Jumat, Agustus 30, 2019

Kecenderungan Sang Buddha Tidak Mengajarkan Dhamma


KECENDERUNGAN SANG BUDDHA TIDAK MENGAJARKAN DHAMMA.
oleh : Amaro Tanhadi

Sesaat setelah Sang Buddha mencapai  Penerangan Sempurna, timbullah pikiran ini  dalam diriNya : 

“Aku merenungkan: ‘Dhamma ini yang telah Kucapai sungguh mendalam, sulit dilihat dan sulit dipahami, damai dan luhur, tidak dapat dicapai hanya dengan penalaran, halus, untuk dialami oleh para bijaksana.

Tetapi generasi ini menyenangi keduniawian, bergembira dalam keduniawian, bersukacita dalam keduniawian. 

Adalah sulit bagi generasi demikian untuk melihat kebenaran ini, yaitu, kondisionalitas spesifik, kemunculan bergantungan. Dan adalah sulit untuk melihat kebenaran ini, yaitu, tenangnya segala bentukan, lepasnya segala perolehan, hancurnya ketagihan, kebosanan, lenyapnya, Nibbāna.

Jika Aku harus mengajarkan Dhamma, orang-orang lain tidak akan memahamiKu, dan itu akan melelahkan dan menyusahkan bagiKu.’ 

‘Cukuplah dengan mengajarkan Dhamma, yang bahkan Kuketahui sulit untuk dicapai; Karena tidak akan pernah dilihat oleh mereka yang hidup dalam nafsu dan kebencian.

Mereka yang tenggelam dalam nafsu, terselimuti dalam kegelapan
Tidak akan pernah melihat Dhamma yang mendalam ini, yang mengalir melawan arus duniawi. Halus, dalam, dan sulit dilihat.’

Dengan pertimbangan demikian, batinKu lebih condong pada tidak melakukan apa-apa daripada mengajarkan Dhamma."

(MN 26: Ariyapariyesanā Sutta)

--------------------
Komentar saya (Tanhadi): 

* Banyak umat Buddhis yang mempertanyakan: " Mengapa, ketika Sang Bodhisatta yang sejak lama bercita-cita untuk mencapai Kebuddhaan dengan tujuan untuk membebaskan makhluk-makhluk lain, justru sekarang merasa ragu-ragu dan pikirannya condong untuk tidak melakukan apa-apa?"

* Menurut pendapat saya, Sang Buddha BUKAN RAGU-RAGU untuk mengajarkan Dhamma, tapi ENGGAN untuk mengajarkan Dhamma. Alasannya adalah : 

1). Karena Dhamma ini sulit dilihat dan sulit dipahami, tidak dapat dicapai hanya dengan penalaran dan untuk dialami oleh para bijaksana.

2). Beliau melihat bahwa orang-orang pada generasi sekarang lebih menyenangi hal-hal yang bersifat keduniawian, batin mereka dipenuhi oleh ketamakan, kebencian dan kebodohan, sehingga sangat sulit bagi generasi yang demikian untuk melihat kebenaran Dhamma.

3). BAHWA BARU SEKARANG , SETELAH MENCAPAI PENCERAHAN, BELIAU MENYADARI SEPENUHNYA betapa kuatnya kekotoran-kekotoran dalam batin makhluk-makhluk dan betapa mendalamnya Dhamma.

Dengan pertimbangan demikian, batin Sang Buddha lebih condong pada tidak melakukan apa-apa daripada mengajarkan Dhamma.

Alasan lainnya adalah, sudah menjadi semacam tradisi para Buddha  bahwa Sang Buddha akan  membabarkan Dhamma atas permohonan Brahma, karena pada saat itu semua orang adalah pemuja Brahma dan sangat bergantung pada Brahma. Maka dari itu, jika dewa yang begitu tinggi dan berkuasa seperti Brahma ingin mendengarkan Dhamma, maka seluruh alam dewa dan manusia cenderung akan begitu juga. Karena alasan itu maka sebelum membabarkan Dhamma, Sang Buddha menunggu agar diminta oleh Brahma.

  -oOo-



Adil Tidak Selalu Bijaksana


 ADIL TIDAK SELALU BIJAKSANA.
BIJAKSANA TIDAK SELALU ADIL

Arti kata :

▶Adil adalah, sama berat; tidak berat sebelah; tidak memihak.

▶Bijaksana adalah, selalu menggunakan akal budinya berdasarkan pada pengalaman dan pengetahuannya; pandai, hati-hati dan cermat.

Dengan demikian, dapat kita lihat bahwa, makna kata `adil` sangat berbeda dengan makna kata bijaksana.

Kita bisa menguji kedua kata itu sbb :

Kita memiliki kain selebar 10 M2 dan ingin membaginya kepada dua orang.

Dikatakan adil jika, masing-masing pihak memperoleh kain selebar 5 M2. Hanya saja, jika dua orang itu berbeda fisiknya (katakanlah yang satu gemuk,  sehingga 5 M2 tadi kurang untuk membuat sebuah baju, sementara yang satunya kurus, sehingga kain tersebut bersisa percuma). Apakah tindakan membagi dua sama besar itu bijaksana?

Jelaslah bahwa, keputusan yang adil itu tidaklah selalu bijaksana. 

Dalam hal pembagian kain di atas, biarlah kita kesampingkan dulu untuk tidak berbuat adil asalkan bertindak  bijaksana. Seyogianya kain tadi dibagi menjadi dua bagian, misalnya dengan 6 m2 untuk si gemuk dan 4 m2 untuk si kurus. Dengan begitu, keduanya bisa memperoleh baju tanpa ada kain yang terbuang percuma pun tidak merugikan kedua belah pihak.

Disini dapat kita lihat bahwa, tindakan yang bijaksana tidak selalu adil.

Semoga bermanfaat sebagai perenungan dan kajian kita bersama di saat kita harus memutuskan segala sesuatu dengan bijaksana tanpa mengabaikan nilai-nilai keadilan.

Tanhadi
=========
** ( Bahan dikutip dan di edit seperlunya dari Majalah Intisari, Edisi April 2004, halaman 152-153, "Adil Tidak Selalu Bijaksana"; Penulis : Lie Charlie).


Perumpamaan Gajah dan Orang Buta


PERUMPAMAAN GAJAH DAN ORANG BUTA 
(Perbedaan pandangan dan keyakinan)

Demikianlah yang telah saya dengar: Pada suatu kesempatan Sang Bhagavâ sedang berdiam di dekat Sâvatthî... di taman Anâthapindika.

Pada saat itu sejumlah pertapa dan brâhmana yang terdiri dari pengembara yang berbeda-beda pandangan datang ke Sâvatthî untuk meminta sedekah makanan. Mereka mempunyai pandangan yang berbeda-beda, dengan sifat toleran terhadap hal-hal yang berbeda, menyukai hal-hal yang berbeda, mempunyai berbagai keyakinan. Beberapa orang pertapa dan brâhmana membahas hal ini dan berpandangan: 

- Bahwa dunia adalah abadi, bahwa itulah sesuatu yang mutlak benar, dan bahwa berbagai pandangan yang lain adalah gila-gilaan. 

- Beberapa berpandangan bahwa dunia terbatas...; sementara menurut yang lain tidak terbatas....

- Ada yang berpandangan bahwa unsur hidup utama adalah tubuh;  yang lain percaya bahwa unsur hidup utama adalah satu hal selain tubuh...

-  Sebagian berpendapat bahwa diri adalah kekal; yang lain berpendapat bahwa diri adalah tidak kekal....

Lalu sebagian berpendapat keduanya kekal dan keduanya tidak kekal...; sebaliknya ada yang menyatakan dua-duanya tidak kekal; bahwa inilah yang benar, dan pandangan lain adalah gila-gilaan. 

Akibatnya mereka saling bertengkar, bercekcok, dan berselisih, saling melukai dengan kata-kata; "Dhamma adalah demikian, dhamma bukanlah demikian; Ini benar; itu salah!"

Pada suatu siang serombongan bhikkhu mengenakan jubah mereka dan mengambil mangkuk dan jubah, memasuki Sâvatthî untuk pindapâta, setelah berkeliling dan makan, menemui Sang Bhagavâ.. dan berkata: 

Bhante, sejumlah pertapa dan brâhmana yang merupakan pengembara mempunyai berbagai pandangan dan menimbulkan akibat... (dan mereka menceritakan pandangan-pandangan yang berbeda tersebut) Sang Bhagavâ pun berkata:

"Para bhikkhu, para pengembara yang mempunyai pandangan yang berbeda tersebut buta, tidak melihat dengan baik. Mereka tidak mengetahui kebaikan dan keburukannya. Mereka tidak mengenal dhamma. Mereka 
tidak memahami apa yang bukan dhamma. Akibat ketidaktahuan, mereka bertengkar, cekcok dan berselisih demi mempertahankan pandangan-pandangan tersebut.

Sebelumnya, para bhikkhu, ada seorang Raja di Sâvatthî ini. Kemudian, para Bhikkhu, Raja itu memanggil seorang laki-laki, sambil berkata, "Kemarilah engkau, pelayanku, pergilah dan kumpulkan di suatu tempat semua orang yang terlahir buta di Sâvatthî."

"Baik, Tuanku," jawab laki-laki tersebut dan menuruti perintah Raja untuk mengumpulkan semua laki-laki yang terlahir buta di Sâvatthî. Setelah selesai, ia kembali pada Raja dan berkata, "Tuanku, semua orang yang terlahir buta di Sâvatthî telah terkumpul."

"Pelayanku, tunjukkan kepada orang-orang tersebut sebuah gajah."

"Baik, tuanku" jawab laki-laki itu, dan melakukan sesuai perintah, 
berkata kepada mereka, "O, orang buta, ini adalah seekor gajah," dan ia menunjukan pada orang pertama kepala gajah, yang lain telinganya, lalu yang lain gadingnya, kaki, punggung, ekor dan berkas ekor, lalu mereka 
saling bertukar pikiran mengenai bentuk gajah tersebut.

Sekarang, para bhikkhu, setelah menunjukkan gajah kepada orang 
buta, pengawal tersebut mendatangi Raja dan berkata:
"Tuanku, gajah itu telah dipertunjukkan kepada orang buta sesuai perintah ?"

Lalu, para bhikkhu, Raja menemui orang buta itu dan berkata kepada setiap orang buta itu, "Baiklah, orang buta, apakah engkau pernah melihat gajah ?"

"Ya, Tuan."Tuanku, seekor gajah mirip sebuah pot." Dan yang memegang telinga hanya menjawab, "Seekor gajah seperti keranjang penampi."

Yang ditunjukkan gadingnya berkata bahwa gajah seperti mata bajak.

Yang hanya merasakan belalainya mengatakannya adalah sebuah bajak, mereka mengatakan tubuhnya adalah sebuah lumbung; kakinya, sebuah tiang; punggungnya, sebuah mortir; ekornya, sebuah alu penumbuk; berkas ekor seperti sebuah kebutan.

Kemudian mereka mulai bertengkar, sambil berteriak, "Ya, itu benar!" 

"Tidak, itu tidak benar!" "Seekor gajah tidak seperti itu!" "Ya, ia seperti itu!" dan seterusnya, hingga mereka baku hantam.

Lalu, bhikkhu, Raja gembira dengan pemandangan itu.

Demikian juga dengan para pengembara yang berpandangan berbeda-beda, buta, tanpa melihat, tanpa mengetahui kebaikan, kejelekannya. Mereka tidak memahami dhamma. Mereka tidak memahami apa yang bukan dhamma. Karena ketidaktahuannya mereka bertengkar, cekcok dan 
berselisih mempertahankan pandangan masing-masing.

Menyadari pentingnya hal ini, Sang Bhagavâ mengucapkan sebait 
syair Udâna:

"O, Betapa melekat dan ributnya, mereka yang menamakan diri 
Brâhmana dan pertapa. Berselisih dan bertahan di satu sisi,
memandang masalah hanya dari satu segi."

(Udana VI.4 )

                          -oOo-

Jumat, Agustus 16, 2019

Semua Makhluk Ingin Bahagia


SEMUA MAKHLUK INGIN BAHAGIA
Tanhadi

Semua makhluk menginginkan kebahagiaan dan menolak penderitaan. Semua makhluk merasa kesakitan bila dianiaya. Semua makhluk ingin tetap hidup dan tidak ingin mati.

Namun, masih banyak orang yang gemar dan terbiasa menyakiti dan membunuh makhluk hidup lainnya hanya demi kesenangan, kegemaran (hobby) dan keisengan belaka. 

HINDARI :
● Memancing ikan, belut dll.
● Adu ayam dan hewan lainnya.
● Menembak burung dan hewan lainnya.
● Memilih dan memesan ikan yang masih hidup dan dimasak untuk menu makanannya.
● Melakukan penganiayaan dan pembunuhan hewan dengan alasan apapun.

Semoga kita semuanya mampu mempertahankan kesejahteraan dan kebahagiaan diri kita sendiri dengan  TIDAK MENYEBABKAN makhluk lain teraniaya dan menderita.*

Sda, 7 Agustus 2019

Mettacittena,
Sabbe satta bhavantu sukhitatta

Fanatisme Agama


FANATISME AGAMA
Tanhadi

Fanatisme merupakan keyakinan atau pandangan mengenai sesuatu yang tidak tidak disertai dengan teori atau pijakan kenyataan, namun tetap dipegang dengan mendalam sehingga akan susah untuk diubah atau diluruskan kembali. 

✔ Fanatisme, umumnya tidak rasional.

✔ Fanatisme yang berlebihan menyebabkan seseorang berperilaku agresif dan sekaligus akan mengalami kehilangan kesadaran akan dirinya sendiri (deindividuasi),  sehingga perilaku yang dilakukan semakin tidak terkontrol.

✔ Fanatisme sendiri dianggap sebagai penyebab dari perilaku kelompok yang sering menyebabkan agresi dan macam macam sifat manusia negatif lainnya. 

FANATISME BUTA TERHADAP AGAMA

Agama memiliki potensi untuk membuat orang berpikiran terlalu radikal dan fanatik yang bisa berujung pada perpecahan masyarakat hingga kekerasan antar golongan. 

Fanatisme buta terhadap agama atau aliran kepercayaan lain telah banyak membuat seseorang kehilangan nalar sehatnya. Dan demi keyakinan yang dia yakini secara mutlak, dia bisa membunuh, menjarah, bahkan juga memperkosa atas nama keyakinannya. 

PENYEBAB FANATISME BUTA

1. Kurang pergaulan.
2. Kurang wawasan
3. Kurang empati.

MENURUT PENELITIAN PARA AHLI 

Menurut para ahli, Fanatisme buta  terhadap agama disebabkan adanya   KERUSAKAN PADA OTAK yaitu pada  'Korteks prefrontal', lebih mungkin membuat seseorang bersikap ekstrem dalam pandangan religius mereka.

'Korteks prefrontal' adalah wilayah otak yang terkait dengan sejumlah fungsi yang tinggi, termasuk perencanaan dan persepsi. Korteks prefrontal juga terkait dengan pengalaman religius dan mistis yang dialami oleh seorang individu.

Kerusakan di daerah ini berarti orang kurang dapat mengevaluasi keyakinan agama mereka secara kritis terhadap orang lain.

Semoga kita semuanya bebas dari kefanatikan membuta terhadap agama - jika tidak ingin otak kita menjadi rusak dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Semoga bermanfaat.

Salam sejahtera dan bahagia.

Kesalahpahaman tentang Kemahatahuan Sang Buddha


KESALAHPAHAMAN TENTANG  KEMAHATAHUAN SANG BUDDHA 
Upa. Amaro Tanhadi

Mereka yang mengatakan dan  menganggap bahwa Sang Buddha sebagai orang yang maha-tahu dan maha-melihat, memiliki pengetahuan dan penglihatan lengkap ( Sabbaññūta-nana), baik pada saat berjalan, berdiri, tidur atau terjaga, secara terus menerus tanpa terputus; Maka mereka telah salah memahami dan keliru menggambarkan tentang Sang Buddha.

Tetapi, mereka yang mengatakan bahwa Sang Buddha memiliki TIGA PENGETAHUAN SEJATI  yaitu, 
pengetahuan tentang : 

-  Kehidupan masa lampau 
-  Proses sebab-akibat dari karma
-  Hancurnya noda-noda

Dengan demikian, mereka  menggambarkan Sang Buddha dengan benar.

Sang Buddha adalah maha-tahu dalam makna bahwa, semua hal-hal yang dapat diketahui adalah terjangkau oleh-Nya. Akan tetapi, Beliau tidak dapat mengetahui segala sesuatu pada saat bersamaan dan harus mengarahkannya pada apapun YANG BELIAU KEHENDAKI UNTUK DIKETAHUI. Ini berarti bahwa, semua hal dapat Beliau ketahui secara satu per-satu dan bukan secara  bersamaan. (MN.71 : Tevijjavacchagotta sutta)

Pengertian tentang Maha-tahu ( Sabbaññū) yang dimiliki oleh Sang Buddha adalah termasuk pengetahuan Beliau tentang asal-usul bumi, manusia yang mula-mula ada di bumi, adanya banyak bumi dan matahari di alam semesta, adanya makhluk lain yang ada di planet-planet lainnya (karena yang disebut sebagai makhluk hidup bukan hanya berada di bumi kita ini saja), demikian juga Beliau mengetahui bagaimana bumi ini hancur lebur dan lain sebagainya. (DN 27: Aggañña Sutta)

Sang Buddha mengatakan bahwa, adalah tidak mungkin dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui dan melihat segala sesuatu secara bersamaan. (Karena pada "satu saat  hanya ada satu kesadaran (citta) yang muncul ). (MN 90 : Kaṇṇakatthala Sutta).

Semoga bermanfaat.

Mettacittena,
Sabbe satta bhavantu sukhitatta.

                             -oOo-

DHAMMA


DHAMMA
Upa. Amaro Tanhadi

ARTI DHAMMA

Dhamma (Pali) atau Dharma (Skt) sebenarnya mempunyai banyak makna dan berbeda-beda artinya untuk konteks yang berlainan. Dhamma bisa berarti ; Kebenaran /Kesunyataan, Doktrin, Agama, Ajaran, Hukum moral, Kebajikan, Keadilan, Nilai, Suatu tujuan hidup, Tugas dan kewajiban, Segala sesuatu, Alam, Fenomena, Keadaan, Sifat, Unsur-unsur keberadaan , Obyek mental, dsb.

Dhamma mencakup tidak hanya segala sesuatu yang bersyarat saja, tetapi juga mencakup yang tidak bersyarat / yang mutlak. Untuk lebih jelasnya, dapat diuraikan dalam penjelasan berikut ini.

Dhamma terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
● Paramattha Dhamma  adalah  kenyataan tertinggi, ada 4, yaitu : Citta (kesadaran),  Cetasika (faktor batin), Rupa (materi).

● Pannatti Dhamma adalah sebutan, konsep, untuk dijadikan panggilan atau sebutan sesuai dengan keinginan manusia.

Paramattha Dhamma terbagi lagi menjadi dua macam, yaitu ;
● Sankhata Dhamma, berarti keadaan yang bersyarat, yaitu:
- Tertampak dilahirkan / timbulnya (uppado pannayati)
- Tertampak padamnya (vayo pannayati)
- Selama masih ada, tertampak perubahan-perubahannya ( thitassa annathattan pannayati ), contoh : tata surya, Matahari, Bumi, Gunung, Pohon, Manusia, laut, Danau, Sungai, batu, Angin, Sinar, Pikiran dsb.

● Asankhata Dhamma, berarti sesuatu yang tidak bersyarat, yaitu:
-Tidak dilahirkan (na uppado pannayati)
-Tidak termusnah (na vayo pannayati)
- Ada dan tidak berubah (na thitassa annathattan pannayati)
Nibbana disebut Asankhata Dhamma.

DHAMMA ADALAH HUKUM ABADI

Dhamma tidak hanya ada dalam hati sanubari manusia dan pikirannya, tetapi juga dalam seluruh alam semesta. Seluruh alam semesta terliputi olehnya. jika sang bulan timbul atau tenggelam, hujan turun, tanaman tumbuh, musim berubah, hal ini tidak lain karena disebabkan oleh Dhamma. Dhamma merupakan Hukum Abadi yang meliputi alam semesta yang membuat segala sesuatu bergerak sebagai dinyatakan oleh ilmu pengetahuan modern, seperti ilmu fisika, kimia, biologi, astronomi, psikologi dan sebagainya.

DHAMMA BUKAN CIPTAAN MANUSIA MAUPUN BUDDHA

Dhamma bukan ciptaan manusia maupun Buddha, Ada atau tidak ada Buddha, Hukum Abadi (Dhamma) itu akan tetap ada sepanjang Jaman. Untuk  menjelaskan hal tersebut Sang Buddha bersabda : " Para bhikkhu, apakah para Tathagatha (Buddha) muncul di dunia atau tidak, terdapat hukum yang tetap dari segala sesuatu (Dhamma), terdapat hukum yang pasti dari segala sesuatu, bahwa : 'Semua yang terbentuk adalah tidak kekal'. ..'Semua yang terbentuk adalah tidak memuaskan'. ..'Segala sesuatu adalah bukan diri'." (AN.3.134 : Dhammaniyama sutta).

DHAMMA DALAM PENGERTIAN KEAGAMAAN 

Dhamma dalam pengertian keagamaan adalah merupakan ajaran Sang Buddha (Buddha Dhamma) yang mencakup Kebenaran Mutlak atau Hukum Abadi yang transenden (asankhata dhamma) yang dikenal antara lain sebagai Nibbana/Nirwana, Dharmakaya, Dharmabhuta, Paramartha dan hukum yang menguasai serta mengatur alam semesta, tidak diciptakan, kekal dan imanen (Dhamma niyama ).

Istilah Dhamma di atas, meliputi Sutta Pitaka, Vinaya Pitaka dan Abhidhamma Pitaka atau Kitab Suci Tipitaka. 

Walaupun Sang Buddha yang penuh cinta kasih telah parinibbana, namun Dhamma yang mulia, yang telah Beliau wariskan seluruhnya kepada umat manusia, masih ada dalam bentuknya yang murni. Sekalipun Sang Buddha tidak meninggalkan catatan-catatan tertulis tentang ajarannya, tetapi para siswa Beliau yang terkemuka telah merawat ajaran Beliau tersebut dengan jalan menghafal dan mengajarkannya secara lisan dari generasi ke generasi.

Segera setelah Sang Buddha wafat, 500 orang Arahat yang merupakan siswa-siswa terkemuka yang ahli di dalam Dhamma menyelenggarakan suatu pesamuan untuk mengulang kembali semua ajaran Buddha. Yang Mulia Ananda Thera, yang memiliki kesempatan istimewa untuk mendengarkan semua khotbah Sang Buddha, membaca ulang Dhamma; sedangkan Yang Mulia Upali Thera membaca ulang vinaya. Demikianlah Tipitaka dikumpulkan dan disusun dalam bentuk yang sekarang oleh para Arahat.

BUDDHA DHAMMA MELAMPAUI PENGERTIAN AGAMA PADA UMUMNYA.

Buddha Dhamma merupakan suatu sistem perenungan yang dalam dan pengembangan batin dengan peraturan pelatihan yang harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Sistem ini lebih luas dari pengertian agama pada umumnya yang merupakan kepercayaan dan pemujaan karena ketergantungan pada kekuatan di luar manusia. Penganut Buddha Dhamma walau berlindung pada Buddha, tidak berarti bahwa ia menyerahkan nasibnya kepada Buddha. Setiap orang memiliki kebebasan sekaligus bertanggung jawab atas perbuatannya sendiri dan nasibnya ditentukan oleh diri sendiri. Berkaitan dengan hal itu Sang Buddha bersabda :

"...Setiap makhluk adalah pemilik karmanya sendiri, pewaris karmanya sendiri, lahir dari karmanya sendiri, bersaudara dengan karmanya sendiri dan dilindungi oleh karmanya sendiri. Karma yang menentukan makhluk-makhluk, menjadikan mereka hina dan mulia."
( Majjhima Nikaya 55 )

NIBBANA, TUJUAN AKHIR AJARAN BUDDHA

Tujuan akhir dari Ajaran Buddha adalah tercapainya Nibbana, yaitu kondisi batin yang terbebas dari segala bentuk keinginan; merupakan padamnya api keserakahan, kebencian dan kegelapan batin secara mutlak.

Namun, Nibbana, yang merupakan terhentinya semua dukkha (penderitaan) tersebut, tidak dapat direalisasi hanya dengan cara sembahyang, mengadakan upacara atau memohon kepada para dewa saja. Terhentinya derita tersebut hanya dapat direalisasi dengan meningkatkan pengembangan batin. Pengembangan batin ini hanya dapat terjadi dengan jalan berbuat kebajikan, mengendalikan pikiran, dan mengembangkan kebijaksanaan sehingga dapat mengikis semua kekotoran batin, dan tercapailah tujuan akhir. Sehingga dalam hal membebaskan diri dari semua bentuk penderitaan, untuk mencapai kebahagiaan yang mutlak, maka kita sendirilah yang harus berusaha. Di dalam Dhammapada ayat 276, Sang Buddha sendiri bersabda :"Engkau sendirilah yang harus berusaha, para Tathagata hanya menunjukkan jalan."

Semoga bermanfaat.

Mettacittena.
Sabbe satta bhavantu sukhitatta.