ASAL MULA MASA VASSA DAN HARI KATHINA
(Berdana di Hari Kathina)
Disusun oleh : Tanhadi
Dalam agama Buddha ada beberapa hari penting yang diperingati di antaranya : Hari Magha Puja, Hari Waisak, Hari Asadha dan Hari Kathina. Dalam memperingati hari-hari tersebut, selain melaksanakan puja bakti, umat mengisinya pula dengan mempraktekkan kebajikan melalui berdana kepada bhikkhu dan samanera.
Di antara hari-hari penting tersebut, peringatan hari kathina yang merupakan upacara khusus pemberian dana, bagi para umat kepada bhikkhu Sangha. Masa kathina berlangsung satu bulan setelah para bhikkhu menyelesaikan massa vassa selama tiga bulan. Dalam masa vassa tersebut para bhikkhu melaksanakan tekadnya untuk berdiam di suatu vihara, dan membabarkan Dhamma. Selama tiga bulan dalam massa vassa, para Bhikkhu tidak boleh pergi kemana-mana kecuali ada keperluan yang penting, itu pun dibatasi paling lama meninggalkan vihara tempat bervassa selama tujuh malam.
Umat Buddha walaupun mereka berada dimana saja, meski hidupnya dalam keadaan ekonomi lemah, sebaiknya berusaha untuk ikut berdana di hari kathina, dana dapat berbentuk barang atau uang, meskipun nilainya kecil asal disertai dengan keyakinan. Berarti benih-benih kebaikan telah ditanam.
Hari kathina mempunyai makna khusus dan hari kathina ini saat yang ditunggu-tunggu baik oleh para bhikkhu maupun umat Buddha, yaitu saat kesempatan yang hanya satu tahun sekali dalam mempersembahkan civara/jubah dan barang-barang kebutuhan sangha.
Sebagian umat Buddha dengan jumlah yang tidak sedikit, belum mengetahui asal mula terjadinya hari kathina, maka pada kesempatan ini ada baiknya penulis menguraikan cerita singkat tentang hari kathina, agar mereka yang belum mengerti marilah kita bersama memperingati dan ikut berpartisipasi membantu para anggota sangha.
Sudah menjadi tradisi bagi para bhikkhu/samanera bila sudah sampai musim hujan, harus tinggal di salah satu tempat/ vihara (tidak boleh tinggal di hutan/ dibawah pohon yang tidak ada atapnya) selama tiga bulan untuk bervassa. Masa vassa ini dimulai sejak jaman Sang Buddha.
Masa vassa kaitannya dengan Hari Kathina :
Sejarah mencatat bahwa setelah meraih Pencerahan Agung, Sang Buddha melakukan perjalanan ke Taman Rusa Isipatana, di dekat Benares. Beliau membabarkan Dhamma yang dikenal dengan Dhammacakkapavatana Sutta kepada lima orang pertapa yang pernah menjadi sahabatNya. Kondana, Vappa, Bhaddiya, Mahanama, dan Assaji. Setelah menguraikan khotbah pertama, Sang Buddha tetap tinggal disana. Beliau bertemu dengan Yasa -- anak seorang pedagang kaya raya di Benares -- dan memberikan wejangan Dhamma kepadanya. Disamping itu, Sang Buddha juga membabarkan Dhamma kepada ayah Yasa dan empat sahabat Yasa. Mereka beserta para pengikutnya -- semuanya berjumlah lima puluh lima orang -- meninggalkan kehidupan berumah tangga, memasuki kehidupan tanpa rumah (menjadi Bhikkhu), dan mencapai tingkat kesucian Arahat.
Jumlah siswa Sang Buddha yang telah mencapai tingkat kesucian Arahat pada saat itu sebanyak enam puluh orang. Kepada mereka Sang Buddha menyerukan untuk menyebarkan Dhamma dengan berkata :
"Aku telah terbebas dari semua ikatan-ikatan, O para Bhikkhu, baik yang bersifat batiniah maupun yang bersifat jasmania; demikianlah pula kamu sekalian, sekarang kamu harus menggembara untuk kesejahteraan orang banyak. Janganlah pergi berduaan ke tempat yang sama. Babarkanlah Dhamma yang indah pada awalnya, indah pada pertengahannya, dan indah pada akhirnya. Umumkanlah tentang kehidupan suci yang benar-benar bersih dan sempurna dalam ungkapan dan hakikatnya. Terdapat makhluk-makhluk yang matanya hanya ditutupi oleh sedikit debu. Kalau tidak mendengar Dhamma mereka akan kehilangan manfaat yang besar. Karena mereka adalah orang-orang yang dapat mengerti Dhamma dengan sempurna. Aku sendiri akan pergi ke Senanigama di Uruvela untuk mengajar Dhamma".
Masa penyebaran Dhamma telah dimulai. Tetapi pada saat itu Sang Buddha belum menyatakan masa Vassa dan masa Kathina. Semangat untuk menyebarkan Dhamma dalam diri para Bhikkhu nampaknya sangat besar.
Melihat hal ini masyarakat mengkritik dengan mengatakan, "Mengapa para Bhikkhu Sakyaputta (murid-murid Sang Buddha) mengadakan perjalanan pada musim dingin, panas dan musim hujan sehingga mereka menginjak tunas-tunas muda, rumput-rumputan, serta merusak kehidupan yang sangat penting dan mengakibatkan binatang-binatang kecil mati? Tetapi pertapa-pertapa lain, yang walaupun kurang baik dalam melaksanakan peraturan (Vinaya), namun mereka menetap selama musim hujan".
Mendengar keluhan masyarakat tersebut, beberapa orang Bhikkhu menghadap Sang Buddha dan melaporkan kejadian di atas. Sang Buddha kemudian memberikan keterangan yang masuk akal, dan bersabda :
"Para Bhikkhu, saya izinkan kamu untuk melaksanakan masa Vassa".
Kemudian terpikir oleh para Bhikkhu, "Kapan masa Vassa dimulai ?".
Mereka menyatakan hal ini kepada Sang Buddha dan Beliau kemudian menyatakan, "Saya izinkan kamu melaksanakan masa Vassa selama musim hujan".
Kemudian terpikir lagi oleh para Bhikkhu, "Berapa banyak periode untuk memulai masa Vassa ?".
Mereka menyampaikan hal ini kepada Sang Buddha, Beliau berkata,
"O para Bhikkhu, terdapat dua masa untuk memasuki masa Vassa, yang awal dan yang berikutnya. Yang awal dimulai sehari setelah purnama di bulan Asalhi (Kini dikenal dengan Hari Raya Asadha) dan yang berikutnya dimulai sebulan setelah purnama di bulan Asalhi. Itulah dua periode untuk memulai musim hujan".
Sejauh ini belum ada ketetapan mengenai Kathina Upacara persembahan jubah kepada Sangha setelah menjalani Vassa. Sang Buddha baru menetapkan masa Vassa dan sejak saat itu, para Bhikkhu melaksanakan masa Vassa. Pada masa Vassa para Bhikkhu menetap selama musim hujan dan melatih dirinya.
Kathina mempunyai kisah tersendiri, sebagai berikut, pada waktu itu Sang Buddha menetap di Savatthi, di hutan Jeta di vihara yang di dirikan oleh Anathapindika. Ketika itu terdapat tiga puluh orang Bhikkhu dari Pava sedang mengadakan perjalanan ke Savatthi untuk bertemu dengan Sang Buddha.
Ketika masa Vassa tiba, mereka belum sampai di Savatthi. Mereka memasuki masa Vassa di Saketa dengan berpikir,
"Sang Buddha tinggal sangat dekat, hanya enam yojana dari sini tetapi kita tidak mempunyai kesempatan bertemu dengan Sang Buddha".
Setelah menjalankan masa Vassa selama tiga bulan, dengan jubah basah kuyup dan kondisi yang lelah mereka sampai di Savatthi. Setelah memberi hormat, mereka duduk dengan jarak yang pantas.
Sang Buddha berkata,
"O para Bhikkhu, semoga semuanya berjalan dengan baik. Saya berharap kalian mendapatkan sokongan hidup. Selalu penuh persahabatan dan harmonis dalam kelompok. Kamu melewatkan masa Vassa dengan menyenangkan dan tidak kekurangan dalam memperoleh dana makanan".
Kemudian para Bhikkhu menjawab:
"Segala sesuatu berjalan dengan baik, Sang Bhagava. Kami mendapatkan sokongan yang cukup, dalam kelompok selalu penuh persahabatan dan harmonis, dan mendapatkan dana makanan yang cukup. Kami sebanyak tiga puluh orang Bhikkhu dari Pava ke Savatthi untuk bertemu dengan Sang Bhagava, tetapi ketika musim hujan mulai, kami belum sampai di Savatthi untuk bervassa. Kami memasuki masa Vassa dengan penuh kerinduan dan berpikir, Sang Bhagava tinggal dekat dengan kita, enam yojana, tetapi kita tidak mempunyai kesempatan melihat Sang Bhagava. Kemudian kami, setelah menjalankan masa Vassa selama tiga bulan, menjalankan pavarana, hujan, ketika air telah berkumpul, rawa telah terbentuk, dengan jubah yang basah kuyup dan kondisi yang lemah dalam perjalanan yang jauh".
Setelah memberikan wejangan Dhamma,Sang Buddha berkata kepada para Bhikkhu,
"O para Bhikkhu, Saya izinkan untuk membuat jubah Kathina bila menyelesaikan masa Vassa secara lengkap........".
Demikianlah izin membuat jubah Kathina ditetapkan Sang Buddha ketika Beliau tinggal di Savatthi.
(catatan: cerita asal mula Hari Kathina yang telah diuraikan di atas dikutip dari Kitab Suci Vinaya Pitaka Jilid 5, Maha Vagga, Kathina Khandhaka).
Sebenarnya pada jaman Sang Buddha, para bhikkhu memakai jubah pamsukula civara dan memiliki jubah hanya satu stel. Yang dimaksud pamsukula civara adalah kain bekas pembungkus mayat yang telah dibuang orang di dalam hutan atau di kuburan.
Kebiasaan di India dulu, orang yang meninggal, baik yang miskin maupun yang kaya langsung dibungkus kain dan dibuang ke hutan, lalu para bhikkhu mengambil kainnya dan dicuci kemudian dicelup dengan getah pohon yang berwarna kuning (misalnya pohon nangka), lalu dijahit dibuat jubah.
Kemungkinan di jaman itu kain sulit dicari dan mutunya tidak baik, hanya bisa dipakai paling lama satu tahun karena telah mengalami kerusakan, lalu pada masa kathina tersebut baru kemudian mendapat jubah pengganti.
Sang Buddha memberi ketentuan hari kathina di akhir masa vassa, satu alasannya lagi karena setelah masa vassa cuaca di negara India, Nepal, Myanmar, Thailand, Srilangka mulai musim dingin.
Juga Sang Buddha membuat peraturan agar para bhikkhu memiliki kain sangghati, alasannya ialah untuk melindungi/menutup badan di kala musim dingin, sebab para bhikkhu jaman dulu kebanyakan memiliki satu jubah dan tinggalnya di hutan.
Para umat Buddha di jaman Sang Buddha, bila melihat para bhikkhu yang jubahnya sudah rusak, mereka dengan keyakinan dan belas-kasih mencarikan kain untuk dipersembahkan kepada Sangha, kemudian para bhikkhu membuat civara/ jubah bersama-sama.
Inti sari dari hari kathina pada jaman Sang Buddha di kala beliau masih hidup, adalah persembahan kain jubah kepada bhikkhu Sangha dan samanera, tetapi di jaman sekarang ini persembahan dana kathina tidak terbatas hanya pada kain jubah saja, masih banyak lagi persembahan dana kathina berupa barang-barang kebutuhan hidup sehari-hari untuk para bhikkhu, misalnya : payung, sabun, pasta gigi, sikat gigi, jarum, benang, bowl, sandal, selimut, obat-obatan dan lain-lain. Juga tidak terkecuali uang untuk kemudahan dalam perjalanan dan untuk pembangunan vihara, ini disebut “parivara kathina”. Kain yang bisa dipersembahkan menjadi dana kathina ialah kain yang bisa dibuat paling sedikit satu jubah luar atau sarung maupun sangghati. Kain yang sudah lama/agak lama, kain pamsukula (kain bekas pembungkus mayat asal masih bisa dibuat jubah) boleh dipersembahkan sebagai dana kain kathina.
Apabila umat ingin berdana kathina di vihara-vihara besar, di Thailand kira-kira satu atau dua bulan di muka harus melapor dulu kepada bhikkhu ketua vihara/ ketua panitia yang mengurus upacara hari kathina, alasannya karena yang mau berdana kathina di vihara-vihara yang terkenal biasanya sangat banyak hingga akhirnya diadakan pengurus untuk mengatur jalannya upacara hari kathina agar bisa berjalan dengan tertib dan rapi.
Di jaman sekarang ini kain jubah maupun jubah yang sudah jadi dan dipersembahkan dalam upacara hari kathina atau hari-hari biasa sudah bisa mencukupi untuk 10 atau 20 orang bhikkhu.
Sebenarnya kain kathina ini menjadi milik Sangha, bukan milik pribadi bhikkhu masing-masing, namun diatur pembagiannya. Kalau kain tersebut tidak cukup untuk semua bhikkhu, cara membaginya adalah dengan melihat siapa yang lebih tua kebhikkhuannya dan yang paling membutuhkan, hal ini dapat dilihat dengan berbagai faktor sebagai berikut :
Bhikkhu yang jubahnya sudah lama sekali.
Kalau jumlah bhikkhunya banyak sedangkan kainnya tidak mencukupi, maka cara mengaturnya dengan melihat bhikkhu yang sudah tua dalam sila kebhikkhuannya.
Kalau bhikkhu yang lebih tua tersebut tidak mampu membuat/ tidak mau, dapat diberikan kepada bhikkhu yang lainnya, tapi biasanya/ kebanyakan diberikan kepada bhikkhu mahathera.
Seorang bhikkhu yang biasa hidup di hutan-hutan, goa, di bawah pohon, bila sudah mendapatkan jubah pengganti yang sudah rusak, maka mereka tidak khawatir lagi untuk menghadapi hawa dingin, sehingga dapat dengan tenang melanjutkan latihannya, untuk membersihkan kilesa (kekotoran batin) dengan tujuan akhir mencapai kebahagiaan tertinggi/Nibbana.
Sesungguhnya kehidupan para bhikkhu dalam memenuhi kebutuhan pokoknya sangat tergantung dari umat. Bila bhikkhu tersebut jauh dari sanak keluarganya, maka tergantung dari umat yang Pavarana (menjanjikan kesediaan untuk memberikan bantuan), karena bhikkhu tidak boleh meminta, kecuali bila sedang sakit.
Karenanya umat Buddha perlu mengetahui kebutuhan-kebutuhan para bhikkhu dan samanera , maksudnya agar kehidupan bhikkhu bisa terus berjalan dengan baik dan lancar.
Semoga uraian ini bermanfaat bagi saudara-saudara sekalian dan menumbuhkan pengertian yang benar dalam dhamma. Dengan demikian maka Buddha Dhamma akan terus berkembang dan maju hingga kita semua bisa mencapai tujuan tertinggi kebahagian Nibbana.
Sumber :
- Asal Mula Kathina – Phra Wongsin Labhiko Mahathera
- Asal-usul Hari Kathina - Oleh: Yang Mulia Bhikkhu Dhammavicaro
terimakasih, artikel anda sangat membantu saya, salam meta.
BalasHapus