1. Sekarang kita akan mempelajari Latihan Etika dalam hubungannya dengan perilaku pribadi. Langkah pertama dalam Latihan Etika adalah pengembangan Pikiran Sejati (samma samkappa). Istilah 'samkappa' berarti pikiran dan kehendak dan mengacu pada semua pikiran-pikiran kita, terutama pikiran yang menggerakkan tindakan. Secara filosofis, umumnya hanyalah perilaku jasmani dan ucapan yang digolongkan etika, tidak termasuk pikiran. Tetapi, kebijaksanaan Sang Buddha memberi pemahaman bahwa jalan pikiran kita mempunyai pengaruh mendasar pada apa yang kita lakukan.
Pikiran mendahului segalanya.
Pikiran adalah pemimpinnya,
Pikiran adalah pembentuknya.
[Dhammapada : 1 ]
Juga:
Dunia dituntun oleh pikiran;
Oleh pikiran dunia dinodai
Hanya pikiran semata-mata
Yang menyebabkan segala yang dibawahnya tergoyah.
[Samyutta Nikaya I: 39]
Dengan sendirinya, bila kita berkeinginan merubah perilaku ucapan dan perilaku tindakan kita, kita harus terlebih dahulu merubah pikiran yang menggerakkan kedua perilaku itu.
2. Sang Buddha menggambarkan Pikiran Sejati seperti dibawah ini:
Dan apa Pikiran Sejati itu?
Pikiran yang didasari pikiran penghentian,
pikiran cinta-kasih dan pikiran untuk menolong
inilah yang disebut Pikiran Sejati.
[Majjhima Nikaya III: 251]
3. Beliau juga memberitahu alasan perlunya pengembangan Pikiran Sejati.
Tiga jenis pikiran; yang menyebabkan kebutaan, hilangnya pandangan dan pengetahuan, yang mengakhiri kebijaksanaan, yang berhubungan dengan kesulitan, dan tidak menuntun ke Nibbana. Apa yang tiga itu? Pikiran yang didasari keserakahan, pikiran yang didasari kebencian dan pikiran yang didasari keinginan-merugikan. Tiga jenis pikiran yang memberi penglihatan, pandangan dan pengetahuan, yang meningkatkan kebijaksanaan, yang berhubungan dengan keselarasan dan menuntun ke Nibbana. Apa yang tiga itu? Berpikir didasari penghentian, berpikir didasari cinta-kasih dan berpikir didasari keinginan-menolong.
[Itivuttaka: 82]
4. Salah satu tipe pikiran yang berhubungan dengan Penghentian adalah Memaafkan (khamanasila). Memaafkan adalah menghilangkan pikiran-jahat atau keinginan membalas, yang ditujukan kepada seseorang dan mengganti pikiran negatif tersebut dengan pikiran untuk rukun kembali. Melepaskan harta milik kadang-kadang lebih mudah dibanding memaafkan seseorang yang mungkin telah mempermalukan, mempersulit atau menyakiti kita. Sang Buddha menekankan betapa pentingnya sikap pemberian maaf, sebagai berikut:
Dari tiga hal kita dapat mengenal seorang bijaksana? Apa yang tiga itu? Dia bisa melihat kekurangannya. Bila dia melihat kekurangannya dia mencoba memperbaikinya. Dan bila seseorang mengakui kekurangannya, dia akan memaafkannya sebagai mana mestinya.
[Anguttara Nikaya I: 103]
5. Memaafkan adalah penting sebab akan membebaskan kita dari api kebencian, dengan melaksanakannya maka dengan sendirinya memungkinkan pengembangan nilai-nilai positif seperti kesabaran dan cinta-kasih. Mempertahankan pikiran membenci hanya akan mempertajam kebencian, sedangkan melepaskan kebencian akan memungkinkan timbulnya cinta-kasih. Sang Buddha bersabda:
"Dia merugikan saya, dia menyakiti saya,
Dia semena-mena pada saya, dia merampok saya."
Mereka yang tetap berpikiran seperti itu
Tidak pernah dapat meredakan kebenciannya.
"Dia merugikan saya, dia menyakiti saya,
Dia semena-mena pada saya, dia merampok saya."
Mereka yang tidak berpikiran seperti itu
Akan dapat meredakan kebenciannya.
Sebab didunia ini,
Kebencian tidak pernah dipadamkan oleh kebencian
Hanya cinta-kasih yang dapat memadamkan kebencian
Inilah Hukum yang abadi.
[Dhammapada : 3,4,5]
6. Hal yang berhubungan dengan Pemberian-maaf adalah pikiran berterima kasih (katavedita), yang adalah pikiran dan juga adalah perasaan. Bila Pemberian-maaf adalah penglepasan pikiran-jahat atas perbuatan seseorang yang menyakitkan kita, maka berterima-kasih adalah pikiran atau ucapan kepada seseorang yang telah menolong kita, dan ini hanya dimungkinkan bila kita dapat mengatasi keangkuhan kita sendiri. Kita dapat menyatakan terima kasih dengan kata-kata atau dengan membalas jasa, walau tidak selalu harus perlu demikian. Kadangkala dalam menyampaikan rasa terima kasih, penghargaan saja sudah cukup. Sang Buddha bersabda:
Sebenarnya, mereka yang adalah orang-orang baik
adalah yang senantiasa berterima-kasih dan bersyukur.
[Vinaya, IV: 56]
7. Kita semua memiliki pikiran cinta-kasih setidaknya pada orang-orang tertentu, orang-tua, isteri atau suami, anak-anak atau teman-teman. Namun demikian, kita dapat pada waktu yang sama bersikap netral atau malah tidak menyukai seseorang. Dalam melaksanakan Pikiran Sejati, kita berusaha mengembangkan cinta-kasih secara merata pada semua makhluk.
Seperti air mendinginkan yang baik dan jahat,
Dan membersihkan semua noda dan debu,
Demikian pula hendaknya engkau mengembangkan pikiran cinta-kasih
Pada kawan maupun lawan,
Dan dengan mencapai kesempurnaan cinta-kasih,
Engkau akan mencapai Pencerahan sempurna.
[Jataka Nidanakatha 168-169]
8. Bila pikiran-pikiran cinta-kasih diperluas tanpa memandang bulu, maka adalah wajar bila kita memasukkan para binatang dalam jangkauan cinta-kasih kita. Sang Buddha menganjurkan kita agar menyayangi dan mencintai tidak hanya manusia tetapi semua makhluk.
Seperti ibu yang melindungi anak tunggalnya
Walau itu dapat mengorbankan hidupnya sendiri,
Demikian pula,
hendaknya seseorang mengembangkan cinta-kasih tanpa batas
kepada semua makhluk di dunia ini.
[Sutta Nipata : 149]
9. Sebelum pikiran cinta-kasih memenuhi batin kita, kita hendaknya berusaha menolak masuknya pikiran-jahat, kemurkaan dan niat pembalasan; atau bila pikiran semacam itu muncul kita memotongnya dengan segera. Pikiran-pikiran semacam itu hanya akan membelokkan pengertian kita dan menyebabkan perasaan kita terkungkung.
Kebencian membawa kemalangan besar,
Kebencian menggoyahkan dan merusak batin;
Bahaya mengerikan inilah,
Yang tidak diketahui oleh kebanyakan orang
Dengan sia-sia, seseorang tak dapat melihat kebajikan
Tak dapat melihat segalanya seperti apa adanya.
Hanya kebutaan dan kegelapan yang terjadi
Bila seorang dikendalikan oleh kebencian.
[Itivuttaka: 84]
10. Sebaliknya, pikiran cinta-kasih niscaya diikuti oleh kebahagiaan. Bila kita berbahagia, kita akan dinilai oleh orang sekeliling kita sebagai orang yang menyenangkan, tidak berbahaya, oleh karenanya hubungan dengan sesama kita akan lebih harmonis. Keindahan cinta-kasih digambarkan oleh Bhikkhu Anuruddha, dengan mengumpamakan dirinya dan para rekan bhikkhu-nya, sebagai "hidup bersama dalam persahabatan dan kerukunan, seperti susu dalam air, saling menjaga dengan mata-pandangan cinta-kasih."[M, III: 156] Ketika ditanyai oleh Sang Buddha cara Anuruddha melaksanakannya, dia menjawab:
Dalam hal ini, saya berpikir: "Sebenarnya adalah suatu keberuntungan bagiku, sebenarnya adalah sangat baik bahwa saya, hidup dalam masyarakat kehidupan suci seperti ini." Saya melaksanakan cinta-kasih lewat perbuatan, ucapan dan pikiran pada mereka, baik sebagai bagian masyarakat maupun pribadi. Saya berpikir: "Kenapa saya tidak menyampingkan keinginan-keinginan pribadiku dan menerima keinginan-keinginan mereka?" Dan saya-pun bertindak demikian. Memang, kita berbeda dalam jasmani, namun kita adalah satu dalam rohani.
[Majjhima Nikaya III: 156]
11. Pikiran Sejati yang terakhir adalah pikiran untuk senantiasa hendak menolong (avihimsa), yang membangkitkan kemauan untuk membantu, melayani dan membagi beban atau tugas pada sesama kita. Termasuk dalam pikiran ini, adalah pikiran untuk membantu orang lain agar dapat mencapai Pencerahan. Sang Buddha menekankan bahwa hendaknya keinginan untuk menolong diri sendiri dan menolong diri orang lain senantiasa seimbang.
Ada empat macam manusia didalam dunia ini. Apa yang empat itu? Dia yang tidak memperhatikan kebaikan dirinya maupun kebaikan orang lain, dia yang memperhatikan kebaikan orang lain tapi tidak memperhatikan kebaikan dirinya, dia yang memperhatikan kebaikan dirinya tapi tidak memperhatikan kebaikan orang lain, dan dia yang memperhatikan kebaikan dirinya maupun kebaikan orang lain. Seperti sebatang kayu di perkuburan, terbakar di kedua ujungnya, tercemari ditengahnya, tak dapat dipakai sebagai kayu api di dusun ataupun sebagai kayu bangunan di hutan seperti perumpamaan itulah, Saya katakan, orang yang tidak memperhatikan kebaikan bagi dirinya maupun kebaikan orang lain. Dia yang memperhatikan kebaikan orang lain tapi tidak memperhatikan kebaikan dirinya adalah lebih unggul dan lebih baik. Dia yang memperhatikan kebaikan dirinya tapi tidak memperhatikan kebaikan orang lain juga lebih unggul dan lebih baik. Tapi dia yang memperhatikan kebaikan dirinya maupun kebaikan orang lain dialah dari ke empat tipe manusia diatas, pemimpinnya, terbaik, terpuncak, tertinggi, teristimewa. Seperti dari seekor lembu dihasilkan susu, dari krim susu, dari mentega krim, dari mentega-susu, dan dari mentega-susu dihasilkan susu-asam, yang dikatakan yang terbaik - demikian pula, orang yang memperhatikan kebaikan bagi dirinya dan kebaikan bagi diri orang lain adalah yang terbaik, dialah dari ke empat tipe manusia diatas, pemimpinnya, terbaik, terpuncak, tertinggi, teristimewa.
[Anguttara Nikaya II: 94]
12. Apabila kita memang berkeinginan menolong seseorang, maka akan banyak kesempatan untuk melaksanakannya. Namun kadang-kadang kita tidak sepenuh hati untuk menolong karena masih diliputi ke-akuan - egonisme; kita mungkin akan ragu tentang perlu atau tidaknya pertolongan kita, atau ragu tentang akan dihargai atau tidaknya pertolongan kita. Kadang-kadang pula, dikarenakan pikiran jahat atau karena orang yang akan ditolong tidak pernah menolong kita sebelumnya, menyebabkan kita enggan menolong seseorang. Dalam keadaan seperti ini Pikiran Sejati, akan menghilangkan keraguan itu, kita akan berpikir sedemikian: "Mungkin saja dia tidak membutuhkan pertolongan, tapi saya akan mencoba mengusahakannya," atau "Saya tidak tahu apa yang harus diperbuat tapi saya akan menanyakannya," atau "Mereka tidak pernah menolong saya sebelumnya, tapi sekarang mereka sangat perlu ditolong, saya akan menolong mereka, bagaimanapun juga." Untuk senantiasa berpikir seperti itu, kita hendaknya merenungkan betapa Sang Buddha serta para siswa-siswa yang telah Tercerahi, telah pula menolong kita.
Ketika Tathagata atau Siswa-siswa Tathagata hidup didunia ini,
yang dilakukan adalah demi kebaikan seluruhnya,
demi kebahagiaan, demi kebajikan, demi keberuntungan
dan kebahagiaan para dewa dan manusia.
[Anguttara Nikaya II: 146]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar