CENG BENG/ JING MING
Bersih dan Terang
Oleh : Upa. Suryo Hariono
Menghormat yang patut dihormat Adalah berkah Utama
- Mangala Sutta
Tanggal 5 April atau 4 April (kabisat) setiap tahunnya secara tradisi Tionghoa kita peringati sebagai hari Ceng Beng/Jing Ming. Saat itu dimulai sejak 15 hari sebelum hari-H, berbondong-bondonglah orang-orang baik secara pribadi maupun rombongan berziarah ke makam keluarga dan leluhurnya.
CENG BENG/JING MING
SEBAGAI SALAH SATU BUDAYA TRADISI PENTING
Bangsa Tionghoa memiliki beberapa keunikan dan kekhasan yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat masa kini. Apa saja keunikannya? Mari kita simak satu persatu.
Perhitungan tanggal
Uniknya adalah walaupun ini termasuk Chinese Festival namun perhitungannya malah menggunakan kalender masehi/yanglek, tidak memakai perhitungan Lunar/Imlek. Sedangkan selain ceng beng dalam kalender Imlek masih ada satu lagi festival yang juga menggunakan tarikh masehi, yakni sembahyang ronde (Tang Cik) yang diadakan secara rutin di tanggal 22 atau 23 Desember (kabisat) tiap tahunnya. Pada hari itu posisi bumi terhadap matahari & bulan pas berada dalam satu garis orbit yang sama. Ini menunjukkan fleksibilitas dan sikap adaptif atas penggunaan teknologi astronomi dengan memadukan perhitungan tarikh masehi dengan tarikh komariah. Maka kalender Imlek menjadi satu-satunya kalender yang memadupadankan antara solar system dengan lunar system dalam perhitungannya (imyanglek)
Aktivitas ritual & spiritualitas
Bisa dikatakan peristiwa Ceng Beng mirip dengan peristiwa megengan (ziarah kubur dalam masa sebulan sebelum puasa Ramadhan dalam tradisi muslim Jawa) atau tradisi Nyadran bagi masyarakat Jawa Tengah. Sesungguhnya kalau kita renungkan secara mendalam tradisi Ceng Beng mempunyai makna khusus sebagai Hari Pahlawan. Karena pada saat itulah kita semua pada umumnya mengenang jasa para leluhur atau keluarga kita yang telah tiada yang berjasa atas hidup dan kehidupan kita. Selain bersih-bersih makam , dalam pelaksanaan Ceng Beng selalu ada doa dan pengharapan. Berdoa semoga mendiang berbahagia dan berharap agar anak turunannya hidup berbahagia. Dan pada kenyataannya Ceng Beng dirayakan oleh semua suku Tionghoa dengan latar belakang agama yang beragam. Ini menunjukkan jangkauannya secara universal yang berdimensi spiritual tanpa sekat dan batasan keyakinan dan kepercayaan tertentu.
Simbolisasi ceng beng
Kalau tadi dikatakan perayaan ini menjadi budaya suku Tionghoa apapun agama dan kepercayaannya, maka Ceng Beng juga sarat dengan makna yang mendalam.
Pertama: perayaan ini dilakukan beberapa saat setelah perayaan Imlek dan Cap Go Me. Hal ini seperti memberikan kesempatan ketiga bagi sebuah keluarga untuk berkumpul dengan keluarga besarnya, kalau misalnya tidak bisa berkumpul saat Imlek dan Cap Go Me, maka masih ada kesempatan dalam acara Ceng Beng. Coba saja kita cermati bentuk makam (bong) yang rata-rata melebihi rumah tipe 21 yang dibangun dengan kokoh, agung dan teduh, dan ternyata bisa digunakan sebagai sarana reuni keluarga, bisa kumpul-kumpul secara bersama dan bahagia.
Adalah hal yang jamak rata-rata mereka yang berziarah ke makam biasanya membuat janji ketemuan dengan keluarga yang lain untuk berkumpul di makam pada hari dan jam tertentu di masa Ceng Beng dan ini disebut sebagai Cengbengan (istilah khusus di kota Surabaya dan sekitarnya).
Kedua: mempunyai nilai memorabilia. Lihat saja di papan nisan yang ada di atas makam (bong) pasti di sana tertulis nama mendiang beserta silsilahnya keturunannya, siapa memperanakkan siapa.
Tradisi penulisan ini dikuatkan oleh kejadian yang pernah dialami oleh salah seorang Kaisar Tiongkok kuno ribuan tahun lalu yang kesulitan menemukan makam kedua orang tuanya. Diriwayatkan, Kaisar ini dulunya adalah orang miskin dari desa dan memiliki makam kedua orang tuanya tanpa diberi nisan atau sejenisnya karena ketidakmampuannya.
Singkat cerita dengan berlalunya waktu si Miskin ini setelah berjuang sekian lama berhasil menjadi kaisar. Nah, pada suatu ketika beliau ingin berziarah ke makam orang tuanya di desa asalnya, tapi makam tersebut tidak berhasil diketemukan. Maka atas nasihat Sang Perdana Menteri seluruh penduduk desa diminta untuk bersih- bersih makam dan menandai makam keluarga mereka dengan kertas warna- warni. Setelah proses itu selesai, semua makam menjadi bersih dan terang, maka didapatilah ada sebuah makam yang tidak ada pemiliknya sehingga makam itulah yang akhirnya diyakini sebagai makam orang tua Sang Kaisar.
Itulah kenapa sampai saat ini kalau kita selesai Cengbengan maka di makam keluarga/leluhur kita ditaburi kertas warna-warni. Di sini fungsi makam seperti monumen kepahlawanan bagi generasi penerusnya dan keluarganya.
Ketiga : penuh dengan sesajian. Salah satunya Samseng atau tiga jenis hewan yang disajikan. Ketiga jenis hewan itu antara lain Babi, Ayam dan Ikan.
Sajian Babi bermakna hendaknya anak keturunannya beranak-pinak sebanyak-banyaknya dan subur seperti kemampuan beranak-pinak si Babi. Tapi bukan berharap anak turunannya seperti Babi. Ini adalah 2 hal yang berbeda tentunya.
Sajian Ayam bermaksud agar keturunannya pandai dan pintar mencari nafkah.
Sajian Ikan bermakna semoga keluarganya mempunyai rejeki yang banyak dan melimpah ruah, sebanyak duri ikan.
Tentunya.sekarang, setelah kita semua cukup tahu tentang makna ceng-beng/jing ming, bagaimana menyikapi ceng-beng/jing ming dalam perspektif Buddhis?
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa Buddhisme/ Buddha-Dhamma/Agama Buddha mempunyai 2 (dua) sisi yang saling menunjang. Yaitu sisi Ajaran (Dhamma) dan sisi Tradisi/ kebudayaan. Dan kedua sisi ini seperti sepasang rel kereta api yang selalu seiring sejalan tapi tidak pernah menyatu sampai kereta api tersebut tiba di tujuan.
Artinya nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya yang sejalan dengan Dhamma dapatlah kita aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Dan sebaliknya nilai-nilai yang tidak sesuai dengan Dhamma tidaklah kita pakai.
Nilai-nilai luhur yang dapat kita resapi tersebut adalah katanu-katavedi dan pubbakari. Rasa tahu berterima kasih atas jasa baik yang telah dilakukan oleh mereka yang telah meletakkan jasa di awal kehidupan ini. Ya, tentu saja orang tua kita itulah sebagai pubbakari dan kitalah sebagai makhluk yang ber-katanu-katavedi. Artinya sebagai seorang anak kita memiliki kewajiban kepada orang tua sebagai pembuat jasa dan budi baik yang tak terbalas. Kita berkewajiban merawat beliau, menyokong kehidupannya, membantunya, meneruskan dan menjaga warisan beserta nama baik keluarga serta pattidana melakukan atas nama mendiang ketika beliau telah wafat. Inilah salah satu Ceng Beng kaitan makna dengan kewajiban seorang anak kepada orang tuanya dalam Sigalovada Sutta .
Berikutnya, kalau kita mau jeli dan teliti dengan melihat bentuk fisik makam (bong) yang tentunya berisi peti mati (siupan) dengan segala keagungannya dan keunikannya maka tentunya timbul pertanyaan kenapa bisa begitu ya? Betul atau benar?
Kalau kita pernah mendengar bahwa, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai jasa para pahlawannya”, maka bentuk siupan dan bong itulah salah satu bentuk penghormatan secara fisik kepada pahlawan keluarga, yaitu kedua orang tua kita setelah beliau tiada tentunya. Bentuk siupan sebenarnya adalah replika/duplikasi dari bentuk bunga teratai, dengan ukiran/pahatan bunga teratai besar di depan dan belakang peti mati.
Inilah bukti pengaruh seni budaya Buddhis tradisi Tiongkok (Mahayana) yang meyakini bahwa kelak saat kematian tiba mendiang bisa terlahir di alam bahagia (sukhavati) yang dipenuhi dengan teratai tempat Sang Buddha Amitabha bersemayam. Dan jauh sebelumnya siupan sesungguhnya adalah kado ulang tahun terindah seorang anak berbakti kepada orang tuanya. Tetapi tentu saja untuk saat ini hal itu akan diartikan lain oleh orang jaman sekarang. Jadi sebaiknya jangan coba-coba lah.
Sedangkan bentuk fisik dan letak bong seolah-olah menggambarkan status sosial seseorang. Buktinya ada bong yang super mewah, ada yang sederhana bahkan ada yang tidak ada apa-apanya. Memang bong membangun membutuhkan banyak biaya. Jer Basuki Mawa Bea, bahwa segala sesuatu itu ada biayanya, begitu kata orang. Maka bisa digeneralisir pastilah bong untuk membangun dan merawat dibutuhkan suatu kekuatan sumber daya finansial yang mumpuni. Pendek kata kaya dan sukses.
Untuk itu bagaimana bisa berhasil dalam penghidupan, bisa kaya dan sukses? Tentu saja usaha, usaha dan usaha. Berusaha inilah yang menjadi tema sentral tulisan ini.
Berusaha dan bekerja dalam perspektif Buddhis minimal memiliki unsur sebagai berikut.:
1. Chanda (suka cita)
Marilah bekerja dengan suka-cita, dengan riang gembira tanpa mengenal lelah. Tentu saja ada perbedaan makna kalau kita bekerja dengan susah hati atau terpaksa dibandingkan dengan bekerja dengan riang gembira.
2. Viriya (semangat)
Kalau kita sudah bekerja dengan suka cita otomatis kita bisa bekerja dengan semangat. seperti api nan tak kunjung padam.
3. Citta (perhatian)
The power of focusing, bekerjalah dengan fokus dan optimal. Selain melakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan, juga carilah yang terbaik dari diri kita untuk dikembangkan. Sejujurnya kita menyadari sesungguhnya kelemahan kita adalah kekuatan untuk ditingkatkan dan sebaliknya kekuatan kita adalah kelemahan kita yang harus diwaspadai.
4. Vimangsa (evaluasi)
Evaluasi menjadi faktor kunci untuk keberhasilan. Apa-apa yang sudah kita raih hendaknya senantiasa kita evaluasi baik hasil maupun prosesnya. Bisa jadi kita mampu memperoleh hasil yang lebih dan lebih kalau kita tahu cara dan prosesnya.
Keempat faktor di atas tersebut akan lebih menjadi bermakna kalau kita wujudkan melalui pengendalian diri (samvara) dalam keseharian kita. Kenapa demikian? Karena dengan samvara maka dalam diri kita akan muncul rasa malu berbuat jahat (Hiri ) dan takut akan akibat perbuatan jahat ( ottapa hiri ottapa ). Dan menjadi rem yang pakem sehingga kita akan fokus terhadap sumber mata pencaharian yang benar dan pantas menurut Dhamma. Maka dengan samvara kita mampu mengoptimalkan chanda, viriya, citta, dan vimangsa dalam diri kita. Dan samvara sendiri menjadi mumpuni kalau disertai dengan samadhi.
Sebagai penutup, mari kita hadirkan makna ceng beng/jing ming, bersih dan terang dalam kehidupan, karena bersih dan terang bukan semata-mata milik orang yang sudah mati, yang ada di kuburan (bong). Mari kita bersihkan batin kita dari ketamakan (Sifat Ayam), kebencian (sifat Ikan/Ular) dan Kebodohan (sifat Babi) sehingga hidup kita menjadi terang benderang, padang mbranang. Semoga kita mampu memiliki wajah semanis wajah Buddha dan hati setenang hati Buddha. Anda mau? Sama, saya juga mau.
Akhir kata, Kesempurnaan adalah milik Dhamma, sedangkan saya adalah contoh sempurna dari ketidaksempurnaan itu sendiri. Semoga jasa kebajikan ini melimpah pada sanak keluarga yang telah meninggal ,Semoga mereka berbahagia, Semoga semua makhluk hidup bahagia.
oooOOoop
Mantap... Bro..
BalasHapus