WAISAK
Oleh: Selamat Rodjali
Tiga peristiwa penting pada bulan Waisak yang diperingati oleh kita semua, umat Buddha, ialah peristiwa kelahiran Bodhisatta Siddhattha Gotama, peristiwa pencapaian pencerahan agung (Penerangan Sempurna) Buddha Gotama, dan Parinibbana Buddha Gotama. Ketiga peristiwa ini terjadi pada saat purmama pada bulan Waisak. Masih segar di sanubari kita beberapa petikan sutta yang sering diulang, yang berkorelasi dengan tiga momen di atas, sebagaimana berikut ini:
"Akulah yang terkemuka di dunia,
Akulah yang tertinggi di dunia,
Akulah yang teragung di dunia,
Bagiku, tak akan ada lagi tumimbal lahir."
Kata-kata di atas diucapkan beberapa saat setelah kelahiran Bodhisatta Siddhattha Gotama. Kata-kata pertama yang diucapkan Buddha Gotama setelah mencapai penerangan sempurna, ialah :
”Dengan melalui banyak kelahiran
Aku telah mengembara dalam samsara (siklus kehidupan).
Terus mencari, namun tak kutemukan pembuat rumah ini.
Sungguh menyakitkan kelahiran yang berulang-ulang ini.”
”O pembuat rumah, engkau telah kulihat,
engkau tak dapat membangun rumah lagi.
Seluruh atapmu telah runtuh dan tiang belandarmu telah patah.
Sekarang batinku telah mencapai Keadaan Tak Berkondisi (nibbana).
Pencapaian ini merupakan akhir daripada napsu keinginan.”
(Dhammapada 153-154)
Petikan sutta yang berkaitan dengan momen ketiga yang sebenarnya merupakan kata-kata terakhir yang dinyatakan oleh Buddha Gotama sebelum Parinibbana, ialah :
“ Dengarlah baik-baik, 0 para bhikkhu, nasehatku.
Segala sesuatu yang merupakan perpaduan unsur-unsur akan hancur kembali; berjuanglah dengan sungguh-sungguh!"
Petikan Sutta di atas tidak asing bagi semua umat Buddha yang mengakui Buddha Gotama sebagai guru Agungnya. Kata-kata tersebut merupakan refleksi tiga momen penting kehidupan beliau. Ketiga momen ini terjadi pada bulan Waisak, saat purnama: peristiwa kelahiran, Pencerahan Sempurna, dan Parinibbana.
MOMEN PERTAMA
Andaikata sekarang, seorang awam mengumbar kata-kata: "Akulah Yang terkemuka di dunia ini" dan seterusnya; atau bahkan mengaku dirinya sebagai 'guru para dewa dan manusia' atau sebagai 'Buddha Baru' mungkin hal ini dinilai sebagai kesombongan semata. Mengapa hal tersebut tidak layak diucapkan pada zaman materi ini? Lalu, kapan kata-kata tersebut tepat diucapkan? Oleh siapa?
Kata-kata yang tertulis dalam petikan sutta di atas mengandung kebenaran yang tinggi, dan untuk memahaminya, kita harus paham akan kehidupan dan teladan seorang Bodhisatta.
Secara literal, Bodhisatta berarti 'makhluk bijaksana' dan secara tak langsung menyatakan seorang manusia yang bertekad untuk mencapai penerangan sempurna secara mandiri, tak peduli berapa banyak kelahiran harus ditempuh. Tekad untuk menjadi seorang Sammasambuddha, seorang yang mencapai penerangan sempurna secara mandiri adalah untuk kepentingan banyak makhluk. Bodhisatta juga bertekad, bahwa ia akan menolong semua makhluk, sebagai manifestasi dari sepuluh kesempurnaan (parami) yang dipupuknya sebagai fondasi bagi tercapainya penerangan sempurna. Parami ini tidak hanya dipraktekkan dalam satu kehidupan, melainkan secara kontinyu selama Bodhisatta berada dalam lingkaran tumimbal lahir, baik sebagai manusia, dewa atau bahkan sebagai binatang. Perbuatan baiknya ini merupakan praktek yang paniang, memakan banyak kappa. Setiap saat ia sungguh bermaksud membawa manfaat dan kebaikan bagi yang lain dengan sesempurna mungkin.
Seorang manusia yang dikenal sebagai Pangeran Siddhattha, di dalam kehidupannya yang terakhir sebelum dilahirkan sebagai manusia, adalah dewa yang tinggal di Tusita bhumi. Buah kamma baiknya yang menakjubkan yang membuatnya dilahirkan di alam tersebut. Setelah melalui jangka waktu yang panjang, akhirnya tibalah waktunya untuk terlahir sebagai manusia. Kelahiran ini merupakan kelahirannya yang terakhir karena penerangan sempurna akan dicapainya. Pangeran Siddhattha dilahirkan dari rahim Ratu Mahamaya saat purnama di bulan Waisak, ayahnya adalah seorang raja dari suku Sakya.
Sebagai bayi manusia, ia berbeda dari kebanyakan bayi lainnya. Pikirannya terang, penuh kewaspadaan, penuh potensi bagi pengembangan kualitas-kualitas yang menakjubkan. Walaupun ia dilahirkan sebagai bayi yang baru lahir, ia telah siap untuk menuju penerangan sempurna!
Sangat jelas bagi kita, mengapa kata-kata di atas diucapkan, karena ia patut dihomat. "Terkemuka, tertinggi dan teragung", itulah beliau dan pada deretan manusia seumurnya, tiada yang menandinginya, dan sejarah ikut memperkuat dan mempertegas kebesarannya. Kata-kata tersebut diucapkan oleh seorang pangeran, seorang bayi, kebenarannya tidak mengandung kesombongan. Beliau sangat sadar bahwa dalam kehidupannya ini kesempurnaan akan dicapainya, sehingga dikatakannya: "Bagiku, tak akan ada lagi tumimbal lahir."
MOMEN KEDUA
Mungkin bagi kebanyakan orang, masih banyaknya tumimbal lahir tampak sebagai ide yang baik. Mereka menganggap bahwa hal ini adalah prospek untuk memperbaiki diri. Namun, apabila kita sadar dan mau melihatnya dengan mendalam, kelahiran kembali bukan merupakan prospek. Peluang terbukanya 'pintu' alam menyedihkan sangat besar bagi kebanyakan manusia karena manusia zaman sekarang kebanyakan belum mencapai tingkat-tingkat kesucian; apalagi pada zarnan materi ini, perbuatan amoral (akusala kamma) sangat pesat berkembang, dan semakin canggih.
Mereka yang meresapi hakekat kehidupan ini menganggap sungguh menderita berada dalam roda kelahiran dan kematian. Dengan dilandasi kebodohan dan nafsu keinginan (moha dan tanha), kedamaian dan kebahagiaan sejati sungguh sulit diperoleh. Kedamaian dan kebahagiaan sejati (Nibbana) tidak mungkin dialami hanya dengan percaya tetapi harus dimenangkan dengan pengembangan kebijaksanaan dan pemurnian batin.
Pangeran Siddhattha tidak memiliki seorang guru pun yang mampu menunjukkan jalan merealisasi Nibbana. Namun, kita semua, umat Buddha khususnya, sangat beruntung (akibat kamma baik tentunya) karena kita masih mempunyai tradisi praktek Dhamma dan Vinaya yang merupakan warisan Buddha Gotama. Jalan untuk mencari 'pembuat rumah ini' telah ditunjukkan dengan sempurna, berada sangat dekat dan mengundang untuk dibuktikan. Tentunya bukti akan diperoleh hanya dengan mempraktikkan jalan tersebut, tidak bisa dengan berspekulasi atau berteori atau menjadi 'bunglon' terhadap diri sendiri karena menganggap dirinya intelek. Intelek bukan berarti bijaksana! Juga intelek bukan berarti tidak dibutuhkan. Intelek hendaknya diimbangi dengan sifat-sifat batin yang baik, dengan kebijaksanaan.
Apakah 'rumah' ini? dan apakah si 'pembuat'? Rumah ini berarti kombinasi dari jasmani dan batin (rupa-nama) yang tersusun sedemikian rupa sehingga kita sering kali menyebutnya sebagai kepribadian 'ku'. Apakah si 'pembuat'? Apakah si 'pembuat' berada di luar rumah itu? Andai si pembuat rumah berada di luar, maka tidak ada kemungkinan untuk mencapai penerangan sempurna! Si pembuat adalah nafsu keinginan (tanha), berada di dalam 'rumah' tiap individu, yaitu keinginan akan kesenangan indera (kamatanha), ingin untuk hidup terus (bhavatanha) dan bahkan ingin memusnakan diri (vibhavatanha). Oleh karena itu, di dalam kata-kata pertama setelah pencapaian penerangan sempurna, Sang Buddha menyatakan pekik kemenangan atas kebodohan dan nafsu keinginan (tanha).
Di dalam rumah dari nama dan rupa yang disusun oleh tanha, tiang-tiang yang menunjang rumah itu merupakan kekotoran-kekotoran batin. Kekotoran batin ini telah dirobohkan. Rakit-rakit yang menyangga atap rumah itu, yang merintangi masuknya cahaya dan udara segar telah dihancurkan. Terbukalah rumah itu, tak ada lagi alangan bagi cahaya mentari 'pencerahan' dan udara segar 'kebenaran sempurna'.
Batin mencapai keadaan tak berkondisi, demikianlah Sang Buddha telah mencapai akhir dari 'pencarian' dan mencapai keadaan tanpa syarat, Nibbana. Semua yang berkondisi merupakan gabungan yang juga ditunjang oleh berbagai kondisi. Semua yang merupakan perpaduan tidak pernah mendatangkan kebahagiaan kekal, tak ada yang dapat diharapkan darinya. Keadaan yang tak berkondisi, Nibbana, dapat dialami oleh setiap insan, asalkan mereka mau melaksanakan 'sesuatu'. Tak bisa didoakan! Nibbana hanya dapat dialami dengan melaksanakan Jalan menuju Nibbana. Nibbana tak pemah berubah dan merupakan kedamaian dan kebahagiaan yang tak terkena hukum perubahan (anicca).
Kebahagiaan pencapaian Nibbana bukanlah berarti kebahagiaan menikmati perasaan senang atau puas. Kebahagiaan pencapaian Nibbana merupakan refleksi padamnya semua nafsu duniawi atau surgawi. Nibbana telah direalisasi oleh Buddha Gotama ketika beliau duduk di bawah pohon 'Bodhi' (Ficus religiosa) di Buddha Gaya, di India Utara, saat purnama pada bulan Waisak.
Beliau pemah hidup sebagai pangeran dan pernah pula hidup dalam kemewahan, namun akhirnya beliau meninggalkan semuanya, beliau hidup tanpa rumah. Sebelum menjadi Buddha, beliau pemah melakukan penyiksaan tubuh selama enam tahun, yang semula dianggap mampu membawa ke 'tujuan'. Ternyata ditemukannya bahwa hal ini tak berfaedah; demikian pula Pemuasan keterikatan terhadap kemewahan. Kedua ekstrim ini ditinggalkannya. Beliau bertekad melaksanakan 'Jalan Tengah' dan setelah memulihkan kesehatannya, beliau duduk di bawah pohon Bodhi, untuk mencari 'Obat dukkha'. Akhimya, saat purnama pada bulan Waisak, batin-Nya telah bebas; beliau telah menjadi Buddha, Buddha Gotama, yang berbeda dengan pertapa Gotama yang duduk di bawah pohon Bodhi tersebut sebelum momen pencapaian itu. Kebijaksanaannya telah sempurna.
Kebijaksanaan Buddha Gotama secara alami disertai dengan kasih sayang yang sempurna. Kasih sayang ini muncul secara alami di dalam batin-Nya ketika beliau melihat betapa menyedihkannya kehidupan makhluk-makhluk, semuanya mencari 'kebahagiaan', namun sungguh sedikit yang dapat menerima jalan menuju kebahagiaan seiati. Kasih sayangnya ini juga dapat disimak melalui sejarah selama 45 tahun beliau menyebarkan ajaran-Nya, baik kepada brahmana, raja, pertapa atau umat awam. Semua itu dilakukan sampai menjelang Parinibbana. Semua ajarannya didasari oleh kebijaksanaan dan kesucian batinnya yang sempurna, yang telah menembus hakekat sesungguhnya dari segala sesuatu. Segala sesuatu adalah tanpa inti yang kekal (anatta).
MOMEN KETIGA
Ketika Buddha Gotama berbaring untuk terakhir kalinya di Kusinara, Beliau masih menyediakan waktu untuk kebaikan semuanya. Beliau menanyakan kepada para bhikkhu apakah masih ada yang ingin ditanyakan mengenai ajaran dan peraturan yang ditetapkan. Namun, para bhikkhu begitu puas; tak satu pun yang bertanya. Beliau kemudian memberikan petuah mengenai beberapa hal. Bahkan, beliau sempat pula mentahbiskan Subhadda.
Sang Buddha berbaring di tubuh sebelah kanannya, kepalanya dialasi tangan kanannya, kakinya menumpang di atas kaki yang lain. Tubuhnya dialasi jubah luarnya. Di atasnya terdapat dua cabang pohon Sala. di antara cabang tersebut terlihat bulan purnama. Bunga harum bertaburan tersebar dari kedua pohon Sala ini. Hal ini terjadi pada bulan Waisak.
Di sekitar Buddha Gotama berkerumun beratus bhikkhu yang telah mencapai kesempurnaan. Mereka tidak mengalami stress karena mereka tidak ragu-ragu lagi bahwa semua yang berkondisi tidak kekal. Bahkan jasmani Sang Buddha tidak luput dari hukum perubahan, demikian pula tubuh kita. Namun, para bhikkhu yang belum mencapai kesempurnaan, mengalami stress', mereka berpikir: "Guru kita tak akan bersama kita lagi. Demikian cepat cahaya dunia berlalu!" Untuk menenangkan mereka, Buddha Gotama mengucapkan kata-katanya yang terakhir, satu nasehat untuk dipraktekkan: "Dengarlah baik-baik, 0 Para bhikkhu, nasehatku: segala sesuatu yang merupakan perpaduan unsur-unsur akan hancur kembali; berjuanglah dengan sungguh-sungguh.' Setelah mengucapkan kata-kata ini, beliau tidak mengucapkan apa-apa lagi. Beliau memasuki perenungan batin yang hanya dapat diketahui oleh mereka yang telah mengembangkan batinnya dengan baik. Beberapa saat kemu4ian Beliau Parinibbana. Apakah artinya ini? Bagaimana seseorang dapat mengetahui seseorang telah Parinibbana?
Kesunyataan ini tidak dapat diterangkan oleh kata-kata karena apabila semua 'dhamma' telah hancur, tak ada lagi kata-kata yang tepat untuk melukiskannya. Hanya terdapat satu cara untuk mengetahui masalah ini, dan cara tersebut adalah jalan yang Sang Buddha tempuh. Oleh karena itu, setiap orang patut melaksanakan petuahnya sehingga dapat mengalami kesunyataan ini secara mandiri.
Kata-kata terakhir yang diucapkan tidak mustahil berlaku pula bagi orang awam, karena semua individu merupakan subjek dari kehancuran. Apabila kita melekat kepada hal yang merupakan perpaduan, maka kita akan mengalami penderitaan (dukkha). Memang umumnya kita masih memiliki kemelekatan terhadap tubuh, namun apakah kita menyadari betapa berbahayanya kemelekatan ini dan berapa banyak penderitaan yang akan menyertainya? Sang Buddha mengajarkan jalan untuk mengikis kemelekatan terhadap segala sesuatu. Seorang arahat tidak melekat terhadap sesuatu yang berkondisi (sankhata) juga tidak melekat terhadap Nibbana (asankhata).
Umat Buddha, umumnya, melakukan peringatan tiga momen ini dengan berupacara dan berbuat baik pada bulan Waisak. Mereka menghormat Guru Agung mereka. Menghormat Sang Buddha bukan berarti menghormatinya pada bulan Waisak saja. Menghormat Sang Buddha berarti melaksanakan ajaran-Nya dengan baik dan benar (tanpa manipulasi kotor) di dalam kehidupan sehari-hari selama berada dalam lingkaran kelahiran dan kematian sehingga akhirnya mengalami atau merealisasi Nibbana.
BAHAN PUSTAKA UTAMA
- Khantipalo, 1983. Pointing to Dhamma- King Mah-a Makuta's Academy, BangKok, 272p.
- Khantipalo, 1986. Buddhism Explained. Mahamkut Rajavidyalaya, Bangkok, 240p.
- Sangha Theravada Indonesia. 1985. Dhammapada. Yayasan Dhammadipa Arama, Jakarta, 215 hal.
- Widyadhanna, S. 1986. Riwayat Hidup Buddha Gotama. Yayasan Dana Pendidikan Buddhis Nalanda Jakarta, 269 hal.
Kepada seluruh umat se-Dhamma,
SELAMAT HARI RAYA WAISAK 2555 BE
( 17 Mei 2011)
Semoga Hari Raya Waisak ini membawa Kedamaian, Ketentraman,
Kesejahteraan dan Kebahagiaan bagi semua makhluk.
Salam Metta,
Sabbe satta bhavantu sukhitatta
Semoga semua makhluk berbahagia
(Tanhadi)
™]˜
Tidak ada komentar:
Posting Komentar