Kamis, Agustus 30, 2012

Pikiran (4) : Jangan Melekat Pada Ketenangan Batin


Jangan Melekat Pada Ketenangan Batin


Kita bahkan jangan melekat pada ketenangan-bathin. Karena bila kita mengidentifikasikan diri kita dengan kedamaian itu, lalu beranggapan bahwa ada “seseorang” yang diam dan tenang — ini akan mempertajam rasa adanya diri yang independen atau jiwa. Rasa-diri ini cuma merupakan bagian realitas konvensional. Dengan [kebiasaan] berpikir, “Saya tenang”, “Saya gelisah”, “Saya baik”, “Saya buruk”, “Saya bahagia” atau “Saya tidak bahagia”, kita bakal kian terperangkap lebih dalam lagi pada eksistensi dan kelahiran kembali. Bakal kian menderita. Bila kebahagiaan berakhir, maka penggantinya adalah ketidakbahagiaan. Ketika kesedihan hilang, maka kitapun kembali senang. Terperangkap pada lingkaran tiada akhir ini, membuat kita terus berputar-putar antara surga dan neraka.

Sebelum pencerahanNya, Sang Buddha mengenali pola ini dalam hatiNya. Beliau mengetahui bahwa kondisi untuk eksistensi dan kelahiran kembali belumlah lenyap. Pekerjaannya belum selesai. Dengan berfokus pada kondisi kehidupan, Ia merenungi sesuai dengan hakekat: “Oleh sebab ini maka ada kelahiran, adanya kelahiran menyebabkan adanya kematian, dan semua perubahan datang dan pergi”. Maka Sang Buddha mengambil tema ini sebagai perenungan untuk memahami kebenaran lima khandha. Segala sesuatu baik mental maupun fisik, semua yang ditangkap dan dipikirkan tanpa kecuali adalah terkondisi. Begitu Ia mengetahuinya, maka Ia mengajar kita untuk melepaskan semua itu. Ia mendorong orang lain untuk memahami kebenaran ini. Jika tidak, kita akan terus menderita. Kita tidak akan dapat melepas hal-hal ini. Bagaimanapun, ketika kita memahami sesuatu sebagaimana adanya, kita akan mengetahui bahwa semuanya ini telah mengecoh kita. Sebagaimana ajaran Sang Buddha, “Pikiran ini tak mempunyai substansi, ia bukanlah apa-apa” (“The mind has no substance, it’s not anything” )

Pikiran ini tidak terlahir sebagai milik siapapun. Ia tidak mati sebagai milik seseorang. Pikiran itu [sejatinya] bebas, cemerlang, cerah dan tidak digayuti dengan masalah atau isu apapun. Masalah itu ada karena pikiran dikaburkan oleh hal- hal berkondisi tadi, persepsi yang salah akan diri. Jadi Sang Buddha menyuruh kita mengamati pikiran ini. Apakah yang ada di sana pada mulanya? Sebenarnya, tidak ada apapun.

Pikiran tidak lahir dengan hal-hal berkondisi dan juga tidak mati dengannya. Ketika pikiran berjumpa dengan sesuatu yang baik, ia tidak menjadi baik. Ketika berhubungan dengan sesuatu yang jahat, ia tidak pula menjadi jahat. Demikianlah adanya manakala ada insight yang jernih terhadap hakekat diri seseorang. Inilah pemahaman bahwa pada dasarnya segala hal itu tanpa-substansi.

Sang Buddha melihat dengan sangat jelas bahwa segala sesuatu adalah tidak kekal, tidak memuaskan dan tiada diri. Ia menginginkan kita juga memahami hal itu sepenuhnya. Dengan demikian “yang tahu” (the “knowing”) akan memahami sejalan dengan kebenaran (truth). Kemudian manakala ia berjumpa dengan kebahagiaan dan kesedihan, ia kokoh tetap tak-goyah. Emosi bahagia merupakan wujud kelahiran. Kecenderungan untuk sedih adalah wujud dari kematian. Bila ada kematian maka ada kelahiran, dan apa yang dilahirkan bakal mati. Segala yang timbul dan lenyap ini terjebak dalam siklus menjadi-sesuatu (becoming) yang tiada hentinya. Begitu pikiran seorang meditator mencapai level pemahaman seperti ini, tiada lagi kebimbangan — baik tentang apakah ada penjelmaan? Apakah ada kelahiran kembali? Tiada perlu lagi bertanya kepada siapapun.

Penjelasan teoritis mengenai pikiran dan cara kerjanya memang benar akurat, namun Sang Buddha menyadari bahwa dengan pengetahuan macam ini saja relatif tak banyak berguna. Kita bisa memahami sesuatu secara intelektual lalu mempercayainya, tapi ini bukanlah manfaat yang nyata. Itu takkan membawa ke kedamaian pikiran.

Pengetahuan Sang Buddha membawa ke pelepasan (letting go) — yang menghasilkan sikap meninggalkan (abandoning) dan mentas (renunciation).

Oleh sebab pikiran inilah tepatnya yang membawa kita terlibat dengan apa yang benar dan yang salah. Jika kita cerdik, maka kita hanya akan berurusan dengan hal-hal yang benar. Namun kalau kita bodoh kita bakal berurusan dengan hal-hal yang salah. Pikiran yang begitulah dunia ini, dan Yang Terberkahi mengambil hal-hal dari dunia untuk menyelidiki dunia itu sendiri. Mengetahui dunia ini sebagaimana adanya, Beliau kemudian dikenal sebagai ‘Yang memahami dunia dengan jelas’.

Petikan bacaan pilihan dari :
Buku : Unshakeable Peace (Damai Tak Tergoyahkan) – Ven. Ajahn Chah




Pikiran (3) : Meditasi Itu Bagaikan Sebatang Kayu


Meditasi Itu Bagaikan Sebatang Kayu


Meditasi itu bagaikan sebatang kayu. Pemahaman dan penyelidikan (vipassana) di salah satu ujung; ketenangan dan konsentrasi (samatha) di ujung yang lain. Jikalau kita memungutnya, apakah hanya satu ujung yang terbawa? Atau keduanya? Saat seseorang mengambil sebatang kayu, kedua ujungnya terangkat bersama. Lalu, bagian mana yang vipassana, dan mana yang samatha? Dimana batas persisnya?

Sesungguhnya: keduanya adalah pikiran. Bilamana pikiran ini menjadi damai, awalnya kedamaian ini muncul dari ketenangan samatha. Kita memusatkan dan menyatukan pikiran dalam kekhusukan meditatif (samadhi). Akan tetapi, bilamana kedamaian dan ketenangan dari samadhi itu berlalu, penderitaan bakal datang menggantikan. Mengapa demikian? Karena kedamaian yang dihasilkan dari meditasi samatha saja itu masih berdasarkan kemelekatan. Kemelekatan ini kemudian bisa justru menjadi penyebab penderitaan lagi. Jadi, ketenangan bukan merupakan tujuan akhir.

Sang Buddha menyaksikan berdasarkan pengalamanNya sendiri bahwa kedamaian pikiran seperti itu bukanlah yang pamungkas. Sebab-sebab terdalam yang mendasari proses eksistensi (bhava) belumlah terpadamkan (nirodha). Kondisi yang menyebabkan kelahiran kembali masih ada. Usaha spiritualnya belum mencapai kesempurnaan. Mengapa? Karena: masih ada penderitaan. Jadi berlandaskan ketenangan samatha itu beliau melanjutkan kontemplasi, meng-investigasi dan menganalisa hakekat realitas terkondisi hingga ia terbebas dari kemelekatan, bahkan kemelekatan terhadap ketenangan itu sendiri.

Ketenangan ini masihlah merupakan bagian dari dunia eksistensi yang terkondisi dan merupakan realitas-konvensional. Melekat pada kedamaian ini adalah kemelekatan pada realitas-konvensional; selama kita melekat, kita akan terjerumus dalam eksistensi dan kelahiran kembali. Jadi, kalau cuma berhenti dan hanya menikmati ketenangan samatha saja masih akan membawa kepada eksistensi berikutnya serta kelahiran kembali. Tatkala kegelisahan dan gejolak pikiran mereda, seseorang melekat pada buah kedamaian tersebut.

Petikan bacaan pilihan dari :
Buku : Unshakeable Peace (Damai Tak Tergoyahkan) – Ven. Ajahn Chah




Pikiran (2) : Teori dan Kenyataan


Teori dan Kenyataan


Sang Buddha tidak mengajarkan mengenai pikiran dan faktor-faktor mentalnya untuk kita lekati sebagai konsep. Satu-satunya tujuan Beliau hanyalah agar kita memahami bahwa semua ini tidak-kekal, tak memuaskan dan tiada-diri. Kemudian: biarkanlah berlalu, letakkan, Sadar dan ketahuilah saat kemunculannya. — Pikiran ini memang sudah sangat begitu terkondisinya. Ia terlalu lama malah dilatih dan terkondisi untuk selalu lari, meleset dari keadaan kesadaran-murni (pure awareness). Dan ketika ia menggelincir, ia menciptakan fenomena terkondisi yang selanjutnya mempengaruhi suasana pikiran, demikianlah seterusnya ia beranak-pinak. Proses inilah yang melahirkan baik, buruk serta segala hal di muka bumi ini (dualitas-alam samsara). Sang Buddha mengajarkan kita untuk meninggalkan semua itu. 

Di awal, tentu saja anda harus membiasakan diri mempelajari pelbagai teori supaya nantinya anda mampu meninggalkan semuanya. Ini sekedar proses alamiah saja. Ya demikianlah pikiran ini.

Demikian pula faktor-faktor mental. Ambil sebagai contoh: Jalan Mulia Berunsur Delapan. Manakala kebijaksanaan (wisdom) memandang segala sesuatu secara benar dengan wawasan-kebijaksanaan (insight), maka pandangan-benar ini akan membawa kepada pemikiran benar, ucapan-benar, tindakan-benar dan seterusnya. Semua ini meliputi pelbagai kondisi psikologis yang timbul dari hasil pengetahuan-kesadaran-murni (pure knowing awareness). Pengetahuan ini bagaikan sebuah lentera yang menerangi jalan setapak di hadapan kita di kegelapan malam. Bila pengetahuan ini (the knowing) sudah benar, yakni sesuai dengan kenyataan (truth), ia bakal menyebar serta menerangi setiap langkah pada jalan berikutnya.

Apapun yang kita alami, semuanya muncul dari dalam pengetahuan ini. Apabila pikiran ini tidak eksis, pengetahuan tersebut juga tidak akan ada. Semua ini adalah fenomena pikiran. Seperti yang dikatakan Sang Buddha, pikiran adalah cuma sekedar pikiran. Ia bukanlah makhluk, orang, diri ataupun diri-anda. Juga bukan diri kita maupun mereka. Dhamma itu adalah sekedar Dhamma, begitu saja titik. Ia alami, berlangsung dengan sendirinya tanpa ada “diri” yang terlibat. Ia bukanlah kepunyaan kita atau siapapun. Ia bukan pula sesuatu (“it’s not anything”). Apapun yang dialami seseorang tak lain adalah lima gugus fundamental (khandha): tubuh, perasaan, pencerapan (persepsi), bentukbentuk pemikiran dan kesadaran. Sang Buddha mengatakan: “Biarkanlah semua itu berlalu”.


Petikan bacaan pilihan dari :
Buku : Unshakeable Peace (Damai Tak Tergoyahkan) – Ven. Ajahn Chah



Pikiran


Pikiran

Harap dipahami dengan jelas bahwa sesungguhnya saat pikiran ini diam, ia ada dalam keadaan alami-nya — keadaan normalnya. Namun begitu pikiran ini bergerak, ia menjadi terkondisi (sankhâra). Ketika pikiran terpikat pada suatu hal, ia menjadi terkondisi (conditioned ; bersyarat-berubah, tidak abadi). Saat kebencian timbul, ia menjadi terkondisi. Dorongan untuk goyang kesana kemari ini timbul dari pengkondisian. Jika ke-awas-an (awareness) kita kalah cepat dengan munculnya keadaan mental yang segera berentet berkembang-biak itu, maka pikiran ini akan goyah — larut membuntuti serta terkondisi olehnya. Kapanpun pikiran bergerak, pada saat itu, ia menjadi sebuah realitas-konvensional ( ilusi,palsu).

Maka Sang Buddha mengajarkan kita untuk merenungkan kondisi yang mengacaukan pikiran itu. Kapanpun pikiran bergerak, ia menjadi tidak stabil dan tak permanen (anicca), tak memuaskan (dukkha) dan bukan sebuah diri (anattâ). Ini merupakan tiga corak universal dari semua fenomena yang terkondisi. Sang Buddha mengajarkan kita mengamati serta mengkontemplasikan pergerakan pikiran ini.

Demikian pula halnya dengan ajaran mengenai sebab-musabab saling bergantungan (Paticca-samuppâda): kekelirutahuan (avijja) merupakan sebab dan kondisi timbulnya bentuk-bentuk karma kehendak (sankhâra); yang mana kemudian menjadi sebab dan kondisi bagi munculnya kesadaran (viññana); lalu merupakan sebab dan kondisi bagi munculnya bathin dan jasmani (nâma-rûpa) dan seterusnya, sebagaimana yang kita pelajari dalam kitab suci. Sang Buddha memilah setiap mata-rantai agar membuatnya lebih mudah dipelajari.

Sebenarnya ini merupakan penjelasan yang akurat dan teliti tentang realita, tetapi ketika hal ini sungguh terjadi di kehidupan nyata, [pikiran] para cendekiawan kalah sigap, tak mampu mengikuti proses ini.

Bagai jatuh terjerembab dari atas pohon hingga menghantam tanah. Kita tak lagi tahu berapa banyaknya ranting yang telah kita lewati sepanjang proses jatuh itu. Sama seperti tatkala pikiran ditubruk oleh suatu kesan mental — apabila tergiur olehnya, maka pikiran ini segera melayang-layang ke dalam suasana bathin yang menyenangkan; ia menganggapnya sebagai suatu hal yang baik tanpa menyadari rantai kondisi yang menyebabkannya. [Urutan] proses ini memang berjalan sesuai dengan uraian dalam teori, namun pada saat yang sama ia juga melampaui batas-batas teori tersebut.

Tidak ada yang mengumumkan, “Ini lho kebodohan. Ini lho bentuk-bentuk karma, dan inilah kesadaran”. Proses tersebut manakala sungguh sedang terjadi [berlangsung begitu cepat] tak lagi memberi kesempatan bagi para cendekiawan untuk membaca tabel itu. Walaupun Sang Buddha telah menganalisa dan menjelaskan urutan momen-momen pikiran dengan amat rinci, namun bagi saya kejadiannya lebih mirip seperti jatuh dari pohon. Tiada lagi kesempatan bagi kita untuk memperkirakan berapa meter kita telah terjatuh. Apa yang kita ketahui cuma: kita menubruk tanah dengan keras dan itu menyakitkan!

Begitu juga dengan pikiran ini. Saat ia terjatuh untuk suatu hal, apa yang kita sadari hanyalah rasa-sakitnya. Dari manakah datangnya semua penderitaan ini, rasa sakit, kesedihan dan keputus-asaan? Mereka tidak datang dari teori yang ada dalam buku. Tiada dimanapun jua tempat rincian penderitaan ini dituliskan. Penderitaan kita takkan sama persis dengan teori, tetapi keduanya melintasi jalan yang sama. Jadi sekedar kecendekiawanan itu saja tidaklah bakal mampu mengikuti kenyataan.

Itulah sebabnya Sang Buddha mengajarkan kita untuk mengembangkan pemahaman yang jelas (clear knowing ; mengetahui, memahami, menyadari) bagi diri kita sendiri. Apapun yang muncul, muncul dengan diketahui. — Manakala “yang-mengetahui” mengetahuinya sejalan dengan kebenaran (truth), maka pikiran ini beserta faktor-faktor mentalnya pun bakal dikenali sebagai: bukan-milik-ku. Dan pamungkasnya, semua fenomena itu adalah cuma untuk ditinggalkan — dibuang layaknya sampah. Kita musti jangan melekat atau memberi arti apapun padanya.


Petikan bacaan pilihan dari :
Buku : Unshakeable Peace (Damai Tak Tergoyahkan) – Ven. Ajahn Chah




Rabu, Agustus 29, 2012

Kisah Nyata : Reinkarnasi Dorothy Eady


KISAH NYATA : REINKARNASI DOROTHY EADY

Dorothy Eady

Reinkarnasi Biarawati Zaman Mesir Kuno



Banyak orang mendengar cerita soal reinkarnasi. Yaitu kembalinya jiwa dan roh dari masa lalu ke tubuh seseorang di masa kini. Persoalan yang sulit dibuktikan, namun benarkah perihal reinkarnasi ini bisa terjadi?

Adalah Dorothy Eady, seorang wanita Inggris yang mengalami fenomena reinkarnasi yang sangat menggemparkan Inggris dan Mesir. Sahabat anehdidunia.blogspot.com Dorothy satu-satunya manusia yang dilaporkan mengalami reinkarnasi seorang tokoh "biarawati" pelayan kuil Osiris di zaman Firaun Seti I Mesir Kuno dari masa 1320–1200 sebelum Masehi. Ia kemudian dikenali sebagai Omm Sety.

Kisah spektakuler yang kontroversial tentang Dorothy Eady dimulai dari sebuah tempat di London, Inggris, saat ia berusia 3 tahun. Dalam sebuah insiden, Dorothy kecil terjatuh dari lantai atas rumahnya. Ia mengalami koma dan akhirnya tim dokter yang merawatnya menjatuhkan vonis meninggal dunia pada balita kelahiran 16 Januari 1904 itu. Saat itu tanda-tanda kehidupan dan seluruh organ vital Dorothy memang berhenti beraktivitas.

Transformasi Astral?
Tiada yang tahu bagaimana terjadinya, namun sekian saat setelah tubuh Dorothy akan disemayamkan, ternyata anak perempuan kecil itu tiba-tiba bangkit kembali dari kematian dalam kondisi segar bugar. Seluruh keluarga terperanjat. Namun, tak ada yang tahu bahwa sebuah pintu dimensi dari masa lalu telah terbuka dan sebuah jiwa dari masa Mesir Kuno merangsek masuk ke tubuh Dorothy kecil yang hampir kaku.

Namun sejak vonis kematiannya, Dorothy Eady yang hidup kembali itu memiliki kepribadian yang berbeda sama sekali dengan Dorothy Eady yang dikenal ayah ibunya. Bocah tiga tahun ini memiliki kepribadian yang jauh lebih dewasa dan senantiasa bermimpi tentang kuil-kuil Mesir Kuno

Ia selalu berkisah tentang Mesir Kuno, dinasti Firaun Seti I dan mampu mendeskripsikan kehidupan di sekitar kuil Mesir Kuno seribuan tahun sebelum masehi. Dorothy Eady juga kerap menuntut ayah ibunya untuk memulangkannya ke tempat tinggalnya. Ayah dan ibunya yang keturuan Irlandia itu sama sekali tak mengerti maksud putri mereka tentang "pulang ke tempat tinggalnya".

Museum
Sejalan bertambahan usia, Dorothy Eady semakin berminat dan tertarik pada literatur dan semua hal yang berbau Mesir. Maka suatu ketika ia diajak berkunjung ke British Museum di London, Dorothy Eady begitu tergila-gila dengan ruang pamer benda-benda peninggalan Mesir Kuno. Ia merasa bahwa semua peninggalan Mesir Kuno itu adalah bagian dari kehidupannya. Ia menciumi patung-patung Dewa Mesir, memeluk peti-peti mummy dan bertingkah aneh dengan suaranya tiba-tiba lebih berat dan sarat kerinduan ketika berkata "ini adalah bagian dari keluarga dan rumahku!"

Ia kemudian menyewa tempat tinggal di dekat British Museum dan bergaul dengan Ernest A Wallis Budge seorang kurator dan pakar Mesir di museum tersebut. Ia memperdalam kajian hiroglif dan sejarah Mesir Kuno.

Para pakar di British Museum dan ahli Mesir Kuno terperanjat akan pengetahuan dan kemahiran Dorothy dalam menuliskan dan menerjemah hiroglif Mesir Kuno dan kedalaman pengetahuannya tentang detail kuil-kuil Mesir Kuno dari zaman Firaun Seti I. Padahal Dorothy sama sekali tidak pernah belajar dan dibimbing dalam hal tersebut, namun kemampuan itu muncul begitu saja dengan sangat mengagumkan.

Dorothy sendiri mengaku dirinya adalah titisan dari seorang biarawati pelayan kuil Osiris di Abydos yang pernah hidup di masa antara 1320–1200 sebelum Masehi. Ia merasa telah bereinkarnasi dalam tubuh Dorothy Eady. Setelah menikah dengan seorang pemuda Mesir (1933) ia pun mencapai tujuan yang sejak kecil menghantuinya: kembali ke kuil Osiris dan menjejak kaki kembali di tanah Mesir!

Keahlian Dorothy yang luar biasa tentang Mesir Kuno melebihi pengetahuan para sarjana tentang Mesir. Hal ini kemudian menuntunnya pada perjalanan ke Mesir. Ia kemudian mendapat pekerjaan sebagai asiten arkeolog dalam penggalian di situs Giza di Kairo, dan sering dipekerjakan oleh para ahli yang memperdalam kebudayaan tentang Mesir Kuno. Ia melakukan itu selama dua puluh tahun lebih.

Dorothy Eady pernah ikut sebagai pembantu utama dalam proyek penelitian Dr Selim Hassan yang kemudian mempublikasikan Penggalian Situs Giza. Ia pernah juga bekerja pada Dr Ahmed Fakhry sebagai konsultan dan asisten pada penelitian piramid di Dahshur. Dalam dua studi dan penggalian situs Mesir kuno ini perannya sangat menonjol dan sungguh mengagumkan kedua pakar Mesir kuno itu. Dorothy sangat memahami budaya dan arsitektur serta sistem pemujaan dewa-dewa di zaman Mesir Kuno. Ia memberikan gambaran yang detail, menerjemahkan hiroglif degan mudah, dan memberi saran-saran ilmiah yang ternyata sejalan dengan fakta sejarah yang kemudian ditemukan para ahli Mesir.

Dari berbagai pengalaman kerja dengan para pakar kelas dunia ini ia pun semakin populer di kalangan peneliti budaya Mesir Kuno. Bahkan kisah hidup Dorothy Eady yang berganti nama menjadi Omm Sety (yang artinya ibunda Seti) menarik perhatian dunia. Kisahnya sudah dibukukan dan difilmkan sebagai fenomena sebuah reinkarnasi!

Dorothy memang menghabiskan masa tuanya di kuil Osiris di Abydos, dan menjadi penjaga kuil kuno tersebut, karena kemampuan dan keahliannya tentang Mesir Kuno yang amat spektakuler. Apakah Dorothy memang reinkarnasi dari seorang wanita yang pernah hidup ribuan tahun lalu di sebuah kuil di Mesir?*

Sejak bangkit kembali dari "kematian", Dorothy Eady kemudian menjadi sorotan publik. Menjadi satu bukti tentang teori reinkarnasi. Sahabat anehdidunia.blogspot.com keterkejutan dunia karena Dorothy di bawah usia 3 tahun dan Dorothy di atas 3 tahun ternyata adalah dua pribadi yang berbeda dalam satu tubuh. Dihubungkan oleh sebuah insiden yang membuka pintu dimensi dunia astral dan dunia nyata.

Walau sebagian orang tak yakin akan teori reinkarnasi, setidaknya masih menyisakan tanya dari mana semua pengetahuan Dorothy Eady tentang detail Mesir Kuno? Ia sangat mahir menerjemahkan hiroglif Mesir Kuno tanpa pernah belajar. Bisa memberikan gambaran tepat tentang beberapa detail kuil Osiris di Abydos yang dibangun pada dinasti Firauan Seti I.

Sejak lama Dorothy Eady telah sering memimpikan sebuah kuil di wilayah Abydos, Mesir dekat Sungai Nil. Ia mengaku telah melakukan perjalanan astral lewat dunia mimpi ke berbagai sudut kuil tersebut. Anehnya, walau belum pernah berkunjung ke sana, Dorothy bisa memberikan beberapa detail kuil Osiris dan Firaun Seti di Abydos dengan sempurna.

Keinginan "kembali" ke Mesir, mendorong sosok reinkarnasi di tubuh Dorothy Eady mencari jalan untuk meuwujudkan semua keinginannya. Belakangan setelah cukup dewasa, ia pun pasca Perang Dunia Pertama di tahun 1933, ia menikah dengan seorang pemuda Mesir dan mendapat seorang anak tunggal yang diberi nama Seti. Sejak itu ia merubah namanya menjadi Omm Sety (Um Seti). Setelah menikah ia tinggal di Mesir dan bekerja pada bidang arkeologi dan sejarah. Selama 19 tahun tinggal di Kairo, Mesir, ia belum sempat berkunjung ke Abydos.

Pada kurun tahun 1953, di usia akhir 49 tahun, ia pun untuk pertama kali melakukan kunjungan ziarah ke kuil Firaun Seti di Abydos yang juga tempat makam dewa Osiris Mesir kuno. Beberapa tahun kemudian, ia dipindahtugaskan ke Departemen Purbakala Mesir sebagai asisten khusus. Saat itulah ia mendirikan rumah yan tak jauh dari situs Abydos.

Keinginan yang kuat setelah mengabdi dan mendedikasikan semua pengetahuannya akan Mesir kuno terutama tentang kuil Firaun Seti I dan Osiris di Abydos, selama lebih dari 20 tahun, Dorothy Eady yang bersalin nama menjadi Omm Sety pun kembali ke Abydos di tahun 1956.

Sejak saat itu, ia setiap hari selalu berada di lokasi situs Abydos, terutama di kuil Firaun Seti I (Pharaoh Sety I) dan Kuil Osiris. Ia menghabiskan masa tua sampai akhir hayatnya di kuil bangunan Mesir kuno itu. Mengabdikan diri pada pelestarian adat budaya zaman Mesir kuno, ia menjadi perawat tetap kuil tersebut, dan melakukan ritual yang bahkan sudah tidak diketahui oleh orang-orang Mesir kini.

Menurut sejumlah pakar dan ahli sejarah Mesir kuno, sebagai titisan biarawati pemuja Osiris ia adalah satu-satunya bukti hidup yang masih mempraktikkan ritual kuno yang hanya ditemukan lewat hiroglif kuno usia ribuan tahun. Dorothy Eady mempraktikkan ritus agama Mesir kuno tersebut yang membuat ahli kagum sekaligus mengakui detail penguasaannya akan kebudayaan Mesir kuno.

Tahun 1973, Dorothy yang berusia 69 tahun meninggalkan wasiat penting pada pejabat berkompeten atas kuil Abydos. Ia memohon pemerintah dan para pegawai di situs purbakala itu bersedia memakamkan jasadnya kelak di dekat kompleks situs kuil Firaun Seti dan Kuil Osiris, Abydos, agar kematian keduanya tenang.

Delapan tahun kemudian di usia 77 tahun (1981), Dorothy Eady alias Omm Sety wafat dalam damai. Sesuai wasiatnya, pemerintah setempat memakamkannya di belakang situs kuil Firaun Seti I di Abydos. Sebuah penghargaan tertinggi pemerintah dianugerahkan kepadanya sebagai pakar ahli Mesir Kuno zaman Dinasti kesembilanbelas Firaun Seti.

Bukan yang Pertama
Laporan tentang reinkarnasi memang bukan semata terjadi pada Dorothy Eady. Banyak juga orang yang sering merasa bahwa ia adalah titisan dari orang yang pernah hidup di masa lalu. Namun ia memang menjadi fenomena reinkarnasi yang spektakuler dan kontroversial.

Atau mungkin Anda atau kerabat Anda sendiri pernah mengalamai perasaan seolah-olah sudah pernah berkunjung ke suatu tempat, namun tak bisa menjelaskan kapan dan bagaimana. Atau bisa mengetahui suatu tempat yang sama sekali belum pernah Anda kunjungi, atau merasa pernah mengalami suatu pengalaman di masa ratusan tahun lalu? Ada ahli yang menyebutnya "Deja vu" atau sebagaian lagi menyebutnya "delusi atau waham", bahkan ada yang mengatakan mengalami proyeksi astral di bawah sadar. Semua itu adalah bagian dari misteri semesta.

Kejadian lain yang mungkin menarik perhatian dunia, selain kasus Dorothy Eady yang sangat berjasa pada penelitian tentang Mesir, adalah catatan tentang gadis Inggris dari keluarga Ockenden. Ia pernah dirawat seorang dokter ahli terapi hipnotis Arnall Bloxham.

Selama dua jam dihipnotis, Ockenden menuturkan bahwa ia adalah titisan seorang lelaki yang hidup di masa purba. Anggota masyarakat kuno yang masih menganut ritual merajah tubuh dan menyakiti diri sendiri. Serta menunjukkan status dengan hiasan geligi binatang liar yang buas. Ia bisa memberikan gambaran budaya kuno itu.

Sementara itu, pasien lain di bawah pengaruh hipnotis berkisah bahwa ia adalah reinkarnasi anak Raja Charles I (1600-1649) dan Ratu Henrietta Maria (1609-1669). Walau latar belakang si pasien tidak pernah belajar bahkan mengenal sejarah Inggris, ia bisa menuturkan beberapa detail kastil Raja Charles I yang jarang diketahui umum. Ia juga bahkan menjabarkan soal kisah hidup Charles II.

Peristiwa reinkarnasi lainnya ada dalam catatan dokter psikiater dan penulis novel Arthur Guirdham. Seorang pasiennya bernama Ny Smith mengaku sejak usia 10 tahun kerap dihantui mimpi bahwa ia pernah hidup sebagai istri pendeta kaum Chatar di abad ke-13.

Saat dalam perawatan, ia bisa menceritakan detail pembantaian massal terhadap kaum Cathar di Eropa karena diangap sebagai aliran sesat dari agama Kristen. Ny Smith menyebutkan bahwa banyak pendeta Cathar yang dibunuh dan dibakar. Ia sendiri mengaku diikat massa dan dibakar hidup-hidup di tumpukan kayu bakar. Ia juga menggambarkan detail pakaian, struktur bangunan, dan peradaban di masa itu.

Sang dokter melakukan penelitian detail dan melakukan kroscek terhadap pengakuan si pasien. Ia terkejut ketika menemukan sebuah fakta sejarah yang sejalan dengan penuturan Ny Smith yang sama sekali tidak paham sejarah kaum Cathar.

Dari manakah para pasien ini mendapatkan informasi detail yang bahkan hanya tertulis di literatur yang nyaris tak pernah dipublikasikan untuk awam? Apakah mereka benar-benar mengalamai peristiwa itu di masa lalu dan bereinkarnasi ke jasad hidup manusia masa kini? Ataukah pengetahuan itu bisa muncul begitu saja? Sejumlah ahli dan peneliti masih mencoba mengurai misteri besar ini!

Sumber http://anehdidunia.blogspot.com/2012/08/kisah-dorothy-eady-reinkarnasi.html#ixzz24rzM5uzk




Kisah Nyata : Reinkarnasi Tang Jiangshan


KISAH NYATA : REINKARNASI TANG JIANGSHAN

Tang Jiangshan

Anak Ini Pernah Hidup di Masa Lalu

 
Kiri : Tang Jiangshan dan Kanan : Chen Mingdao


Ada seorang anak, bernama Tang Jiangshan yang lahir pada tahun 1976 di Dong Fang, Kecamatan Gan Cheng, propinsi Hai Nan, China. 

Sewaktu berumur 3 tahun, tiba-tiba ia mengatakan kepada kedua orangtuanya: “Saya bukan anak kalian. Pada kehidupan lampau nama saya adalah Chen Mingdao, ayah kehidupan lampauku bernama San Die. Rumah saya di Dan Zhou, dekat laut.” Omongan ini kalau didengar orang lain bagaikan omong kosong, perlu diketahui, Dan Zhou terletak di utara pulau Hai Nan, berjarak 160 km dari kota Dong Fang. 

Selain itu, Tang Jiangshan mengatakan bahwasanya dirinya dibunuh dengan menggunakan golok dan tombak di dalam aksi kekerasan pada masa revolusi kebudayaan, konon di bagian pinggangnya masih terdapat bekas luka bacok peninggalan kehidupan masa lalu. Yang membuat orang merasa takjub ialah Tang Jiangshan mampu berbicara dialek Dan Zhou dengan sangat fasih. Orang Dan Zhou berbicara bahasa Jun, berbeda sekali dengan dialek Hok Kian yang digunakan oleh penduduk kota Dong Fang. 

Bayangkan, seorang bocah baru berumur beberapa tahun (balita), bagaimana bisa?

Foto baris atas : Tang Jiangshan di kehidupan sekarang (pasca reinkarnasi) 
Foto baris bawah : Chen Mingdao di kehidupan masa lampau (pra reinkarnasi)

Pada saat Tang Jiangshan berumur 6 tahun, ia mendesak orang tuanya agar membawanya mengunjungi kerabatnya pada kehidupan masa lampau. Keluarganya tidak mau, maka ia mogok makan, akirnya sang ayah menurutinya, dan mereka pun pergi menuju tempat yang dimaksud. Yaitu desa Huang Yu, kecamatan Xin Ying – kota Dan Zhou. 

Tang Jiangshan langsung menuju ke hadapan pak tua Chen Zan Ying, menggunakan bahasa Dan Zhou dan memanggilnya “San Die”, mengatakan dirinya bernama Chen Mingdao, yang pada masa revolusi besar kebudayaan oleh karena bentrokan fisik sehingga dibinasakan orang. Sesudah meninggal terlahir kembali di kecamatan Gan Cheng – kota Dong Fang, kini datang mencari orang tua kehidupan masa lampaunya. 

Mendengar penuturan itu, Chen Zan Ying sejenak tertegun tak tahu bagaimana harus bersikap. Kemudian si anak kecil menunjukkan kamar tidur kehidupan masa lampaunya, dan menghitung satu persatu benda-benda pada kehidupan lampaunya. Menyaksikan semuanya ini dengan kenyataan pada masa lalu sama sekali tidak meleset, pak tua Chen Zan Ying saking terharunya berpelukan menangis dengan Tang Jiangshan dan memastikan ia memang adalah kelahiran kembali anaknya yang bernama Chen Mingdao. 

Tang Jiangshan juga telah mengenali kedua kakak perempuan dan kedua adik perempuannya serta para sobat kampung lainnya, bahkan termasuk teman wanita pada kehidupan masa lampaunya: Xie Shuxiang. Semua kejadian ini telah membuat takjub kerabat dan tetangga Chen Mingdao. Sejak saat itu, “Manusia aneh dari 2 masa kehidupan” ini, Tang Jiangshan, memiliki 2 rumah dan 2 pasang orang tua. Ia setiap tahun hilir mudik antara Dong Fang dan Dan Zhou. Si tua Chen Zan Ying beserta keluarga dan orang-orang desa menganggap Tang Jiangshan sebagai Chen Mingdao. Oleh karena Chen Zan Ying tidak memiliki putra lainnya, Tang Jiangshan berperan menjadi anaknya dan berbakti hingga tahun 1998 ketika Chen Zan Ying meninggal dunia. 

Kisah ini sempat dimuat beberapa media lokal, termasuk Majalah Femina Dunia Timur. Para editor majalah tersebut pada awalnya juga tidak percaya akan hal tersebut, namun melalui pemeriksaan berulang kali dan pembuktian lapangan, mau tak mau mengakui kebenaran tentang kejadian tersebut. 

http://anehdidunia.blogspot.com/2012/04/anak-yang-lahir-2-kali-reinkarnasi.html



Kisah Nyata : Reinkarnasi Hanan Monsour


KISAH NYATA : REINKARNASI  HANAN MONSOUR

Hanan Monsour



Hanan lahir di Lebanon, di pertengahan 1930-an. Ketika ia berumur dua puluh, Hanan menikah dengan Farouk Mansour, dari keluarga baik-baik di Lebanon. Pasangan itu mempunyai dua anak perempuan, bernama Leila dan Galareh. Hanan memiliki saudara bernama Nabih, yang cukup terkenal di masyarakat Lebanon, tetapi ia meninggal ketika ia masih berusia muda dalam kecelakaan pesawat.

Setelah melahirkan anak kedua, Hanan mengidap sakit jantung dan para dokter menyarankan untuk tidak punya anak lagi. Tapi ia tidak mengindahkan peringatan para dokter, Hanan memiliki anak ketiga, seorang putra, pada tahun 1962. Pada tahun 1963, tak lama setelah kematian kakaknya Nabih, kesehatan Hanan mulai memburuk. Hanan kemudian mulai berbicara tentang kematian. Hanan sering mengatakan kepada Farouk, suami Hanan, bahwa "dia akan bereinkarnasi dan banyak menceritakan tentang kehidupan sebelumnya." Ini dikatakan dua tahun sebelum kematiannya.

Pada usia tiga puluh enam, Hanan pergi ke Richmond, Virginia, untuk menjalani operasi jantung. Saat hendak di operasi, Hanan mencoba menelpon putrinya, tapi tidak tersambung. Setelah di operasi, Hanan mengalami komplikasi dan akhirnya ia meninggal.

Sepuluh hari setelah Hanan meninggal, Suzanne Ghanem lahir.

Ibu Suzanne mengatakan kepada Ian Stevenson bahwa tak lama sebelum kelahiran Suzanne, " Saya bermimpi akan memiliki bayi perempuan. Didalam mimpi itu ,saya bertemu dengan seorang wanita berusia sekitar empat puluh-an, saya mencium dan memeluknya, Dia pun berkata, ‘Aku akan datang kepadamu.’

Kemudian suatu ketika saya melihat foto Hanan, saya pikir itu tampak seperti wanita dalam mimpi saya ". (Dengan kata lain, ibu Suzanne Ghanem bermimpi bahwa ia akan memiliki anak yang memiliki penampilan seperti Hanan Monsour), Dan ternyata mimpi itu menjadi kenyataan.

Pada usia 16 bulan, Suzanne menarik telepon dari hook seolah-olah dia sedang mencoba berbicara dan berkata, berulang-ulang, "Halo, Leila?" Keluarga tidak tahu siapa Leila itu. Ketika dia sudah semakin besar, Suzanne menjelaskan bahwa Leila adalah salah satu dari anak-anaknya dan bahwa dia bukanlah Suzanne, tapi Hanan.

Keluarga bertanya, "Hanan siapa?". Suzanne menjawab, "Kepala saya masih kecil, tunggu sampai lebih besar, dan saya dapat memberitahu anda ". Pada saat dia berumur dua tahun, ia telah menyebutkan nama anak-anaknya yang lain, suaminya, Farouk, dan nama-nama orang tuanya dan saudara-saudaranya – semuanya ada tiga belas nama.

Seorang teman melakukan penyelidikan di kota di mana Keluarga Monsour tinggal. Ketika mereka mendengar tentang kasus ini, Suzanne pun berangkat berkunjung ke keluarga Monsour. Pihak Keluarga Monsour awalnya skeptis tentang klaim gadis itu. Mereka menjadi percaya ketika Suzanne mengidentifikasi semua kerabat Hanan's dan menyebut nama –nama mereka dengan tepat. Suzanne juga tahu bahwa Hanan telah memberikan perhiasan ke Hercule kakaknya di Virginia, sebelum ia operasi jantungnya. Hanan memerintahkan salah satu adiknya untuk membagi perhiasan kepada anak-anaknya. Tidak ada satu pun diantara keluarga Monsour yang mengetahui tentang perhiasan ini kecuali adiknya itu.

Sebelum dia bisa membaca atau menulis, Suzanne menuliskan nomor telepon di selembar kertas. Kemudian, ketika keluarga Suzanne pergi berkunjung ke rumah Monsour, mereka menemukan bahwa nomor telepon itu cocok dengan nomor telepon keluarga Monsour, kecuali dua digit terakhir yang sudah diubah. Sebagai seorang anak, Suzanne bisa membaca orasi yang diucapkan di pemakaman saudara Hanan's, Nabih. Keluarga Suzanne sempat merekam pembacaan orasi itu, namun sayang, rekaman itu akhirnya hilang.

Pada usia lima tahun, Suzanne memanggil Farouk tiga kali sehari. Ketika Suzanne mengunjungi Farouk, dia duduk di pangkuannya dan kepalanya disandarkan di dadanya.

Pada usia 25 tahun, Suzanne masih menelpon Farouk. Farouk, adalah seorang anggota polisi, ia telah menerima dan mengakui bahwa Suzanne adalah reinkarnasi dari almarhum istrinya, Hanan. Untuk mendukung kesimpulan ini, Farouk menunjukkan beberapa foto dan  Suzanne secara akurat menunjuk puluhan orang dari mereka yang dikenalinya, dan Ia tahu mengenai informasi lain yang hanya diketahui oleh Hanan.

Sumber : www.iisis.net


-oOo-





Senin, Agustus 27, 2012

Kisah Reinkarnasi Dalai Lama


KISAH REINKARNASI DALAI LAMA
Oleh : Caroll Bowman



Cerita tentang Dalai Lama mungkin merupakan contoh yang paling terkenal mengenai Ingatan kehidupan masa lalu dari seorang anak-anak . Berikut ini adalah kisah nyata bagaimana Dalai Lama yang sekarang ditemukan dan positif diidentifikasi berdasarkan kemampuannya, bahkan ketika masih sangat kecil, mampu mengingat detail dari kehidupan masa lalunya.

Ketika Dalai Lama Ketigabelas meninggal dunia pada tahun 1933, para Lama senior mencari tanda-tanda keberadaan lokasi reinkarnasi yang berikutnya untuk bisa ditemukan.  Masing-masing dari para Dalai Lama, selama berabad-abad sejak kelahiran pertama di tahun 1351 Masehi, telah mengikuti jalur yang sama dimana masing-masing Lama adalah Inkarnasi dari Lama yang sebelumnya, untuk mempertahankan  kebijaksanaan spiritual yang telah dipelihara melewati banyak masa kehidupan. http://www.childpastlives.org/images/dot_clear.gifhttp://www.childpastlives.org/images/dot_clear1.gif

Pada musim semi tahun 1935, pemimpin salah satu wilayah Tibet , yang juga  Lama senior, melakukan perjalanan ke danau suci Lhamoi Lhatso di selatan Tibet untuk mencari visi.  Ia melihat kedalam danau yang berbentuk oval, yang terletak di sebuah cekungan di ketinggian 17.000 kaki yang dikelilingi oleh puncak-puncak gunung yang diselimuti salju, Reting Rinpoche memiliki sebuah visi. Ketika ia menatap ke dalam air yang jernih, ia melihat tiga huruf dari alfabet Tibet: ‘Ah’, ‘Ka’ dan ‘Ma’, mengambang di depannya. Lalu ia dengan jelas melihat gambar sebuah biara bertingkat tiga dengan atap emas dan batu giok. Ada sebuah jalan setapak menuruni bukit dari biara tersebut ke sebuah rumah beratap pirus dan ia melihat anjing cokelat dan putih di halaman. Setelah Reting Rinpoche melihat visi ini, ia bermimpi tentang rumah yang sama dengan atap pirus, tapi kali ini ia melihat pipa saluran berbentuk aneh di sepanjang atap dan seorang anak laki-laki kecil yang sedang berdiri di halaman. Dia yakin bahwa huruf ‘Ah’ yang ia lihat dalam visi menunjuk ke Amdo, sebuah provinsi di sebelah timur Tibet, sehingga pihak pencari dikirim ke daerah tersebut.

Salah satu regu pencari, di bawah arahan Kewtsang Rinpoche, seorang Lama dari Biara Sera, mengunjungi biara Kumbum di Amdo. Mereka melihat atap kuil-kuilnya berwarna giok dan emas, seperti dalam visi. Pencarian kemudian menyisir kawasan tersebut, mencari anak-anak yang luar biasa. Mereka mendengar salah satunya adalah anak laki-laki yang berasal dari Takster, dua hari perjalanan dari Amdo.

Jadi, pada musim dingin tahun 1937 Kewtsang Rinpoche, ditemani oleh seorang pejabat pemerintah bernama Lobsang Tsewant dan dua pembantunya, berangkat ke Takster. Untuk menghindari agar dikenali, mereka menyamar sebagai pedagang dalam perjalanan bisnis. Untuk lebih menyembunyikan identitas mereka lama Kewtsang Rinpoche, berpakaian kulit domba tua dan memainkan peran sebagai seorang pelayan dan Lobsang Tsewang, sang pejabat pemerintah, bertindak sebagai pemimpin kelompok. Mereka mendekati rumah dimana tinggal anak laki-laki berumur dua tahun bernama Lhamo Dhondrub. Mereka disambut oleh gonggongan dari anjing cokelat dan putih yang diikat di pintu masuk.

Mereka memperkenalkan diri sebagai pedagang dan bertanya apakah mereka bisa menggunakan dapur keluarga untuk minum teh, yang merupakan praktik umum di Tibet. Melewati halaman rumah, Kewtsang Rinpoche melihat ubin biru kehijauan di atap rumah dan talang air yang tidak biasa yang terbuat dari  juniper. Ketika di dapur, dia didekati oleh si kecil Lhamo Dhondrub. Anak laki-laki itu naik ke pangkuan Rinpoche Kewtsang dan mulai bermain dengan tasbih yang tergantung di leher sang tamu, yang adalah milik Dalai Lama ke-13. Tiba-tiba, anak itu menjadi gelisah dan menuntut diberi kalung manik-manik itu segera, dan mengklaim bahwa itu adalah miliknya.

Kewtsang Rinpoche mengatakan kepada anak itu, “Aku akan memberikannya jika kamu bisa menebak siapa saya. Tanpa basa-basi, anak itu menjawab, “Kamu adalah seorang Lama dari Sera. Anak laki-laki itu kemudian mengenali nama Tsewang Lobsang secara tepat dan kemudian mengidentifikasi orang lain dalam rombongan tersebut sebagai berasal dari biara Sera juga (pada waktu itu ada ribuan biara di Tibet). Tidak hanya identifikasi itu benar, tapi anak dua tahun ini menunjukkan nama orang-orang tersebut dalam dialek Tibet Tengah, dialek yang tidak dikenal di daerahnya.

Ketika para tamu bersiap ingin pergi di pagi hari, Lhamo Dhondrub menangis, dan  memohon mereka untuk membawanya serta. Mereka berusaha menenangkannya, dan berjanji akan kembali.

Mereka segera kembali, kali ini untuk melaksanakan tes, untuk melihat apakah anak ini memang reinkarnasi dari Dalai Lama. Biarawan menawarkan hadiah kepada keluarganya dan meminta ditinggal sendirian dengan Lhamo Dhondrub. Saat malam tiba, mereka berada di kamar tidur utama di tengah rumah, meletakkan serangkaian artikel di atas meja pendek. Beberapa artikel ini dulu milik Dalai Lama ke-13, yang lainnya adalah duplikat yang disusun secara hati-hati. Beberapa objek termasuk  kacamata Dalai Lama, pensil perak dan mangkuk makan, serta empat item Oracle of Samye yang telah diperintahkan untuk dibawa oleh utusan tersebut. Mereka adalah tasbih hitam,  tasbih kuning, dua tongkat, dan rebana gading kecil yang biasa digunakan dalam ibadah agama Buddha.

Memasuki kamar tidur, Lhamo Dhondrub diminta maju oleh Kewtsang Rinpoche, yang duduk dengan tiga pejabat di kedua sisi dari meja. Di tangan Kewtsang Rinpoche memegang tasbih hitam yang anak itu telah tertarik pada kunjungan sebelumnya, di sisi lain ia memegang duplikatnya yang sempurna. Ketika diminta untuk memilih satu, anak itu mengambil tasbih yang benar tanpa ragu-ragu dan meletakkannya di lehernya, kemudian diulangi dengan tasbih kuning beberapa saat kemudian.

Selanjutnya, mereka menunjukkan sebuah tongkat. Mula-mula Lhamo Dhondrub dengan lembut menarik tongkat yang salah, tapi kemudian diletakkan dan mengambil yang satunya, lalu  ia memegangnya dengan gembira di hadapannya. Hal ini dianggap sangat penting karena tongkat yang “salah”  itu memang benar-benar pernah digunakan sebentar oleh Dalai Lama sebelum ia memberikannya kepada seorang teman. Objek yang terakhir, drum. Drum yang palsu itu dihiasi dengan bunga brokat yang indah; sedangkan yang asli terlihat kurang menarik. Sekali lagi Lhamo Dhondrub mengambil objek yang benar, dengan cepat kemudian memutar drum bolak-balik di tangan kanan dan membunyikan seperti cara ritual tantra.

Selanjutnya, anak itu diperiksa delapan tanda-tanda tubuh khusus milik Dalai Lama: telinga besar, mata panjang, alis melengkung ke atas pada ujung-ujungnya, guratan pada kaki, dan tanda dalam bentuk sangkakala di salah satu telapak tangan. Mereka dengan lembut memeriksa anak itu, dan setelah menemukan tiga tanda sesuai, para penguji menjadi begitu bahagia, mata mereka dipenuhi air mata kebahagiaan. Tidak ada keraguan bahwa Dalai Lama Tibet ke-14  sedang duduk di hadapan mereka dalam tubuh seorang anak berusia dua setengah tahun. Dengan begitu, visi tersebut benar: huruf dalam visi menunjukkan nama biara terdekat, dan gambaran khas dari anjing menggonggong, ubin, dan selokan-selokan, terlihat keseluruhannya.

Tetapi ketika panglima perang Islam dari barat laut Cina mendengar tentang pemilihan anak tersebut, ia menuntut uang tebusan yang sangat tinggi sebelum ia  membiarkan anak tersebut diambil dari distriknya. Setelah dia dibayar, dia menuntut lebih banyak uang dan artefak religius yang berharga. Meninggalkan mereka tanpa punya pilihan, orang-orang Tibet kemudian mengumpulkan uang dan membayar uang tebusan. Setelah berbulan-bulan menunggu, calon Dalai Lama dan keluarganya berangkat melalui tiga bulan perjalanan ke Lhasa, ibukota Tibet. Lhamo Dhondrub naik kuda bersama kakaknya yang berumur enam tahun di atas tandu kecil yang digantung pada tiang-tiang antara dua keledai. Sepanjang jalan dia disambut dengan persembahan dan penghormatan seperti kepada guru besar atau pemimpin.

Ketika mereka berada beberapa mil dari Lhasa, mereka disambut dengan prosesi obor yang membawa mereka ke perkemahan. Di tengah-tengah terdapat tenda satin kuning yang sangat besar, berkanopi dalam warna biru dan putih. Tenda ini, dikenal sebagai Great Peacock, yang telah digunakan selama berabad-abad semata-mata hanya untuk menyambut setiap bayi reinkarnasi dari Dalai Lama kembali ke rumah.

Selama dua hari berikutnya, Lhamo Dhondrub muda duduk diatas singgasana tinggi di dalam tenda Great Peacock dan diberkati secara individual oleh 70.000 bhiksu dan masyarakat awam yang berkumpul untuk menyambutnya.

Pada pagi hari tanggal 8 Oktober 1939, dilakukan prosesi enam belas bangsawan berpakaian satin hijau dan topi merah berjambul membawa tandu emas, di mana duduk anak kecil tersebut. Sebuah prosesi para pemusik, Peramal Negara, keluarga Dalai Lama, anggota kabinet, Bupati, dan Perdana Menteri, mendampingi anak tersebut ke istana. Ribuan orang berdiri berjajar di perjalanan, melambai-lambaikan spanduk di tiang-tiang tinggi.

Setelah Lhamo Dhondrub diantar ke ruang pendahulunya di istana, ia menunjuk ke sebuah kotak kecil dan menyatakan, “gigi saya ada di sana.” Setelah membuka kotak, para petugas terheran-heran ketika menemukan satu set gigi palsu Dalai Lama sebelumnya.

Dalam beberapa minggu, anak empat tahun Lhamo Dhondrub, atau Tenzin Gyatso seperti dia sekarang disebut, sudah dinobatkan pada Tahta Singa sebagai  penguasa tertinggi jasmani dan rohani Tibet. Ini adalah Dalai Lama yang sama yang hari ini adalah pemimpin spiritual Tibet dan semua umat Buddha, dan bepergian ke seluruh dunia untuk menyebarkan ide-ide Buddha dan menceritakan tentang penindasan umat Buddha di Tibet oleh Cina.

Tulisan ini diadaptasi dari otobiografi Dalai Lama, dan dari buku Exile in the Land of Snows oleh John F. Avedon.

-oOo-