BAKAR KERTAS
APAKAH BERMANFAAT ?
Oleh : UP. Sudharma SL.
Sering timbul salah
pengertian di kalangan masyarakat yang non-Buddhis (bukan beragama Buddha),
bahwa tradisi "Bakar Kertas" adalah merupakan bagian dari ajaran
Agama Buddha, bahkan sebagian dari umat Buddha pun beranggapan demikian. Terasa
seakan kurang lengkap apabila dalam upacara sembahyang tidak dilaksanakan
tradisi "Bakar Kertas" ini.
Sejak zaman dulu
sebenarnya ada 2 jenis kertas yang digunakan dalam tradisi ini, yaitu kertas
yang bagian tengahnya berwarna keemasan (Kim
Cua) dan kertas yang bagian tengahnya berwarna keperakan (Gin Cua). Menurut kebiasaan-nya Kim
Cua (Kertas Emas) digunakan untuk upacara sembahyang kepada dewa-dewa,
sedangkan Gin Cua (Kertas Perak) untuk upacara sembahyang kepada para
leluhur dan arwah-arwah orang yang sudah meninggal dunia.
Mereka yang mempercayai
tradisi ini beranggapan bahwa dengan membakar kertas emas dan perak itu berarti
mereka telah memberikan kepingan uang emas dan uang perak kepada para dewa atau
leluhur mereka; sebagaimana diketahui kepingan emas dan perak adalah mata uang
yang berlaku pada zaman Tiongkok kuno.
Tetapi ternyata kemajuan
zaman telah mempengaruhi pula tradisi ini, sekarang yang dibakar bukan hanya
kertas emas dan perak, ada pula sejenis uang kertas dengan nilai nominal aduhai
(milyaran), yang bentuknya mirip dengan uang kertas yang digunakan pada zaman
sekarang. Yang membedakannya adalah kalau pada uang kertas yang berlaku pada
umumnya ada yang bergambar kepala negara atau pahlawan, tetapi pada uang kertas
yang akan dikirim kepada para leluhur yang telah meninggal ini bergambar Yen Lo
Wang (Giam Lo Ong) yakni Dewa Yama, penguasa alam neraka, dan adanya tulisan
"Hell Bank Note" (Mata Uang Neraka). Entah dari mana asal mula timbulnya
ide untuk membuat dan membakar uang kertas akhirat seperti itu, mungkin dasar
pemikirannya adalah karena sekarang mata uang tidak lagi berupa kepingan emas
dan perak, melainkan uang kertas; tentunya di alam sana juga perlu penyesuaian.
Apakah benar tradisi
"Bakar Kertas" ini berdasarkan ajaran Agama Buddha ? Apakah ada
manfaatnya ?, dan bagaimanakah sesungguhnya pandangan Agama Buddha mengenai
tradisi ini ? Pembicaraan mengenai hal ini cukup menarik, ada yang pro dan ada
pula yang kontra, bahkan anti sama sekali.
Agama Buddha adalah
agama yang penuh dengan toleransi, dalam arti agama Buddha dapat menerima
pengaruh tradisi atau budaya manapun selama hal itu tidak bertentangan dengan
prinsip dasar ajaran Agama Buddha (Buddha Dharma). Dan dalam hal ini tentu
perlu pula dipertimbangkan apakah hal itu bermanfaat bagi kemajuan batin kita
atau tidak. Begitu pula dengan tradisi "Bakar Kertas" ini apakah hal
ini bertentangan atau tidak dengan prinsip dasar ajaran Buddha Dharma ? Marilah
kita tinjau lebih lanjut.
Asal-Usul
Tradisi "Bakar Kertas"
Konon tradisi
"Bakar Kertas" ini baru dimulai pada zaman pemerintahan Kaisar Lie
Sie Bien (Lie She Min) dari Kerajaan Tang di Tiongkok. Lie Sie Bien adalah
seorang kaisar yang adil dan bijaksana, sehingga beliau dicintai oleh
rakyatnya.
Pada suatu hari tersebar
kabar bahwa Kaisar menderita sakit yang cukup parah, mendengar kabar ini rakyat
menjadi sedih. Beberapa hari kemudian secara resmi keluar pengumuman dari
Kerajaan bahwa Kaisar Lie Sie Bien meninggal dunia. Rakyat benar benar
berduka-cita karena merasa kehilangan seorang Kaisar yang dicintai, sebagai
ungkapan rasa duka-cita ini penduduk memasang kain putih di depan pintu
rumahnya masing-masing tanda ikut berkabung atas mangkatnya Sang Kaisar.
Sebagaimana tradisi pada
waktu itu, jenazah Kaisar tidak langsung dikebumikan, melainkan disemayamkan
selama beberapa minggu untuk memberi kesempatan pada para pejabat istana dan
rakyat untuk memberikan penghormatan terakhir.
Alkisah, setelah
beberapa hari kemudian Kaisar Lie Sie Bien hidup kembali atau bangkit kembali
dari kematiannya. Dan kemudian beliau bercerita mengenai perjalanan panjangnya
menuju alam neraka, yang dialaminya selama saat kematiannya.
Dimana salah satu cerita
beliau, adalah ketika beliau dalam perjalanan menuju alam neraka, sang Kaisar
bertemu dengan ayahbunda, dan sanak keluarga, serta teman-temannya yang telah
lama meninggal dunia. Dimana dikisahkan bahwa kebanyakan dari mereka berada
dalam keadaan menderita kelaparan, kehausan, dan serba kekurangan walaupun dulu
semasa hidupnya mereka hidup senang dan mewah. Keadaan mereka sangat
menyedihkan, walaupun saat ini anak-anak dan keturunannya yang masih hidup
berada dalam keadaan senang dan bahagia. Makhluk-makhluk yang menderita ini
berteriak memanggil Lie Sie Bien untuk minta pertolongan dan bantuannya untuk
mengurangi penderitaan mereka. Menurut Kaisar mereka ini sangat mengharapkan
bantuan dan pemberian dari keturunan dan sanak-keluarganya yang masih hidup.
Lalu sang Kaisar
menghimbau dan menganjurkan agar keturunan dan sanak keluarga yang masih hidup
jangan sampai melupakan leluhur dan keluarganya yang telah meninggal. Kita yang
masih hidup wajib mengingat dan memberikan bantuan kepada mereka yang menderita
di alam sana, sebagai balas budi kita kepada leluhur kita itu. Untuk itu
keluarga yang masih hidup dianjurkan untuk mengirimkan bantuan dana/ uang
kepada mereka yang berada di alam penderitaan itu. Dan dana bantuan itu adalah
berupa "Kertas Emas dan Perak" yang dibakar dan kemudian akan menjelma
menjadi kepingan uang emas dan perak di alam sana, sehingga dapat dipergunakan
oleh ayahbunda, leluhur, dan sanak keluarga yang berada di alam sana untuk
meringankan penderitaan mereka.
Karena yang berkisah ini
adalah seorang Kaisar yang sangat dihormati dan dicintai segenap rakyatnya,
maka tentu saja cerita ini dipercayai, dan himbauan kaisar langsung mendapatkan
tanggapan yang baik dari para pejabat, bangsawan, dan seluruh rakyat kerajaan
Tang.
Tetapi sekarang
persoalannya, siapakah yang akan membuat "kertas emas dan perak" itu,
untuk kemudian dijual kepada yang mau membakarnya atau mengirimkannya kepada
leluhur dan sanak keluarganya yang telah meninggal ?
Lie Sie Bien adalah
seorang yang cerdas, beliau tahu betul bahwa dari sekian luas wilayah kerajaan
Tang (Tiongkok), tidak semua daerah tersebut sama kesuburan tanahnya, ada
daerah-daerah yang gersang dan tandus, yang hanya dapat ditumbuhi pohon bambu
yakni bahan baku untuk pembuat kertas pada waktu itu. Nah, penduduk daerah
inilah yang dikerahkan untuk membuat "kertas emas dan perak" untuk
keperluan sembahyang kepada para leluhur itu.
Apakah sesungguhnya yang
terjadi ? Betulkah Kaisar Lie Sie Bien meninggal dunia dan melakukan perjalanan
ke alam neraka ? Benarkah kisah perjalanan yang diceritakan oleh sang Kaisar ?
Banyak orang yang percaya bahwa Kaisar Lie Bie Bien benar-benar pernah
meninggal dan melakukan perjalanan ke alam neraka, dan apa yang dikisahkannya
itu sungguh-sungguh terjadi. Tetapi tidak sedikit pula yang berpendapat bahwa
kejadian "mati suri" nya Kaisar Lie Sie Bien dan kisah perjalanannya
ke neraka hanya rekayasa sang Kaisar untuk tujuan politis.
Dimana penggambaran alam
neraka seperti yang diceritakan beliau diambil dari penggambaran alam neraka
dalam kitab-kitab suci Agama Buddha, karena Kaisar Lie Sie Bien adalah seorang
Buddhis (beragama Buddha) yang cukup banyak mendalami ajaran-ajaran Agama
Buddha (Buddha Dharma).
Seperti kita ketahui,
bahwa di zaman itu di Tiongkok berlaku sistim feodal, dimana terjadi jurang
perbedaan yang sangat nyata antara tuan-tuan tanah, bangsawan, dan pedagang
yang kaya raya dengan segala kemewahan yang berlimpah ruah, dengan kaum petani,
buruh dan rakyat jelata yang hidup miskin, melarat, penuh kesengsaraan dan
serba kekurangan. Orang-orang kaya ini sama sekali tidak punya kepedulian
terhadap orang-orang miskin, bahkan mereka menindas kaum miskin ini.
Sebagai seorang kaisar
yang adil dan bijaksana, tentu saja Lie Sie Bien tidak setuju dengan keadaan
ini, tetapi beliau juga tidak bisa sewenang-wenang memaksa kaum kaya ini untuk
mempunyai kepedulian dan mau membantu kaum miskin. Maka terpaksalah beliau
menggunakan taktik untuk menciptakan pemerataan kehidupan dan menolong kaum
miskin itu, yakni dengan merekayasa peristiwa kematian beliau dan perjalanannya
ke alam neraka.
Barisan terdepan dari
mereka yang mengikuti himbauan dan ajuran Kaisar Lie Sie Bien untuk membakar
"Kim Cua dan Gin Cua" untuk di kirimkan sebagai dana bantuan kepada
leluhur dan sanak keluarga yang telah meninggal sudah tentu adalah orang-orang
kaya yang punya banyak uang untuk membeli "kertas emas dan perak"
yang dibuat oleh orang-orang miskin; sehingga dengan demikian rakyat jelata
yang miskin ini jadi terbantu dan punya penghasilan, terjadilah pemerataan
pendapatan.
Secara keagamaan pun
tradisi ini pada mulanya bermanfaat, yaitu agar anak dan sanak keluarga yang
masih hidup senantiasa ingat pada leluhur/ keluarga yang telah mendahului
sekaligus sebagai ungkapan balas budi atas jasa dan kebaikan mereka, dan selalu
berdoa serta mengharapkan kebahagiaan mereka di alam sana.
Bagaimana pada zaman
sekarang ?
Zaman terus berubah,
tradisi yang tadinya sengaja dicetuskan oleh Kaisar Lie Sie Bien dengan maksud
dan tujuan yang baik, yakni membantu dan menolong kaum miskin, sekarang
masalahnya menjadi lain. "Kertas Emas dan Perak" yang dulunya di
produksi oleh home industry (industri rumah tangga) orang-orang miskin,
sekarang sudah di produksi secara massal oleh pabrik-pabrik yang tentunya milik
pengusaha kaya. Sehingga maksud dan tujuan untuk pemerataan penghasilan sudah
tidak bermakna lagi.
Kalau dulu upacara
"Bakar Kertas" itu selalu diiringi dengan doa dan harapan untuk
kebahagiaan para leluhur dan sanak keluarga yang telah meninggal, saat ini
makna ini sudah semakin kabur karena tidak banyak lagi orang yang tahu asal
mula, maksud dan tujuan sesungguhnya dari tradisi "Bakar Kertas" ini.
Malah sekarang ada anggapan bahwa semakin banyak "kertas emas dan
perak" ini dibakar adalah semakin baik, dan membuat leluhur dan sanak
keluarga semakin kaya dan semakin senang di alam sana.
Ditambah lagi dengan
berbagai ide yang menyesatkan, seperti membuat uang kertas "Hell Bank
Note", peralatan-peralatan modern/ canggih dari kertas (seperti pesawat
televisi, hand phone, mobil mewah, televisi, parabola, dll) untuk dibakar guna
dikirimkan pada leluhur dan sanak keluarga di alam sana, tentunya akan semakin
mengaburkan maksud dan tujuan tradisi "Bakar Kertas" ini.
Bagaimanakah
pandangan Agama Buddha ?
Agama Buddha adalah
agama yang penuh dengan toleransi, walaupun bukan berarti bahwa agama Buddha
bersikap menerima tradisi apapun dalam ritual a-gama Buddha. Tradisi
"Bakar Kertas" yang masih dilaksanakan pada saat ini jelas tidak
sesuai dengan ajaran agama Buddha.
Alangkah baik dan bijaksana
bilamana uang yang tadinya akan digunakan untuk pembelian "kertas emas dan
perak" itu dipergunakan untuk membantu orang-orang yang memerlukan
bantuan/ pertolongan, atau membeli sesuatu yang dapat diberikan/ disumbangkan
pada mereka yang membutuhkannya; misalnya : disumbangkan ke Vihara, Panti
Asuhan, Panti Jompo, Panti Anak Cacat, memberikan dana pada anggota Sangha
(Bhikkhu/ Bhikkhuni), atau disumbangkan pada pengemis, orang-orang miskin,
korban bencana alam, dan lain sebagainya. Bantuan dan sumbangan tersebut kita
berikan dengan mengenang dan mengatasnamakan orangtua/ leluhur dan sanak
keluarga kita yang telah meninggal itu. Inilah yang di dalam agama Buddha
dinamakan "Upacara Pelimpahan Jasa
(Pattidana)", sehingga uang kita tidak menjadi sia-sia untuk membakar
kertas dan segala sesuatu yang tidak bermanfaat itu.
Tetapi dalam hal ini
agama Buddha tidak mengambil sikap menentang keras atau anti terhadap tradisi
tersebut, karena menyadari bahwa melaksanaan tradisi tersebut hanya semata-mata
karena ketidaktahuan, kurangnya pengertian, dan kepatuhan pada tradisi secara
membabi buta, bukan karena tujuan untuk menentang atau melanggar ajaran agama
Buddha.
Jika masih ada generasi
tua yang melaksanakan tradisi "Bakar Kertas" itu, kita tidak perlu
menentang, mengejek, menghina, atau pun melecehkan apa yang mereka lakukan;
tetapi seharusnya kewajiban kita adalah untuk memberikan pengertian dan
penjelasan secara bijaksana tentang tradisi tersebut, sehingga mereka
berangsur-angsur jadi mengerti dan menyadari kekeliruannya dan mau dengan
ikhlas dan sukarela untuk memperbaiki/ merubahnya. Sungguhpun harus diakui
bahwa tidaklah mudah untuk merubah suatu tradisi yang sudah mendarah-daging,
meski pun demikian kita tetap harus mencobanya; syukur jika berhasil, tetapi
bila tidak berhasil kita tidak perlu kecewa, putus asa, atau pun memaksakannya
pada mereka.
"Ajaran Buddha
merupakan petunjuk spiritual, dan Beliau tidak pernah
memaksakannya".