BERHATI-HATILAH
Oleh : Ajahn Chah
Sang Buddha mengajarkan untuk melihat tubuh yang ada di
dalam tubuh. Apa artinya ? Kita semua mengenal bagian-bagian tubuh seperti
rambut, kuku, gigi dan kulit. Jadi bagaimana kita melihat tubuh yang ada di
dalam tubuh ? Jika kita mengenali semuanya ini sebagai hal-hal yang tidak
kekal, tidak memuaskan dan tidak mempunyai jati diri, itulah yang dinamakan
"melihat tubuh yang ada di dalam tubuh." Maka selanjutnya tidak perlu
lagi untuk mengetahui secara detil dan bermeditasi terhadap bagian-bagian yang
terpisah-pisah tersebut. Ia seperti sekeranjang buah-buahan. Jika kita telah
menghitung jumlah buahnya terlebih dahulu, maka kita mengetahui apa yang ada di
sana, dan bila kita memerlukannya, kita bisa mengangkat keranjang tersebut dan
membawanya pergi, dan semua buah itu akan ikut terbawa bersamanya. Kita tahu
buah-buahan itu semua ada di sana, jadi kita tidak perlu menghitungnya lagi.
Dengan bermeditasi terhadap ke-tigapuluhdua bagian dari
tubuh, dan mengenali mereka sebagai sesuatu yang tidak stabil atau kekal, kita
tidak perlu lagi menghabiskan tenaga untuk memisah-misahkan mereka seperti ini
dan bermeditasi dengan begitu mendetil. Sama seperti sekeranjang buah - kita
tidak perlu mengeluarkan semua buahnya dan menghitungnya berkali-kali. Tetapi
kita memang membawa keranjang itu sepanjang perjalanan kita, berjalan dengan
penuh perhatian dan waspada, berjaga-jaga agar tidak tersandung dan jatuh.
Bila kita melihat tubuh yang ada di dalam tubuh, yang
artinya kita melihat Dhamma di dalam tubuh, mengetahui tubuh kita sendiri dan
tubuh orang lain sebagai fenomena yang tidak permanen, maka kita tidak
memerlukan penjelasan yang mendetil. Duduk di sini, kita memiliki kesadaran
yang tetap terkendali, mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya, dan
meditasi pun kemudian menjadi cukup sederhana. Sama halnya ketika kita
bermeditasi dengan Buddho - jika kita memahami apa Buddho itu sebenarnya, maka
kita tidak perlu mengulang-ulang kata "Buddho". Itu artinya memiliki
pengetahuan penuh dan kesadaran yang kokoh. Inilah meditasi.
Tetapi masih saja meditasi itu pada umumnya tidak dipahami
dengan baik. Kita berlatih secara berkelompok, tetapi seringkali kita tidak
tahu apa itu sebenarnya. Beberapa orang menganggap meditasi sangat sulit untuk
dipraktekkan. "Saya datang ke vihara, tetapi saya tidak bisa duduk. Saya tidak
memiliki daya tahan yang cukup. Kaki saya sakit, punggung saya nyeri, saya
merasa sakit di sekujur tubuh." Jadi mereka pun menyerah dan tidak mau
datang lagi, berpikir bahwa mereka tidak bisa melakukannya.
Tetapi sebenarnya samadhi itu bukan duduk. Samadhi itu bukan
berjalan. Ia bukan berbaring atau berdiri. Duduk, berjalan, memejamkan mata,
membuka mata, ini semua hanyalah berupa tindakan saja. Dengan memejamkan mata,
belum tentu anda sedang berlatih samadhi. Anda bisa saja sedang mengantuk dan
berkhayal. Jika anda duduk dengan mata terpejam tetapi anda tertidur, kepala
anda naik turun dan mulut anda terbuka lebar, itu bukanlah duduk di dalam
samadhi. Itu namanya duduk dengan mata terpejam. Samadhi dan mata terpejam
adalah dua hal yang berbeda. Samadhi yang sesungguhnya, bisa dilakukan baik
dengan mata terbuka maupun terpejam. Anda bisa duduk, berjalan, berdiri atau
berbaring.
Samadhi artinya pikiran yang terpusat secara kokoh, dengan
diliputi kesadaran penuh, pengekangan, dan kewaspadaan. Anda secara terus-menerus
menyadari yang benar dan yang salah, terus-menerus memperhatikan segala kondisi
yang muncul di dalam pikiran. Bila ia tiba-tiba memikirkan sesuatu, mengalami
suasana hati yang diliputi kebencian atau nafsu keinginan, anda pun
menyadarinya. Beberapa orang menjadi patah semangat: "Saya tidak bisa
melakukannya. Begitu saya duduk, pikiran saya mulai memikirkan rumah. Itu
adalah kejahatan (bahasa Thai: bahp)." Hei ! Jika hanya sebegitu saja
sudah merupakan kejahatan, Sang Buddha tidak akan pernah menjadi seorang
Buddha. Beliau menghabiskan enam tahun berjuang melawan pikirannya yang
memikirkan rumah dan keluarganya. Hanya setelah enam tahun, barulah beliau
mencapai pencerahan.
Beberapa orang merasa bahwa pikiran-pikiran yang tiba-tiba
muncul ini adalah kesalahan atau kejahatan. Anda mungkin mempunyai dorongan
untuk membunuh seseorang. Tetapi anda menyadarinya pada kesempatan berikutnya,
anda menyadari bahwa pembunuhan adalah salah, jadi anda berhenti dan menahan
diri. Apakah ada yang jahat di sini ? Bagaimana menurut anda ? Atau jika anda
memiliki pikiran untuk mencuri sesuatu dan kemudian ia dibarengi dengan ingatan
yang kuat bahwa melakukan hal itu adalah suatu kesalahan, sehingga anda menahan
diri untuk tidak melakukannya - apakah itu kamma buruk ? Adalah tidak benar
bahwa setiap kali anda memiliki dorongan, maka seketika itu juga anda telah
melakukan kamma buruk. Kalau demikian halnya, lalu bagaimana mungkin kita bisa
menuju pembebasan ? Dorongan hanyalah dorongan. Pikiran hanyalah pikiran. Pada
saat pertama, anda masih belum menciptakan apa-apa.
Pada saat yang kedua, jika anda melakukannya dengan tubuh
fisik, ucapan ataupun pikiran, maka saat itulah anda telah menciptakan sesuatu.
Avijja (kegelapan batin) telah mengambil alih. Jika anda memiliki dorongan
untuk mencuri dan kemudian anda menyadari diri anda sendiri dan menyadari bahwa
itu adalah suatu kesalahan, inilah kebijaksanaan, dan di sana pun muncul vijja
(pengetahuan). Dorongan batin menjadi tidak terpenuhi.
Ini adalah kesadaran yang tepat pada waktunya, kebijaksanaan
yang muncul dan memberitahukan pengalaman kita. Jika ada pikiran awal yang
ingin mencuri sesuatu dan kemudian kita melakukannya, itu adalah dhamma
khayalan; tindakan tubuh fisik, ucapan dan pikiran yang mengikuti dorongan hati
itu akan menimbulkan akibat yang negatif.
Beginilah cara kerjanya. Dengan hanya memiliki pikiran saja,
bukan merupakan kamma negatif. Jika kita tidak memiliki pikiran apa pun,
bagaimana kebijaksanaan akan tumbuh berkembang ? Beberapa orang cuma ingin duduk
dengan pikiran yang kosong saja. Itu adalah pemahaman yang keliru.
Saya sedang berbicara tentang samadhi yang dibarengi
kebijaksanaan. Sebenarnya, Sang Buddha tidak mengharapkan samadhi yang banyak.
Beliau tidak menginginkan jhana dan samapatti. Beliau memandang samadhi sebagai
salah satu komponen dari Sang Jalan. Sila, samadhi dan panna adalah
komponen-komponen atau bahan-bahan baku, seperti bahan baku untuk memasak. Kita
memakai rempah-rempah untuk membuat makanan jadi lezat. Intinya bukan terletak
pada rempah-rempah tersebut, tetapi pada makanan yang kita makan. Mempraktekkan
samadhi juga sama. Guru-guru Sang Buddha, Uddaka dan Alara, memberikan
penekanan kuat pada praktek jhana, dan untuk memperoleh berbagai jenis kekuatan
seperti kekuatan supranatural misalnya. Tetapi jika anda sudah mencapai begitu
jauh, sangat sulit untuk melepaskannya. Di beberapa tempat diajarkan tentang
ketenangan yang mendalam, untuk duduk dalam ketenangan yang nikmat. Para
meditator kemudian menjadi mabuk akan samadhi mereka. Jika mereka memiliki
sila, mereka pun dimabukkan oleh sila mereka. Jika mereka berjalan melalui Sang
Jalan, mereka menjadi mabuk akan Sang Jalan, terpesona akan keindahan dan
keajaiban yang mereka alami, dan mereka pun tidak mencapai tujuan yang sebenarnya.
Sang Buddha mengatakan bahwa hal ini adalah suatu kesalahan
yang teramat halus/tidak kentara (subtle). Tetapi hal ini masih saja merupakan
sesuatu yang benar bagi mereka yang berada pada level yang kasar (coarse).
Tetapi sebenarnya apa yang Sang Buddha inginkan adalah supaya kita memiliki
samadhi yang secukupnya, tanpa terjebak di sana. Setelah kita berlatih dan
mengembangkan samadhi, maka kemudian samadhi akan mengembangkan
kebijaksanaan.
Samadhi yang berada pada level samatha - ketenangan - adalah
seperti sebongkah batu yang menutupi rumput. Di dalam samadhi yang kokoh dan
stabil, walaupun dengan mata yang terbuka, kebijaksanaan ada di sana. Bila
kebijaksanaan sudah muncul, ia menyelimuti dan mengetahui
("menguasai") segala sesuatunya. Jadi, sang guru tidak menginginkan
tingkatan konsentrasi dan penghentian yang murni seperti itu, karena mereka
bisa menjadi penghalang dan Sang Jalan pun bakal dilupakan.
Jadi, yang penting adalah untuk tidak melekat pada posisi
duduk atau posisi-posisi tertentu yang lainnya. Samadhi tidak timbul hanya
dengan memejamkan mata, membuka mata, atau dengan duduk, berdiri, berjalan atau
berbaring. Samadhi menembus segala macam posisi tubuh dan aktifitas.
Orang-orang yang lanjut usia, yang seringkali tidak bisa duduk dengan baik,
justru malah bisa merenungkan dengan baik dan mempraktekkan samadhi dengan
mudah; mereka juga bisa mengembangkan banyak kebijaksanaan.
Bagaimana mereka bisa mengembangkan kebijaksanaan ? Segala
hal bisa membangkitkan mereka. Bila mereka membuka mata, mereka tidak bisa lagi
melihat dengan jelas. Gigi mereka menyulitkan mereka dan banyak yang sudah
copot. Tubuh mereka sakit sepanjang waktu. Cuma itu saja tempat bagi mereka
untuk belajar. Jadi, memang benar, meditasi itu mudah bagi orang-orang yang
sudah tua. Meditasi itu sulit bagi anak-anak muda. Gigi mereka masih kuat, jadi
mereka bisa menikmati makanan mereka. Mereka tidur dengan lelap. Pancaindera
mereka masih utuh dan dunia sungguh menarik dan menyenangkan bagi mereka,
sehingga mereka menjadi mudah terperdaya. Bagi mereka yang sudah tua, bila
mereka mengunyah sesuatu yang keras, mereka akan segera merasa sakit. Tepat di
sanalah devaduta (utusan dewa) sedang berbicara kepada mereka; ia mengajari
orang-orang tua itu setiap hari. Bila mereka membuka mata mereka, penglihatan
mereka tidak jelas. Di pagi hari punggung mereka nyeri. Di sore hari kaki
mereka sakit. Itu dia ! Ini merupakan topik belajar yang sangat bagus. Beberapa
dari anda para orang tua akan bilang kalau anda tidak bisa bermeditasi. Apa
yang ingin anda meditasikan ? Dari siapa anda akan belajar meditasi ?
Ini artinya melihat tubuh yang ada di dalam tubuh dan
kesan-kesan indera yang ada di dalam kesan-kesan indera. Apakah anda melihat
hal-hal ini atau apakah anda melarikan diri ? Berkata bahwa anda tidak bisa
berlatih hanya karena anda terlalu tua, merupakan pemahaman yang keliru.
Pertanyaannya adalah, apakah segala sesuatunya jelas bagi anda ? Orang-orang
lanjut usia terlalu banyak pikiran, terlalu banyak kesan-kesan indera, terlalu banyak
kegelisahan dan rasa sakit. Semuanya muncul ! Jika mereka bermeditasi, mereka
benar-benar bisa menjadi saksinya. Jadi, saya katakan meditasi itu mudah bagi
orang-orang tua. Mereka bisa melakukannya dengan sangat baik. Ini seperti yang
setiap orang katakan, "Bila saya sudah tua, saya akan pergi ke
vihara." Jika anda memahami ini, ia memang benar. Anda harus melihatnya di
dalam diri anda sendiri. Bila anda duduk, ia benar; bila anda berdiri, ia
benar; bila anda berjalan, ia pun benar. Semuanya adalah perjuangan, semuanya
merupakan rintangan - dan semuanya mengajari anda. Bukankah begitu ? Mampukah
anda berdiri dan berjalan pergi dengan mudah saat ini ? Ketika anda berdiri,
"Aduh !" Atau anda tidak memperhatikannya ? Dan lagi-lagi, "Aduh
!" ketika anda berjalan. Rasanya seperti ditusuk-tusuk.
Ketika anda masih muda, anda bisa berdiri dan berjalan,
pergi ke mana pun yang anda suka. Tetapi anda tidak benar-benar mengetahui apa
pun. Ketika anda sudah tua, setiap kali anda berdiri, rasanya "Aduh
!" Bukankah itu yang anda katakan ? "Aduh ! Aduh !" Setiap kali
anda bergerak, anda mempelajari sesuatu. Jadi bagaimana anda bisa bilang kalau
meditasi itu sulit ? Ke mana lagi anda harus melihat ? Semuanya benar adanya.
Devaduta sedang memberitahukan anda sesuatu. Sejelas-jelasnya. Sankhara sedang
memberitahukan anda bahwa mereka itu tidak stabil atau kekal, bukan diri anda
atau milik anda. Mereka sedang memberitahukan anda di setiap saat.
Tetapi kita berpikir dengan cara yang berbeda. Kita tidak
berpikir bahwa ini adalah benar adanya. Kita menghibur pandangan salah dan
pendapat-pendapat kita adalah jauh dari kebenaran. Tetapi sesungguhnya,
orang-orang tua bisa melihat ketidakkekalan, penderitaan dan tidak adanya jati
diri, dan memberikan kesempatan bagi kekecewaan dan ke-tanpa-nafsu-an untuk
tumbuh - karena bukti-buktinya sudah ada di sana di dalam diri mereka setiap
saat. Saya pikir itu hal yang bagus.
Memiliki kepekaan internal yang selalu menyadari apa yang
benar dan yang salah disebut Buddho. Tidak perlu berulang-ulang melafalkan
"Buddho." Anda telah menghitung buah-buahan di dalam keranjang anda.
Setiap kali anda duduk, anda tidak perlu lagi mencari masalah dengan
mengeluarkan semua buah itu dan menghitungnya lagi. Anda bisa membiarkannya di
dalam keranjang. Tetapi seseorang dengan kemelekatan yang keliru, akan
terus-menerus menghitung. Dia akan berhenti di bawah pohon, mengeluarkan
semuanya dan menghitungnya, dan kemudian memasukkannya lagi ke dalam keranjang.
Kemudian dia akan berjalan menuju tempat perhentian yang berikutnya dan
melakukannya lagi. Tetapi dia cuma menghitung buah-buahan yang sama. Ini adalah
nafsu keinginan. Dia takut jika dia tidak menghitungnya, akan ada kesalahan.
Kita takut jika kita tidak terus-menerus melafalkan "Buddho", maka
kita akan salah. Bagaimana kita bisa salah ? Hanya orang yang tidak mengetahui
jumlah buah di dalam keranjang sajalah yang perlu menghitung. Begitu anda sudah
tahu, anda bisa tenang-tenang saja dan membiarkannya di dalam keranjang. Bila
anda duduk, anda hanya duduk. Bila anda berbaring, anda hanya berbaring, karena
buah-buahan anda semuanya ada pada anda.
Mempraktekkan keluhuran dan melakukan kebajikan,
"Nibbana paccayo hotu" - semoga ia menjadi sebuah kondisi untuk
mencapai Nibbana. Sebagai sebuah kondisi untuk merealisasi Nibbana, memberikan
persembahan itu bagus. Menjalankan aturan-aturan kemoralan itu bagus.
Mempraktekkan meditasi itu bagus. Mendengarkan ajaran Dhamma itu bagus. Semoga
mereka menjadi kondisi-kondisi untuk mencapai Nibbana.
Tetapi apa sebenarnya Nibbana itu ? Nibbana artinya tidak
menggenggam. Nibbana berarti tidak memberi arti pada segala hal. Nibbana
berarti melepaskan. Memberikan persembahan dan melakukan berbagai kebajikan,
menjalankan aturan-aturan kemoralan, dan melakukan meditasi cinta kasih,
semuanya ini bertujuan untuk menghilangkan kekotoran batin dan nafsu keinginan,
untuk mengosongkan pikiran - kosong dari kemelekatan pada diri sendiri, kosong
dari konsep ke-akuan atau pihak lain, dan untuk tidak mengharapkan apa pun -
tidak mengharapkan untuk menjadi apa pun.
Nibbana paccayo hotu : jadikanlah ia sebagai suatu faktor
penyebab untuk mencapai Nibbana. Mempraktekkan kedermawanan adalah untuk
melepaskan, untuk merelakan. Mendengarkan ajaran-ajaran bertujuan agar kita
mengetahui cara untuk merelakan dan melepaskan, untuk menumbangkan kemelekatan
pada apa yang baik dan yang jahat. Pertama-tama, kita bermeditasi untuk
mengenali hal-hal yang salah dan jahat. Ketika kita sudah mengenalinya, kita
melepaskannya dan kita pun mempraktekkan hal-hal yang baik. Lalu, ketika
beberapa hal yang baik sudah tercapai, jangan melekat pada kebaikan itu.
Tetaplah berada pada pertengahan jalan dari kebaikan, atau di atas kebaikan -
jangan berkutat di bawah kebaikan. Jika kita berada di bawah kebaikan maka kebaikan
akan mempermainkan kita, dan kita pun menjadi budaknya. Kita menjadi budak, dan
ia memaksa kita untuk membuat berbagai jenis kamma dan kesalahan. Ia bisa
menuntun kita kepada apa pun, dan akan mengakibatkan suatu keadaan
ketidakbahagiaan dan ketidakberuntungan seperti yang telah kita alami
sebelumnya.
Melepaskan kejahatan dan mengembangkan kebajikan -
melepaskan yang negatif dan mengembangkan hal-hal yang positif. Mengembangkan
kebajikan, tetap berada di atas kebajikan. Tetap berada di atas kebajikan dan
ketidakbajikan, di atas yang baik dan jahat. Teruslah berlatih dengan pikiran
yang merelakan, melepaskan, dan bebas. Apa pun yang anda lakukan, ia sama saja
: jika anda melakukannya dengan pikiran yang melepaskan, maka ia merupakan
sebuah kondisi untuk merealisasi Nibbana. Bebas dari nafsu, bebas dari
kekotoran batin, bebas dari keinginan, dan kemudian mereka semua menyatu dengan
Sang Jalan, yang artinya Kebenaran Mulia, yang berarti saccadhamma. Ia adalah
Kebenaran Mulia, memiliki kebijaksanaan untuk mengenali tanha, yang merupakan
sumber dari dukkha. Kamatanha, bhavantanha, vibhavatanha (nafsu indera, nafsu
untuk menjadi sesuatu, nafsu untuk tidak menjadi sesuatu) : inilah asal
mulanya, sumbernya. Jika anda pergi ke sana, jika anda mengharapkan sesuatu
atau menginginkan untuk menjadi sesuatu, anda hanya akan memupuk dukkha,
memunculkan dukkha, karena hal-hal inilah yang melahirkan dukkha. Ini adalah
penyebab-penyebabnya. Jika kita menciptakan penyebab-penyebab dukkha, maka
dukkha akan terjadi. Penyebabnya adalah vibhavatanha : ini adalah nafsu
keinginan yang meresahkan, menggebu-gebu. Seseorang menjadi budak dari nafsu
keinginan dan membuat berbagai jenis kamma dan kesalahan dikarenakan hal ini,
sehingga penderitaan pun muncul. Secara sederhana dikatakan, dukkha adalah anak
dari nafsu keinginan. Nafsu keinginan adalah orangtua dari dukkha. Bila ada
orangtua, maka dukkha bisa dilahirkan. Bila tidak ada orangtua, dukkha tidak
bisa terjadi - tidak akan ada keturunannya.
Di sinilah seharusnya meditasi itu dipusatkan. Kita
seharusnya melihat semua bentuk tanha, yang menyebabkan kita memiliki nafsu
keinginan. Tetapi berbicara tentang nafsu keinginan, bisa membingungkan.
Beberapa orang berpendapat bahwa segala macam nafsu keinginan, seperti
keinginan akan makanan dan kebutuhan materi untuk kelangsungan hidup, adalah
tanha. Tetapi kita bisa memiliki jenis keinginan ini dengan cara yang biasa dan
alami. Bila anda lapar dan menginginkan makanan, anda bisa makan dan masalahnya
selesai. Itu hal yang biasa. Ini adalah keinginan yang masih berada di dalam
ambang batas dan tidak memiliki akibat yang buruk. Keinginan seperti ini bukan
hawa nafsu inderawi. Jika ia adalah hawa nafsu inderawi, maka ia akan menjadi
sesuatu yang melebihi nafsu keinginan. Akan ada keinginan untuk mengkonsumsi
lebih banyak lagi, mencari kenikmatan, mencari kesenangan dengan cara-cara yang
bisa mengakibatkan kesengsaraan dan masalah, seperti meminum minuman keras dan
bir.
Beberapa wisatawan mengatakan kepada saya tentang sebuah
tempat di mana orang-orang memakan otak kera yang masih hidup. Mereka
meletakkan seekor kera di tengah meja dan membelah tengkorak kepalanya. Lalu
mereka mengorek keluar otaknya dengan sendok untuk dimakan. Cara makan seperti
itu mirip dengan cara makan setan atau hantu kelaparan. Itu bukan makan dengan
cara yang biasa atau alami. Melakukan hal seperti ini, makan pun menjadi tanha.
Mereka bilang kalau darah kera itu bisa membuat mereka kuat. Jadi, mereka
mencoba menangkap hewan tersebut dan ketika mereka memakannya, mereka juga
meminum minuman keras dan bir. Ini bukan cara makan yang biasa. Ia merupakan
cara setan dan hantu yang terjerumus ke dalam hawa nafsu inderawi. Mereka
memakan batubara, memakan api, memakan segalanya di mana-mana. Jenis nafsu
keinginan seperti inilah yang disebut tanha. Tidak ada kontrol. Berbicara,
berpikir, merias diri, apa pun yang dilakukan orang-orang ini, selalu saja
berlebihan. Jika cara makan kita, tidur, dan kegiatan-kegiatan penting lainnya
dilakukan secara terkontrol, maka tidak akan ada bahaya di sana. Jadi, anda
seharusnya mewaspadai diri anda sendiri terhadap hal-hal seperti ini; maka
mereka tidak akan menjadi sumber penderitaan. Jika kita mengetahui cara untuk
menjadi terkontrol dan cermat di dalam memenuhi kebutuhan kita, maka kita pun
bisa merasa nyaman.
Mempraktekkan meditasi dan membuat kebajikan, bukanlah hal
yang terlalu sulit untuk dilakukan, asalkan kita memahami mereka dengan baik.
Apakah perbuatan salah itu ? Apakah kebajikan itu ? Kebajikan adalah sesuatu
yang baik dan indah, tidak melukai diri kita sendiri atau pihak lain dengan
pikiran, ucapan, dan tindakan kita. Maka akan ada kebahagiaan di sana. Tidak
ada hal-hal negatif yang diperbuat. Kebajikan adalah seperti ini. Kemahiran
adalah seperti ini.
Sama halnya dengan memberikan persembahan dan sumbangan.
Ketika kita memberi, apa yang coba kita berikan ? Pemberian bertujuan untuk
menghancurkan kemelekatan pada diri sendiri, kepercayaan akan adanya jati diri
yang dibarengi dengan sifat egois. Egois itu sangat kuat, penderitaan yang
ekstrim. Orang-orang yang egois selalu ingin menjadi lebih baik dari pihak lain
dan ingin mendapatkan dalam jumlah yang lebih banyak dari orang lain. Contoh
yang sederhana adalah setelah orang-orang seperti ini selesai makan, mereka
tidak mau mencuci piring-piring mereka. Mereka membiarkan orang lain yang
melakukannya. Jika mereka makan secara berkelompok, mereka akan meninggalkan
pekerjaan ini untuk kelompoknya. Setelah mereka makan, mereka pun angkat kaki.
Ini adalah sifat mementingkan diri sendiri, tidak bertanggungjawab, dan ia
meletakkan beban pada pihak lain. Orang-orang seperti ini sebenarnya adalah
orang yang tidak peduli pada dirinya sendiri, yang tidak menolong dirinya
sendiri dan orang yang benar-benar tidak menyayangi dirinya sendiri. Dalam
mempraktekkan kemurahan hati, kita mencoba membersihkan hati kita dari
sifat-sifat seperti ini. Inilah yang dinamakan melakukan kebajikan melalui
pemberian, dengan tujuan untuk memiliki batin yang penuh belas kasih dan yang
memiliki kepedulian terhadap semua makhluk hidup tanpa kecuali.
Jika kita bisa bebas dari hanya satu hal ini saja, sifat
mementingkan diri sendiri, maka kita akan menjadi seperti Sang Buddha. Beliau
berjuang bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk kebaikan bagi semuanya.
Jika Sang Jalan dan Buah muncul di hati kita seperti ini, kita tentu bisa
mengalami kemajuan. Dengan bebas dari sifat egois, maka segala perbuatan baik,
kemurahan hati, dan meditasi, akan menuntun kita kepada pembebasan. Siapa pun
yang berlatih seperti ini akan menjadi bebas dan pergi melampaui - melampaui
segala konvensi dan penampilan.
Prinsip-prinsip dasar dari latihan itu, tidak melampaui
pemahaman kita. Dalam mempraktekkan kedermawanan, sebagai contoh, jika kita
kurang bijaksana, maka tidak akan ada kebajikan di sana. Tanpa adanya
pemahaman, kita berpikir bahwa kedermawanan dan kemurahan hati itu berarti
memberikan benda-benda saja. "Bila saya merasa ingin memberi, saya akan
memberi. Jika saya merasa ingin mencuri sesuatu, saya akan mencurinya. Lalu
jika saya merasa murah hati, saya akan memberikan sesuatu." Itu seperti
tong yang terisi penuh dengan air. Anda mengambil satu ember air, dan kemudian
anda menuang kembali satu ember. Ambil lagi, tuang kembali, ambil lagi dan
tuang kembali - seperti ini. Kapan anda akan mengosongkan tong air itu ? Apakah
anda bisa melihat akhirnya ? Apakah praktek semacam ini bisa menjadi faktor
penyebab untuk merealisasi Nibbana ? Akankah tong itu kosong ? Ambil satu
ember, tuang lagi satu ember - bisakah anda melihat kapan itu akan berakhir
?
Bergerak maju dan mundur seperti ini adalah vatta, siklus
atau perputaran. Jika kita berbicara tentang pelepasan yang sebenarnya,
melepaskan yang baik maupun yang jahat, maka di sana hanya ada mengambil air
saja. Bahkan jika tinggal sedikit air saja, anda pun mengambilnya. Anda tidak
mengisi apa pun lagi di sana, dan anda terus-menerus mengambilnya. Walaupun
sekiranya anda hanya memiliki ember yang kecil, anda melakukan apa yang bisa
anda lakukan dan dengan cara ini, waktunya akan tiba ketika tong itu pun
akhirnya kosong. Jika mengambil satu ember air dan menuangkan kembali satu
ember, mengambil lagi dan menuangkan kembali - cobalah pikir. Kapan anda akan
melihat tong itu kosong ? Dhamma yang seperti ini tidak berada jauh di sana. Ia
berada di sini di dalam tong. Anda bisa melakukannya di rumah. Cobalah. Bisakah
anda mengosongkan tong dengan cara ini ? Lakukanlah besok sepanjang hari dan
lihat apa yang akan terjadi.
"Melepaskan semua kejahatan, mempraktekkan kebajikan,
memurnikan pikiran." Melepaskan perbuatan salah terlebih dahulu, kita lalu
mulai mengembangkan kebajikan. Apa keluhuran dan kebajikan itu ? Di manakah ia
? Ia seperti ikan di air. Jika mengeluarkan semua airnya, kita akan mendapatkan
ikannya - itu cara yang sederhana untuk menjelaskannya. Jika mengambil air dan
menuangkannya kembali, ikan itu tetap ada di dalam tong. Jika kita tidak
menghilangkan segala bentuk tindakan salah, kita tidak akan melihat kebajikan
dan kita takkan melihat apa yang benar dan nyata. Mengambil dan menuangkan
kembali, mengambil dan menuangkan kembali, kita hanya tetap seperti sedia kala.
Maju mundur seperti ini, kita hanya menghabiskan waktu kita dan apa pun yang
kita lakukan menjadi tidak berarti. Mendengarkan ajaran menjadi tidak berarti.
Memberikan persembahan menjadi tidak berarti. Semua usaha kita untuk berlatih
menjadi sia-sia. Kita tidak memahami prinsip-prinsip dari jalan Sang Buddha,
sehingga tindakan-tindakan kita tidak berbuah seperti yang diharapkan.
Ketika Sang Buddha mengajarkan tentang praktek, beliau tidak
berbicara tentang sesuatu yang diperuntukkan hanya untuk orang-orang yang sudah
ditahbiskan saja. Beliau berbicara tentang latihan yang baik, latihan yang
benar. Supatipanno artinya mereka yang berlatih dengan baik. Ujupatipanno berarti
mereka yang berlatih secara langsung. Nayapatipanno artinya mereka yang
berlatih untuk merealisasi Sang Jalan, Buahnya dan Nibbana. Samicipatipanno
adalah mereka yang berlatih menuju kebenaran. Bisa siapa saja. Ini adalah
Sangha dari murid-murid sejati (savaka) Sang Buddha. Umat awam wanita yang
tinggal di rumah bisa menjadi savaka. Umat awam pria bisa menjadi savaka.
Dengan memenuhi kualitas-kualitas seperti inilah yang membuat seseorang menjadi
savaka. Seseorang bisa menjadi murid sejati Sang Buddha dan mencapai
pencerahan.
Kebanyakan dari kita yang beragama Buddha tidak memiliki
pemahaman yang menyeluruh seperti ini. Pengetahuan kita tidak sejauh ini. Kita
melakukan berbagai aktifitas sambil berpikir bahwa kita akan memperoleh
sejumlah balas jasa darinya. Kita berpikir dengan mendengarkan ajaran atau
memberikan persembahan, merupakan perbuatan yang akan mendapat balas jasa.
Itulah yang dikatakan kepada kita. Tetapi seseorang yang memberikan persembahan
untuk "memperoleh" balas jasa, sebenarnya telah membuat kamma buruk.
Anda kurang bisa memahami hal ini. Seseorang yang memberi
dengan maksud untuk mendapatkan balas jasa, seketika itu juga telah menimbun
kamma buruk. Jika anda memberi dengan maksud untuk melepaskan dan membebaskan
pikiran, itulah yang memberikan balas jasa kepada anda. Jika anda melakukannya
untuk mendapatkan sesuatu, itu adalah kamma buruk.
Mendengarkan ajaran supaya benar-benar memahami jalan Sang
Buddha adalah sulit. Dhamma menjadi sulit untuk dipahami bila yang orang-orang
praktekkan - menjalankan aturan kemoralan, duduk bermeditasi, memberi - adalah
untuk mendapatkan sesuatu sebagai balasannya. Kita ingin jasa, kita ingin
sesuatu. Kalau begitu, jika sesuatu bisa didapat, lalu siapa yang
mendapatkannya ? Kita yang mendapatkannya. Bila ia hilang, milik siapa yang
hilang ? Orang yang tidak memiliki apa-apa, tidak akan kehilangan apa pun. Dan
bila ia hilang, siapa yang menderita karenanya ?
Apakah anda tidak berpikir bahwa hidup dengan mendambakan
sesuatu atau yang lain, akan membuat anda menderita ? Kalau tidak, anda boleh
meneruskan kebiasaan seperti sebelumnya, mencoba untuk mendapatkan semuanya.
Dan sebaliknya, jika kita mengosongkan pikiran, maka kita akan mendapatkan
segalanya. Alam yang lebih tinggi, Nibbana dan semua pencapaian mereka - kita
mendapatkan semuanya. Di dalam memberikan persembahan, kita tidak memiliki
kemelekatan atau tujuan apa pun; pikiran kosong dan tenang. Kita bisa
melepaskan dan meletakkannya. Ia seperti mengangkat balok kayu dan kemudian
mengeluh kalau itu berat. Jika seseorang menyuruh anda meletakkannya, anda akan
bilang, "Jika saya meletakkannya, saya tak akan memiliki apa pun."
Kalau begitu, sekarang anda benar-benar memiliki sesuatu - anda merasa berat.
Tetapi anda tidak merasa ringan. Jadi, apakah anda ingin merasa ringan, atau
anda ingin terus mengangkatnya ? Seseorang menyuruhnya untuk meletakkannya,
yang lain bilang dia takut tidak akan memiliki apa pun. Mereka hanya saling
berdebat satu sama lain.
Kita menginginkan kebahagiaan, kita ingin kemudahan, kita
ingin ketenangan dan kedamaian. Itu artinya kita ingin merasa ringan. Kita
mengangkat balok, dan lalu seseorang melihat kita melakukan hal tersebut dan
menyuruh kita untuk meletakkannya. Kita bilang kita tidak bisa karena apa lagi
yang kita miliki setelah itu ? Tetapi orang itu berkata bahwa jika kita
meletakkannya, maka kita bisa mendapatkan sesuatu yang lebih baik. Kedua belah
pihak menjadi sulit berkomunikasi.
Jika kita memberikan persembahan dan melakukan perbuatan
baik dengan maksud untuk mendapatkan sesuatu, ia tidak akan berhasil. Apa yang
kita dapat adalah proses untuk menjadi sesuatu dan kelahiran. Ini bukan faktor
penyebab untuk merealisasi Nibbana. Nibbana adalah merelakan dan melepaskan.
Jika kita mencoba untuk mendapatkan, untuk memegang, untuk memberi arti pada
segala sesuatunya, itu bukanlah faktor penyebab untuk merealisasi Nibbana. Sang
Buddha ingin agar kita melihat di sini, di tempat kosong untuk pelepasan ini.
Inilah kebajikan. Inilah kemahiran.
Bila kita melakukan perbuatan baik apa pun, begitu kita
selesai melakukannya, kita seharusnya merasa bahwa bagian kita sudah selesai.
Kita seharusnya tidak membawanya lagi. Kita melakukannya dengan tujuan untuk
melepaskan kekotoran batin dan nafsu keinginan. Kita tidak melakukannya dengan
tujuan untuk menimbulkan kekotoran batin, nafsu keinginan dan kemelekatan. Lalu
ke mana kita akan pergi ? Kita tidak pergi ke mana-mana. Praktek kita sudah
bagus dan benar.
Kebanyakan dari kita umat Buddha, walaupun kita mengikuti
aturan-aturan praktek dan belajar, mengalami kesulitan untuk memahami
pembicaraan seperti ini. Itu dikarenakan Mara, yang berarti kebodohan, yang
berarti nafsu keinginan - keinginan untuk mendapatkan, untuk memiliki, untuk
menjadi - telah menyelimuti pikiran kita. Kita hanya menemukan kebahagian yang
sementara. Sebagai contoh, ketika kita dipenuhi kebencian terhadap seseorang,
ia mengambil alih pikiran kita dan membuat kita tidak tenang. Kita memikirkan
orang tersebut setiap saat, memikirkan apa yang bisa kita perbuat untuk menyerangnya.
Pemikiran tersebut tidak pernah berhenti. Kemudian barangkali suatu hari nanti
kita memiliki kesempatan untuk pergi ke rumahnya dan memaki-makinya. Hal itu
memberikan kita sedikit kelegaan. Apakah hal itu menghilangkan kekotoran batin
kita ? Kita menemukan cara untuk melepaskan kemarahan dan kita merasa lebih
lega karenanya. Tetapi kita belum melenyapkan penderitaan yang diakibatkan oleh
kemarahan itu, bukan ? Ada sejumlah kebahagiaan di dalam kekotoran batin dan
nafsu keinginan, tetapi ia adalah seperti ini. Kita masih menyimpan kekotoran
batin di dalam dan bila kondisinya memungkinkan, ia akan menyala dengan lebih
besar lagi daripada sebelumnya. Lalu kita akan kembali mencari sejumlah
pelepasan yang bersifat sementara. Akankah kekotoran-kekotoran batin itu bisa
dilenyapkan dengan cara ini ?
Sama seperti ketika seseorang kehilangan pasangan hidup atau
anaknya yang meninggal, atau ketika orang-orang mengalami kerugian finansial
yang hebat. Mereka minum-minum untuk mengurangi penderitaan mereka. Mereka
pergi menonton di bioskop untuk mengurangi kesengsaraan mereka. Apakah itu
benar-benar mengurangi kesengsaraan ? Sebenarnya penderitaan terus bertambah;
tetapi untuk sementara waktu mereka bisa melupakan tentang apa yang telah
terjadi, jadi mereka menyebutnya sebagai salah satu cara untuk mengobati
kesengsaraan mereka. Sama seperti jika telapak kaki anda terluka sehingga
ketika berjalan anda merasa sakit. Apa pun yang bersentuhan dengannya akan
menyebabkan rasa sakit, dan anda berjalan terpincang-pincang sambil mengeluhkan
ketidaknyamanan ini. Tetapi jika anda melihat seekor harimau datang mendekati
anda, anda akan berdiri dan mulai berlari tanpa memikirkan kaki anda yang
terluka. Ketakutan akan harimau menjadi jauh lebih kuat dari rasa sakit di kaki
anda, jadi seolah-olah rasa sakitnya hilang. Rasa takut membuatnya menjadi
sesuatu yang kecil.
Anda barangkali menghadapi masalah di tempat kerja atau di
rumah yang kelihatannya begitu besar. Lalu anda pun mabuk dan karena
terpengaruh khayalan yang lebih kuat di saat anda mabuk, masalah-masalah itu
menjadi tidak begitu mengganggu anda lagi. Anda berpikir bahwa ia telah
menyelesaikan masalah-masalah anda dan mengurangi ketidakbahagiaan anda. Namun
ketika mabuk anda hilang, masalah-masalah lama pun muncul kembali. Jadi apa
yang terjadi dengan solusi anda ? Anda terus-menerus menekan masalah dengan
minum-minum dan mereka terus-menerus muncul kembali. Pada akhirnya anda mungkin
akan terkena penyakit lever, tetapi anda tidak melenyapkan masalahnya; dan suatu
hari nanti anda pun meninggal dunia.
Ada sedikit rasa nyaman dan kebahagiaan di sini; ini adalah
kebahagiaan dari orang yang bodoh. Ini adalah cara orang yang bodoh untuk
menghentikan penderitaan mereka. Tidak ada kebijaksanaan di sana.
Kondisi-kondisi berbeda yang membingungkan ini tercampur aduk di dalam hati
yang merasakan kondisi tubuh. Jika pikiran dibiarkan untuk mengikuti suasana
hati dan kecenderungannya, ia pun merasakan sejumlah kebahagiaan. Tetapi
kebahagiaan ini selalu menyimpan ketidakbahagiaan di dalamnya. Setiap kali ia
meledak, penderitaan dan keputus-asaan kita akan semakin bertambah. Ia seperti
luka. Jika kita mengobatinya di bagian luar saja tetapi tidak pada bagian
dalamnya, ia akan tetap terinfeksi, ia belum terobati. Ia kelihatannya
baik-baik saja untuk beberapa waktu, tetapi ketika infeksi sudah menyebar, kita
harus mulai membedahnya. Jika infeksi di dalam tak pernah diobati, kita hanya
menanganinya di bagian luar saja secara berulang-ulang tanpa ada akhirnya. Apa
yang kelihatan dari luar, bisa terlihat baik-baik saja untuk sementara waktu,
tetapi di bagian dalam, ia sama seperti sebelumnya.
Dunia memang seperti ini. Hal-hal duniawi tidak pernah
selesai. Jadi, hukum-hukum duniawi di dalam berbagai kelompok masyarakat,
terus-menerus muncul untuk mengatasi berbagai persoalan. Peraturan-peraturan
baru selalu diciptakan untuk mengatasi berbagai situasi dan persoalan yang
berbeda-beda. Sesuatu ditangani untuk sementara waktu, tetapi selalu saja ada
kebutuhan akan peraturan dan solusi yang baru. Tidak pernah ada penyelesaian
secara internal, yang ada hanya perbaikan di permukaan saja. Infeksi masih
tetap ada di dalam, jadi selalu saja ada kebutuhan untuk pembedahan
terus-menerus. Orang-orang hanya kelihatan bagus di bagian luar, di dalam ucapan-ucapan
mereka dan penampilan mereka. Kata-kata mereka bagus dan wajah mereka terlihat
seperti orang yang baik, tetapi pikiran mereka tidak begitu baik.
Bila kita naik kereta api dan bertemu dengan beberapa orang
kenalan kita di sana, kita bilang, "Oh, sungguh senang melihatmu ! Saya
selalu memikirkanmu akhir-akhir ini ! Saya sudah berencana untuk mengunjungimu
!" Tetapi itu hanya basa basi saja. Kita tidak benar-benar punya maksud
seperti itu. Kita hanya baik di bagian luar saja, tetapi kita tidak begitu baik
di bagian dalam. Kita mengucapkan beberapa patah kata, namun begitu kita sudah
merokok dan minum secangkir kopi dengannya, kita pun berpisah. Lalu suatu hari
kita bertemu lagi dengannya, dan kita akan mengucapkan kata-kata yang sama
lagi: "Hai, senang bertemu denganmu ! Apa kabar ? Saya sudah bermaksud
mengunjungimu, tetapi saya tidak punya cukup waktu." Begitulah adanya.
Orang-orang hanya baik di luar saja, tetapi biasanya mereka tidak begitu baik
di dalam.
Sang guru agung mengajarkan Dhamma dan Vinaya. Ia lengkap
dan menyeluruh. Tidak ada yang melebihinya dan tidak ada satu pun di dalamnya
yang perlu diubah atau disesuaikan, karena ia adalah yang terakhir. Ia sudah
lengkap, jadi di sinilah kita bisa berhenti. Tidak ada yang ditambahkan atau dikurangi,
karena ia adalah sesuatu dari alam yang tidak bertambah atau tidak berkurang.
Ia sudah benar adanya.
Jadi, kita umat Buddha datang untuk mendengarkan ajaran
Dhamma dan untuk mempelajari kebenaran-kebenaran ini. Jika kita mengetahui
mereka, batin kita akan memasuki Dhamma; Dhamma akan memasuki batin kita.
Bilamana batin seseorang memasuki Dhamma, maka orang tersebut akan sehat
sejahtera, orang tersebut memiliki pikiran yang damai. Kemudian pikiran akan
mampu untuk mengatasi kesulitan-kesulitan, tetapi tidak akan merosot. Bila rasa
sakit dan penyakit menyerang tubuh, pikiran memiliki banyak cara untuk
mengatasi penderitaan. Ia bisa mengatasinya secara alami, memahami hal ini
sebagai sesuatu yang alami dan tidak terjebak dalam kefrustrasian atau ketakutan
terhadapnya. Mendapatkan sesuatu, kita tidak terbuai di dalam kesenangan.
Kehilangannya, kita tidak bersedih hati secara berlebihan, melainkan kita
memahami hakikat dari segala sesuatunya bahwa setelah muncul maka mereka pun
akan merosot dan lenyap. Dengan sikap seperti ini, kita bisa membuka jalan kita
di dunia ini. Kita adalah lokavidu, mengetahui dunia secara jernih. Kemudian
samudaya - penyebab penderitaan - tidak diciptakan, dan tanha tidak dilahirkan.
Di sana ada vijja, mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya, dan ia
menerangi dunia. Ia menerangi pujian dan cercaan. Ia menerangi keberhasilan dan
kegagalan. Ia menerangi status terhormat dan reputasi jelek. Ia secara jelas
menerangi kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian, di dalam pikiran para
praktisi.
Itu adalah seseorang yang telah mencapai Dhamma. Orang-orang
seperti ini tidak lagi berjuang melawan kehidupan dan tidak lagi terus-menerus
mencari solusi-solusi. Mereka mengatasi apa yang bisa diatasi, bertingkah laku
dengan sepantasnya saja. Begitulah cara Sang Buddha mengajar : beliau mengajar
orang-orang yang bisa diajar. Mereka-mereka yang tidak bisa diajar, beliau
abaikan dan biarkan. Walaupun jika beliau tidak mengabaikan mereka, mereka
tetap akan mengabaikan diri mereka sendiri - jadi beliau membiarkan mereka
pergi. Anda mungkin akan berpikir bahwa Sang Buddha tidak memiliki metta dengan
mengabaikan orang-orang. Hei ! Jika anda membuang mangga yang sudah busuk,
apakah itu artinya anda tidak memiliki metta ? Anda sudah tidak bisa lagi
memanfaatkannya sama sekali, itu saja. Tidak ada jalan lagi untuk mengajari
orang-orang seperti ini. Sang Buddha dipuji sebagai seseorang yang memiliki
kebijaksanaan sejati. Beliau tidak mengumpulkan semua orang dan segala
sesuatunya secara sembrono. Beliau memiliki mata surgawi dan bisa melihat
secara jelas segala sesuatu sebagaimana adanya. Beliau adalah yang mengetahui
dunia ini.
Sebagai seseorang yang mengetahui dunia, beliau melihat
bahaya di dalam lingkaran samsara. Bagi kita yang menjadi pengikut beliau, juga
sama. Jika kita mengetahui segala sesuatu sebagaimana adanya, hal itu akan
membawa kesejahteraan bagi kita. Di manakah tepatnya hal-hal yang menjadi
penyebab kita mengalami kebahagiaan dan penderitaan itu berada ? Pikirkanlah
baik-baik. Mereka hanyalah hal-hal yang kita ciptakan sendiri. Bilamana kita
menciptakan sebuah pemikiran bahwa sesuatu adalah diri kita atau milik kita,
saat itulah kita menjadi menderita. Segala sesuatunya bisa menjadi berbahaya
ataupun sebaliknya menjadi bermanfaat bagi kita, tergantung dari pemahaman
kita. Jadi, Sang Buddha mengajari kita agar memperhatikan diri kita sendiri,
memperhatikan tingkah laku kita sendiri dan munculnya pikiran-pikiran kita.
Bilamana kita memiliki rasa cinta atau kebencian yang berlebihan terhadap siapa
pun atau apa pun, bilamana kita menjadi terlalu bersemangat, hal itu akan
menuntun kita pada penderitaan yang sangat hebat. Hal ini sangat penting, jadi
cobalah untuk memperhatikannya. Selidiki perasaan-perasaan cinta ataupun benci
yang kuat ini, dan kemudian mundurlah selangkah. Jika anda berada terlalu
dekat, mereka akan menggigit. Apakah anda mendengarnya ? Jika anda menangkap
dan membelai-belai hal-hal ini, mereka akan menggigit dan menendang. Bila anda
memberi makan rumput pada kerbau anda, anda harus berhati-hati. Jika anda
berhati-hati, ketika ia menendang, ia takkan menendang anda. Anda harus
memberinya makan dan merawatnya, tetapi anda seharusnya melakukannya dengan
cerdik tanpa terkena gigitannya. Cinta kepada anak-anak, sanak saudara, harta
dan kekayaan, akan menggigit. Anda mengerti hal ini ? Bila anda memberinya
makan, jangan berada terlalu dekat. BIla anda memberinya air, jangan terlalu
dekat. Ikatkan talinya jika perlu. Beginilah Dhamma, mengenali ketidakkekalan,
ketidakpuasan dan tanpa jati diri, mengenali bahaya dan bersikap waspada dan
menahan diri dengan penuh kesadaran.
Ajahn Tongrat tidak mengajar terlalu banyak; beliau selalu
berkata kepada kita, "Berhati-hatilah ! Berhati-hatilah !" Begitulah
cara beliau mengajar. "Berhati-hatilah ! Jika anda tidak berhati-hati,
anda akan menderita !" Ia memang benar-benar seperti ini. Walaupun jika
beliau mengatakannya, ia tetap saja seperti ini. Jika anda tidak benar-benar
waspada, anda akan menangkapnya di dagu. Tolong pahami hal ini. Ia bukan urusan
orang lain. Persoalannya bukan pada apakah orang lain mencintai atau membenci
kita. Orang-orang yang jauh di sana tidak menyebabkan kita membuat kamma dan
penderitaan. Adalah harta kekayaan kita, rumah kita, keluarga kita lah yang
harus kita perhatikan. Atau bagaimana menurut anda ? Di zaman sekarang, di
manakah anda mengalami penderitaan ? Di manakah anda terlibat di dalam rasa
cinta, benci dan takut ? Kontrol diri anda sendiri, jagalah diri anda sendiri.
Hati-hati anda bisa terkena gigitan. Jika mereka tidak menggigit, mereka
mungkin akan menendang. Jangan berpikir kalau hal-hal ini tidak akan menggigit
atau menendang. Jika anda benar-benar digigit, pastikan kalau itu hanya sedikit
saja. Jangan ditendang atau digigit sampai hancur berkeping-keping. Jangan coba
berkata pada diri anda sendiri bahwa tidak ada bahaya di sana. Harta, kekayaan,
reputasi, yang dicintai, semuanya ini bisa menendang dan menggigit jika anda
tidak sadar. Jika anda sadar, anda akan tenang-tenang saja. Waspadalah dan menahan
diri. Bila pikiran mulai menggenggam sesuatu dan membesar-besarkannya, anda
harus menghentikannya. Ia akan berdebat dengan anda, tetapi anda harus berdiri
kokoh. Tetaplah berada di tengah, ketika pikiran datang dan pergi. Letakkan
pemanjaan nafsu inderawi pada satu sisi. Letakkan penyiksaan diri pada sisi
yang lain. Cinta pada satu sisi, benci pada sisi yang lain. Kebahagiaan pada
satu sisi, penderitaan pada sisi yang lain. Tetaplah berada di tengah tanpa
membiarkan pikiran pergi ke salah satu sisi.
Seperti tubuh kita ini : tanah, air, api dan angin - di
manakah orangnya ? Tidak ada seorang pun di sana. Unsur-unsur kecil yang
berbeda-beda ini digabungkan dan itu yang disebut dengan orang. Itu adalah
sebuah kesalahan. Ia tidak nyata; ia hanya nyata pada tataran konvensi. Bila
saatnya tiba, unsur-unsur tersebut akan kembali pada keadaan semula. Kita hanya
datang untuk tinggal dengan mereka untuk sementara waktu, jadi kita harus
membiarkan mereka kembali ke asalnya. Bagian yang berupa tanah, dikirimkan kembali
ke tanah. Bagian yang berupa air, dikirimkan kembali ke air. Atau apakah anda
akan mencoba pergi bersama mereka dan mempertahankan sesuatu ? Kita datang
untuk bergantung pada mereka untuk sementara waktu; bila waktunya tiba bagi
mereka untuk pergi, biarkan mereka pergi. Bila mereka datang, biarkan mereka
datang. Semua fenomena-fenomena (sabhava) ini muncul dan kemudian lenyap. Itu
saja. Kita memahami bahwa semua hal-hal ini berkembang, muncul dan lenyap
secara terus-menerus.
Memberikan persembahan, mendengarkan ajaran, mempraktekkan
meditasi, apa pun yang kita lakukan seharusnya dilakukan dengan tujuan untuk
mengembangkan kebijaksanaan. Mengembangkan kebijaksanaan bertujuan untuk
kebebasan, bebas dari segala kondisi dan fenomena. Bila kita bebas, maka tidak
peduli apa pun keadaan kita, kita tidak perlu menderita. Jika kita memiliki
anak, kita tidak perlu menderita. Jika kita bekerja, kita tidak perlu
menderita. Jika memiliki rumah, kita tidak perlu menderita. Sama seperti bunga
teratai di permukaan air. "Saya tumbuh di air, tetapi air tidak membuat
saya menderita. Saya tidak bisa tenggelam atau terbakar, karena saya hidup di
air." Bila airnya surut dan mengalir, itu tidak mempengaruhi bunga
teratai. Air dan bunga teratai bisa hidup bersama tanpa ada pertikaian. Mereka
hidup bersama, namun terpisah. Apa pun yang ada di air, menjadi sumber makanan
bunga teratai dan membantunya tumbuh menjadi sesuatu yang indah.
Di sinilah letak persamaannya dengan kita. Kekayaan, rumah,
keluarga, dan semua kekotoran batin, mereka tidak lagi mengotori kita melainkan
mereka membantu kita untuk mengembangkan parami, penyempurnaan spiritual. Di
hutan bambu, daun-daun tua menumpuk di sekitar pepohonan dan ketika hujan
turun, mereka terurai dan menjadi pupuk. Tunas-tunas pun tumbuh dan pohon-pohon
berkembang karena pupuk tersebut, dan kita memiliki sumber makanan dan
penghasilan. Tetapi ia sama sekali tidak terlihat sebagai sesuatu yang bagus.
Jadi, berhati-hatilah - pada musim kering, jika anda menyalakan api di hutan,
ia akan membakar habis semua bahan baku pupuk dan pupuk akan berubah menjadi
api yang membakar pohon-pohon bambu. Lalu anda tidak akan memiliki tunas-tunas
bambu lagi untuk dimakan. Jadi, jika anda membakar hutan, anda juga membakar
pupuk untuk pohon bambu. Jika anda membakar pupuk itu, anda juga membakar
pepohonan dan hutan pun akan lenyap.
Anda mengerti ? Anda dan keluarga anda bisa hidup bahagia
dan harmonis dengan rumah dan harta kekayaan anda, bebas dari bahaya banjir
atau api. Jika sebuah keluarga terkena banjir atau terbakar, itu semata-mata
disebabkan oleh orang-orang yang ada di dalam keluarga tersebut. Ia seperti
pupuk untuk pohon bambu. Ia bisa mengakibatkan hutan terbakar, atau sebaliknya
hutan bisa tumbuh berkembang dengan indah juga disebabkan olehnya.
Segala sesuatu akan tumbuh dengan indah dan lalu tumbuh
dengan tidak indah dan selanjutnya menjadi indah kembali. Tumbuh dan merosot,
lalu tumbuh lagi dan merosot lagi - ini adalah sifat-sifat dari fenomena
duniawi. Jika kita mengetahui pertumbuhan dan kemerosotan seperti apa adanya,
kita bisa mengakhirinya. Segala sesuatunya tumbuh berkembang dan mencapai batas
mereka. Segala sesuatunya merosot dan mencapai batas mereka. Tetapi kita tetap
tidak berubah. Ia seperti ketika terjadi kebakaran di kota Ubon. Orang-orang
meratapi kehancuran dan meneteskan begitu banyak air mata karenanya. Tetapi
setelah kebakaran itu, semuanya dibangun kembali dan bangunan-bangunan baru
justru menjadi semakin besar dan jauh lebih bagus dari yang sebelumnya, dan
orang-orang pun menjadi lebih menikmati kota ini sekarang.
Beginilah proses perputaran lenyap dan berkembang. Semuanya
memiliki batasnya sendiri. Jadi, Sang Buddha ingin agar kita selalu merenungkan
hal ini. Ketika kita masih hidup, kita seharusnya memikirkan tentang kematian.
Jangan menganggapnya sebagai sesuatu yang berada jauh di sana. Jika anda
miskin, jangan coba menyakiti atau mengeksploitasi pihak lain. Hadapilah
situasinya dan bekerja keras untuk menolong diri anda sendiri. Jika anda
berkecukupan, jangan menjadi lupa diri dengan kekayaan dan kenikmatan anda.
Anda bisa saja kehilangan segalanya, itu tidak begitu sulit. Seorang yang kaya
raya bisa menjadi miskin dalam beberapa hari saja. Seorang yang miskin bisa
menjadi kaya. Itu semua berdasarkan pada fakta bahwa kondisi-kondisi ini adalah
tidak kekal dan tidak stabil. Oleh karena itu Sang Buddha berkata,
"Appamado maccuno padam : Ketidakpedulian adalah jalan menuju
kematian." Orang yang tidak punya kepedulian adalah seperti orang mati.
Jangan menjadi orang yang tak punya kepedulian ! Semua makhluk dan semua
sankhara adalah tidak stabil dan tidak kekal. Jangan menimbulkan kemelekatan
apa pun terhadap mereka ! Bahagia atau sedih, kemajuan atau hancur lebur, pada
akhirnya semuanya akan menuju tempat yang sama. Tolong pahamilah hal ini.
Hidup di dunia dan memiliki sudut pandang seperti ini, maka
kita bisa lepas dari bahaya. Apa pun yang mungkin bisa kita dapatkan atau capai
di dunia yang disebabkan oleh kamma baik kita, adalah tetap saja bagian dari
dunia dan tidak terlepas dari proses pelapukan dan lenyap, jadi janganlah
terlalu dibuai olehnya. Sama seperti seekor kumbang yang mengais di tanah. Ia
bisa mengais setumpukan tanah sampai berukuran jauh lebih besar dari dirinya
sendiri, tetapi tetap saja itu hanya berupa setumpukan tanah saja. Jika ia
bekerja keras, ia membuat lubang yang dalam di dalam tanah, tetapi tetap saja
itu hanya berupa sebuah lubang di dalam tanah saja. Jika seekor kerbau membuang
setumpuk kotorannya di sana, itu akan menjadi lebih besar dari tumpukan tanah
si kumbang, tetapi tetap saja itu belum mencapai setinggi langit. Itu semua
adalah tanah. Prestasi-prestasi di dunia adalah seperti ini. Betapa pun
kerasnya kumbang itu bekerja, mereka hanya berkutat di dalam tanah, membuat
lubang dan tumpukan.
Orang-orang yang memiliki kamma duniawi yang bagus, memiliki
kecerdasan untuk bekerja dengan baik di dunia. Tetapi sebaik apa pun mereka
bekerja, mereka masih hidup di dunia. Semua yang mereka lakukan bersifat
duniawi dan memiliki batasannya sendiri, seperti kumbang yang mengais tanah.
Lubangnya mungkin bisa dalam, tetapi ia berada di dalam tanah. Tumpukan mungkin
bisa menjulang tinggi, tetapi ia hanyalah setumpukan tanah saja. Bekerja dengan
baik, mendapatkan jumlah yang banyak, kita hanya bekerja dengan baik dan
mendapatkan jumlah yang banyak di dunia ini.
Tolong pahamilah hal ini dan cobalah untuk mengembangkan
ketidakterikatan. Jika anda tidak mendapatkan dalam jumlah yang banyak, merasa
puaslah, pahamilah bahwa hal itu hanyalah sifat-sifat dunia ini. Jika anda
mendapatkan jumlah yang banyak, pahamilah bahwa itu hanyalah sifat-sifat dari
dunia ini. Renungkan kebenaran-kebenaran ini dan jangan menjadi orang yang tak
memiliki kepedulian. Lihatlah kedua sisi dari segala sesuatunya, jangan
terjebak pada salah satu sisi saja. Bila sesuatu menyenangkan anda, sisakan
sebagian diri anda sebagai cadangan, karena kesenangan itu tidak akan bertahan.
Bila anda merasa bahagia, jangan pergi semuanya ke sisi itu, karena sebentar
saja anda akan kembali lagi ke sisi yang lain dengan ketidakbahagiaan.
Sumber :
"About Being Careful" (The Teachings Of Ajahn Chah - Everything Is
Teaching Us) - http://www.forestsangha.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar