Minggu, Januari 27, 2013

Pergerakan Pikiran


PERGERAKAN PIKIRAN
Oleh : Tanhadi

Tujuan kita belajar Dhamma adalah untuk menemukan suatu jalan keluar dari ketidak-puasan kehidupan kita dan untuk mencapai kebahagiaan serta kedamaian bagi diri kita sendiri dan semua makhluk.

Ketidakpuasan itulah penderitaan, dan setiap penderitaan pasti mempunyai sebab untuk muncul dan berlanjut.

Ketidak-tenangan dan nafsu keinginan timbul dikarenakan pikiran ini selalu bergerak kemanapun dia suka. Apabila pikiran bergerak, bentuk-bentuk pikiran pun akan muncul. Kebahagiaan dan kesedihan merupakan bagian dari pergerakan sang pikiran yaitu bentuk-bentuk pikiran yang tercipta. Jika kita tidak mengerti pergerakan tersebut, kita akan terperangkap di dalam bentuk-bentuk pikiran dan berada di dalam kekuasaannya.

Oleh karena itu, Sang Buddha mengajarkan kita untuk mengawasi pergerakan sang Pikiran. Dengan memperhatikan pergerakan pikiran, kita akan melihat sifat-sifat asalnya, yakni: selalu berubah-ubah, tidak memuaskan, dan tanpa inti diri/kosong.

Cara terbaik untuk mengetahui dan memeriksa pergerakan pikiran kita sendiri adalah dengan membiarkan semua bentuk-bentuk pikiran yang baik maupun yang buruk itu timbul, tumbuh dan berkembang apa adanya, kemudian "biarkanlah mereka berlalu"

-oOo-




Minggu, Januari 20, 2013

Kisah Cinta Pangeran Sudhana dan Manohara


KISAH CINTA PANGERAN SUDHANA DAN MANOHARA
(Berdasarkan Kisah pada Relief Candi Borobudur)


Kisah pangeran Sudhana (Bodhisatta) dan putri Kinnari Manohara adalah sebuah kisah percintaan yang sangat popular di kalangan Buddhis. Kisah ini pertama kali muncul dalam Mahavastu Avadana bagian Kinnari Jataka, sebuah teks dari sekte Mahasanghika. Kemudian ditemukan juga versi cerita ini di kitab-kitab sekte Sarvastivada dan Mulasarvastivada seperti Bhaisajyavastu (Mulasarvastivada Vinaya), Sudhanakumaravadana (Divyavadana) dan Avadanakalpalata. Belakangan, pada abad 15 M, sekte Theravada memasukkan kisah ini dalam kumpulan Pannasa Jataka (Pannyasa Chadok).

Kisah Sudhana dan Manohara ini diceritakan oleh Sang Buddha kepada Yasodhara. Di Mahavastu, Sang Buddha menceritakan kisah tersebut para bhikkhu bahwa di kehidupan lampau Yasodhara istrinya dimenangkan olehnya ‘setelah kelelahan besar (khedana), usaha yang keras (sramena) dan keberanian agung (viryena).

Sedangkan dalam Divyavadana, Buddha mengisahkan kisah tersebut pada seorang raja untuk menggambarkan kedermawanan-Nya dan kebajikannya serta penyelesaian dari virya-paramita…‘Demi Yasodhara- Sang Buddha menarasikan kisah tersebut dalam penggambaran, Ia mengaitkannya dengan purvayoga.

Sedangkan Avadanakalpalata mencatat:
“Setiap Sang Buddha memasuki ibukota, Yasodhara, tinggal di dalam istananya, bersedih dan akan selalu mencoba untuk melemparkan (menjatuhkan) dirinya dari teras. Sang Buddha kemudian menyelamatkan mantan istri yang dicintainya itu dengan welas asih.

Suatu hari ketika ditanyai oleh para bhikkhu yang ingin tahu, Sang Buddha berkata: “Yasodhara, o bhikkhu, karena perpisahan dirinya dengan diriku, sedih dan berusaha untuk melakukan tindakan ceroboh tersebut. Aku juga, para bhikkhu, di masa lampau mengalami bencana besar ketika berpisah dengannya.”

Kemudian Sang Buddha menceritakan kisah Sudhana dan Manohara.

RELIEF 1
Kerajaan di Negara Pancala
Alkisah di negara Pancala terdapat dua kerajaan yang saling berbeda. Kerajaan bagian Utara disebut sebagai Kinnara, hidup makmur, rukun dan tenteram, dipimpin oleh Raja Druma. Kerajaan bagian Selatan justru sebaliknya, memperlakukan rakyatnya dengan kejam dan tak berperikemanusiaan. Lama-kelamaan, rakyat Kerajaan Selatan yang diperlakukan tidak adil dan manusiawi oleh rajanya, pindah ke Kerajaan Utara.

RELIEF 2
Raja Kerajaan Selatan Menghadapi Kenyataan Negaranya
Raja Kerajaan Selatan yang melihat kenyataan ini menjadi marah, daerah kerajaannya makin lama menjadi kosong karena ditinggalkan penduduknya menuju Utara. Ia lalu membuat sayembara, barangsiapa yang bisa membawa naga sakti bernama Janmacitraka yang tinggal di Kerajaan Utara dan membuat kemakmuran di negeri itu ke kerajaannya, akan mendapatkan hadiah berupa emas yang banyak.

RELIEF 3
Memikat dan Menolong Naga Sakti Janmacitraka
Banyak ksatria yang tergiur dan mencoba memindahkan Janmacitraka ke Kerajaan Selatan, memasang jebakan untuk menangkapnya. Sang naga sakti mengetahui perihal itu, meminta bantuan seorang ksatria yang tinggal di dekat danau bernama Halaka. Bersama Halaka, Janmacitraka menghancurkan setiap jebakan yang diperuntukkan untuknya. 


RELIEF 4
Halaka Diterima oleh Janmacitraka
Dalam perjalanan ke tempat Janmacitraka, sebelumnya Halaka mendatangi tempat pertapaan dan menemui begawan yang tinggal di sana untuk meminta petunjuk. Sang Begawan menasehati Halaka untuk berhati-hati pada apa yang dilihat, jangan terpengaruh dan berbalik ikut menangkap Janmacitraka seperti ksatria lainnya. Setelah berhasil membantu sang naga sakti, Halaka mendapat hadiah yang banyak dari Janmacitraka.

RELIEF 5
Halaka Menangkap Manohara
Halaka juga bertemu dengan begawan lain yang memberitahunya bahwa putri bungsu dari Raja Kinnara di Kerajaan Utara bernama Manohara, berbentuk setengah manusia dan separuh burung, sering mandi di tepian danau. Manohara punya kekuatan untuk merubah dirinya menjadi manusia, perempuan yang sangat cantik dengan suara yang mempesonakan. Halaka diberitahu begawan itu untuk menangkap Manohara. Dengan kesaktiannya, Manoharapun ditangkap oleh Halaka.

RELIEF 6
Manohara Diberikan pada Pangeran Sudhana
Saat Manohara tertangkap oleh Halaka, di hari itu Kerajaan Utara sedang mengadakan pesta berburu. Saat mengetahui itu, Halaka yang tak mau kehilangan tawanannya, bergegas meninggalkan tempat itu dan menyerahkan tawanannya pada Pangeran Sudhana dari Kerajaan Selatan, Halaka menyerahkan sepenuhnya Manohara pada pangeran itu, mau diapakan, mau ditawan atau dilepas, terserah. Namun Pangeran Sudhana malah terpesona pada kecantikan Manohara, ia berniat mengembalikan putri bungsu Raja Kinnara. Kemudian, Pangeran Sudhana melamar Manohara dan mereka berdua menikah. Manohara pun diboyong ke Kerajaan Selatan.

RELIEF 7
Pangeran Sudhana Ditugasi Menumpas Pemberontakan
Satu waktu, penasehat kerajaan dan mempengaruhi Pangeran Sudhana bahwa ia bisa naik tahta di Kerajaan Selatan. Mereka juga mempengaruhi ayahnya, raja Kerajaan Selatan akan ambisi Pangeran Manohara yang bisa menghancurkan wibawanya sebagai raja. para penasehat itu menyarankan Raja Kerajaan Selatan untuk mengirim Pangeran Sudhana pada misi yang berat, menumpas pemberontak di mana sudah 7 misi menumpas pemberontakan yang dikirim selalu gagal.

RELIEF 8
Pangeran Sudhana Meminta Restu pada Ibunda
Pangeran Sudhana menerima tugas itu. Ia mendatangi ibunya, meminta restu sekaligus menitipkan istrinya tercinta, Manohara. Istrinya memberikan permata berharga yang sering dipakai di keningnya. Permata sakti untuk keselamatan.

RELIEF 9
Pangeran Sudhana Mendapat Bantuan dari Pasukan Yaksha
Saat Pangeran Sudhana duduk di bawah pohon, memikirkan tugas negara yang diembannya, tak jauh dari tempat pemberontakan. Saat itu ia didatangi oleh Pasukan 'Yaksha' yang dipimpin oleh Jendral Pancika. Adapun 'Yaksha' adalah sebangsa makhluk halus yang menjaga alam dan seisinya. Jendral Pancika dan pasukan 'Yaksha'-nya menawarkan diri untuk membantu Pangeran Sudhana dalam menumpas pemberontakan.


RELIEF 10
Penasehat Kerajaan Menyuruh Mengorbankan Manohara
Raja Kerajaan Selatan, ayah kandung Pangeran Sudhana bermimpi buruk bahwa anaknya akan merebut tahtanya. Ia mendatangi para penasehatnya untuk menterjemahkan mimpi itu. Para penasehat kerajan mengatakan untuk tidak mempercayai mimpi yang tidak benar dan menganjurkan mengadakan sebuah ritual pengorbanan. Adapun yang dikorbankan itu haruslah bangsawan Kinnan dari Kerajaan Utara, yang tak lain dan tak bukan adalah Manohara sendiri. 

RELIEF 11
Manohara Melarikan Diri
Dengan konspirasi dari para penasehat kerajaan, Manohara ditangkap oleh mertuanya sendiri, raja Kerajaan Selatan untuk dikorbankan. Ibu Pangeran Sudhana tak rela menantunya dijadikan korban, lalu melepaskannya, menyuruhnya menemui Pangeran Sudhana. Ketika dalam pelarian itu, Manohara menemui begawan di tepi danau. Ia juga menitipkan cincin cap Kerajaan Utara pada begawan agar diberikan pada suaminya.

RELIEF 12
Pangeran Sudhana Dalam Perjalanan ke Kerajaan Selatan
Pangeran Sudhana yang sudah menumpas para pemberontak itu, kini dalam perjalanan menuju Kerajaan Selatan. Ia ingin melaporkan pada ayahandanya bahwa pemberontakan itu telah berhasil ditumpas.

RELIEF 13
Pangeran Sudhana Mendapati Kenyataan yang Terjadi   
Sesampainya di istana, Pangeran Sudhana tidak menemui Manohara. Dari ibunya ia mendapat penjelasan bahwa ayahnya dipengaruhi oleh penasehat kerajaan untuk mengorbankan istrinya. Pangeran Sudhana kecewa, lalu mencari Halaka untuk mencari tahu keberadaan istrinya.

RELIEF 14
Manohara Dalam Perjalanan ke Kerajaan Utara       
Sementara itu, Manohara yang dalam pelarian dari Kerajaan Selatan, ia dalam perjalanan menuju kerajaan ayahnya di Kerajaan Utara.

RELIEF 15
Pangeran Sudhana Mendapat Kabar dari Para Begawan
Halaka mengantarkan Pangeran Sudhana menemui begawan yang tinggal di tepi danau. Para begawan yang sudah bertemu Manohara, memberikan cincin cap Kerajaan Utara pada Pangeran Sudhana, mereka juga memberi petunjuk keberadaan Manohara.

RELIEF 16
Pangeran Sudhana Bertemu Kembali dengan Istrinya
Pangeran Sudhana lalu menuju Kerajaan Utara untuk mencari Manohara. Dalam perjalanannya, ia melewati tempat pemandian Manohara di tepi danau. Ia bertemu dengan para dayang Manohara tapi tidak dengan istrinya. Pangeran Sudhana menanyakan pada dayang-dayang itu, namun mereka tidak mengetahui karena Manohara memang tengah bersembunyi. Untuk menunjukkan keberadaannya, Pangeran Sudhana melemparkan cincin pemberian Manohara ke danau, tanda bahwa ia sudah mencarinya. Ketika cincin itu dilempar, Manohara muncul. Kemudian mereka berdua menuju Kerajaan Utara.

Ayahanda Manohara, Raja Druma yang melihat Pangeran Sudhana marah besar dan ingin mencincang-cincangnya, anak yang dinikahi tak dijaga oleh pangeran dari Kerajaan Selatan ini. Namun begitu mendengar penuturan suami Manohara, Raja Druma bisa mengerti dan memaafkan, namun memberikan syarat untuk mendapatkan kembali Manohara sebagai istrinya.


RELIEF 17
Kompetisi Adu Memanah
Raja Druma, menantang Pangeran Sudhana untuk membuktikan keahliannya memanah pada para jago-jago panah di Kerajaan Utara. Pangeran Sudhana menyanggupi. Kompetisi digelar, adu memanah antara Pangeran Sudhana dengan para jagoan panah dari Kerajaan utara berlangsung. Terbukti, Pangeran Sudhana memang jago memanah dan setiap para ksatria Kerajaan Utara terkalahkan oleh skill memanahnya.

RELIEF 18
Pangeran Sudhana Mendapati Lagi Istrinya
Raja Druma yang melihat kenyataan itu memahami bahwa Pangeran Sudhana memang benar mencintai anaknya. Syarat yang ia berikan pada menantunya itu juga sudah dipenuhi. Iapun memberikan anaknya tercinta kembali ke suaminya.

RELIEF 19
Pangeran Sudhana dan Manohara di Kerajaan Utara
Pangeran Sudhana dan istrinya, atas permintaan dari ayahanda Manohara, Raja Druma, mereka tinggal sementara di Kerajaan Utara. Sekian lama mereka tinggal di kerajaan itu, Pangeran Sudhana meminta diri untuk kembali ke Kerajaan Selatan dan menuntut atas tindakan ayahandanya pada istrinya.

RELIEF 20
Pangeran Sudhana Menyatukan Pancala
Pangeran Sudhana memberontak pada Kerajaan Selatan, merebut tahta itu dari ayahandanya. Tak lama kemudian, ia berhasil menjadi raja di Kerajaan Selatan, kemudian di Kerajaan Utara, Raja Druma yang sudah tua turun tahta dan menyerahkannya pada Pangeran Sudhana. Lewat Pangeran Sudhana, kerajaan di Pancala yang saling berseberangan dan berbeda ini disatukan untuk hidup dalam kemakmuran dan kedamaian.

-oOo-





Dhammapada XIX: 260-261- Kisah Bhaddiya Thera


KISAH BHADDIYA THERA
 Dhammapada XIX: 260-261


Suatu hari, tiga puluh bhikkhu datang untuk memberikan penghormatan kepada Sang Buddha. Sang Buddha mengetahui bahwa telah tiba saatnya bagi ketiga puluh bhikkhu tersebut untuk mencapai tingkat kesucian arahat.

Maka Beliau bertanya kepada mereka apakah mereka telah melihat seorang thera saat mereka memasuki ruangan. Mereka menjawab bahwa mereka tidak melihat seorang thera tetapi mereka hanya melihat seorang samanera muda ketika mereka masuk.

Sang Buddha berkata kepada mereka, "Para bhikkhu! Orang tersebut bukanlah samanera, ia adalah seorang bhikkhu senior walaupun bentuk tubuhnya kecil dan sangat sederhana. Aku mengatakan bahwa seseorang tidak dapat disebut thera hanya karena ia berusia tua dan tampak seperti seorang thera; hanya ia yang memahami 'Empat Kesunyataan Mulia' dan tidak menyakiti orang lain yang dapat disebut seorang thera".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 260 dan 261 berikut ini:

Seseorang tidak disebut thera hanya karena rambutnya telah memutih.
Biarpun usianya sudah lanjut,
dapat saja ia disebut "orang tua yang tidak berguna".
(260)

Orang yang memiliki kebenaran dan kebajikan,
tidak kejam, terkendali dan terlatih,
pandai dan bebas dari noda-noda,
sesungguhnya ia patut disebut thera.
(261)

Tiga puluh bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.




Dhammapada XIX: 259- Kisah Arahat Ekudana


KISAH ARAHAT EKUDANA
 Dhammapada XIX: 259


Bhikkhu ini hidup di sebuah hutan kecil di dekat Savatthi. Ia dikenal dengan nama Ekudana, sebab ia hanya hafal satu bait saja dari Kitab Udana. Tetapi thera tersebut mengerti sepenuhnya makna Dhamma yang terkandung dalam bait tersebut. Pada setiap hari Uposatha, dia mendesak orang lain untuk mendengarkan Dhamma, dan dia sendiri akan mengucapkan satu-satunya syair yang dihafalnya itu. Setiap kali ia selesai mengucapkan bait itu, para dewa dalam hutan itu memujinya dan menyambutnya dengan tepuk tangan yang meriah.

Pada suatu hari uposatha, dua thera yang terpelajar, yang benar-benar menguasai semua pelajaran Dhamma, diiringi oleh lima ratus bhikkhu datang ke tempat itu. Ekudana meminta kedua thera tersebut untuk memberikan khotbah Dhamma. Mereka bertanya apakah banyak yang ingin mendengarkan Dhamma di tempat yangterpencil itu. Ekudana membenarkan dan juga menceritakan kepada mereka bahwa bahkan para dewa dalam hutan itu biasanya datang, dan mereka selalu memuji dan bertepuk tangan pada akhir khotbah.

Maka, kedua thera terpelajar itu mulai memberikan khotbah Dhamma, tetapi ketika khotbah mereka berakhir, tidak ada tepuk tangan dari para dewa dalam hutan itu. Kedua thera tersebut menjadi bingung dan bahkan meragukan kata-kata Ekudana. Tetapi Ekudana bersikeras bahwa para dewa biasanya datang dan selalu bertepuk tangan pada akhir setiap khotbah.

Kedua thera itu kemudian mendesak Ekudana untuk berkhotbah. Ekudana memegang kipas di hadapannya dan mengucapkan bait yang biasanya diucapkannya. Setelah selesai mengucapkan bait itu, para dewa bertepuk tangan seperti biasa. Para bhikkhu yang mengiringi kedua thera terpelajar itu menuduh bahwa para dewa yang berdiam dalam hutan itu sangat berat sebelah.

Mereka melaporkan masalah itu kepada Sang Buddha pada kunjungannya di Vihara Jetavana.

Kepada mereka Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu! Aku tidak mengatakan bahwa seorang bhikkhu yang telah belajar banyak dan berbicara banyak tentang Dhamma adalah seseorang yang mengetahui Dhamma (Dhammadhara). Seseorang yang belajar sangat sedikit dan hanya mengetahui satu bait dari Dhamma, tetapi memahami sepenuhnya 'Empat Kesunyataan Mulia' dan selalu sadar, adalah orang yang sesungguhnya mengetahui Dhamma".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 259 berikut:

Seseorang bukan "pendukung Dhamma" hanya karena ia banyak bicara.
Namun seseorang yang walaupun hanya belajar sedikit
tetapi batinnya melihat Dhamma dan tidak melalaikannya,
maka sesungguhnya ia adalah seorang "pendukung Dhamma".


]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.




Dhammapada XIX: 258- Kisah Kelompok Enam Bhikkhu


KISAH KELOMPOK ENAM BHIKKHU
 Dhammapada XIX: 258


Suatu ketika, terdapat kelompok enam bhikkhu yang selalu membuat keributan di tempat makan, baik di vihara maupun di desa. Suatu hari, ketika beberapa samanera sedang makan dana makanan yang mereka dapatkan, kelompok enam bhikkhu itu datang dan membual kepada para samanera, "Lihat! Hanya kamilah orang yang bijaksana". Kemudian mereka melempar-lemparkan benda-benda ke sekeliling, meninggalkan tempat makan dalam keadaan kacau.

Ketika Sang Buddha mendengar hal ini, Beliau berkata, "Para bhikkhu! Aku tidak menyebut orang yang banyak bicara, mencaci dan menggertak orang lain sebagai seorang bijaksana. Hanya mereka yang bebas dari kebencian dan tidak merugikan orang lainlah yang merupakan orang bijaksana".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 258 berikut:

Seseorang tidak dapat dikatakan bijaksana
hanya karena ia banyak bicara.
Tetapi orang yang damai,
tanpa rasa benci dan tanpa rasa takut
dapat disebut orang bijaksana.

]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.






Dhammapada XIX: 256-257- Kisah Para Hakim


KISAH PARA HAKIM
 Dhammapada XIX: 256-257


Suatu hari, beberapa bhikkhu sedang berjalan pulang dari menerima dana makanan, ketika hujan turun dan mereka berteduh di suatu gedung pengadilan. Saat berada di sana, mereka melihat bahwa beberapa orang hakim, setelah menerima uang suap, membebaskan suatu perkara.

Mereka melaporkan masalah ini kepada Sang Buddha dan Beliau berkata, "Para bhikkhu! Dalam memutuskan suatu perkara, jika seseorang terpengaruh oleh rasa kasihan atau pertimbangan keuangan, dia tidak dapat disebut sebagai 'si adil' atau 'hakim yang patuh pada hukum'. Jika seseorang menimbang bukti-bukti dengan teliti dan memutuskan suatu kasus secara tidak memihak, maka ia disebut 'si adil' atau 'hakim yang patuh pada hukum'".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 256 dan 257:

Orang yang memutuskan segala sesuatu dengan tergesa-gesa
tidak dapat dikatakan sebagai orang yang adil.
Orang bijaksana hendaknya memeriksa dengan teliti
mana yang benar dan mana yang salah.
(256)

Orang yang mengadili orang lain dengan tidak tergesa-gesa,
bersikap adil dan tidak berat sebelah,
yang senantiasa menjaga kebenaran,
pantas disebut orang yang adil.
(257)


]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.




Dhammapada XVIII: 254-255- Kisah Subhadda Si Pertapa Pengembara


KISAH SUBHADDA SI PERTAPA PENGEMBARA
 DhammapadaXVIII: 254-255


Subhadda, si pertapa pengembara sedang menetap di Kusinara ketika mendengar bahwa Buddha Gotama akan mangkat, mencapai parinibbana pada waktu jaga terakhir malam itu. Subhadda mempunyai tiga pertanyaan yang telah lama membingungkannya. Ia telah menanyakan pertanyaan tersebut kepada guru-guru agama yang lain, misalnya Purana Kassapa, Makkhali Gosala, Ajita Kesakambala, Pakudha Kaccayana, Sancaya Belatthaputta, dan Nigantha Nataputta, tetapi jawaban mereka tidak memuaskan baginya. Ia belum bertanya kepada Buddha Gotama, dan ia merasa bahwa Sang Buddha-lah yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaannya.

Maka, ia bergegas pergi ke hutan pohon Sala, tetapi Y.A. Ananda tidak mengizinkannya bertemu dengan Sang Buddha, karena saat itu kondisi kesehatan Sang Buddha sangat lemah. Sang Buddha mendengar percakapan mereka dan Beliau berkenan untuk menemui Subhadda. Subhadda menanyakan tiga pertanyaan, yaitu:

1.    Apakah ada jalan di langit?
2.    Apakah ada bhikkhu-bhikkhu suci (samana) di luar ajaran Sang Buddha? dan
3.    Apakah ada suatu hal berkondisi (sankhara) yang abadi?

Jawaban Sang Buddha terhadap semua pertanyaan tersebut adalah "tidak ada".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 254 dan 255 berikut ini:

Tidak ada jejak di angkasa,
tidak ada orang suci di luar Dhamma.
Umat manusia bergembira di dalam belenggu,
tetapi Para Tathagata telah bebas dari semua itu.
(254)

Tidak ada jejak di angkasa,
tidak ada orang suci di luar Dhamma.
Tidak ada hal-hal berkondisi yang abadi.
Tidak ada lagi keragu-raguan bagi Para Buddha.
(255)

Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, Subhadda mencapai tingkat kesucian anagami, dan atas permohonannya, Sang Buddha menerima Subbhadda sebagai anggota Pasamuan Bhikkhu (Sangha).

Subhadda adalah orang terakhir yang menjadi bhikkhu pada masa kehidupan Sang Buddha Gotama. Akhirnya, Subhadda mencapai tingkat kesucian arahat.


]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.




Dhammapada XVIII: 253- Kisah Ujjhanasanni Thera


KISAH UJJHANASANNI THERA
 Dhammapada XVIII: 253


Ujjhanasanni Thera selalu mencari kesalahan dan membicarakan hal-hal buruk tentang orang lain. Bhikkhu-bhikkhu lain melaporkan hal ini kepada Sang Buddha.

Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu, jika seseorang menemukan kesalahan orang lain kemudian memberitahukan hal-hal yang benar, maka itu bukanlah perbuatan jahat, dan tidak dapat disalahkan. Tetapi, jika seseorang selalu mencari kesalahan orang lain dan membicarakan hal-hal buruk tentang orang lain hanya karena dengki dan iri hati, ia tidak akan mencapai konsentrasi dan pencerapan mental (jhana). Ia tidak akan bisa memahami Dhamma dan kekotoran batinnya (asava) akan bertambah".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 253 berikut:

Barangsiapa yang selalu memperhatikan
dan mencari-cari kesalahan orang lain,
maka kekotoran batin dalam dirinya akan bertambah
dan ia semakin jauh dari penghancuran kekotoran-kekotoran batin.

]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.




Dhammapada XVIII: 252- Kisah Mendaka Si Orang Kaya


KISAH MENDAKA SI ORANG KAYA
 Dhammapada XVIII: 252


Suatu ketika, dalam perjalanan Beliau ke wilayah Anga dan Uttara, Sang Buddha mengetahui dari penglihatan luar biasa Beliau bahwa telah tiba saatnya bagi Mendaka, istrinya, putranya, menantunya, cucu perempuannya, dan pelayannya untuk mencapai tingkat kesucian sotapatti. Mengingat kesempatan enam orang tersebut untuk mencapai tigkat kesucian sotapatti, Sang Buddha pergi ke kota Baddiya.

Mendaka adalah seorang pria yang teramat kaya raya. Menurut kabar, ia telah menemukan sejumlah besar patung kambing dari emas dalam ukuran yang sebenarnya di halaman belakang rumahnya. Karena alasan tersebut, ia dikenal sebagai Mendaka (kambing) si orang kaya.

Menurut kabar pula, pada masa Buddha Vipassi, ia telah berdana berupa sebuah vihara untuk Buddha Vipassi dan sebuah gedung pertemuan lengkap dengan podium untuk berkhotbah. Selama pembangunan gedung tersebut, ia memberikan persembahan dana makanan kepada Buddha Vipassi dan para bhikkhu selama empat bulan.

Kemudian, pada masa lain dalam kehidupannya yang lampau, ketika ia menjadi seorang kaya di Banarasi, terjadi bencana kelaparan di seluruh daerah tersebut. Suatu hari, mereka memasak makanan yang hanya cukup untuk anggota keluarga saja.

Saat itu lewatlah seorang Paccekabuddha yang sedang berpindapatta. Ia mempersembahkan seluruh makanan tersebut. Tetapi karena kesetiaan dan kemurahan hatinya yang luhur, tempat nasinya kemudian ditemukan terisi lagi secara ajaib, demikian pula lumbungnya.

Mendaka dan keluarganya, mendengar bahwa Sang Buddha datang ke Baddiya, pergi untuk memberi hormat kepada Beliau. Setelah mendengarkan khotbah yang diberikan Sang Buddha, istrinya Candapaduma, anaknya Danancaya, menantunya Sumanadevi, cucu perempuannya Visakha, dan pelayannya Punna mencapai tingkat kesucian sotapatti.

Mendaka kemudian menceritakan kepada Sang Buddha bahwa dalam perjalanannya tadi beberapa pertapa telah mengatakan hal-hal yang buruk tentang Sang Buddha dan mencegahnya untuk datang mengunjungi Beliau.

Sang Buddha kemudian berkata, "Murid-Ku, sudah biasa bahwa orang tidak melihat kesalahannya sendiri, dan membesar-besarkan kesalahan dan keburukan orang lain".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 252 berikut:

Amat mudah melihat kesalahan-kesalahan orang lain,
tetapi sangat sulit untuk mellihat kesalahan-kesalahan sendiri.
Seseorang dapat menunjukkan kesalahan-kesalahan orang lain
seperti menampi dedak,
tetapi ia menyembunyikan kesalahan-kesalahannya sendiri
seperti penjudi licik menyembunyikan dadu yang berangka buruk.


]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.




Dhammapada XVIII: 251- Kisah Lima Murid Awam


KISAH LIMA MURID AWAM
 Dhammapada XVIII: 251


Pada suatu ketika, lima murid awam hadir pada saat Sang Buddha sedang berkhotbah Dhamma di Vihara Jetavana. Seorang dari mereka duduk tertidur, orang kedua menggambar garis-garis di tanah dengan jarinya, orang ketiga mencoba menguncang sebatang pohon, dan orang keempat memandangi langit. Orang kelima merupakan satu-satunya murid yang mendengarkan Sang Buddha dengan hormat dan penuh perhatian.

Ananda Thera, yang berada di dekat Sang Buddha sambil mengipasi Beliau melihat tingkah laku lima murid awam yang berbeda tersebut.

Ia berkata kepada Sang Buddha, "Bhante! Sementara Bhante menguraikan Dhamma seperti tetesan air hujan jatuh dari langit, hanya satu dari lima orang itu yang mendengarkan dengan penuh perhatian".

Kemudian Ananda Thera menyampaikan tingkah laku yang berbeda dari empat orang itu terhadap Sang Buddha dan bertanya mengapa mereka bertingkah laku demikian.

Sang Buddha menjelaskan kepada Ananda Thera, "Ananda, orang-orang ini tidak dapat menyingkirkan kebiasaan lama mereka. Dalam kehidupan mereka yang lampau, orang pertama adalah seekor ular. Seekor ular biasa melingkarkan dirinya dan tertidur, demikian pula, orang ini tertidur ketika mendengarkan Dhamma.

Orang yang mengais tanah dengan jari tangannya adalah seekor cacing tanah, yang mengguncang pohon adalah seekor kera, yang menatap langit adalah seorang ahli ilmu bintang, dan orang yang mendengarkan Dhamma dengan penuh perhatian adalah seorang peramal terpelajar.

Dalam kaitan ini, Ananda, engkau harus ingat bahwa seseorang haruslah penuh perhatian untuk dapat memahami Dhamma dan bahwa banyak sekali orang yang tidak dapat menjalankan hal ini".

Kemudian Ananda Thera bertanya kepada Sang Buddha, "Bhante! Hal-hal apa yang menghalangi orang untuk dapat mengerti Dhamma?"

Sang Buddha menjawab, "Ananda, nafsu (raga), kebencian (dosa), dan ketidak-tahuan (moha) adalah tiga hal yang menghalangi orang mengerti Dhamma. Nafsu membakar seseorang; tidak ada api sepanas nafsu. Dunia mungkin saja terbakar ketika tujuh matahari muncul di angkasa, tetapi itu jarang sekali terjadi. Namun nafsu selalu membakar tanpa henti".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 251 berikut:

Tiada api yang dapat menyamai nafsu,
tiada cengkeraman yang dapat menyamai kebencian,
tiada jaring yang dapat menyamai ketidak-tahuan,
 dan tiada arus yang sederas nafsu keinginan.

Murid yang mendengarkan dengan penuh perhatian mencapai tingkat kesucian sotapatti, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.