HOMOSEKSUAL DAN AJARAN THERAVADA
Oleh
: AL. De Silva
Oleh karena homoseksual tidaklah secara eksplisit dibicarakan dalam
khotbah Buddha, kita hanya bisa mengasumsikan bahwa masalah ini juga bisa
dievaluasi dengan cara yang sebagaimana adanya heteroseksual. Dan sesungguhnya
atas dasar inilah, homoseksual tidak secara khusus dikupas. Dalam kehidupan
umat awam antara pria dan wanita, dimana ada kesepakatan bersama, dimana tidak
ada perbuatan penyelewengan, dan di mana hubungan seksual adalah ungkapan rasa
cinta, hormat, kesetiaan, dan kehangatan, ini semua tidaklah melanggar sila
ke-3.
Homoseksualitas sudah dikenal di zaman India kuno; masalah ini secara
eksplisit. Disinggung dan dilarang di dalam Vinaya. Akan tetapi, tidak dituding
secara khusus, melainkan disebutkan di antara banyak jenis perilaku penyimpangan
seksual lain yang bertentangan dengan keharusan hidup selibat seorang
biarawan/wati. Hubungan seksual, apakah dengan pasangan sejenis atau lawan
jenis, di mana organ seks memasuki vagina, mulut, atau anus, adalah tindakan
yang bisa mengakibatkan dikeluarkannya seseorang dari Sangha. Tindakan seksual
lainnya seperti saling masturbasi, walaupun bukan dianggap sebagai pelanggaran
berat dan tidak mengakibatkan dikeluarnya dari sangha, tetapi harus diakui di
depan anggota sangha.
Tipe orang yang disebut dengan ‘Pandaka’ seringkali disinggung dalam
Vinaya untuk menggambarkan seseorang yang berperilaku seksual tidak tepat.
Vinaya juga menetapkan bahwa para pandaka tidak diperbolehkan untuk
ditahbiskan, dan apabila secara tidak disengaja telah ditahbiskan, orang
tersebut akan dikeluarkan dari sangha. Menurut penjelasan kitab, hal ini
disebabkan para pandaka tersebut penuh dengan nafsu, haus akan birahi, dan
didominasi oleh keinginan seksual. Kata Pandaka diterjemahkan sebagai banci
atau kaum homoseksual yang berperilaku seperti layaknya perempuan. Oleh karena
Buddha mempunyai pemahaman yang mendalam akan sifat manusia, dan
sungguh-sungguh bebas dari segala prasangka, dan karena tidak ada bukti bahwa
kaum homoseksual mempunyai tingkat birahi yang lebih tinggi atau lebih sulit
mempertahankan hidup sebagai biarawan/wati. Oleh karenanya, istilah ‘Pandaka’
kemungkinan besar tidak mengacu kepada homoseksual secara umum, melainkan
segelintir kaum homoseksual yang feminin, yang secara terang-terangan
berpenampilan seperti wanita di depan umum.
Kajian
tentang homoseksualitas
Oleh karena homoseksual tidaklah secara eksplisit dibicarakan dalam
khotbah Buddha, kita hanya bisa mengasumsikan bahwa masalah ini juga bisa
dievaluasi dengan cara yang sama sebagaimana adanya heteroseksual. Dan
sesungguhnya atas dasar inilah, homoseksual tidak secara khusus dikupas. Dalam
kehidupan umat awam antara pria dan wanita, di mana ada kesepakatan bersama,
dimana tidak ada perbuatan penyelewengan, di mana hubungann seksual adalah
ungkapan rasa cinta, hormat, kesetiaan dan kehangatan, ini semua tidaklah
melanggar sila ke-3. Dan sama pula halnya apabila kedua orang tersebut berjenis
kelamin sama. Tindakan seperti penyelewengan dan pengabaian perasaan pasangan
kita akan menjadikan suatu perbuatan seksual tidak tepat, baik itu homoseksual
aaupun heteroseksual. Semua prinsip yang kita gunakan untuk mengevaluasi
hubungan heteroseksual akan kita gunakan pula untuk mengevaluasi hubungan
homoseksual.
Di dalam agama Buddha, bisa kita katakan bahwa bukanlah oleh/dari nafsu
seksual seseorang yang menentukan apakah suatu hubungan seksual seseorang yang
baik atau tidak, melainkan sifat dari emosi dan maksud yang melandasinya.
Walaupun demikian, Buddha kadangkala menganjurkan untuk menghindari perilaku
tertentu, bukan karena hal ini salah dari sudut pandang etika melainkan akan
menjadi seseorang aneh di dalam lingkungan sosial, atau karena akan
mengakibatkan sanksi akibat pelanggaran hukum yang berlaku. Dalam hal-hal
seperti ini, Buddha berkata bahwa menjauhkan diri dari perilaku seperti itu
akan membebaskan seseorang dari kecemasan dan rasa malu yang disebabkan oleh
ketidak-setujuan sosial atau ketakutan akan sanksi hukum. Homoseksualitas tentu
saja akan masuk dalam kategori perbuatan ini. Dalam hal ini, seorang
homoseksual haruslah memutuskan apakah ia akan mengikuti arus harapan
masyarakat umum atau mencoba mengubah sikap publik.
Pandangan
yang menolak homoseksualitas
Sekarang kita akan secara ringkas menelaah berbagai penolakan terhadap
homoseksualitas dan memberikan pandangan penolakan dari sisi ajaran Buddha.
Penolakan yang paling umum di dalam masyarakat adalah karena homoseksualitas
tidaklah alami dan melanggar hukum alam. Tampaknya sedikit sekali landasan bagi
pendapat seperti ini. Miriam Rothschild, seorang ahli biologi ternama, telah
menunjukkan bahwa perilaku homoseksualitas juga telah ditemukan dalam hampir
semua jenis spesies hewan. Kedua, walaupun bisa disanggah bahwa fungsi biologis
dari seks adalah reproduksi, kebanyakan hubungan seksual dewasa ini bukanlah
untuk tujuan reproduksi, melainkan sebagai hiburan dan pemuasan emosi, dan
bahwa ini juga merupakan fungsi sah dari hubungan seksual. Dengan demikian,
walaupun hubungan homoseksual tidaklah alami dalam arti tidak bisa menghasilkan
fungsi reproduksi, hubungan ini adalah alami karena bisa memberikan pemuasan
fisik dan emosi bagi pelakunya.
Kita seringkali mendengar, jika homoseksual bukanlah illegal, akan
banyak orang, termasuk kaum muda, akan menjadi gay. Pernyataan seperti ini
menggambarkan kesalahpahaman yang serius terhadap homoseksualitas, atau mungkin
suatu potensi homoseksualitas dalam diri orang yang membuat pernyataan
tersebut. Hal ini sama bodohnya dengan mengatakan bahwa apabila bunuh diri
bukanlah perbuatan yang melanggar hukum, semua orang akan melakukannya. Apapun
penyebab homoseksualitas (akan banyak sekali perdebatan tentang masalah ini),
seseorang pastilah tidak akan memilih untuk menjadi orientasi seks sesama
jenis, seperti layaknya memilih minum teh atau kopi. Orientasi ini adalah hasil
bawaan lahir atau berkembangan sejak dini dalam diri seseorang, sama halnya
dengan heteroseksualitas. Mengubah hukum yang berlaku tidaklah bisa mengubah
orientasi seksual seseorang.
Beberapa orang berpendapat bahwa pasti ada sesuatu yang tidak beres
dalam diri seorang homoseksual karena begitu banyaknya kaum homoseksual yang
jiwa atau emosinya yang terganggu. Sekilas, tampak ada benarnya pernyataan ini.
Di barat, setidak-tidaknya banyak kaum homoseksual yang menderita masalah
kejiwaan, kecanduan alkohol, dan menunjukkan perilaku seksual yang sangat
menggoda. Dalam pengelompokan data, kaum homoseksual menduduki peringkat
tertinggi dalam kasus bunuh diri. Kemungkinan sekali bahwa kaum homoseksual
lebih menderita akibat perlakuan sosial masyarakat terhadap mereka atas dasar
orientasi seksual mereka, dan apabila mereka akan menunjukkan gejala yang sama
pula. Sesungguhnya, inilah yang menjadi argumen terkuat untuk menerima dan
memahami homoseksualitas.
Walaupun di negara-negara yang banyak penganut agama Buddha, homoseksual
tidak ditentang secara nyata-nyata dalam hukum yang berlaku, bukanlah berarti
homoseksualitas bisa diterima di negara-negara tersebut. Hal ini lebih
disebabkan karena pengaruh agama Buddha yang berlandaskan manusiawi dan penuh
toleransi. Walaupun demikian, seringkali ditemui adanya prasangka dan
diskriminasi terhadap kaum homoseksual di negara-negara tersebut. Sekali lagi
perlu dijelaskan bahwa tidak ada bagian dalam agama Buddha yang membenarkan
adanya kutukan, hukuman, maupun penolakan terhadap kaum homoseksual atau
perilaku homoseksual.
[ Dikutip dari Majalah Manggala
]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar