KISAH SEEKOR KERBAU
Sebuah pelajaran
tentang kesabaran terhadap yang lemah.
Pada suatu ketika Sang Bodhisattva lahir kembali sebagai
seekor kerbau liar. Tabiat kerbau liar itu jauh dari ramah tamah, mukanya
selalu marah dan matanya bengis. Demikian juga halnya dengan kerbau kita,
penjelmaan dari Sang Bodhisattva. Hanya bedanya ialah, bahwa di dalam hati ia
sebenarnya tidak seperti apa yang terlihat di luarnya. Dari luar kelihatan
menakutkan dan bengis, tetapi di dalam ia lemah lembut hatinya. Watak demikian
tidak dapat dikatakan watak kerbau biasa.
Memang kerbau kita itu pemurah lagi lemah lembut
perasaannya. Itulah sifat-sifat luhur yang senantiasa diutamakannya. Tidak ada
seekor binatang pun yang pernah disakitinya. Sebaliknya ia sendiri tidak pernah
diganggu oleh binatang-binatang yang lain diam di hutan itu. Meskipun kelihatan
galak dan bengis, mereka tidak takut kepadanya, sebab mereka tahu bahwa ia
peramah dan halus perasaannya. Tetapi ada kalanya orang menyalah-gunakan
kebaikan hati orang lain.
Dan demikianlah terjadi atas kerbau kita itu. Di dalam hutan
itu juga tinggal seekor kera kecil. Pada umumnya kera suka menggoda
binatang-binatang yang lain. Tetapi kera kecil ini memang terlalu nakal.
Terhadap binatang-binatang yang lain ia tak berani, sebab ia tahu, bahwa akan
mendapatkan balasan yang setimpal. Tetapi terhadap kerbau yang baik hati itu ia
berani benar, dan caranya mengusik kadang-kadang melampaui batas. Sedikit
godaan tidaklah mengapa, setiap orang dapat menerimanya. Tetapi godaan kera
kecil terhadap kerbau itu memang sudah di luar batas. Ia mengerti betul kerbau
itu tidak akan membalas sedikit pun.
Maka panjang hari terus-menerus kerbau itu digodanya, lebih
dari itu, ia berusaha supaya kerbau itu timbul marahnya. Suatu ketika, ia
sekonyong-konyong melompat ke atas punggungnya pada waktu kerbau itu sedang
enak-enaknya tidur-tiduran. Ia juga melompat-lompat dari tanduk kanan ke tanduk
kiri berkali-kali, sehingga kerbau itu pusing kepalanya. Suatu waktu ia duduk
di kepala kerbau dan menutup matanya, justru pada saat kerbau itu di tepi
sungai hendak melangkah ke dalam air, sehingga jatuh tersungkur.
Kalian dapat memahami, bahwa perbuatan-perbuatan kera itu
bukan lagi usikan biasa dan godaan yang sangat menyakitkan hati itu terus
berlangsung setiap hari. Namun kerbau itu tidak pernah marah dan hanya tinggal
diam terhadap apa yang dilakukan kera itu atas dirinya.
Pada suatu hari kerbau itu sedang berjalan-jalan makan
angin, dan kera nakal itu duduk dipunggungnya. Dengan sebilah tongkat
dipukulnya kerbau itu berkali-kali, agar jalannya lebih cepat lagi. Ketika kera
itu sedang memukul-mukul tongkatnya, datanglah dayang hutan. Ia sendiri sering
mendapat gangguan dari kera nakal itu. Dalam hatinya ia merasa geram terhadap
kera tersebut. Dan pada waktu ia melihat bagaimana kera itu mempermainkan
kerbau yang baik hati, hampir-hampir ia tak dapat menguasai dirinya. Ia
menghampiri kerbau dan bertanya apa sebab ia diam saja dipemainkan si kera
nakal itu.
Menurut pendapatnya, sudah selayaknya kalau kerbau itu
memberi pelajaran yang keras kepada penggoda kecil itu. Mengapa tidak dicincang
saja dengan tanduknya? Atau dijitak saja dengan kakinya hingga mati?
Kerbau memandang dayang hutan dengan pandangan yang
menunjukkan penyesalan dan menjawab, “Mengapakah kamu berkata demikian?
Pertama-tama saya sedang melatih diri mengutamakan kesabaran dan sangat
berterima-kasih kepada kera ini, karena ia memberi kesempatan kepada saya untuk
memperkuat rasa kesabaran saya. Kedua, adalah mudah sekali untuk menyakiti atau
membunuh makhluk lain apabila kita tahu, bahwa kita sendiri lebih kuat
daripadanya. Benarkah atau tidak perkataan saya itu? Lagipula, lebih baik si
kera ini menggoda saya daripada menggoda binatang-binatang lain yang jelas naik
darah dan mungkin akan mencelakakannya. Barangkali pada suatu hari ia akan
insaf dan mengerti, bahwa ia telah berbuat yang tidak benar.”
Itulah yang diharap-harapkan dengan sangat oleh kerbau itu,
dan selama kera itu belum berubah sifatnya, selama itu pula ia terus
menjalankan Dharma kesabarannya.
Dayang hutan menggeleng-geleng kepalanya. Ia berpendapat,
bahwa pikiran kerbau itu baik juga, tetapi ia tidak dapat menyetujui
seluruhnya. Segala sesuatu harus ada batasnya, demikian pikirnya. Ia tidak
tahu, bahwa kerbau itu adalah Sang Bodhisattva sendiri. Sesudah memberi teguran
yang keras kepada kera supaya memperbaiki kelakuannya, maka dayang hutan
meneruskan perjalanannya.
-oOo-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar