AGAMA
UNTUK HIDUP
Bhikkhu Uttamo
Mahathera
Berbagai agama dan kepercayaan telah muncul dan menjadi milik
seluruh penghuni dunia. Hampir setiap orang di muka bumi ini memiliki agama
atau kepercayaan. Namun, sayangnya cukup banyak pula orang yang kebingungan
untuk menentukan fungsi agama. Mereka sulit membedakan antara “apakah agama untuk hidup, ataukah hidup untuk agama?”
Karena
adanya kebingungan inilah maka banyak orang yang kemudian rela mati demi
membela agama, atau mungkin sebaliknya ia terkesan tidak perduli terhadap
agamanya. Kalau timbul dua sikap yang saling bertolak belakang seperti ini,
sikap apakah yang sebaiknya dilakukan oleh seorang umat beragama?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kiranya perlu diketahui
dan disepakati terlebih dahulu bahwa seseorang memilih agama bukan berdasarkan
masalah benar atau salahnya suatu agama. Kebenaran
maupun kesalahan suatu agama sesungguhnya tidak mudah dibuktikan dalam waktu
singkat.
Misalnya, suatu agama menjanjikan
adanya kelahiran di surga setelah seseorang mengikuti agama tersebut, tentu
saja kebenaran tentang hal ini agak sulit diketahui karena sepertinya belum
pernah ada orang yang sudah meninggal dunia kemudian hidup kembali di tengah
keluarganya untuk ‘melaporkan' kebenaran ajaran ini. Oleh karena itu,
lebih banyak orang hanya mempercayai segala sesuatu yang tertulis dalam Kitab
Suci sebagai suatu kebenaran mutlak tanpa ada usaha mencari pembuktian yang
mendukung kebenaran tersebut.
Apabila telah disepakati agama
dipilih berdasarkan kecocokan yang bersifat sangat pribadi dan relatif maka semua
tentu setuju pula bahwa tidak ada alasan bagi seseorang untuk memaksa orang
lain agar mempunyai kecocokan agama yang sama dengan dirinya. Hal ini sama dengan seseorang memilih makanan. Apabila
seseorang gemar makanan manis, maka tidak seharusnya ia memaksa dan memusuhi
mereka yang tidak mempunyai kegemaran yang sama. Apabila semakin banyak orang
yang memiliki pengertian bahwa agama sesungguhnya dipilih berdasarkan
kecocokan, maka semakin besar pula harapan untuk mewujudkan kehidupan
bermasyarakat yang aman, tentram dan damai walaupun seseorang hidup di tengah
berbagai penganut agama dan kepercayaan yang berbeda.
Dalam Dhamma, setelah seseorang
cocok dan memilih Ajaran Sang Buddha sebagai agama serta pedoman hidupnya, maka
ia hendaknya bersikap selaras dengan nasehat yang diberikan Sang Buddha. Sang
Buddha sering mengumpamakan Dhamma atau Ajaran Beliau sebagai rakit yang
dipergunakan untuk menyeberangi lautan ketamakan, kebencian serta kegelapan
batin sehingga seseorang tiba di pantai seberang yaitu kebebasan dari kelahiran
kembali. Dengan demikian, ketika seseorang hendak menyeberangi lautan itu, ia
haruslah menjaga serta merawat rakit tersebut dengan teliti. Artinya, selama
seseorang masih diselimuti oleh ketamakan, kebencian serta kegelapan batin, ia
hendaknya berusaha mempelajari serta melaksanakan Ajaran Sang Buddha dengan
sebaik-baiknya. Dalam tahap ini, ia harus memperhatikan kelestarian dan
kemajuan Buddha Dhamma di muka bumi ini. Namun, setelah ia mencapai pantai
seberang yaitu tercapainya kesucian, maka ia boleh saja meninggalkan rakit itu.
Rakit tersebut hanyalah alat. Sudah tidak pada tempatnya orang yang telah
berhasil menyeberang masih saja susah payah membawa rakit itu kemanapun ia
pergi. Demikian pula dengan Buddha Dhamma. Setelah seseorang mencapai kesucian,
maka ia hendaknya tidak terikat lagi dengan Ajaran Sang Buddha. Ia telah
menjadikan Dhamma sebagai jalan hidup yang sama sekali tidak dapat dipisahkan
lagi dari dirinya. Ia hidup, berbicara, bekerja dan berpikir selalu selaras
dengan Dhamma tanpa harus mengaku atau menyatakan diri sebagai pemeluk suatu
agama tertentu. Ia telah menyatu dalam Ajaran. Ia telah mencapai tujuan hidup
tertinggi seorang umat Buddha yaitu terbebas dari kelahiran kembali atau
mencapai Nibbana atau Nirvana.
Apabila seseorang telah menyadari bahwa Buddha Dhamma
hanyalah sebagai rakit atau sarana untuk menyeberangkan seseorang ke pantai
seberang, maka kini ia hendaknya merenungkan :”Sudahkah
saya memanfaatkan Ajaran Sang Buddha untuk meningkatkan kualitas batin saya?”
Pertanyaan
ini sangat penting untuk selalu didengungkan dalam batin agar selalu timbul
semangat melaksanakan Dhamma dalam kehidupan sehari-hari. Dhamma bukan sekedar
upacara ritual saja. Dhamma berisikan Ajaran Sang Buddha untuk menaklukkan
ketamakan, kebencian serta kegelapan batin. Dengan demikian, idealnya, semakin
lama seseorang mengikuti suatu agama, semakin baik dan terjaga pula
perilakunya. Oleh karena itu, semakin banyak pula manfaat dan kebahagiaan yang
diperoleh lingkungannya terhadap kehadiran dia di sana.
Sayangnya, dalam praktek hidup beragama, sering dijumpai
mereka yang tekun dan rajin melakukan upacara ritual namun tidak dibarengi
dengan peningkatan kualitas perilaku yang sepadan. Mereka hanya melihat agama
sebagai lambang atau obyek pemujaan saja. Bahkan, lebih parah lagi, ada
sebagian orang menjadikan kegiatan ritual sebagai wisata spiritual. Mereka
pergi ke tempat ibadah hanya untuk mendapatkan teman bergurau, memamerkan baju
baru, menunjukan handphone terbaru dsb. Mereka tidak sungguh-sungguh menjalani
ajaran agama. Bahkan, tingkah laku para senior dalam suatu agama pun sering
tidak dapat dijadikan contoh maupun teladan bagi umat yang baru. Jika sudah
demikian keadaannya, hendaknya direnungkan sebuah nasehat dalam Dhamma bahwa
seseorang menjadi baik bukan karena lamanya ia mengenal suatu agama melainkan
karena upaya pelaksanaan Ajaran luhurnya. Kiranya, mereka yang telah mempunyai
cara berpikir benar tentang pemilihan agama serta mampu menjadikan Dhamma
sebagai rakit untuk memperbaiki perilaku, maka ia lah yang akan berhasil
menyeberangi lautan kelahiran kembali.
Agar seseorang mampu menyeberangi lautan ketamakan, kebencian
dan kegelapan batin, ia hendaknya mempergunakan rakit Dhamma yang terdiri dari
tiga perilaku kebajikan. Ketiga perilaku tersebut adalah kerelaan, kemoralan
serta konsentrasi. Ketiga perilaku kebajikan ini menjadi sarana ampuh untuk
mengatasi lautan ketamakan, kebencian serta kegelapan batin. Kerelaan mampu
mengatasi ketamakan. Kemoralan mampu mengatasi kebencian dan konsentrasi mampu
mengatasi kegelapan batin.
Agar lebih jelas, berikut ini akan diuraikan sepintas rakit
Dhamma yang perlu dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Kebajikan pertama adalah kerelaan yang berguna untuk
mengatasi ketamakan.
Seperti telah diketahui bersama bahwa manusia pada awalnya
merasakan kebahagiaan ketika ia mampu mendapatkan segala yang ia inginkan.
Ketika masih bayi dan merasa lapar, ia menangis dan dia menjadi tenang ketika
mendapatkan makanan. Ketika seseorang menjadi dewasa, ia akan berbahagia
apabila ia mampu mewujudkan atau mendapatkan keinginannya, misalnya sukses
bekerja dan berumah tangga. Tentu saja masih sangat banyak contoh kebahagiaan
jenis seperti ini.
Selain kebahagiaan karena mendapat, kebahagiaan yang lebih
tinggi adalah memberi. Kebahagiaan jenis ini diperoleh ketika seseorang mampu
merelakan sebagian dari miliknya demi kebahagiaan fihak lain. Jadi, ketika ia
masih kanak-kanak, ia merasa bahagia pada saat ia mampu meminjamkan atau bahkan
memberikan alat permainannya kepada teman yang kurang mampu. Ketika ia telah
dewasa, ia berbahagia pada saat ia mampu berbagi atau memberikan sebagian hasil
kerjanya untuk kesejahteraan penghuni panti asuhan maupun yayasan sosial
lainnya. Ia merasakan kedamaian dan kebahagiaan ketika ia mampu berbagi atau
memberi. Ia berbahagia karena ia mampu mengatasi ketamakan dengan kerelaan.
Inilah rakit kerelaan yang mampu mengantarkan seseorang menyeberangi lautan
ketamakan.
Kebajikan kedua adalah kemoralan yang bermanfaat untuk
mengatasi kebencian.
Latihan kemoralan paling mendasar dalam Dhamma adalah
Pancasila Buddhis atau lima latihan kemoralan. Kelima latihan kemoralan itu
adalah latihan untuk tidak membunuh, latihan untuk tidak mengambil barang yang
tidak diberikan secara sah atau mencuri, latihan untuk tidak melanggar
kesusilaan atau berjinah, latihan untuk tidak berbohong dan latihan untuk tidak
mabuk-mabukan. Seseorang yang
rajin melaksanakan lima latihan kemoralan ini akan mampu mengikis bahkan
melenyapkan kebencian yang timbul dalam batin. Kebencian yang dimaksudkan di
sini tentu saja dalam arti yang seluas-luasnya.
Ketika seseorang mampu melatih diri untuk tidak membunuh,
maka ia sesungguhnya mulai mampu mengurangi kebencian pada obyek yang biasa
dibunuhnya. Misalnya, ia terbiasa membunuh semut yang sering berada di atas
meja makan. Jika diteliti, dasar tindakan ini adalah kebencian terhadap semut
yang telah mengganggu makanannya. Ia menganggap pembunuhan adalah satu-satunya
cara untuk menyelesaikan masalah ini. Padahal, sesungguhnya pembunuhan hanya
salah satu cara mengatasi masalah. Ia mungkin saja bisa meletakkan sejenis
cairan di kaki meja makan sehingga mencegah semut naik ke meja dan mengganggu
makannya. Kemauan untuk menghindari pembunuhan ini menjadi salah satu upaya
mengurangi kebencian.
Demikian pula dengan latihan tidak mengambil barang yang
tidak diberikan atau mencuri.
Salah satu penyebab timbulnya niat mencuri adalah
ketidakmampuan seseorang untuk melihat kelebihan orang lain. Dalam batinnya
timbul sejenis ‘kebencian' atas keberhasilan atau kelebihan orang lain. Apabila
seseorang mampu mengendalikan diri serta mampu melenyapkan dorongan untuk
mencuri, maka ia sudah setahap mempunyai kemampuan untuk mengatasi ‘kebencian'
yang mencengkeram batinnya.
Adapun latihan untuk tidak berjinah atau melanggar
kesusilaan diperlukan karena perjinahan terjadi ketika pelaku perjinahan tidak
ingin terikat oleh peraturan negara, agama maupun masyarakat. Ia ingin bebas
memuaskan keinginannya. Ia ‘benci' dengan segala peraturan yang membatasi
berbagai hubungan dalam masyarakat. Dengan demikian, ketika seseorang mampu
mengendalikan diri untuk tidak berjinah atau melanggar kesusilaan, maka ia
sudah mulai mampu mengendalikan ‘kebencian' yang timbul dalam batinnya terhadap
berbagai peraturan yang harus dipatuhi sebagai konsekuensi logis hidup bersama
dalam masyarakat. Ia telah sadar bahwa sebagai anggota masyarakat ia tentu
harus terikat untuk mematuhi aturan serta kesepakatan yang ada.
Sedangkan latihan untuk tidak berbohong adalah latihan untuk
mengurangi bahkan melenyapkan ‘kebencian' seseorang pada kebenaran diri yang
mungkin menyakitkan atau memalukannya. Ia tidak ingin mengungkapkan kebenaran
yang mengkondisikan dirinya tampak buruk dihadapan orang lain. Ia ‘benci'
kenyataan buruk atas dirinya ini. Ia lebih baik berbohong daripada mendapatkan
celaan. Padahal, dengan mampu berlatih untuk tidak berbohong, seseorang sudah
mulai mampu mengurangi ‘kebencian' terhadap kenyataan buruk yang ada pada
dirinya. Ia mampu menerima kenyataan dan keburukan dirinya sebagaimana adanya.
Terakhir adalah latihan untuk tidak makan serta minum
barang-barang yang memabukkan. Dorongan untuk
mabuk sering timbul karena seseorang ‘membenci' kenyataan pahit yang harus
dialaminya. Ia tidak menyukai penderitaan yang datang dalam hidupnya. Ia ingin
melarikan diri dari kenyataan. Oleh karena itu, mereka yang mampu menahan diri
untuk tidak mabuk-mabukan adalah orang yang mulai mampu mengendalikan
‘kebencian' dari dalam batinnya.
Dengan uraian singkat pelaksanaan masing-masing latihan
kemoralan di atas, kiranya sudah sangat jelas bahwa kelima latihan kemoralan
tersebut menjadi sarana ampuh atau rakit Dhamma untuk menyeberangi lautan
kebencian yang ada dalam diri seseorang.
Kebajikan ketiga adalah mengembangkan konsentrasi untuk
mengatasi kegelapan batin.
Kegelapan batin yang dimaksudkan di sini adalah
ketidakmampuan seseorang untuk melihat kenyataan hidup bahwa segala sesuatu
selalu berubah, tidak kekal. Ketidakmampuan ini menjadikan pikirannya selalu
berada di masa lampau maupun masa yang akan datang. Padahal, masa lampau hanya
tinggal sejarah yang harus dijadikan pelajaran. Sedangkan masa depan adalah
harapan yang harus dijadikan tujuan. Dengan demikian, masa sekarang adalah
kenyataan. Masa sekarang adalah saat tepat untuk mengisi kehidupan dengan
berbagai perbuatan baik secara maksimal agar dapat memperbaiki masa lalu dan
meningkatkan kualitas batin di masa depan.
Agar seseorang mampu mengendalikan pikiran untuk selalu sadar
bahwa hidup adalah saat ini, ia hendaknya membiasakan diri melatih pikiran
dengan latihan konsentrasi atau lebih dikenal dengan meditasi. Ada
bermacam-macam cara meditasi. Namun, dalam kesempatan ini akan diuraikan salah
satu cara yang paling sederhana dan mudah dipraktekkan.
Pada prinsipnya, meditasi dilakukan dengan mengamati dan
menyadari segala gerak gerik pikiran, ucapan maupun perbuatan. Latihan
konsentrasi ini dibantu dengan sering mengucapkan dalam batin kalimat
pertanyaan, “Saat ini saya sedang apa?” Kemampuan seseorang untuk selalu sadar
bahwa hidup adalah saat ini akan menjadikan batinnya selalu tenang. Ia mengerti
bahwa kegelisahan timbul ketika ia memikirkan masa lampau maupun masa depan. Ia
juga mengerti bahwa hal itu pula yang menyebabkan timbulnya kecemasan. Dengan
selalu sadar bahwa hidup adalah saat ini, ia menjadi terbebas dari kegelisahan
maupun kecemasan. Ia sadar sepenuhnya bahwa hidup selalu berubah. Ia tidak lagi
terpengaruh oleh perubahan. Batinnya seimbang. Ia terbebas dari kegelapan
batin. Ia mencapai kesucian atau Nibbana. Latihan konsentrasi menjadi sarana
ampuh atau rakit untuk menyeberangi lautan kegelapan batin.
Dengan melakukan ketiga kebajikan yaitu kerelaan,
kemoralan serta konsentrasi seseorang akan mampu mengatasi ketamakan, kebencian
dan kegelapan batin. Ia akan mencapai kesucian atau Nibbana. Ia mencapai
tujuan akhir dan tertinggi seorang umat Buddha. Oleh karena itu, tidak ada
waktu lagi untuk seseorang menunda kesempatan mengembangkan ketiga kebajikan tersebut
di setiap saat. Jadikanlah agama sebagai rakit karena agama adalah untuk hidup,
bukan hidup untuk agama. Pergunakanlah setiap waktu kehidupan yang sangat
berharga untuk mengendarai rakit Dhamma menyeberangi lautan kegelapan batin.
Semoga keterangan singkat tentang ‘agama untuk hidup' ini
dapat memberikan manfaat dan kebahagiaan.
Semoga pemahaman tentang rakit Dhamma akan mendorong setiap
orang selalu bersemangat melaksanakan Ajaran Sang Buddha untuk mencapai pantai
seberang dalam kehidupan ini pula.
Semoga semua makhluk baik yang tampak maupun yang tidak
tampak, akan memperoleh kebaikan dan kebahagiaan sesuai dengan kondisi kammanya
masing-masing.
Semoga demikianlah adanya.
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar