Jumat, Januari 02, 2015
Kamis, Januari 01, 2015
Hidup Bagahagia Sebagai Perumah Tangga
HIDUP BAHAGIA SEBAGAI
PERUMAH TANGGA
Oleh Bhikkhu Indadharo
”Cattārome, dhammā
kulaputtassa
diṭṭhadhammahitāya saṁvattanti diṭṭhadhammasukhāya.
Katame cattāro?
Uṭṭhānasampadā, ārakkhasampadā,
kalyāṇamittatā, samajīvitā”.
”Empat kondisi,
untuk kesejahteraan rumah
tangga dan kebahagiaan dalam kehidupan ini.
Apakah yang empat itu?
Rajin dan semangat, Penuh
hati-hati,
Persahabatan yang baik dan
Kehidupan yang seimbang.”
(Vyagghapajja
Sutta-Aṅgutara
Nikāya)
Kebahagiaan adalah kata umum yang
sering kali orang ucapkan dan kita dengar. Hampir semua orang mengharapkan
hidupnya bahagia, baik di kehidupan sekarang maupun di dunia selanjutnya,
walaupun pengertian kebahagiaan itu sendiri dan cara mencapainya berbeda-beda. Untuk mencapai
kebahagiaan tentunya tidak cukup hanya berdoa, tetapi diperlukan adanya usaha
untuk mengkondisikan munculnya kebahagiaan itu.
Banyak orang yang masih memiliki salah
pengertian mengatakan bahwa, Agama Buddha hanya menaruh perhatian kepada
cita-cita yang luhur, moral tinggi, dan pikiran yang mengandung filsafat tinggi
saja, dengan mengabaikan kebahagiaan atau kesejahteraan kehidupan duniawi dari
umat manusia. Padahal,
Sang Buddha di dalam ajaran-Nya, juga menaruh perhatian besar terhadap
kesejahteraan kehidupan duniawi dari umat manusia, yang merupakan kebahagiaan
yang masih berkondisi.
Memang, walaupun kesejahteraan
kehidupan duniawi bukanlah merupakan tujuan akhir dalam Agama Buddha, tetapi
hal itu bisa juga merupakan salah satu kondisi (sarana/syarat) untuk
tercapainya tujuan yang lebih tinggi dan luhur, yang merupakan kebahagiaan yang
tidak berkondisi, yaitu terealisasinya Nibbāna. Sang Buddha tidak pernah
mengatakan bahwa kesuksesan dalam kehidupan duniawi adalah merupakan suatu
penghalang bagi tercapainya kebahagiaan akhir yang mengatasi keduniawian.
Sesungguhnya yg menghalangi perealisasian Nibbāna, bukanlah kesuksesan atau
kesejahteraan kehidupan duniawi tersebut, tetapi kehausan dan keterikatan batin
kepadanya itulah, yang merupakan halangan untuk terealisasinya Nibbāna.
Di dalam Vyagghapajja Sutta-Aṅgutara Nikāya, seorang upasaka bernama Dighajanu
dari suku Koliya, datang menghadap Sang Buddha. Setelah memberi hormat lalu
bertanya “sebagai upasaka yang masih menyenangi ke kehidupan duniawi, hidup
berkeluarga, mempunyai istri dan anak. Kepada mereka yang seperti kami ini,
Bhante ajarkanlah suatu ajaran (Dhamma) yang berguna untuk memperoleh
kebahagiaan di kehidupan sekarang ini”
Menjawab pertanyaan tersebut Sang
Buddha kemudian menunjukan cara untuk dapat memperoleh kebahagian duniawi dalam
kehidupan sekarang ini yaitu dengan menjalankan empat macam
Ditthadhammikatthapayojana (hal-hal yang berguna pada saat sekarang) yaitu:
1.
Uṭṭhānasampadā: (rajin dan
semangat di dalam bekerja mencari nafkah).
Rajin adalah sebuah ketekunan dan
keuletan serta mau bekerja keras sesuai dengan keahlian yang dimiliki. Mereka
yang rajin adalah mereka yang tidak menunda-nunda pekerjaan, tidak banyak
membuat alasan seperti masih terlalu pagi, terlalu panas, terlalu dingin, masih
ngatuk dan berbagai macam alasan lainnya. Jika seseorang rajin dan memiliki
semangat juang yang tinggi dalam bekerja tentu kebutuhan hidupnya akan
terpenuhi secara otomatis ini menciptakan kebahagiaan saat ini, karena memiliki
harta kekayaan.
2.
Ārakkhasampadā: (Penuh hati-hati,
dengan kata lain, menjaga dengan hati-hati kekayaan apapun yang telah diperoleh
dengan kerajinan dan semangat, tidak membiarkannnya mudah hilang atau dicuri).
Setelah berhasil memperoleh
kebahagiaan (memiliki harta kekayaan), tentunya berusaha untuk mempertahankan
kebahagiaan itu dengan cara selalu menjaga dan merawat apa yang dimiliki.
Karena harta kekayaan yang dimiliki dapat hilang dan lenyap. Entah hilang
karena dicuri, dirampok atau karena hal-hal lain yang disebabkan oleh kelalaian
dan ketidakwaspadaan dalam menjaga harta tersebut. Sehingga perlu adanya
kewaspadaan untuk menjaga materi yang dimiliki. Tidak sembarangan menyimpan
atau meletakkan barang berharga yang di miliki. Dengan demikian materi yang
dimiliki akan dapat dimanfaatkan dalam jangka waktu yang lebih lama. Paling
tidak dengan selalu waspada menjaga apa yang kita miliki, tidak mengundang niat
buruk dari orang lain untuk mengambilnya.
Memang semua yang kita miliki di dunia
ini pada dasarnya tidak kekal, mengalami perubahan dan suatu saat akan kita
tinggalkan. Karena harta kekayaan yang
dimiliki, sesungguhnya hanya hak pakai bukan hak milik. Harta kekayaan
hanya bisa dimanfaatkan di dunia ini saja tidak bisa dibawa mati. Namun
demikian bukan berarti kita tidak merawat dan menjaga harta benda yang
dimiliki. Justru dengan selalu menjaga apa yang sudah dimiliki akan menunjang
kebahagiaan di dunia ini.
3.
Kalyāṇamittatā: (memiliki teman-teman baik, dan tidak bergaul dengan orang jahat).
Setelah dapat menjaga dan merawat apa
yang dimiliki, kita juga hendaknya berteman dengan sahabat yang baik
(kalyanamitta). Karena berteman dengan orang yang baik akan membawa dampak yang
positif bagi kita. Kita akan terbiasa untuk ikut melakukan hal-hal baik yang
dia lakukan. Seperti daun yang dipakai membungkus kayu cendana akan ikut berbau
wangi, demikian pula pergaulan dengan orang baik akan membawa dampak yang
positif bagi kita.
Berbeda jika berteman dengan orang
yang tidak baik, misalnya dengan orang yang boros. Kita akan cenderung ikut
boros dan akibatnya harta kekayaan yang dengan susah payah di dapatkan akan
habis percuma. Karena ada juga jenis teman yang hanya mengincar harta kekayaan
yang telah kita dapatkan. Selain itu, apabila bergaul dengan orang yang jahat
akan mengakibatkan namanya tercemar. Seperti rumput alang-alang yang dipakai
membungkus ikan busuk akan ikut berbau busuk, demikian pula pergaulan dengan
orang dungu akan menimbulkan ketercelaan atau reputasi yang buruk. Oleh karena
itu harus lebih jeli dalam bergaul, berteman dengan teman yang baik bukan teman
yang palsu.
Namun bagi orang yang sudah maju
batinnya, tidak ada salahnya berada di antara orang yang kurang baik dengan
tujuan dapat membimbing mereka ke jalan yang benar. Ia boleh bergaul dengan
orang dungu bila sudah yakin pengaruhnya yang baik akan mengalir kepada mereka,
bukan sebaliknya yaitu pengaruh mereka yang buruk akan mengalir kepada dirinya.
4. Samajīvitā: (harus dapat hidup sesuai
dengan batas-batas kemampuannya. Artinya bisa menempuh cara hidup yang sesuai
dan seimbang dengan penghasilan yang diperolehnya, tidak boros, tetapi juga
tidak pelit/kikir).
Seseorang yang hidupnya boros akan
sulit untuk hidup sejahtera. Apapun penghasilan yang didapatkan akan cepat
habis. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan banyak hutang karena hidupnya yang
boros. Selain itu cara hidup boros ini juga dapat memicu masalah dalam rumah
tangga disebabkan pengeluarannya lebih besar daripada penghasilan. Maka ada
istilah masyarakat yang menggambarkan hidup boros yaitu ”besar pasak daripada tiang”.
Selain tidak boros hendaknya juga
tidak kikir. Sebab seseorang yang hemat namun kikir, hanya akan menambah
kemelekatan dan keserakahan dalam dirinya. Karena itu, salah satu cara untuk
mengikis kekikiran adalah berdana. Tindakan berdana selain dapat mengikis
kekikiran dan ketamakan, juga secara otomatis menambah jasa kebajikan. Selalu
berbagi apa yang kita miliki kepada orang, berarti kita memanfaatkan materi
yang kita miliki dengan bijaksana.
Keempat hal tersebut adalah merupakan
persyaratan (kondisi) yang dapat menghasilkan kebahagiaan dalam kehidupan
duniawi sekarang ini. Dari semua uraian di atas, bisa kita ketahui bahwa Sang
Buddha juga memperhatikan kesejahteraan dalam kehidupan duniawi; tetapi memang,
Beliau tidak memandang kemajuan duniawi sebagai sesuatu yang benar, kalau hal
tersebut hanya didasarkan pada kemajuan materi semata, dengan mengabaikan
dasar-dasar moral dan spiritual. Maka meskipun menganjurkan kemajuan material
dalam rangka kesejahteraan dalam kehidupan duniawi, Sang Buddha juga selalu
menekankan pentingnya perkembangan watak, moral, dan spiritual, untuk
menghasilkan suatu masyarakat yang bahagia, aman, dan sejahtera secara lahir
maupun batin; dalam rangka tercapainya tujuan akhir, yaitu terbebas dari dukkha
atau terealisasinya Nibbāna.
Sumber:
Dhamma Vibhāga, Penggolongan Dhamma, Vidyasena Vihara Vidyaloka,
Yogyakarta.
http://suttacentral.net