Senin, Juni 01, 2015

Pesan Waisak 2559/2015

Pesan Waisak 2559 / 2015




SANGHA THERAVADA INDONESIA
Pusdiklat Buddhis Sikkhadama Santibhumi,
BSD City Sektor VII Blok C Nomor 6,
Tangerang Selatan 15321.
Telp (021) 53167061, Faks. (021) 53156737.
Vihara Mendut,
Kotakpos 111, Kota Mungkid 56501, Magelang
Telp / Faks (0293) 788564.


Namo Tassa Bhagavato Arahato SammĂ sambuddhassa
Dhammam care sucaritam, Na nam duccaritam care
Dhammacari sukham seti, Asmim loke paramhi ca
(Dhammapada 169)

Sepatutnya ia melaksanakan Dhamma dengan baik,
tidak melaksanakan dengan buruk.
Ia yang senantiasa melaksanakan Dhamma,
akan berbahagia di dunia ini dan di dunia lain.
  
Hari Trisuci Waisak memperingati tiga peristiwa suci dalam kehidupan Guru Agung Buddha Gotama, yaitu: kelahiran Siddhartha Gotama calon Buddha, pencapaian Pencerahan Sempurna Buddha, serta kemangkatan Guru Agung Buddha. Tiga peristiwa suci itu terjadi pada hari yang sama, yaitu hari purnama sidi, bulan Waisak, dengan tahun yang berbeda-beda: kelahiran calon Buddha tahun 623 SM di Kapilavasthu, India Utara; Pencerahan Sempurna tahun 588 SM di Bodhgaya, India; dan Buddha mangkat tahun 543 SM pada usia 80 tahun, di Kusinara, India. Hari Trisuci Waisak 2559 tahun ini jatuh pada tanggal 2 Juni 2015. Seluruh umat Buddha di dunia memperingati Trisuci Waisak dengan laku puja bakti, meditasi, pendalaman Dhamma ajaran Buddha, serta kegiatan-kegiatan sosial-budaya Buddhis lain.

Sangha Theravada Indonesia mengangkat tema Trisuci Waisak 2559/2015: Dhamma Melindungi yang Melaksanakan. Dhamma ajaran Buddha meliputi tiga aspek, yaitu: pelajaran, pelaksanaan, dan pengalaman. Pelajaran Dhamma terdapat dalam kitab suci Tipitaka yang memuat kebenaran-Dhamma dan kemoralan-Vinaya, sedangkan pelaksanaan Dhamma adalah praktik kesusilaan (moral), praktik keteguhan pikiran (meditasi), dan praktik kebijaksanaan dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman Dhamma adalah hasil praktik kesusilaan, keteguhan pikiran, dan kebijaksanaan, yang berupa lenyapnya penderitaan.

Kesusilaan (Moral) sebagai Pelindung

Di tengah-tengah kehidupan dewasa ini, manusia sering mengabaikan pelaksanaan moral, karena ia lebih mengutamakan keberhasilan pencapaian cita-cita atau keinginannya. Menggantungkan cita-cita setinggi langit memang baik, tetapi lebih baik lagi apabila orang berpikir bagaimana cara yang tepat untuk mencapai cita-cita itu. Bukan asal cita-cita tercapai, apapun perilaku boleh dilakukan. Tidak peduli perilaku itu buruk bahkan menimbulkan penderitaan orang lain pun dilakukan demi tercapainya cita-cita seseorang. Sikap orang seperti itu cenderung terpukau pada kesenangan atas keberhasilan semata, dan enggan bersusah-susah melakukan upaya kebaikan untuk meraih keberhasilan itu. Cita-cita lebih diutamakan daripada cara pencapaiannya. Padahal cara pencapaian yang buruk akan berdampak negatif bagi keberhasilannya. Kecemasan, kekhawatiran, permusuhan, nama buruk, bahkan kehancuran rumah tangga bisa saja menyertai keberhasilan dalam perolehan cita-citanya. Sedangkan cara-cara baik, seperti: kerja keras, rajin, semangat hidup, pantang menyerah, kejujuran, kasih sayang, dan lain-lain, akan berdampak positif bagi keberhasilan cita-cita seseorang. Kenyamanan, kedamaian, nama baik, kepercayaan, persaudaraan akan diperoleh bersamaan dengan pencapaian cita-citanya.

Apabila orang berlomba-lomba memperoleh keberhasilan meskipun dengan cara-cara buruk, maka terjadilah krisis moral yang membuat kekacauan hidup, hidup saling mengancam, saling menjatuhkan, bahkan saling menyerang. Tidak ada rasa aman dalam kehidupan ini. Ada kalanya orang berkata bahwa hukum negara sebagai panglima dalam kehidupan bernegara. Tetapi permasalahan akan muncul, ketika penanggungjawab hukum negara itu tidak bermoral. Sulit dibayangkan bahwa hukum negara menjadi tidak digunakan sebagaimana mestinya. Orang yang bermoral buruk dapat berlindung di balik pembenaran hukum negara. Karena itu pelaksanaan moral tidak dapat ditawar lagi apabila hukum negara ataupun peraturan di tempat manapun juga ingin ditegakkan dan bermanfaat bagi kehidupan bersama. Revolusi mental tidak bisa dilakukan tanpa pelaksanaan moral dalam kehidupan bersama, perlu ada perubahan paradigma mental yang semula menghalalkan segala cara untuk mencapai cita-cita kemudian menjadi sangat peduli terhadap cara-cara baik dan tepat demi pencapaian cita-cita yang memberi berkah bagi diri sendiri maupun orang lain.

Penerapan moral akan menimbulkan perlindungan bagi orang yang melaksanakannya, sebab ia yang menerapkan moral tidak akan mempunyai pikiran bersalah dan menyesal. Ia akan merasa nyaman pergi kemana saja, karena ia merasa tidak bersalah. Ia juga tidak menyesali perbuatan yang telah dilakukannya. Ia akan melindungi dirinya sendiri dari berbagai kesalahan dan penyesalan. Bahkan melindungi orang lain pula, karena orang lain tidak merasa terancam dan tidak takut dengan kehadiran orang yang menerapkan moral.

Keteguhan Pikiran (Meditasi) sebagai Pelindung


Selain penerapan moral dalam kehidupan sehari-hari, keadaan pikiran manusia juga perlu diperhatikan, karena selama manusia masih memiliki keadaan pikiran yang serakah, benci, dan egois, maka kehidupan manusia sangatlah tidak nyaman. Keserakahan dalam pikiran dapat mendorong niat mencuri, korupsi, berzina, perilaku asusila, bahkan merusak hutan dan kandungan alam lingkungan hidup. Sedangkan kebencian akan mendorong niat orang melakukan kekerasan, perbuatan sadis, dan pembunuhan. Egois akan menyebabkan orang memiliki pandangan hidup yang keliru, tidak dapat membedakan mana yang benar dan yang salah, memiliki pandangan eksklusif dan tidak toleran. Hal-hal itu sangat membahayakan bagi kehidupan bersama, karena itu sangatlah penting penerapan meditasi sebagai cara untuk mengolah pikiran, agar pikiran dapat terbebas dari keserakahan, kebencian, dan keegoan. Revolusi mental dapat terlaksana apabila orang mau mengubah kondisi pikirannya yang semula dipenuhi oleh serakah, benci, dan egois, kemudian beralih menjadi pikiran yang memiliki kepedulian, cinta kasih, dan kebersamaan dalam hidup bermasyarakat.

Penerapan meditasi akan mengubah pikiran menjadi tidak lagi serakah melainkan gemar memberi, tidak lagi membenci melainkan penuh welas asih, dan tidak lagi egois melainkan inklusif dan toleran. Pikiran seperti itu akan menimbulkan perlindungan bagi seseorang dan juga perlindungan buat banyak orang di sekitarnya. Orang-orang akan merasa nyaman hidup bersama.

Kebijaksanaan sebagai Pelindung

Pemahaman hakikat hidup sering menimbulkan masalah dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan bersama. Ada orang yang menganggap bahwa kebahagiaan hidup hanyalah semata kebahagiaan materi, dengan kekayaan yang berlimpah orang berpandangan bahwa ia akan hidup berbahagia. Atau kebahagiaan hidup diperoleh dengan terpenuhinya kenikmatan-kenikmatan indriawi manusia, kenikmatan mata pada saat mata berkontak dengan objek penglihatan, kenikmatan telinga pada saat telinga berkontak dengan objek pendengaran, demikian pula kenikmatan indria lainnya. Pemahaman kebahagiaan hidup seperti itu akan menimbulkan pemujaan terhadap kekayaan materi, pemujaan terhadap kenikmatan indria, sebagai suatu kebahagiaan tertinggi. Apakah memang benar bahwa kebahagiaan tertinggi seperti itu? Bagaimana dengan kebahagiaan tertinggi sesuai ajaran Buddha? Untuk mengetahui hal itu, perlu sekali dipahami adanya hal-hal hakiki yang berlangsung dalam kehidupan ini. Dalam ajaran Dhamma, terdapat penjelasan bahwa meskipun Guru Agung Buddha ada ataupun tidak ada, terdapat hal-hal hakiki yang berlangsung sepanjang masa, yaitu adanya ketidakkekalan, ketiadapuasan, dan ketiadaan ego. Ia yang memahami ketidakkekalan, ketiadapuasan, dan ketiadaan ego, maka ia tidak mau menggenggam erat apapun yang telah diperolehnya. Ia memahami segala sesuatu akan berakhir, segala sesuatu tidak dapat memenuhi kepuasan secara terus menerus, dan segala sesuatu tidak dapat diatur sesuai kehendaknya, sedangkan dirinya sendiri saja akan mengalami hal-hal seperti tersebut di atas, maka hidup ini hanyalah proses yang terus berlangsung. Manusia terlibat dalam proses kehidupan ini bersama dengan segala sesuatu yang terdapat dalam kehidupan itu. Manusia dapat turut berperan serta memengaruhi proses kehidupan itu, apakah akan merawat kehidupan atau akan menghancurkan kehidupan. Apapun yang terjadi dalam proses kehidupan itu berlangsung sesuai dengan hukum sebab akibat yang saling bergantungan. Hukum kausalitas itulah yang melangsungkan proses kehidupan. Revolusi mental juga memerlukan pemahaman bahwa hidup adalah proses yang berlangsung terus menerus karena berlakunya hukum sebab akibat. Karena itu pandangan hidup yang memohon atau menanti, hendaknya perlu diubah menjadi berikhtiar dan bekerja keras karena apa yang kita peroleh dari hidup ini adalah hasil dari upaya kita.

Pengembangan kebijaksanaan adalah pengembangan pemahaman hakikat kehidupan itu, memahami proses kehidupan beserta hukum sebab akibat yang berlaku akan menimbulkan pengertian kebahagiaan hidup sebagai akibat dari segala sesuatu yang dilakukan dengan baik, benar, dan bermanfaat. Kebahagiaan hidup bukan berbentuk suatu kecanduan atau kelekatan, seperti halnya kelekatan terhadap kekayaan materi dan kenikmatan indria. Kebahagiaan hidup justru kebebasan dari kecanduan atau kelekatan. Pelepasan kecanduan dan kelekatan atau sikap bersahaja dalam hidup sehari-hari itulah yang membuat masing-masing orang merasa nyaman dan tidak mengancam orang lain.

Selamat Hari Trisuci Waisak 2559/2015, marilah umat Buddha sekalian membuat perlindungan bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat, bahkan bagi bangsa dan negara dengan cara melaksanakan kebenaran Dhamma. Karena pelaksanaan Dhamma akan menjauhkan hidup kita dari segala keadaan tidak nyaman atau penderitaan. Revolusi mental merupakan gerakan hidup baru yang berlandaskan pada pelaksanaan kesusilaan, keteguhan pikiran, dan kebijaksanaan. Revolusi mental itu akan melindungi hidup kita dari kekacauan laku, pikiran, dan pedoman hidup. Semoga dengan revolusi mental ini dapat mengantarkan kehidupan bangsa dan negara kita maju, sejahtera, serta damai.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa, Tiratana, selalu melindungi.

Semoga semua makhluk hidup berbahagia

Kota Mungkid, 2 Juni 2015
SANGHA THERAVADA INDONESIA
ttd.
Bhikkhu Jotidhammo, Mahathera
Ketua Umum / Sanghanayaka

http://www.samaggi-phala.or.id/sangha-theravada-indonesia/pesan-waisak-2559-2015/


Cermin-Cermin Fenomena

CERMIN-CERMIN FENOMENA
Upa. Amaro Tanhadi



Kebanyakan orang melihat segala sesuatu (fenomena) sebagaimana yang tampak dan bukan sebagaimana adanya. Sehingga apapun yang dilihatnya sebagai sesuatu yang indah dan menyenangkan, ia menjadi bahagia dan melekat terhadap keindahan itu. Namun ketika sesuatu yang indah itu berubah menjadi usang dan buruk, ia diliputi oleh kekecewaan, tidak suka dan menjadi tidak bahagia. Dari sisi ‘sesuatu’ itu sendiri, ia tidak terpengaruh oleh perasaan suka maupun perasaan tidak suka kita terhadapnya, ia tidak peduli, ia tetap sebagaimana adanya. Hanya diri kitalah yang memiliki perasaan suka dan tidak suka ini, dan kemudian melekat pada perasaaan itu. Kita bagaikan sedang memandang cermin-cermin fenomena, ketika kita melihat cermin, apa yang semestinya berada disebelah kanan, akan tampak berada di sebelah kiri, demikian pula sebaliknya. Kita hanya membuat diri kita sendiri menjadi sinting.

Segala sesuatu, apapun itu, ia hanyalah sebuah fenomena yang dapat mengalami kerusakan, karena sifat dari segala sesuatu (fenomena) adalah senantiasa tiada henti berubah dan memiliki ciri ketidaktetapan (Anicca), tidak memuaskan (dukkha), dan ketiadadirian (Anatta). Mereka tak lain dan tak bukan hanyalah itu, namun kebanyakan dari kita menjadi bingung, kita tidak menginginkan sesuatu yang baik, menyenangkan dan membuat kita bahagia itu mengalami perubahan dan lenyap, namun tentu saja hal itu tidak realistik.

Sang Buddha mengajarkan kepada kita bahwasanya semua keindahan, kenikmatan, kebahagiaan, ketidakbahagiaan, kesukaan, keheningan, keresahan dan semua pengalaman tanpa kecuali adalah mutlak semuanya tidak pasti, karena ketidaktetapan adalah sifat alamiah mereka.

Inilah yang seharusnya kita ketahui dan kita renungi sepanjang waktu, dimanapun kita berada. Pecahkanlah cermin-cermin fenomena tersebut, kemudian lihatlah segala sesuatu sebagaimana sifat alamiah mereka dan bukan sebagaimana yang tampak pada cermin-cermin fenomena yang menipu pandangan kebanyakan orang.

Waru, 24 April 2015

Mettacittena,

Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta






Senin, April 20, 2015

Hidup Ini Singkat

HIDUP INI SINGKAT

Seperti halnya setetes embun di ujung rumput
akan lenyap dengan cepat pada saat matahari terbit
dan tidak akan berumur panjang;
Demikian pula,
kehidupan manusia ini bagaikan setetes embun.
Kehidupan ini pendek, terbatas dan singkat;
kehidupan ini penuh dengan penderitaan,
penuh dengan pusaran.
Hal ini harus dipahami dengan bijaksana.
Orang harus melakukan hal yang baik
dan menjalani kehidupan yang murni;
karena tak seorang pun yang telah terlahir
dapat lolos dari kematian.


(Anguttara Nikaya. VII, 70)




Sang Buddha Tidak Mengajarkan Berdoa dan Sumpah

SANG BUDDHA
TIDAK MENGAJARKAN BERDOA DAN SUMPAH

Setiap orang menginginkan berumur panjang, terlihat elok, bahagia, termasyhur dan kalau mati masuk surga. Sang Buddha mengatakan bahwa kesemuanya itu tidak dapat diperoleh lewat doa atau sumpah. Sebab seandainya semua hal itu dapat diperoleh lewat Doa atau Sumpah, maka seharusnya setiap orang di dunia ini yang berdoa atau bersumpah dapat memperolehnya. Namun pada kenyataannya tidaklah demikian.

Sang Buddha mengajarkan bahwa siapapun orang yang menginginkan kehidupan yang panjang, tidaklah sesuai bila dia berdoa untuk umur panjang atau bergembira dalam melakukannya. Sebaiknya dia justru mengikuti jalan kehidupan yang menopang untuk umur panjang. Dengan mengikuti jalan itu, dia akan memperoleh umur panjang.

Demikian pula, bagi siapapun orang yang menginginkan keelokan,
kebahagiaan, kemashyuran dan terlahir di surga,
Sebaiknya dia justru mengikuti jalan kehidupan yang menopang untuk keelokan, kebahagiaan, kemashyuran dan kelahiran di surga.
Dengan mengikuti jalan itu, dia akan memperoleh keelokan,
kebahagiaan, kemashyuran dan kelahiran ulang di surga."

(Anguttara Nikaya V, 43)





Cara Mengajarkan Dhamma

CARA MENGAJARKAN DHAMMA

Sang Buddha mengharapkan agar kita sebagai umat Buddha membagi Dhamma kepada orang-lain agar semua orang juga dapat belajar hidup berbahagia dan damai.

Bila dia tak berbicara, orang tak akan mengenalnya;
Dia hanyalah orang bijaksana ditengah orang bodoh
Tapi kalau dia berbicara dan mengajarkan Kebenaran,
Orang lain akan mengenalnya.

Oleh karenanya hendaknya dia membabarkan Dhamma,
Hendaknya dia mengibarkan panji kebijaksanaan itu
setinggi-tingginya.

(Anguttara Nikaya II: 51)

Didalam berbagi pengetahuan Dhamma pada orang lain, kita haruslah peka pada keyakinan-keyakinan orang lain, pula harus dipahami bahwa ada tipe manusia yang memang tidak akan pernah tertarik pada Dhamma. Praktek-praktek dalam penyebar-luasan agama seperti pembicaraan-mendua (berubah-ubah/tidak konsisten), menakut-nakuti, membagi-bagi hadiah atau menjanjikan kesempatan kerja, sangat tidak sejalan dengan semangat Buddhis. Cara seperti itu malah hanya akan menumbuhkan 'egoisme', kompromi (merubah/menyesuaikan doktrin keagamaan sendiri), intoleransi; bukannya keyakinan sejati pada agama sendiri dan tenggang rasa pada orang lain. Sang Buddha menekankan perlunya pertimbangan yang mendalam sebelum memperkenalkan Dhamma kepada orang lain.

Sebenarnya, tidaklah mudah mengajarkan Dhamma kepada orang lain, terlebih dahulu kembangkan secara baik lima hal, lalu setelah itu ajarkanlah Dhamma. Apa yang lima itu? Ajarkan Dhamma pada orang lain, dengan berpikir: "Saya akan menyampaikan Dhamma secara bertahap; saya akan berbicara dengan kemauan baik; saya akan berbicara dengan hati yang bersih; saya tidak akan berbicara demi kepentingan sendiri; saya tidak akan berbicara yang merugikan diri sendiri, maupun diri orang lain."


(Anguttara Nikaya III: 184)

Yang mulia Sariputta, salah satu murid utama Sang Buddha, memberi nasihat yang sama:


Apabila seseorang berharap mengajar pada yang lainnya, hendaknya dia mengembangkan terlebih dahulu lima hal sebelum mengajar. Apa yang lima itu? Hendaknya dia berpikir: "Saya akan berbicara pada waktu yang tepat, bukan pada waktu yang salah. Saya akan berbicara tentang apa yang adalah, bukan tentang apa yang bukanlah. Saya akan berbicara dengan lemah-lembut, bukan dengan kekerasan. Saya akan berbicara tentang yang baik, bukan tentang apa yang tidak baik. Saya akan berbicara dengan hati dipenuhi cinta-kasih, bukan dengan pikiran yang dipenuhi keinginan-jahat."

(Anguttara Nikaya III: 195)

Terpisah dari nilai-nilai diatas, Sang Buddha juga berkata bahwa cara penyampaian yang jelas, disertai keyakinan dan kemampuan menjawab, juga sangat berperan dalam pembabaran Dhamma.

Bila seseorang mengajar mereka yang ingin belajar,
Tanpa keraguan dan kerahasiaan dalam pengertian,
Membuka segalanya dan tidak menyembunyikan ajaran,
Berbicara dengan menatap
Tidak marah bila mendapat pertanyaan
Bhikkhu seperti inilah yang berharga
Untuk membabarkan ajaran.


(Anguttara Nikaya IV: 196)