KEBAHAGIAAN SEMU
Oleh: Upa. Amaro Tanhadi
Namo
Tassa Bhagavato Arahato Sammāsambuddhassa
“ Segala sesuatu yang terbentuk tidaklah kekal,
timbul dan tenggelam sifatnya ;
Setelah muncul akan hancur dan lenyap.
Terbebas darinya adalah kebahagiaan tertinggi. “
(Mahāparinibbāna
Sutta)
Sudah menjadi impian semua orang bahwasanya hidup ini dipenuhi dengan
bunga-bunga kebahagiaan dan menjauhi sekecil apapun bentuk-bentuk penderitaan .
Sehingga tidak sedikit orang-orang berlomba untuk mengejar impian hidup
bahagia dengan caranya masing-masing.
- Ada yang bekerja keras-mati-matian untuk mengumpulkan harta materi,
dimana pikirnya hal itu (harta) merupakan sarana utama untuk dapat memberikan
kebahagiaan bagi dirinya dan keluarganya, semua yang diinginkan dan disenangi bisa dibeli dengan uang.
- Ada pula yang hidup dengan segala kekayaannya dengan menikmati
hari-harinya dengan bersantai, melancong keluar negeri, makan enak dan
berpesta-pora.
- Namun ada pula yang hidup dengan segala kesederhanaannya sebagaimana apa
adanya (jawa : Nrimo).
Benarkah demikian cara menyikapi hidup agar berbahagia? Benarkah ia
mendapatkan kebahagiaan yang sesungguhnya seperti yang diimpikan?
Hal tersebut samasekali tidak menjamin kita dapat hidup berbahagia,
karena kebahagiaan itu sesungguhnya timbul dari sikap mental yang senantiasa bersyukur
dengan apa yang telah dimiliki dan tahu batas untuk merasa cukup.
Masih sangat banyak orang yang hidup didunia ini belum mengetahui dan
bahkan tidak menyadari akan adanya sifat-sifat dari kehidupan yang tidak dapat
disangkal keberadaannya, dan bagi orang yang belum mengenal dan memahami sifat-sifat kehidupan ini dapat
dikatakan sesungguhnya ia terbelenggu oleh penderitaan, rasa ketidak puasan,
mengeluh, merasa selalu kurang dsb.
Apakah sifat-sifat kehidupan itu ? mari kita simak bersama-sama dan
kenalilah bahwa ;
1.
Semua yang bersyarat / terkondisi ,yaitu sesuatu yang terbentuk
dari perpaduan unsur akan mengalami perubahan , olehkarenanya tidaklah kekal
adanya. (Sabbe sankhara anicca)
Ini adalah salah satu Kebenaran yang sering diabaikan oleh kebanyakan
orang, karena pada umumnya mereka tidak mengerti dan tidak menyadari akan hakikat
perubahan ini, sehingga hal ini menimbulkan perasaan takut akan kehilangan atau
takut akan berpisah dengan apa yang mereka cintai maupun terhadap segala
sesuatu yang mereka sukai. Akibatnya,
jika apa yang dicintai dan disukai itu mengalami perubahan, misalnya orang yang
dicintai itu meninggal dunia atau barang yang disukai itu mengalami kerusakan,
maka saat itu juga muncul penderitaan, kesedihan, ratap tangis , penyesalan,
kekecewaan dan lain-lain. Dan didalam benaknya akan diliputi oleh
pertanyaan-pertanyaan : “ Mengapa ini harus terjadi?, Mengapa begitu cepat
semua ini terjadi ?, Mengapa semua ini harus aku alami?”
Disinilah pentingnya kita senantiasa melatih diri untuk mengamati ,
merenungkan dan menerima kebenaran ini sebagaimana apa adanya, hal ini bukan
berarti menjadikan kita sebagai orang yang pesimis, cuek terhadap segala
sesuatu, tapi justru Kebenaran ini mengajarkan kita untuk melihat realitas yang
sesungguhnya, karena memang demikianlah kebenaran ini pasti akan terjadi dalam
hidup manusia. Dengan demikian ketika sewaktu-waktu kita berpisah atau
ditinggalkan oleh orang yang paling kita cintai pun, kita tidak sampai larut
dalam penderitaan/kesedihan yang berkepanjangan.
2.
Semua yang bersyarat / terkondisi -yang terbentuk dari
perpaduan unsur dan mengalami perubahan adalah dukkha. (Sabbe sankhara dukkha)
Dukkha disini tidak hanya terbatas pada pengertian Penderitaan saja, tetapi dukkha juga mencakup pengertian tidak memuaskan, sukar bertahan,
keberadaan yang menekan, menghimpit.
Kebenaran yang kedua ini adalah yang paling banyak disalahpahami oleh
kebanyakan orang dan beranggapan bahwa agama Buddha/Sang Buddha semata-mata
hanya mengajarkan bahwa hidup ini adalah penuh dengan penderitaan dan Sang
Buddha tidak mengajarkan tentang adanya kebahagiaan di dunia ini dsb. Ini jelas
adalah pandangan yang keliru terhadap Ajaran Sang Buddha, karena mereka pada
umumnya hanya membaca atau mendengar sebait kalimat saja tanpa berusaha untuk
menelusuri lebih dalam lagi apa makna yang telah diajarkan oleh Sang Buddha
tentang penderitaan itu. Dan adalah tidak benar jika Sang Buddha tidak
mengajarkan tentang kebahagiaan hidup didunia ini.
Sebenarnya mereka yang beranggapan keliru seperti itu tidak menyadari
bahwa dirinya itu sesungguhnya sedang berada didalam lingkaran penderitaan itu
sendiri, mereka beranggapan bahwa kehidupan ini adalah penuh dengan keindahan
dan kebahagiaan.
Tapi mereka lupa bahwa setiap saat hidup dan kehidupannya sering
dihinggapi oleh dukkha, yang muncul sebagai perasaan sedih, kecewa,
rataptangis, kemarahan dan ketidak puasan terhadap sesuatu.
Manusia memang ingin
selalu bahagia, bahagia muncul tidak harus
dengan merubah derita, tetapi bahagia akan muncul tatkala seseorang
bisa memahami akan derita. Dengan memahami akan kebenaran ini,
derita yang kita alami akan semakin berkurang.
3. Segala sesuatu yang bersyarat maupun yang
tidak bersyarat adalah bukan diri (Sabbe dhammā anattā)
Mengapa dikatakan bukan diri ? Sebab keberadaannya berada diluar kekuasaan kita, ia tidak bisa kita atur, dan ia tidak
bisa menuruti kehendak kita. Bisakah kita dengan mengatakan kepada kulit kita : ‘wahai kulitku
, janganlah kamu menjadi keriput’ ,apakah ia patuh serta menuruti apa yang kita inginkan ? tentu saja tidak ! ia tetap saja
menjadi keriput. ‘ wahai rambutku
janganlah kamu menjadi putih- ia tetap saja tidak akan patuh dan menuruti kehendak kita , ia
tetap saja menjadi putih.
Dengan demikian , apakah sesuatu yang tidak bisa kita atur dan tidak bisa menuruti kehendak atau perintah kita
itu dapat disebut sebagai ‘diriku’,
‘aku’ atau milikku ?.
Bila diri ini adalah ‘Aku’ (Atta) dan dia adalah milikku, maka sudah
semestinya ia dapat dikuasai dikendalikan dan dapat kita ubah sekehendak hati
kita. Oleh karena itu sesungguhnya tidak ada sesuatu pun pada diri kita yang
dapat disebut sebagai “Aku” , ‘diriku’ atau ‘Milikku’.
Seseorang
yang masih beranggapan bahwa diri
sebagai aku, atau milikku, dan ketika apa yang disebut aku atau milikku itu mengalami perubahan maka yang timbul adalah
ketidakpuasan, kekecewaan, kesedihan, menderita dan
itulah dukkha.
Sebagai contoh:
ketika ada keluarga kita sendiri yang meninggal dunia, kenapa kita sedih?,
tetapi kalau ada tetangga kita yang meninggal
dunia, kita tidak
sedih. Ini disebabkan karena masih adanya
kemelekatan terhadap keakuan bahwa itu adalah keluargaku dan yang itu bukan keluargaku . Kata ”ku”
inilah yang menjadikan kita menderita.
Sang Buddha telah mengajarkan kepada kita bahwa yang terlihat sebagai diri
ini (tubuh) hanyalah terdiri dari Lima kelompok unsur pembentuk kehidupan
(pancakkhanda), dan mereka bukanlah ‘atta’ (Jiwa, Diri, Ego, Aku, Pribadi, Roh)
karena mereka terikat oleh hukum-hukum perubahan /kefanaan, tidak memuaskan dan
tiada inti diri.
Tidak ada suatu diri atau ego yang kekal yang merekat di dalam ataupun
di luar segala fenomena fisik dan mental dari setiap eksistensi atau
keberadaan; bahwa setiap eksistensi hanyalah merupakan perwujudan dari muncul
dan lenyapnya fenomena-fenomena atau gejala-gejala fisik dan mental tanpa
adanya diri atau atta yang lain yang terpisah di dalam ataupun di luar
proses-proses itu sendiri.
Sifat Anatta tidak hanya berlaku untuk bentuk dan keadaan yang tercakup dalam
Panca Khandha ( lima unsur penyusun ‘diri’ /kehidupan) melainkan merupakan
sifat dari seluruh keadaan, bentuk atau jelmaan dari yang sangat halus sampai
yang maha besar.
Tidak ada Atta atau diri yang kekal baik di dalam suatu individu ataupun
dalam bentuk semesta yang lebih besar. Yang
ada hanyalah diri atau sifat yang sementara, yang senantiasa berubah dari saat
ke saat.
Dalam Majjhima Nikaya, Sang Buddha menguraikan bahwa kepercayaan akan
atta adalah gagasan yang hanya akan menimbulkan egoisme dan keangkuhan .
Dengan memahami Tiga Sifat Kehidupan tersebut sebagaimana adanya, maka
sampailah kita pada suatu kesimpulan bahwa dengan melepas gagasan atau persepsi tentang keakuan, maka kita akan
dapat terbebas dari kemelekatan, bebas
dari derita, bebas dari kesedihan dan bebas dari ilusi
kebahagiaan yang semu menuju kebahagiaan sejati.
Mettacittena,
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta
Referensi :
-
Majjhima Nikaya I : 228
-
Anattalakkhana Sutta -SN 22.59.
-
Khandha Samyutta, SN 104
-
Ceramah Bhikkhu Atthadhiro : Ketidaktahuan
Penyebab Penderitaan
(26 September 2012)
-oOo-
3. Segala sesuatu yang bersyarat maupun yang tidak bersyarat adalah bukan diri (Sabbe dhammā anattā)
BalasHapusapa tidak salah pak terjemahannya?
"yang bersyarat maupun yang tidak bersyarat" ?? terlihat aneh peryataannya, susah dilogikakan..
jadi yang mana yang disebut diri?
Uraian dan penjelasan tsb. sudah benar, hanya perlu pengertian lebih dalam lagi untuk mempetoleh pemahamannya.
BalasHapusSingkatnya :
Segala sesuatu yg bersyarat/berkondisi/bentukan atau perwujudan adalah merupakan perpaduan dari berbagai unsur/material yang selalu berubah, sehingga tidak ada unsur 'Inti' yg bisa disebut sebagai 'Diri' yang kekal.
Kalau yg bersyarat atau yg berwujud saja tidak ada 'Inti' yang bisa disebutkan sebagai 'Diri' , apalagi dengan segala sesuatu yang tidak bersyarat/tidak berkondisi/ tidak berbentuk atau tidak berwujud?
Diatas sudah dijelaskan '...bahwa setiap eksistensi hanyalah merupakan perwujudan dari muncul dan lenyapnya fenomena-fenomena atau gejala-gejala fisik dan mental tanpa adanya diri atau atta yang lain yang terpisah di dalam ataupun di luar proses-proses itu sendiri.
Sifat Anatta tidak hanya berlaku untuk bentuk dan keadaan yang tercakup dalam Panca Khandha ( lima unsur penyusun ‘diri’ /kehidupan) melainkan merupakan sifat dari seluruh keadaan, bentuk atau jelmaan dari yang sangat halus sampai yang maha besar.'
Demikian penjelasan yg dapat saya sampaikan dan terima kasih telah berkunjung ke Blog ini.
Salam Metta,
Tanhadi