Jumat, April 24, 2015
Cermin-Cermin Fenomena
CERMIN-CERMIN FENOMENA
Upa. Amaro Tanhadi
Kebanyakan
orang melihat segala sesuatu (fenomena) sebagaimana yang tampak dan bukan
sebagaimana adanya. Sehingga apapun yang dilihatnya sebagai sesuatu yang indah
dan menyenangkan, ia menjadi bahagia dan melekat terhadap keindahan itu. Namun
ketika sesuatu yang indah itu berubah menjadi usang dan buruk, ia diliputi oleh
kekecewaan, tidak suka dan menjadi tidak bahagia. Dari sisi ‘sesuatu’ itu
sendiri, ia tidak terpengaruh oleh perasaan suka maupun perasaan tidak suka
kita terhadapnya, ia tidak peduli, ia tetap sebagaimana adanya. Hanya diri
kitalah yang memiliki perasaan suka dan tidak suka ini,
dan kemudian melekat pada perasaaan itu. Kita bagaikan sedang memandang cermin-cermin fenomena, ketika kita melihat
cermin, apa yang semestinya berada disebelah kanan, akan tampak berada di
sebelah kiri, demikian pula sebaliknya. Kita hanya membuat diri kita sendiri
menjadi sinting.
Segala
sesuatu, apapun itu, ia hanyalah sebuah fenomena yang dapat mengalami
kerusakan, karena sifat dari segala sesuatu (fenomena) adalah senantiasa tiada
henti berubah dan memiliki ciri ketidaktetapan (Anicca), tidak memuaskan (dukkha),
dan ketiadadirian (Anatta). Mereka
tak lain dan tak bukan hanyalah itu, namun kebanyakan dari kita menjadi
bingung, kita tidak menginginkan sesuatu yang baik, menyenangkan dan membuat
kita bahagia itu mengalami perubahan dan lenyap, namun tentu saja hal itu tidak
realistik.
Sang
Buddha mengajarkan kepada kita bahwasanya semua keindahan, kenikmatan,
kebahagiaan, ketidakbahagiaan, kesukaan, keheningan, keresahan dan semua
pengalaman tanpa kecuali adalah mutlak semuanya tidak pasti, karena
ketidaktetapan adalah sifat alamiah mereka.
Inilah yang seharusnya kita ketahui dan kita renungi
sepanjang waktu, dimanapun kita berada. Pecahkanlah cermin-cermin fenomena
tersebut, kemudian lihatlah segala sesuatu sebagaimana sifat alamiah mereka dan
bukan sebagaimana yang tampak pada cermin-cermin fenomena yang menipu pandangan
kebanyakan orang.
Waru, 24 April 2015
Mettacittena,
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta
Senin, April 20, 2015
Hidup Ini Singkat
HIDUP
INI SINGKAT
Seperti halnya setetes
embun di ujung rumput
akan lenyap dengan cepat
pada saat matahari terbit
dan tidak akan berumur
panjang;
Demikian pula,
kehidupan manusia ini
bagaikan setetes embun.
Kehidupan ini pendek,
terbatas dan singkat;
kehidupan ini penuh dengan
penderitaan,
penuh dengan pusaran.
Hal ini harus dipahami
dengan bijaksana.
Orang harus melakukan hal
yang baik
dan menjalani kehidupan
yang murni;
karena tak seorang pun
yang telah terlahir
dapat lolos dari kematian.
(Anguttara Nikaya. VII, 70)
Sang Buddha Tidak Mengajarkan Berdoa dan Sumpah
SANG BUDDHA
TIDAK MENGAJARKAN BERDOA DAN
SUMPAH
Setiap
orang menginginkan berumur panjang, terlihat elok, bahagia, termasyhur dan
kalau mati masuk surga. Sang Buddha mengatakan bahwa kesemuanya itu tidak dapat
diperoleh lewat doa atau sumpah. Sebab seandainya semua hal itu dapat diperoleh
lewat Doa atau Sumpah, maka seharusnya setiap orang di dunia ini yang berdoa
atau bersumpah dapat memperolehnya. Namun pada kenyataannya tidaklah demikian.
Sang
Buddha mengajarkan bahwa siapapun orang yang menginginkan kehidupan yang
panjang, tidaklah sesuai bila dia berdoa untuk umur panjang atau bergembira
dalam melakukannya. Sebaiknya dia justru mengikuti jalan kehidupan yang
menopang untuk umur panjang. Dengan mengikuti jalan itu, dia akan memperoleh
umur panjang.
Demikian pula, bagi
siapapun orang yang menginginkan keelokan,
kebahagiaan, kemashyuran
dan terlahir di surga,
Sebaiknya dia justru
mengikuti jalan kehidupan yang menopang untuk keelokan, kebahagiaan,
kemashyuran dan kelahiran di surga.
Dengan mengikuti jalan
itu, dia akan memperoleh keelokan,
kebahagiaan, kemashyuran
dan kelahiran ulang di surga."
(Anguttara Nikaya V,
43)
Selasa, April 14, 2015
Cara Mengajarkan Dhamma
CARA MENGAJARKAN DHAMMA
Sang Buddha mengharapkan agar kita sebagai umat Buddha membagi
Dhamma kepada orang-lain agar semua orang juga dapat belajar hidup berbahagia
dan damai.
Bila dia tak berbicara, orang tak akan mengenalnya;
Dia hanyalah orang bijaksana ditengah orang bodoh
Tapi kalau dia berbicara dan mengajarkan Kebenaran,
Orang lain akan mengenalnya.
Oleh karenanya hendaknya dia membabarkan Dhamma,
Hendaknya dia mengibarkan panji kebijaksanaan itu
setinggi-tingginya.
(Anguttara Nikaya II: 51)
Didalam berbagi pengetahuan Dhamma pada orang lain, kita haruslah
peka pada keyakinan-keyakinan orang lain, pula harus dipahami bahwa ada tipe
manusia yang memang tidak akan pernah tertarik pada Dhamma. Praktek-praktek
dalam penyebar-luasan agama seperti pembicaraan-mendua (berubah-ubah/tidak
konsisten), menakut-nakuti, membagi-bagi hadiah atau menjanjikan kesempatan
kerja, sangat tidak sejalan dengan semangat Buddhis. Cara seperti itu malah
hanya akan menumbuhkan 'egoisme', kompromi (merubah/menyesuaikan doktrin
keagamaan sendiri), intoleransi; bukannya keyakinan sejati pada agama sendiri
dan tenggang rasa pada orang lain. Sang Buddha menekankan perlunya pertimbangan
yang mendalam sebelum memperkenalkan Dhamma kepada orang lain.
Sebenarnya, tidaklah mudah mengajarkan Dhamma kepada
orang lain, terlebih dahulu kembangkan secara baik lima hal, lalu setelah itu
ajarkanlah Dhamma. Apa yang lima itu? Ajarkan Dhamma pada orang lain, dengan
berpikir: "Saya akan menyampaikan Dhamma secara bertahap; saya akan berbicara
dengan kemauan baik; saya akan berbicara dengan hati yang bersih; saya tidak
akan berbicara demi kepentingan sendiri; saya tidak akan berbicara yang
merugikan diri sendiri, maupun diri orang lain."
(Anguttara
Nikaya III: 184)
Yang mulia Sariputta, salah satu murid utama Sang
Buddha, memberi nasihat yang sama:
Apabila
seseorang berharap mengajar pada yang lainnya, hendaknya dia mengembangkan
terlebih dahulu lima hal sebelum mengajar. Apa yang lima itu? Hendaknya dia
berpikir: "Saya akan berbicara pada waktu yang tepat, bukan pada waktu
yang salah. Saya akan berbicara tentang apa yang adalah, bukan tentang apa yang
bukanlah. Saya akan berbicara dengan lemah-lembut, bukan dengan kekerasan. Saya
akan berbicara tentang yang baik, bukan tentang apa yang tidak baik. Saya akan
berbicara dengan hati dipenuhi cinta-kasih, bukan dengan pikiran yang dipenuhi
keinginan-jahat."
(Anguttara
Nikaya III: 195)
Terpisah dari nilai-nilai diatas, Sang Buddha juga
berkata bahwa cara penyampaian yang jelas, disertai keyakinan dan kemampuan
menjawab, juga sangat berperan dalam pembabaran Dhamma.
Bila seseorang mengajar
mereka yang ingin belajar,
Tanpa keraguan dan
kerahasiaan dalam pengertian,
Membuka segalanya dan
tidak menyembunyikan ajaran,
Berbicara dengan menatap
Tidak marah bila
mendapat pertanyaan
Bhikkhu seperti inilah
yang berharga
Untuk membabarkan
ajaran.
(Anguttara Nikaya IV:
196)