Senin, April 30, 2012

Sabda Luhur Sang Buddha


SABDA LUHUR SANG BUDDHA

Suvijano bhavam hoti, Suvijano parabhavo
Dhammakamo bhavam hoti, Dhammadessi parabhavo

Kesejahteraan dalam kehidupan adalah wajar,
kemerosotan dalam kehidupan juga adalah wajar.
Seseorang yang mencintai Dhamma akan sejahtera,
Seseorang yang membenci Dhamma akan merosot.
(Sutta Nipâta. 92)



Tragedi Kemanusiaan

Masa keemasan suatu bangsa adalah hal yang sangat diidam-idamkan oleh setiap anak bangsa, masa yang penuh kegemilangan, kedamaian, dan juga sejahtera. Namun, tidakkah kita tahu, bahwa semua itu adalah proses. Masa keemasan ini bisa bersifat historis, bisa juga bersifat konstruksi romantisme yang berbaur dengan emosi dan keyakinan keagamaan sehingga selalu dirujuk dan dijadikan model kehidupan masa depan. Seberapa relevan konstruksi sejarah masa lalu untuk memecahkan kompleksitas problem hari ini?

Harapan masa keemasan memang menjadi idaman, namun terkadang hanya tinggal harapan saja. Marilah kita lihat kondisi saat sekarang ini! Tindakan-tindakan kekerasan mewarnai segala aspek kehidupan. Dalam dunia ini hampir sebagian besar umat beragama dan mereka tak segan-segan menonjolkan keagamaan mereka dengan identitas-identitas luar, seperti tradisi, budaya, lambang-lambang agama, dan kekuatan mayoritas.

Memang, agama mempunyai peran yang nyata dalam kehidupan ini, tetapi kenapa semua ini terjadi? Apakah agamanya yang salah? Terkadang kita terlalu idealisasi-romantisme terhadap kejayaan agama di masa lalu, sering dianalogikan seperti orang yang memandang gunung dari kejauhan yang tampak indah dan nyaman padahal kalau didekati kondisinya sangat jauh berbeda. Maka, bagi para pendaki gunung atau militer, sadar betul antara perbedaan "peta" dan "teritorial" Yang pertama berupa gambar di atas kertas yang begitu sederhana, sedangkan yang kedua adalah realita di lapangan yang kompleksitasnya tidak terlihat dalam peta. Demikian juga dengan gambaran masa keemasan sebuah komunitas umat beragama di masa lalu, pada kenyataannya jika ditelusuri tidak seindah dan sesederhana apa yang ditulis ataupun diceritakan orang.

Gambaran yang nyata terjadi pada kehidupan sekarang ini, hanya demi ego, banyak orang yang melakukan tindakan yang tidak berperikemanusiaan. Penyimpangan moralitas hampir terjadi setiap saat dan mereka sangat bangga dengan apa yang dilakukan. Tragedi kemanusiaan melanda dunia ini, perang terjadi di mana-mana, seolah-olah perang adalah solusi terbaik dalam penyelesaian masalah. Tragedi kemanusiaan di Afrika, Timur Tengah, Asia, dan khususnya di Indonesia sendiri telah menelan banyak korban.

Kenapa manusia mudah untuk menyakiti, menyiksa, membunuh, menjarah, memperkosa dan melakukan tindakan-tindakan amoral lainnya? Semua orang tidak menginginkan penderitaan tetapi kenapa mereka membuat orang lain menderita? Padahal mereka semua beragama, tentunya kita harus berpikir objektif untuk melihat realita kehidupan ini. Para penegak kemanusiaan juga selalu mendengung-dengungkan Hak Asasi Manusia tetapi kenyataannya sama sekali belum terwujud. Tragedi kemanusiaan seperti tak pernah pudar bahkan semakin menjadi-jadi. Kapan tragedi ini akan berakhir? Tentunya hal ini menjadi bahan perenungan setiap insan manusia.

Beragama Yang Tidak Anarkis

Tragedi kemanusiaan telah terjadi, memang kita tidak mengharapkan semua itu terjadi. Hanya saja peristiwa-peristiwa tragis tersebut menimbulkan pertanyaan bagi kita. Kenapa mereka mengatasnamakan kebenaran dalam melakukan sesuatu yang dapat dikatakan anarkis dan sangat merugikan orang lain? Apakah agama memang melegalkan cara-cara yang anarkis? Tentunya agama mengajak untuk menciptakan cinta, kedamaian, dan kesejahteraan, hanya saja manusianya yang tidak bisa merealisasikan agama itu dalam kehidupan sehari-hari. Kebanyakan orang beragama hanya sekadar beragama, sehingga mereka tidak mau tahu. Terkadang agama hanya dijadikan alat untuk memuaskan keakuannya sehingga mereka melakukan tindakan yang menyimpang dan menghina agama yang lain.

Semasih manusia beragama hanya sebatas tradisi, budaya, ritual dan hanya berhenti pada kepuasan intelektual semata, maka tidak akan ada perubahan. Agama mengajak kita untuk merubah pola pikir yang menuju ke arah kebaikan. Agama yang direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari akan membawa kepada tingkat kualitas batin yang sempurna, tentunya perjuangan ke arah itu tidak sekonyong-konyong tetapi secara bertahap.
Agama yang sesungguhnya mempunyai arti sangat ideal sebagai perekat, tali persaudaraan, faktor ketentraman kehidupan, tenyata berbalik menjadi alat legitimasi perilaku yang menakutkan, mencemaskan (anarkis). Agama dalam tataran realitas justru sering kali dieksploitasi umatnya untuk kepentingan sesaat, baik pribadi maupun kelompok. Hal-hal seperti inilah yang membuat terpuruknya kondisi dan situasi sekarang ini.

Dapatkah kita beragama tanpa harus merugikan kepentingan pihak lain? Kita kembalikan ke tujuan agama yang sebenarnya, agama tidak mengajak kita untuk menyakiti, menyiksa, membunuh, menjarah, memperkosa, menipu, perang, tetapi agama mengajak kita untuk menjadi orang yang berkualitas. Kualitas keagamaan yang baik akan membawa kebahagiaan semua orang. Tetapi kenyataannya sekarang ini sangat lain dari harapan-harapan yang positif itu.

Beragamalah yang benar dengan memahami agama secara benar dan merealisasikan agama itu dalam kehidupan sehari-hari. Jangan sampai mengatakan agama saya yang benar sedangkan yang lain salah, hal ini akan merusak suasana kedamaian dan ketentraman. Hilangkan motivasi-motivasi yang tidak baik dalam beragama sehingga nantinya kita sampai pada pemahaman agama yang benar.

Seorang raja besar di India patut dijadikan contoh untuk perealisasian agama di tengah-tengah masyarakat yang beragam tanpa harus merugikan yang lain. Raja Asoka mampu mensosialisasikan Buddha Dhamma tanpa merugikan pihak lain, dalam prasasti di atas batu cadas terdapat tulisan yang indah yang berbunyi:

“ ......janganlah kita menghormat agama sendiri dengan mencela agama
lain tanpa suatu dasar yang kuat

Sebaliknya, agama orang lain pun hendaknya dihormati atas dasar-dasar tertentu. Dengan berbuat demikian, kita telah membantu agama kita sendiri untuk berkembang, di samping pula menguntungkan agama lain.

Dengan berbuat sebaliknya, maka kita akan merugikan agama kita sendiri di samping merugikan agama lain. Oleh karena itu, barang siapa menghormat agamanya sendiri dengan mencela agama orang lain semata-mata karena dorongan rasa bakti kepada agamanya sendiri dengan berpikir, `bagaimana aku dapat memuliakan agamaku sendiri', malah akan merugikan agamanya sendiri.

Oleh karena itu, kerukunanlah yang dianjurkan, dengan pengertian bahwa semua orang hendaknya juga bersedia mendengarkan ajaran yang dianut oleh orang lain ... ."

Kata-kata yang sangat indah, betapa damainya kehidupan ini jika hal ini dilakukan oleh setiap orang yang beragama. Tidak ada lagi tindakan-tindakan kekerasan, tindakan anarkis yang membawa kecemasan dan ketakutan.

Cinta, damai, dan sejahtera bukan milik kelompok tertentu tetapi milik semua orang, oleh karena itu, kita harus menjaganya dengan baik, realisasikan agama dalam kehidupan kita, baik di lingkungan keluarga, organisasi, dan masyarakat. Agama adalah perekat kemanusiaan, karena dalam agama terkandung nilai-nilai kemanusiaan.

Persoalan setiap orang sebenarnya sama walaupun berbeda agama sekalipun. Persoalannya adalah tiga akar kejahatan yang bersarang dalam diri kita. Keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin adalah akar kejahatan yang menghinggapi kita dan jika dibiarkan akan menjadi bibit penyakit yang nantinya menimbulkan penyakit mental.

Penyakit mental inilah yang bisa menyebabkan terjadinya tindakan yang anarkis dalam menghadapi kondisi kehidupan ini. Dalam diri kita akan muncul perasaan tidak senang dengan pihak lain yang tidak sependapat. Terjadinya pembelaan terhadap agamanya sendiri dan mengesampingkan agama lain karena tidak adanya realisasi agama dalam kehidupan sehari-hari.

Sang Buddha bersabda,

"Walaupun ia banyak membaca kitab-kitab suci tetapi tidak berbuat sesuai ajaran; maka orang yang tidak peduli ini bagaikan seorang penggembala sapi yang menghitung sapi orang lain; ia tidak akan memperoleh manfaat kehidupan suci".
(Dhammapada I.19)

Dari sabda Sang Buddha tersebut dengan jelas diterangkan akan perlunya realisasi Dhamma dalam kehidupan kita sehari-hari. Bentuk realisasi dalam kehidupan ini salah satunya adalah mengembangkan cinta, kedamaian, dan kesejahteraan di manapun kita berada. Dengan adanya aspek positif ini kita bisa hidup berdampingan dengan orang lain atau kelompok lain walaupun banyak perbedaan dan yang berkembang adalah suasana keharmonisan dalam kehidupan.

Pola beragama kita masih cenderung sepotong-sepotong dan tidak utuh. Sehingga tampilan perilaku umat beragama terkesan hanya menonjolkan aspek tertentu dan mengabaikan aspek yang lain. Hakekat agama tidak hanya diamalkan secara ritual formal, yang lebih penting adalah penerapan agama dalam kehidupan sehari-hari.

Bentuk-bentuk perilaku yang tidak santun (anarkisme) di kalangan pemeluk agama ternyata disebabkan oleh pengamalan agama (keberagamaan) yang hanya sebatas aspek ritual formal keagamaan. Tidak heran jika ada orang yang mengaku beragama tetapi tindakannya tidak mencerminkan orang yang beragama.

Mengatasi Kemerosotan Beragama

Jika pada masa lalu hubungan antara identitas agama dan budaya sedemikian menyatu di bawah kepemimpinan figur karismatis, kini wilayah budaya di luar agama berkembang melesat dan menghasilkan jaringan peradaban yang menyeluruh sehingga posisi agama merupakan salah satu variabel saja. Menghadapi kenyataan ini, sikap umat beragama beraneka-ragam.

Sikap yang beraneka-ragam ini dikarenakan pemahaman terhadap agama itu sendiri berbeda. Tentunya di samping kualitas manusianya yang berbeda juga karena masing-masing orang mempunyai motivasi yang tidak sama. Hal ini dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Kemajuan jaman yang tidak diimbangi dengan sumber daya manusia, baik mental maupun spiritual akan membahayakan kehidupan ini. Ambisi inilah yang mewarnai kehidupan dewasa ini. Orang berlomba-lomba mendapatkan materi, jabatan, kedudukan, dan warna-warna duniawi lainnya.

Bukan berarti agama mengajak kita semua untuk tidak maju dalam duniawi, hanya saja kita harus menggunakan cara-cara yang baik untuk mendapatkan semua itu. Yang lebih tragis lagi terkadang agama dijadikan alat untuk memuaskan ambisi.

Marilah kita kembali kepada agama dan benar-benar memahami agama itu dengan baik. Apa yang akan kita dapatkan jika kita memahami agama dan merealisasikan dalam kehidupan kita? Tentu ukurannya bukanlah duniawi, seperti: materi, jabatan, dan kedudukan tetapi perubahan pola pikir, pola ucap, dan pola tingkah laku jasmani. Tentunya perubahan yang diharapkan adalah mengarah kepada peningkatan kualitas batin.

Namun, ada hal yang patut dipertanyakan, kalau memang agama tumpuan harapan yang baik bagi kehidupan, kenapa mental mereka yang beragama melakukan tindakan penyimpangan? Tindakan korupsi, kolusi, kekerasan dan gerakan aksi teroris yang menggegerkan dunia internasional. Kondisi seperti inilah yang membuat kesan citra agama menjadi jatuh. Mitos agama sebagai pusat peradaban dan misi keselamatan telah redup, diganti mitos baru “agama adalah problem dan sumber kerusuhan”.

Sebenarnya kalau kita kaji lebih lanjut agama mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan ini, hanya saja karena manusianya yang tidak memahami secara benar maka terkadang tindakan-tindakannya menyimpang. Realisasikan agama dalam kehidupan, baik di tengah-tengah keluarga, organisasi, tempat kerja, masyarakat, dan lingkungan pergaulan lainnya.

Hidupkan suasana persahabatan, persaudaraan, dan kekeluargaan (wujud dari cinta kasih). Sikap seperti ini tidak akan menghasilkan warna kekerasan dalam menghadapi problema hidup. Setiap orang tidak ingin hidupnya disakiti, dianiaya, dan ditelantarkan demikian pula sebaliknya dengan kita. Oleh karena itu, jangan membuat orang lain celaka dan menyebabkan orang lain celaka.

Damai dan sejahtera akan berkembang dengan sikap cinta kasih. Ada hal yang patut direnungkan yang tertuang dalam Theragâthâ 979,

“Kembangkanlah pikiran yang penuh cinta kasih;
bersikaplah welas asih dan terlatih di dalam sila.
Bangkitkan semangatmu,
bersikaplah teguh,
senantiasa mantap dalam membuat kemajuan.”

Suasana kehidupan yang penuh cinta kasih, damai, dan sejahtera adalah dambaan setiap orang. Ini sesuai misi Dhamma yang disampaikan kepada para Arahat sewaktu Sang Buddha mengutus mereka untuk menyebarkan Dhamma. Sang Buddha berkata, “Ajarkanlah Dhamma ini untuk kebahagiaan dan kesejahteraan semua makhluk.” Jadi tujuan Dhamma adalah membawa semua makhluk keluar dari penderitaan menuju kebahagiaan.

Kemerosotan beragama terjadi karena banyak orang yang tidak kembali kepada tujuan sebenarnya dari agama itu sendiri. Kepentingan di luar agama dicampur-adukan untuk memenuhi ambisi pribadi maupun kelompoknya. Untuk mengembalikan ke tujuan awal, maka motivasi beragama harus diluruskan kembali.

Kemerosotan dapat diketahui dengan pasti ketika kondisi suatu masyarakat mengalami penurunan kualitas moral dan tentunya hal ini terjadi karena mereka tidak lagi mencintai kebenaran. Mereka yang mencintai kebenaranlah yang akan memperoleh cinta, kedamaian, dan kesejahteraan. Untuk dapat mencintai kebenaran diperlukan pemahaman agama secara benar dan juga diperlukan motivasi yang benar.

Motivasi yang benar dalam beragama setidak-tidaknya akan mendorong diri kita untuk memahami agama secara benar dan utuh, yang terpenting adalah menindaklanjutinya dalam kehidupan sehari-hari. Jika setiap orang mempunyai motivasi seperti ini, maka kehidupan yang damai dan sejahtera akan terwujud. Tindakan amoral dan anarkis tidak akan terjadi lagi dan keharmonisanlah yang akan berkembang.

Agama Buddha Tanpa Kejahatan

Agama Buddha mengajak kita untuk menjadi orang yang mempunyai kualitas batin yang baik yang nantinya akan tercermin dalam kehidupan nyata. Sikap yang membawa berkah cinta, kedamaian, dan kesejahteraan. Kita selalu dianjurkan untuk berbuat baik kepada semua makhluk. Tidak dianjurkan untuk melakukan tindakan yang merugikan orang lain. Perbedaan adalah yang wajar dalam kehidupan ini, tetapi soal cita-cita untuk dicintai, hidup damai, dan sejahtera adalah harapan semua orang bahkan semua makhluk. Kalau sudah tahu semua makhluk mendambakan cinta, kedamaian, dan kesejahteraan, janganlah sampai kita menyakiti yang lain.

Sebagai contoh yang nyata adalah kepribadian Sang Buddha sendiri. Kebaikan Beliau yang tak terbatas, tidak hanya ditujukan kepada semua manusia, tetapi juga pada binatang-binatang. Sang Buddha-lah yang melarang pengorbanan binatang dan mengingatkan pada pengiku-tNya untuk memancarkan cinta kasih (mettâ) mereka pada semua makhluk tanpa kecuali. Beliau mengajarkan bahwa tidak seorangpun mempunyai hak untuk menghancurkan kehidupan lainnya; karena hidup itu berharga bagi semua orang.

Hendaknya kita mengembangkan cinta kasih kita tanpa membeda-bedakan. Dengan adanya getaran cinta kasih ini akan muncul suasana persahabatan, persaudaraan, kekeluargaan, dan keharmonisan. Hal-hal seperti inilah yang akan mewujudkan kehidupan ini menjadi aman, damai, dan sejahtera. Tidak ada permusuhan, peperangan, tindakan anarkis, dan bentuk-bentuk kekerasan yang lainnya.

Kalau kita lihat sejarah penyebaran agama Buddha, dari awal sampai saat sekarang ini tidak pernah ada cerita sampai ada darah yang menetes. Agama Buddha menyebar ke segala penjuru dengan membawa cinta, kedamaian, kesejahteraan, dan kebahagiaan, hal ini tentunya sesuai dengan Dhamma yang diajarkan oeh Sang Buddha. Dhamma mengajak kita untuk tidak menyakiti atau membuat celaka orang lain dan bahkan semua makhluk karena hal ini tidak patut dilakukan. Seperti halnya sabda Sang Buddha dalam Sutta Nipâta 705 dapat dijadikan bahan renungan;

“Begini aku, begitu pula orang lain; begini orang lain, begitu pula aku. Setelah memiliki penyamaan diri sendiri dengan orang lain seperti itu, hendaklah ia tidak mencelakai siapapun atau menyebabkan orang lain celaka.”

Asoka, raja terbesar yang beragama Buddha, menulis di atas karang monolit, “Makhluk hidup tidak harus diberi makanan dengan makhluk hidup. Bahkan sekam yang berisi serangga tidak boleh dibakar.” Raja Asoka bukan hanya menulis tetapi juga menindaklanjuti apa yang ditulis. Pada jaman Raja Asoka tindakan anti kekerasan betul-betul digalakkan bukan hanya kepada manusia tetapi juga pada binatang. Dhamma benar-benar merasuk di dalam batin sang raja, hal ini dapat dilihat dari pola pikir beliau dan juga tindakan-tindakannya.

Seorang umat Buddha sejati harus mempraktikkan mettâ ini terhadap semua makhuk hidup dan merasakan kesamaan dengan semuanya, tidak mempunyai perbedaan apapun. Inilah mettâ umat Buddha, salah satu sifat yang sangat menonjol dari agama Buddha yang mencoba untuk mengatasi semua rintangan 'varna atau kasta', warna kulit dan kepercayaan yang memisahkan seseorang dengan yang lainnya. Jika penganut dari kepercayaan-kepercayaan yang berbeda tidak bisa bergaul seperti saudara laki-laki dan saudara perempuan, karena mereka penganut agama yang berbeda, maka para guru agama telah gagal dalam tugas mulia mereka.

Di dalam Maklumat Toleransi Raja Asoka mengatakan, “Kumpulan orang adalah paling baik, maka semua orang diharuskan mendengarkan dengan kemauan sendiri ajaran yang dinyatakan oleh orang-orang lain”. Dalam hal ini, perbedaan adalah sesuatu yang alami dan wajar, oleh karena itu kita harus memahami perbedaan itu dan kita juga seharusnya menyadari bahwa setiap orang juga mendambakan cinta, damai, dan hidup sejahtera.

Ajaran agama Buddha tidak terbatas pada hubungan bangsa atau negara tertentu dan pertimbangannya bersifat universal. Bagi umat Buddha tidak ada jauh atau dekat, tidak ada musuh atau orang asing, tidak ada pengkhianat atau orang hina-dina, karena cinta universal disadari melalui pengertian telah membentuk persaudaraan bagi semua makhluk.

Beberapa sifat penting dalam agama Buddha adalah rasionalitas, kepraktisan, kemanjuran sikap tidak agresif, tidak menyakiti, toleransi dan berlaku universal. Agama Buddha adalah yang paling mulia dari semua pengaruh yang mempersatukan dan meningkatkan pikiran yang telah beroperasi lebih dari dua ribu lima ratus tahun.

Bangsa-bangsa telah timbul tenggelam. Kerajaan-kerajaan yang telah berdiri di atas tenaga dan kekuatan telah timbul dengan subur dan mengalami kehancuran. Sebaliknya Dhamma berdiri di atas cinta dan akal sehat, masih tumbuh subur dan akan terus tumbuh dengan subur selama pengikut-pengikutnya berpegang pada dasar-dasar yang mulia.

Dhamma, sumber kedamaian bagi siapa saja, namun untuk mendapatkannya kita harus berusaha dengan sekuat tenaga dan disertai pengorbanan yang tinggi. Dhamma yang terealisasi dengan baik akan membawa kita kepada kehidupan yang penuh dengan cinta, damai, dan sejahtera.


Referensi :
-    Sang Buddha dan Ajaran-Nya, Ven. Narada Mahâthera
-       Dhammasari, MP. Sumedha Widyadharma
-       Permata Dhamma Yang Indah, Ven. S Dhammika.



Jalan Yang Terlupakan


JALAN YANG TERLUPAKAN


Sampai zaman modern ini, ajaran Buddha masih bertahan dan bahkan telah menjadi sebuah daya tarik di Barat. Daya tarik tersebut dikarenakan di dalam Buddhisme, tidak mengenal adanya suatu pencipta yang mengendalikan dan menentukan kehidupan manusia beserta alam. Selain hal tersebut, daya tarik yang khas dalam ajaran Buddha adalah tidak adanya dogma[1]. Agama lain umumnya mengharuskan penganutnya untuk percaya penuh dan meyakini ajaran agamanya tanpa boleh membantah dan mempertanyakannya, apalagi ketika menyangkut masalah Tuhan. Sebaliknya di dalam ajaran Buddha, Sang Buddha sendiri malah menasihati muridnya untuk tidak menerima mentah-mentah suatu doktrin atau ajaran agama namun juga jangan langsung menolak mentah-mentah. Buddha Gautama menganjurkan penyelidikan, analisa dan praktik secara langsung terhadap suatu doktrin agama.

Sebuah Jalan yang Terlupakan
Sebagai umat Buddha, ketika ditanya apa tujuan hidup manusia, beragam jawaban akan bermunculan. Jawaban-jawaban tersebut biasanya adalah kebahagiaan nibbana (nirwana) , bebas dari kelahiran-kembali, dan sebagainya. Jawaban tersebut memang benar walaupun dengan bahasa yang berbeda atau penjelasan yang berbeda, bahwa tujuan kehidupan manusia adalah kebahagiaan atau kedamaian sejati. Namun, ketika lebih lanjut ditanya, bagaimana atau apa yang harus dilakukan untuk mencapai pencerahan atau kedamaian sejati tersebut (nibbana)? Banyak yang akan menjawab meditasi, dengan sebagian besar menyebut meditasi vipassana. Hal tersebut adalah kesalahan besar jika ajaran Buddha tidak dipahami lebih lanjut.

Tak dapat disangkal meditasi telah menjadi sebuah tren di Barat dan umat Buddha di Asia juga sebagian mulai membangkitkan meditasi khas buddhis, seperti meditasi vipassana, meditasi samadhi Tibetan, meditasi kekosongan Zen, dsb. Bahkan cendekiawan Barat mengembangkan penyembuhan dan terapi meditasi. Simbol-simbol Buddha semakin mudah ditemukan dan mulai menjadi bagian hidup masyarakat Barat.

Seperti yang telah disebutkan, banyak umat Buddha menjadi berpandangan salah ketika menganggap meditasi sebagai jalan menuju pencerahan atau sebagai sebuah cara untuk terbebas dari kelahiran kembali. Kepopuleran meditasi telah menutup sebuah ajaran Buddha yang paling indah yang dikatakan oleh Sang Buddha sendiri sebagai satu-satunya jalan menuju pencerahan, kebahagiaan/kedamaian sejati dan kebebasan dari kelahiran kembali. Apakah itu? Itulah sebuah jalan tengah, yaitu Jalan Mulia Berunsur Delapan.

Meditasi adalah salah satu bagian dari Jalan Mulia Berunsur Delapan, yaitu bagian Konsentrasi Benar. Secara lengkap Jalan Mulia Berunsur Delapan terdiri dari:

1. Pandangan Benar,
2. Pikiran Benar,
3. Ucapan Benar,
4. Perbuatan Benar,
5. Penghidupan Benar,
6. Upaya Benar,
7. Perhatian/perenungan Benar,
8. Konsentrasi Benar.

Jadi Sang Buddha menjelaskan bahwa hanyalah Jalan Mulia Berunsur Delapan atau sesuatu yang selaras dengan jalan tersebut yang akan membawa manusia mencapai kedamaian sejati (nirwana). Bukti tersebut dapat ditemukan didalam Sutta Pitaka, seperti di dalam Majjhima Nikaya (MN) 44.9, Samyutta Nikaya (SN) V:9, SN V:17, SN V:28, SN V:10, SN V:28, Anguttara Nikaya (AN) V:215, dan SN III:106. Berkali-kali Sang Buddha mengatakan dan mengulang bahwa Beliau hanya mengajarkan tentang Empat Kebenaran Mulia dan Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagai cara untuk mengakhiri dukkha (penderitaan karena ketidakpuasan).

Seharusnya kita menjadi lebih sadar bahwa meditasi bukanlah jalan menuju kebahagiaan sejati. Lebih tepat kita mengatakan bahwa meditasi hanyalah bagian kecil dari sebuah jalan yang seharusnya dilaksanakan oleh umat Buddha. Dengan meditasi sepuluh hari, meditasi tiga hari, tidak berarti membuat kita menjadi lebih baik atau suci karena meditasi hanya sebuah cara untuk melatih pikiran. Selain itu diperlukan perenungan/perhatian dan sebuah usaha yang keras untuk melatih pikiran dan mengendalikan setiap tindakan kita. Perlu diketahui bahwa Jalan Mulia Berunsur Delapan bukanlah Jalan yang terdiri dari 8 bagian terpisah, justru sebaliknya Jalan Mulia Berunsur Delapan adalah sebuah jalan tunggal yang terdiri dari delapan bagian tidak terpisah dan saling melengkapi dan menguatkan.

Jalan Harapan
Peradaban manusia semakin modern dan tentu saja ajaran Buddha bisa menyesuaikan dengan kondisi tersebut. Namun, bagi umat Buddha kehidupan modern seharusnya diselaraskan dengan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Jalan Tengah ini adalah sebuah jalan yang ditawarkan oleh Buddha yang ia harapkan dapat dimanfaatkan sebagai rakit di dalam kehidupan manusia dalam menyeberangi arus penderitaan.

Moralitas manusia merupakan salah satu poin penting dalam hubungan manusia. Di dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan, moralitas (sila) adalah bagian yang penting dan menjadi tolak ukur keberhasilan sebuah peradaban manusia. Garis-garis etis yang ditawarkan Buddha tersebut dapat dirangkum menjadi komunikasi (ucapan) benar, tingkah laku, perbuatan dan tindakan serta penghidupan yang benar sejalan dengan Lima Aturan Moralitas (panca-sila) dan hukum negara. Meditasi, perenungan dan sebuah upaya dan usaha di dalam diri akan membangkitkan pemikiran yang bersih dan dengan dorongan pandangan benar, tingkah laku manusia terbentuk dan terwujud dalam ucapan dan perbuatan yang baik dan benar.

Tak dapat ditawar lagi bahwa setiap umat Buddha selayaknya membiasakan melatih diri sejalan dengan Jalan Mulia ini. Masa depan peradaban manusia terletak ditangan manusia itu sendiri. Jikalau ingin masa depan manusia terus bertahan, Jalan Mulia Berunsur Delapan ini jangan dilupakan. Walaupun dengan bahasa yang berbeda, asalkan Jalan ini dilaksanakan oleh manusia dimanapun ia berada niscaya kehidupan manusia akan diwarnai keindahan dan ketenangan. Inilah jalan harapan kita semua dalam menggapai peradaban manusia menjadi lebih beradab pada saat ini maupun di masa mendatang bagi generasi selanjutnya.


Jumat, April 27, 2012

Chatting Tentang Buah Mangga


CHATTING TENTANG BUAH MANGGA
( 7 okt 2011)

Oleh : Tanhadi

Disela-sela chatting BBM, si A mengirimkan foto Segerombol buah mangga yang tergantung dipohon mangga gadung miliknya sendiri dengan menulis komentar : " Buah mangga-ku sudah mulai besar-besar nih..."

Si B : " Waowww....kalau sudah banyak dan sudah matang mau dong..nyam..nyam...nyam... "

Si A : " Pasti ..pasti aku kasih..., mungkin sekitar 3 Minggu lagi sudah masak di pohon, sabar ya..."

B : " Mmmm...., Paksain aja pohonnya , supaya buahnya cepet masak ,gak bisa ya...? hehehe...."

A : " Jangan.., kasihan dong pohonnya, biarkan dia berproses secara alami, pasti rasanya nanti lebih mantap, mak nyusss...."

B : " Hahaha...lagian emang ada gitu caranya supaya pohon bisa menurut kalau disuruh mematangkan buahnya sebelum waktunya? "

A : " Pohonnya gak bisa disuruh menuruti kemauan kita dong, biasanya orang-orang yang suka memaksakan, buahnya belum matang sudah dipetik dan dikarbit, tapi rasanya ya pasti beda dengan masak di pohon..."


Renungan :

Dari Dialog tentang buah mangga tersebut, sekilas obrolan dan gurauan mereka tampak biasa-biasa saja seperti pada umumnya obrolan yang terjadi diantara sesama teman, namun jika kita maknai lebih dalam lagi, sesungguhnya ada pesan yang tersirat didalamnya, bahwa Segala sesuatu dalam kehidupan ini memiliki aturan-aturan alam yang tidak tertulis seperti halnya hubungan antara 'waktu' dan segala sesuatu yang ada di alam semesta ini.

Sikap terburu-buru, tidak sabar dan ingin cepat menuai hasil terhadap apa yang baru ditanamnya (instant) akan membuat seseorang diliputi oleh perasaan-perasaan yang tidak nyaman, gelisah, cemas , khawatir , ketakutan , dan semuanya itu hanya akan menimbulkan kekecewaan, kemarahan dan penderitaan bagi dirinya sendiri.

Sabar dan bijaksanalah dalam memandang segala sesuatu sebagaimana adanya, sebab semua ada saatnya, ada saatnya kita menabur biji-biji benih kebajikan, ada saatnya kita merawat dan menjaga kelangsungan pertumbuhannya, dan ada saatnya pula kita akan memetik hasilnya. 

Demikian pula kebahagiaan, tidak akan pernah didapatkan oleh orang yang memiliki sifat tidak sabar dan tidak bijaksana dalam memandang segala sesuatu sebagaimana adanya.


Kamis, April 26, 2012

Kematian Anathapindika


KEMATIAN ANĀTHAPINDIKA

Kematian si penyokong besar disinggung dalam Anathapindikovada sutta, Nasihat kepada Anāthapindika (MN 143). Si perumahtangga jatuh sakit untuk ketiga kalinya dan kali ini dengan rasa sakit amat sangat yang terus memburuk dan tidak berkurang. Sekali lagi ia memohon bantuan Y.M. Ananda dan Y.M.Sariputta.

Ketika Y.M. Sariputta melihatnya, ia tahu bahwa Anāthapindika sudah mendekati ajalnya dan memberi instruksi berikut:

“Jangan melekat, perumahtangga, pada enam indera dan jangan lekatkan pikiranmu padanya.

Jangan melekat pada enam objek indera dan jangan lekatkan pikiranmu padanya.

Jangan melekat pada enam jenis kesadaran, enam kontak indera, enam perasaan, enam elemen, lima unsur, empat alam tanpa bentuk.

Jangan melekat pada apa yang terlihat, terdengar, terasa, terpikir, terpersepsi, dan terselidiki di dalam pikiran, dan jangan lekatkan pikiranmu padanya.”

Anāthapindika pasti mengikuti penjelasan ini dalam hati, sehingga sembari mendengarkan ia juga berlatih sesuai cara yang diinstruksikan Y.M. Sariputta yang bijaksana dan suci. Pada akhir instruksi ini, air mata bercucuran dari mata Anāthapindika.

Y.M.Ananda mendekatinya dengan kasih-sayang dan bertanya apakah ia sedang sedih. Namun Anāthapindika menjawab:

“Aku tidak bersedih. O Ananda yang mulia. Aku telah lama melayani Sang Guru dan para bhikkhu yang sempurna dalam pencapaian spiritual, namun belum pernah kudengar kotbah yang begitu mendalam.”

Kemudian Bhante Sariputta berkata:
“Kotbah yang mendalam ini, perumahtangga, tidak akan cukup jelas bagi perumahtangga bepakaian putih; kotbah ini cukup jelas bagi yang telah melepas duniawi.”

Anāthapindika menjawab:
“Y.M. Sariputta, biarlah perbincangan Dhamma semacam ini juga diberikan kepada umat awam berpakaian putih. Ada orang dengan sedikit debu di matanya. Bila mereka tidak mendengar ajaran demikian mereka akan tersesat. Beberapa orang mungkin mampu memahaminya.”

Perbedaan dengan ajaran Sang Buddha yang sebelumnya cukup signifikan. Di sini kita prihatin dengan pertanyaan tertinggi, dengan pembebasan tertinggi, tidak hanya pada landasan teori namun juga sebagai praktek. Sebagai seorang murid yang memiliki buah pemasuk-arus, Anāthapindika menyadari sifat kesementaraan lima unsur kemelekatan, dan ia sendiri telah bicara perihal tiga karakteristik keberadaan: ketidakkekalan, penderitaan, dan tanpa inti.

Namun ada perbedaan besar antara hanya mendengar dan merenungkannya, atau benar-benar melatih dan menggunakannya terhadap diri sendiri. Dalam pembedaan ini terdapat inti perbedaan antara metode yang digunakan Sang Buddha untuk mengajar perumahtangga dan metode untuk mengajar para bhikkhu.

Bagi umat awam, pandangan-terang mengenai sifat keberadaan dijelaskan sebagai pengetahuan, dan ajaran ini juga yang pada awalnya diberikan kepada para bhikkhu. Namun bagi para bhikkhu yang sudah lebih maju, Sang Buddha memperkenalkan latihan yang membawa pada kebebasan total bahkan dalam kehidupan sekarang.

Hanya bila seseorang melihat bahwa pembabaran Y.M. Sariputta adalah pendekatan selangkah demi selangkah menuju Nibbana barulah ia dapat mengerti bahwa Anāthapindika belum pernah mendengarkan inti Ajaran yang dijelaskan dengan cara demikian. Pada saat-saat terakhirnya, ia telah jauh dari kekhawatiran duniawi dan, ketika memikirkan Dhamma, ia melepaskan kemelekatan pada barang-barang duniawi, juga tubuhnya; sehingga ia menemukan dirinya dalam situasi yang sebanding dengan bhikkhu yang paling maju. Dalam kondisi seperti itu barulah Y.M. Sariputta bisa memberinya instruksi demikian karena akan memberikan efek terbesar.

Setelah menasihati Anāthapindika dengan cara demikian, kedua tetua itu pun pergi. Tidak lama kemudian si perumahtangga Anāthapindika meninggal dan terlahir di surga Tusita, dimana putri termudanya telah mendahuluinya.

Namun begitu besar pengabdiannya kepada Sang Buddha dan Sangha, sehingga ia muncul di vihara Jetavana sebagai dewa muda, yang memenuhi seluruh daerah itu dengan cahaya surgawi. Ia menemui Sang Buddha, dan setelah menghormat beliau, berkata dalam syair berikut:
“Ini memanglah Hutan Jeta,
Peristirahatan Sangha,
Didiami oleh Sang Raja Dhamma,
Tempat yang mendatangkan kegembiraan bagiku.

Melalui tindakan dan pengetahuan dan kebenaran,
Melalui kemoralan dan hidup yang sempurna:
Melalui ini para makhluk termurnikan;
Bukan melalui keturunan atau kekayaan.

Oleh karena itu orang yang bijaksana,
Demi kebaikannya sendiri,
Harus menyelidiki Dhamma dengan seksama:
Dengan demikian ia termurnikan di dalam.

Sariputta sunguh-sungguh diberkahi dengan kebijaksanaan,
Dengan kemoralan dan kedamaian batin.

Bahkan seorang bhikkhu yang telah pergi menyeberang
Paling banyak hanya sebanding dengannya.”

Setelah berkata demikian, dewa itu menghormat Sang Bhagavā dan, dengan menjaga beliau tetap di sebelah kanannya, menghilang di sana.

Keesokan harinya Sang Buddha memberitahu para bhikkhu mengenai apa yang telah terjadi. Saat itu juga Y.M. Ananda berkata:

“Bhante, dewa muda itu pastilah Anāthapindika. Karena Anāthapindika si perumahtangga memiliki kepercayaan penuh terhadap Y.M. Sariputta.”

Dan Sang Buddha membenarkannya:
“Bagus, bagus, Ananda! Engkau telah menarik kesimpulan yang benar melalui akal sehat. Karena dewa muda itu dulunya memang Anāthapindika”


(SN 2:20; MN 143).


Memahami Batin


MEMAHAMI BATIN

Dalam praktik meditasi, kita berlatih untuk mengembangkan penyadaran murni sehingga kita akan senantiasa sadar. Berlatih dengan energi dan kesabaran, batin bisa menjadi teguh. Kemudian, fenomena indra apapun yang kita alami, baik menyenangkan ataupun tak menyenangkan, dan apa fenomena batin pun seperti reaksi kegembiraan dan kekecewaan, kita akan misa melihatnya dengan jernih. Fenomena adalah satu hal, dan batin adalah hal lainnya. Mereka adalah hal yang terpisah.

Ketika sesuatu berkontak dengan batin dan kita menjadi senang karenanya, kita ingin mengejarnya. Ketika sesuatu tidak menyenangkan, kita ingin lari darinya. Ini bukanlah melihat batin, melainkan mengejar-ngejar fenomena. Fenomena adalah fenomena, batin adalah batin. Kita harus memisahkan mereka dan mengenali apa batin itu dan apa fenomena itu. Barulah kita bisa tenteram.

Ketika seseorang berbicara kasar kepada kita dan kita marah, itu berarti kita terkelabui oleh fenomena dan mengejar mereka, batin tertangkap oleh obyeknya dan mengikuti suasana hatinya. Tolong pahami semua hal yang kita pahami di luar dan di dalam batin ini hanyalah tipuan. Mereka tidaklah pasti atau nyata, dan ketika kita mengejar mereka, kita kehilangan jalan kita. Buddha ingin kita bermeditasi dan meliha kesejatian mereka, kesejatian dunia. Dunia adalah fenomena enam inda; fenomena adalah dunia.

Jika kita tidak memahami Dhamma, jika kita tidak mengetahui batin, dan tidak mengetahui fenomena, maka batin dan obyek-obyeknya menjadi tercampur aduk. Kemudian kita mengalamai derita dan merasa batin kita menderita. Kita merasa batin kita berkelana, tak terkendali mengalami berbagai kondisi tidak bahagia, berubah menjadi berbagai keadaan. 

Sebenarnya bukan itulah yang terjadi : Tidak ada banyak batin, melainkan banyak fenomena. 

Namun jika kita tidak sadar akan kita sendiri, kita tidak tahu batin kita, sehingga kita mengikuti hal-hal ini. Orang bilang, "Batinku sedih", "Batinku tidak bahagia", " Batinku kacau balau." Tapi sebenarnya tidak demikian. Batin bukanlah apa-apa; namun kotoran batinlah yang begitu. 

Orang-orang pikir batin mereka tak nyaman atau tak bahagia, namun sesungguhnya batin adalah hal yang paling nyaman dan bahagia. Ketika kita mengalami berbagai keadaan yang tidak memuaskan , itu bukanlah batin.

Catat ini : ketika nanti Anda sedang mengalami hal-hal ini, ingat “ Ajahn Chah bilang,’ Ini bukanlah batin.’”

Kita berlatih untuk menjangkau batin-batin yang “tua”. Batin orisinil ini tak terkondisi. Di dalamnya tiada baik atau buruk, panjang atau pendek, hitam atau putih. Namun kita tidak puas menetap dengan batin ini, karena kita tidak melihat dan memahami segala sesuatu dengan jernih.

Dhamma berada diluar kebiasaan batin yang biasa. Sebelum kita berlatih dengan baik, kita mungkin mengelirukan yang salah sebagai benar dan yang benar sebagai salah. Jadi, adalah penting untuk mendengarkan ajaran untuk mendapatkan pemahaman Dhamma dan mampu mengenali Dhamma dalam batin kita sendiri. Kebodohan ada di dalam batin. Kecerdasan ada dalam batin. Kegelapan dan khayalan berada dalam batin. Pengetahuan dan Pencerahan berada dalam batin.

Ini seperti piring kotor, atau lantai kotor, di rumah Anda yang dinodai dengan lemak dan kotoran. Dengan sabun dan air untuk mencucinya, Anda bisa menyingkirkan kotorannya. Ketika kotoran lenyap, Anda mendapatkan piring atau lantai yang bersih. Disini, yang ternodai adalah batin. Ketika kita berlatih dengan benar, hal yang bersih ditemukan, seperti halnya lantai kotor yang dibuat bersih. Ketika kotoran disikat habis, maka kondisi bersihpun muncul. Hanya kotoranlah yang menutupinya.

Batin dalam keadaan alaminya, batin sejati, adalah sesuatu yagn stabil dan tak ternoda. Batin terang dan bersih. Batin menjadi terselimuti dan terkotori karena batin bertemu dengan obyek-obyek indra dan menjadi terpengaruh oleh obyek-obyek tersebut lewat suka dan tidak suka. Ini bukan berarti batin secara alaminya ternoda, namun batin hanya belum mantap dalam Dhamma, sehingga fenomena bisa mencemarinya.

Sifat batin orisinil tidaklah tergoyahkan. Batin orisinil itu hening. Kita tidak hening karena kita bergejolak oleh obyek-obyek indra, dan kita berakhir sebagai budak keadaan batin yang berubah-ubah. Jadi, praktik sesungguhnya berarti mencari jalan pulang ke batin orisinil kita, batin yang “tua”.

Praktik menemukan rumah lama kita, batin orisinil yang tak goyah dan tak berubah mengikuti berbagai fenomena. Batin orisinil bersifat damai sempurna; itu adalah sesuatu yang sudah di dalam kita.


Buku : Ini Pun Akan Berlalu – Ajahn Chah


Apakah Manfaat Dari Tangisan ?


APAKAH MANFAAT DARI TANGISAN ?

Seperti halnya kekhawatiran, ratap tangis tidak bermanfaat samasekali. Adalah hal yang alamiah jika seseorang menangis kehilangan mendadak sanaksaudara atau orang yang dicintai, itu tidak perlu disalahkan. Bahkan bhikkhu Ananda juga menangis ketika Buddha Parinibbana. Namun sekarang ini banyak orang yang menangis dan menunjukkan kesedihan berlebihan untuk menarik iba orang lain. Ketika mendengar kemurungan, kesedihan, dan tangisan, seseorang juga menjadi sedih dan pudarlah semua kebahagiaan.

Jadi, melihat dampak kesedihan dan derai tangis orang lain, seseorang tidak perlu ikut-ikutan merasa sedih. Derai air mata menunjukkan bahwa seseorang kurang mampu mengendalikan diri. Meskipun jika seseorang harus menangis karena kesedihan, dia seharusnya melatih pengendalian diri dan mencoba cepat-cepat menghapus air matanya. Seseorang dapat menundukkan ratap tangis dengan mengambil teladan dari orang-orang suci yang telah menjauhkan diri dari berbagai dukacita karena kehilangan. Kita bisa mendapatkan penghiburan dengan cara merenungkan samvega, yaitu suatu desakan letih terhadap penderitaan yang dihadapinya.


Sumber buku : Abhidhamma sehari-hari- Ashin Janakabhivamsa


Cetana adalah Kamma


CETANA ADALAH KAMMA

Misalnya saja, seseorang diserang dan dibunuh secara kejam oleh sekelompok orang. Dalam perbuatan keji ini, hantaman dan pukulan sebagian besar penyerangnya tidaklah begitu efektif, tetapi hanya seorang diantara para penyerang itu, terdorong oleh keinginan kuat, dengan kejam melancarkan serangan demi serangan dan menyebabkan kematian korban. Jadi hanya satu orang ini saja yang menjadi sebab utaman tewasnya korban.

Demikian pula, ketika citta dan cetasika secara bersama melakukan perbuatan baik seperti derma (dana) atau melakukan perbuatan jahat seperti membunuh (panatipata), cetana diantara citta dan cetasika itulah yang paling kuat dan giat melakukan perbuatan tersebut. Oleh karena itu, hanya kekuatan cetana yang tertinggal dalam kesinambungan batin setiap makhluk.

Jadi, ketika kita mencoba menemukan siapa yang benar-benar bertanggung jawab atas setiap perbuatan, jawabannya adalah cetana.

Oleh karena itu, ketika menyatakan bahwa cetana yang bertanggung jawab, Buddha berkata : “Cetanaham bhikkhave kammam vadami“ (Bhikkhu, cetana inilah yang Kunyatakan sebagai kamma).

Berdasarkan pernyataan tersebut, perlu dicatat bahwa ketika cetana sangat kuat, kamma juga kuat; ketika cetana lemah, kamma juga lemah.



Sumber buku : Abhidhamma sehari-hari – Ashin Janakabhivamsa