KISAH KAPILA DAN IKAN
Dhammapada XXIV: 334, 335, 336 dan 337
Pada masa Buddha Kassapa, ada seorang bhikkhu bernama
Kapila yang sangat terpelajar dalam Kitab Suci (Pitaka). Karena sangat terpelajarnya,
ia memperoleh kemashuran dan keberuntungan. Ia juga menjadi sangat sombong dan
memandang rendah bhikkhu-bhikkhu lain.
Bila para bhikkhu lain menunjukkan padanya apa yang
pantas dan apa yang tidak pantas ia selalu saja menjawab dengan pedas,
"Berapa banyak yang kau tahu?"
Hal itu menyiratkan bahwa ia tahu lebih banyak dari
pada bhikkhu-bhikkhu yang lain. Dengan demikian, lama kelamaan semua bhikkhu
yang baik menjauhinya dan hanya bhikkhu-bhikkhu yang tidak baik berada di
sekelilingnya.
Pada suatu hari Uposatha, ketika para bhikkhu
mengulang 'Peraturan Pokok' bagi para bhikkhu (Patimokkha), Kapila berkata,
"Tidak ada apa yang dikatakan sebagai Sutta, Abhidhamma, atau Vinaya.
Tidak ada bedanya apakah kamu mempunyai kesempatan untuk mendengar Patimokkha
atau tidak", dan lain-lainnya.
Kemudian ia meninggalkan para bhikkhu yang sedang
berkumpul. Jadi, Kapila merupakan rintangan bagi pengembangan dan pertumbuhan
Ajaran (Sasana).
Untuk perbuatan jahat ini, Kapila harus menderita di
alam neraka (niraya) antara masa Buddha Kassapa dan Buddha Gotama. Setelah itu
ia dilahirkan kembali sebagai seekor ikan di Sungai Aciravati. Ikan tersebut,
seperti disebutkan di atas, mempunyai tubuh berwarna keemasan yang sangat
indah, tetapi mulutnya berbau tidak enak yang sangat menusuk hidung.
Suatu hari, ikan tersebut ditangkap oleh beberapa
nelayan dan karena sangat indah, mereka membawanya kepada raja. Kemudian raja
membawa ikan tersebut kepada Sang Buddha. Ketika ikan itu membuka mulutnya, bau
yang tidak enak dan sangat menusuk menyebar ke sekeliling. Raja bertanya kepada
Sang Buddha, mengapa ikan seindah itu mempunyai bau yang sedemikian tidak enak
dan menusuk hidung.
Kepada raja dan para pengiringnya, Sang Buddha
menjelaskan, "O Raja! Pada masa Buddha Kassapa, ada seorang bhikkhu yang
sangat terpelajar, yang mengajarkan Dhamma pada lainnya. Karena perbuatan baik
itu, ketika ia dilahirkan kembali pada kehidupan yang lain, meskipun sebagai
seekor ikan, ia memiliki tubuh keemasan. Tetapi bhikkhu itu sangat serakah, sombong,
dan memandang rendah orang lain, ia juga mengabaikan Peraturan Ke-bhikkhu-an
(Vinaya), dan mencaci maki para bhikkhu yang lain. Karena perbuatan buruk ini,
ia dilahirkan di alam neraka (niraya), dan sekarang, ia menjadi seekor ikan
yang indah dengan mulut yang berbau busuk".
Sang Buddha kemudian beralih kepada ikan itu dan
bertanya apakah ia mengetahui ke mana ia akan dilahirkan kembali pada kehidupan
yang akan datang. Ikan tersebut memberi isyarat bahwa ia akan masuk kembali ke
alam neraka (niraya) dan ia dipenuhi dengan perasaan sangat sedih. Sebagaimana
diperkirakan, pada saat kematiannya, ikan tersebut dilahirkan kembali di alam
neraka (niraya), untuk menerima akibat perbuatan buruk lain.
Semua yang hadir mendengarkan kisah ikan tersebut
menjadi terkejut. Pada mereka, Sang Buddha memberikan khotbah tentang manfaat
mengkombinasikan antara belajar dengan praktek.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
334, 335, 336, dan 337 berikut ini:
Bila seseorang hidup lengah,
maka nafsu keinginan tumbuh,
seperti tanaman Maluwa yang menjalar.
Ia melompat dari satu kehidupan ke
kehidupan lain,
bagaikan kera yang senang mencari
buah-buahan di dalam hutan.
(334)
Dalam dunia ini,
siapapun yang dikuasai
oleh nafsu keinginan rendah dan beracun,
penderitaannya akan bertambah
seperti rumput Birana yang tumbuh dengan
cepat
karena disirami dengan baik.
(335)
Tetapi barangsiapa dapat mengatasi nafsu
keinginan
yang beracun dan sukar dikalahkan itu,
maka kesedihan akan berlalu dari dalam
dirinya,
seperti air yang jatuh dari daun
teratai.
(336)
Kuberitahukan hal ini kepadamu:
Semoga engkau sekalian yang telah datang
berkumpul di sini
memperoleh kesejahteraan!
Bongkarlah nafsu keinginanmu,
seperti orang mencabut akar rumput
Birana yang harum.
Jangan biarkan Mara menghancurkan dirimu
berulang kali,
seperti arus sungai menghancurkan rumput
ilalang yang tumbuh di tepi.
(337)
]
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah
Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta,
1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar