unsur sehingga setiap perbuatan tidak selalu menghasilkan akibat di kehidupan sekarang, namun berkaitan dengan kehidupan masa akan datang, seperti tertera dalam Dhammapadda 119-120 :

“Pembuat kejahatan hanya melihat hal yang baik
selama buah perbuatan jahatnya belum masak,
tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak,
ia akan melihat akibat-akibatnya yang buruk.
Pembuat kebajikan hanya melihat hal yang buruk
selama buah perbuatan bajiknya belum masak,
tetapi bilamana hasil perbuatannya itu telah masak,
ia akan melihat akibat-akibatnya yang baik.”

42. Salah pengertian tentang Kamma, ialah anggapan bahwa setiap perbuatan pasti berakibat, misalnya tindakan negatif, pasti tak terhindarkan / mutlak akan berbuah negatif. Walaupun Sang Buddha seringkali memberikan kesan seperti itu dalam sabdanya :

“Semua makhluk adalah pemilik kammanya sendiri,
pewaris kammanya,
kammanya adalah kandungan yang melahirkannya,
dengan kammanya dia berhubungan,
kammanya adalah pelindungnya.
Apapun kammanya, baik atau buruk,
mereka akan mewarisinya.”
(Majjhima Nikaya III : 135)

43. Namun Sang Buddha tidak menyatakan bahwa segala sesuatu hanya disebabkan oleh kamma saja. Di dalam Abhidhamma, Kamma hanyalah satu dari 24 kondisi-kondisi kausal/penyebab (paccaya). Dengan demikian, maka tidak semua pengalaman yang kita alami berasal dari kamma. Dalam Anguttara Nikaya dijelaskan bahwa seandainya semua pengalaman hidup kita hanya disebabkan oleh kamma lampau, maka seseorang yang menjadi pembunuh, pencuri, penjahat atau orang tidak bermoral tidak harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Untuk apa mereka berusaha menjauhi perbuatan jahat jika mereka sudah ditakdirkan menjadi penjahat oleh kammanya?.

Demikian pula dengan orang yang sakit tidak perlu memeriksakan dirinya ke dokter untuk disembuhkan penyakitnya, karena bila kammanya memang harus demikian ia pasti akan sembuh dengan sendirinya.

44. Di dalam kitab suci Tipitaka Anguttara  Nikaya  I : 248 , Sang Buddha lebih jauh juga menjelaskan bahwa akibat dari setiap perbuatan bukanlah tak terelakkan seperti itu sebagai berikut :

“ Bila seseorang mengatakan, bahwa hanya apa yang diperbuat itulah yang akan diperolehnya, jika hal itu benar, maka menuntut kehidupan suci tidaklah berarti (*1), sebab tak ada kesempatan untuk mengatasi penderitaan.

Tetapi bila seseorang berkata, bahwa bila seseorang berbuat demi apa yang hendak diperolehnya, lalu itulah yang diperolehnya, maka menuntut kehidupan suci adalah berarti, karena ada kesempatan untuk menghancurkan penderitaan.

Contohnya, suatu kejahatan kecil dilakukan seseorang, tindakan itu bisa berbuah pada kehidupan ini atau samasekali tidak berbuah. Sekarang manusia yang bagaimana, yang walaupun dengan kejahatan kecil sekalipun tetap akan membawanya ke Neraka? (*2)

Seseorang yang tidak berhati-hati dalam mengembangkan tindakan jasmani, pikiran dan ucapannya, dia tidak mengembangkan kebijaksanaannya, dia seorang yang tidak berarti, dia tidak mengembangkan dirinya sendiri, hidupnya sempit dan dapat diukur. Perbuatan kecil saja dapat membawanya ke Neraka.

Lalu sekarang, seseorang yang dengan hati-hati mengembangkan tindakan jasmani, pikiran dan ucapannya, dia mengembangkan kebijaksanaannya, dia seorang yang berarti, dia mengembangkan dirinya sendiri, hidupnya tanpa batas dan tidak terukur. Bagi orang seperti ini, sebuah kejahatan kecil bisa berbuah dikehidupan ini atau tidak samasekali.

Seandainya seorang menaruh sejumput garam kedalam sebuah cawan kecil, air tersebut tidak akan bisa diminum, mengapa?, karena cawan itu kecil. Nah, sekarang, seandainya seorang menaruh sejumput garam ke sungai Gangga, airnya akan tetap dapat diminum, karena banyaknya air di sungai tersebut “.


Hukum Kamma, dengan demikian, lebih berarti suatu kecenderungan, bukan sekadar suatu konsekuensi yang tak dapat diubah dan dielakkan.



Catatan :

(*1) Kehidupan suci adalah seseorang yang telah bertekad untuk melepaskan  kehidupan yang bersifat keduniawian dan ingin mencapai tingkat ke-Buddha-an dengan tujuan akhir adalah Nibbana, yaitu dengan pemahaman tentang Empat Kebenaran Mulia, melaksanakan Jalan Kebenaran Mulia Berunsur Delapan dan Menghindari Tiga Kejahatan yang dilakukan oleh Pikiran, Ucapan dan Tindakan jasmani dalam kehidupan sehari- harinya.

EMPAT KEBENARAN MULIA , yaitu :
1.  Penderitaan
2.  Asal-Mula penderitaan
3.  Lenyapnya penderitaan
4.  Jalan menuju Lenyapnya penderitaan

JALAN KEBENARAN MULIA BERUNSUR DELAPAN, yaitu :
1.  Pengertian benar
2.  Pikiran benar
3.  Ucapan benar
4.  Perbuatan benar
5.  Mata pencaharian benar
6.  Upaya benar
7.  Perhatian benar
8.  Konsentrasi benar

TIGA KEJAHATAN , yang dilakukan oleh ;
1. Pikiran : Keserakahan, kehendak/niat  buruk, kebencian, kepercayaan dan pengertian  yang salah.

2. Ucapan : Berdusta, memfitnah, penipuan, berbicara kasar dan menghina, berbicara tentang keburukan seseorang dan berbicara mengenai hal-hal  yang tidak perlu ( omong kosong).

3. Jasmani  :  Pembunuhan, pencurian, perzinahan,  mabuk- mabukan.

(*2) Neraka atau Surga, yang dimaksudkan oleh Sang Buddha adalah mengacu pada suatu keadaan perasaan-perasaan/batin yang penuh dengan penderitaan dan menyakitkan. Sang Buddha menolak paham adanya Neraka kekal dan Surga kekal yang dipandang sebagai suatu  ketidakadilan.


“ Apabila seorang dungu berkata bahwa Neraka ada dibawah laut,
maka sebenarnya mereka berkata palsu tak  berdasar,
istilah ‘Neraka’  menunjukkan perasaan-perasaan yang menyakitkan ”.
(Samyutta Nikaya  IV : 206)



45. Selama berabad-abad doktrin agama Buddha tentang Kamma telah sering disalah-artikan sebagai paham Deterministik/TAKDIR, bahkan rohaniawan Buddhispun sering mengatakan bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Kamma, karenanya banyak tafsiran tentang Kamma yang agak janggal bila dibandingkan dengan ajaran Sang Buddha sendiri.

Hal ini disebabkan karena pada umumnya doktrin Kamma yang diajarkan saat ini tidak berdasarkan ajaran Sang Buddha langsung, tapi berdasarkan kepustakaan komentar yang sebagian besar diantaranya ditulis ribuan tahun setelah era Sang Buddha.

Ajaran Buddha tidak mengajarkan paham “Takdir” (Niyativada) juga tidak mengajarkan paham “ Bebas bertindak ” (Attakiriyavada),  tapi  suatu  “  Kehendak berprasyarat ” ( Inggris : Conditioned ).

46. Adalah Salah bila dikatakan bahwa keadaan kita saat ini adalah semata-mata adalah hasil dari perbuatan-perbuatan kita dikehidupan sebelumnya, dan keadaan di masa mendatang hanya ditentukan oleh perbuatan-perbuatan kita saat ini. Bila demikian adanya, berarti seluruh kehidupan kita Telah diputuskan dan Telah ditentukan sebelumnya, sehingga kita tidak dapat lagi berupaya dan merubah segalanya. Pengertian salah seperti inilah yang membuat seseorang bersikap Apatis/Pasrah dan tidak bersemangat untuk berupaya memperbaiki Kamma buruknya.

Hukum Kamma turut (menjadi prasyarat) dalam menentukan tiga hal : Apakah kita terlahir kembali atau tidak, di alam mana kita akan terlahir, dan pengalaman bagaimana yang akan di alami pada kehidupan yang akan datang tersebut.

47. Menurut Sang Buddha, Tindak-tanduk manusia biasa pada dasarnya  bercirikan Keserakahan (Lobha ), Kebencian (Dosa) dan Kegelapan batin (Moha). Tindakan baikpun bila diteliti kadang-kadang masih diwarnai oleh kekotoran batin tersebut. Keserakahan, Kebencian dan Kegelapan batin mendasari tindakan kita sehari-hari, tapi tidak semua tindakan itu akan berbuah akibat pada kehidupan sekarang ini. Daya/Energi yang tidak berbuah pada kehidupan sekarang ini akan mendorong kita ke kehidupan baru sesudah kita mati.

“ Ada tiga sumber asal dari tindakan seseorang
Apa yang tiga itu ?.
Keserakahan, Kebencian dan Kegelapan batin.
Setiap tindakan yang dilahirkan, berasal dan timbul dari keserakahan, kebencian dan kegelapan batin akan berbuah,
dimanapun dia terlahir kembali,
dimanapun tindakan itu berbuah,
dia akan mengalami hasilnya,
pada kehidupan ini ataupun dikehidupan mendatang.”
(Angutta Nikaya I : 134)

Selama kita bertindak dengan didasari keserakahan, kebencian dan kegelapan batin, selama itu pula kita membuat kamma, baik ataupun buruk dan oleh karenanya kita terlahir kembali.

48. Kamma yang telah kita timbun akan menjadi prasyarat di Alam mana kita akan terlahir. Apabila Kamma tertentu menonjol dalam perilaku kita sehari-hari, maka pada waktu mati, kita akan terkondisi oleh sifat-sifat dan perilaku-perilaku tersebut dan bila terlahir kembali akan terlahir di salahsatu dari Enam alam kehidupan.

“Dan apa beragam kamma itu ?
Adalah kamma yang akan berbuah di alam neraka,
di alam binatang, di alam Roh lapar, di alam manusia,
pula ada kamma yang berbuah di alam dewa.”
(Angutta Nikaya III : 414)

49. Salah pengertian lain yang paling umum tentang Hukum Kamma adalah kepercayaan bahwa setiap kejadian yang kita alami; tersandung, jatuh sakit, menang undian, terlahir tampan, semuanya adalah hasil Kamma lampau semata-mata. Dengan alasan yang sangat tepat Sang Buddha menolak kepercayaan salah tersebut. Sebab bila demikian halnya, maka sia-sia untuk berbuat baik dan menghindari perbuatan tercela, sebab keseluruhan hidup telah ditentukan sebelumnya.

Sang Buddha bersabda :

“Ada beberapa pertapa dan kaum Brahmin, yang mempercayai dan mengajarkan bahwa apapun yang dialami seseorang, menyenangkan, menyakitkan atau netral, semua disebabkan oleh kamma lampau.

Aku menemui mereka dan bertanya apakah benar mereka mengajarkan sedemikian, mereka ternyata mengiyakan. Aku berkata : ‘Bila demikian, tuan yang terhormat, seseorang membunuh, mencuri dan berzinah disebabkan kamma lampau.

Mereka berbohong, berfitnah, berkata kasar dan tak berharga disebabkan kamma lampau.

Mereka menjadi serakah, membenci dan penuh pandangan salah disebabkan kamma lampau.

Mereka yang mendasarkan segala sesuatu pada kamma lampau sebagai unsur penentu akan kehilangan keinginan dan usaha untuk berbuat ini atau tak berbuat itu’ ”.
(Angutta Nikaya I : 173)


50. Apakah hukum kamma hanya berlaku bagi mereka yang percaya ?.
Lepas dari kita mempercayai atau tidak, Hukum Sebab dan Akibat atau Hukum Kamma akan tetap bekerja sesuai dengan perbuatan-perbuatan kita yang dilandasi oleh kehendak, ucapan, pikiran dan tindakan jasmani. Seseorang yang tidak percaya pada kehidupan masa lampau dan hukum sebab-akibat, tetap bisa berbahagia sebagai hasil dari perbuatan baiknya dimasa lampau.

“Sesuai dengan benih yang ditanam,
itulah buah yang akan engkau peroleh.
Pelaku kebaikan akan mengumpulkan kebaikan.
Pelaku keburukan akan memperoleh keburukan.
Jika engkau menanamkan benih yang baik,
maka engkau menikmati buah yang baik.”
(Samyutta Nikaya I : 227)

51. Bagi orang yang menolak kehadiran hukum sebab-akibat / Hukum kamma, akan selalu terjerat dalam lingkaran ketidak-mengertian tentang Sebab Nasib buruk yang diterimanya, ia cenderung menjadi bingung dan putus asa, yang pada akhirnya ia menyandarkan jawaban atas segala keadaan yang terjadi, baik atau buruk kepada nasib, takdir, dan Tuhan. Bahwa semua yang terjadi adalah atas Kehendak dan Rencana Tuhan.

Seseorang  yang demikian hanya bisa bertanya : “Mengapa aku bernasib buruk dan malah sering dibenci orang lain ?, padahal aku selama ini tidak pernah berbuat jahat, bahkan aku sering menolong kesulitan orang lain”. Tak sedikit pula yang bertanya-tanya : “Orang itu kelakuannya sangat buruk, penipu ,berhati kejam, bahkan dengan segala cara tega untuk merugikan orang lain demi keuntungannya sendiri, tapi mengapa ia semakin jaya dan disegani?”. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tidak akan pernah terjawab oleh  seseorang  yang  menolak  adanya hukum kamma.



"Oleh diri sendiri kejahatan dilakukan,
oleh diri sendiri pula orang ternoda,
oleh diri sendiri kejahatan tak dilakukan,
oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci.
Suci atau tidak sucinya seseorang tergantung pada diri sendiri;
tak ada seseorang pun yang dapat menyucikan orang lain."
(Dhammapada; 165)



Selanjutnya ---> PANCA-NIYAMA DHAMMA (Lima Hukum Alam)