MATA PENCAHARIAN MENURUT
BUDDHISME
Seiring dengan kemajuan peradaban
dan ilmu pengetahuan, kehidupan manusia pun bertambah kompleks. Begitu pula
dengan jenis-jenis kegiatan yang dilakukan oleh banyak orang. Salah satu bentuk
kegiatan manusia yang paling mendasar dan sangat penting adalah masalah
penghidupan. Ketika kita menyinggung tentang penghidupan manusia, maka
pembahasannya tidak akan lengkap jikalau kita tidak mengupas segala hal yang
berkaitan dengan mata pencaharian.
Sebelum melanjutkan pembahasan mengenai
“mata pencaharian yang sesuai dengan ‘kebenaran’ universal”, perlu dipahami dulu definisi
yang jelas mengenai mata pencaharian itu sendiri. Mata pencaharian, seperti
yang didefinisikan di sini, adalah segala kegiatan yang
dilakukan untuk menghasilkan pendapatan guna memenuhi kebutuhan hidup manusia.
Sang Buddha menyatakan bahwa ada
lima macam micchâvanijja1 yang perlu dihindari oleh umat Buddha2,
yaitu:
1.
Memperdagangkan
barang-barang yang dipergunakan untuk membunuh makhluk-makhluk hidup, atau dengan
kata lain senjata-senjata.
2.
Memperdagangkan
manusia (perdagangan budak).
3.
Memperdagangkan
binatang-binatang yang akan disembelih untuk makanan.
4.
Memperdagangkan
minuman-minuman keras yang memabukkan.
5.
Memperdagangkan
racun.
(Anguttara Nikâya III, 208)
Jelas terlihat bahwa kelima macam
perdagangan yang dilarang tersebut sesuai dan sejalan dengan aturan Pancasila3
Buddhis terutama sila pertama, yaitu menahan diri dari
membunuh atau menyiksa makhluk hidup. Lalu timbul pertanyaan, “Sejauh mana mata
pencaharian yang benar-benar sejalan dan sesuai dengan ajaran ‘kebenaran’ dari
Sang Buddha?”
Berikut ini akan dibahas beberapa
mata pencaharian yang masih membingungkan sebagian dari kita. Hal itu
dikarenakan mata pencaharian tersebut tidak secara langsung disinggung oleh
Sang Buddha seperti disebutkan dalam Anguttara Nikâya III, 208. Mungkin
saja pada waktu itu, pekerjaan seperti itu belum ada. Mata pencaharian yang
akan dibahas antara lain: nelayan, pengacara, tentara, dan pekerja seks.
Untuk menjawab masalah-masalah
seperti ini, kita perlu meninjau dari beberapa sudut pandang. Semakin banyak
sudut pandang kita terhadap suatu masalah, jelas pola pandang kita akan semakin
netral dan objektif. Lain halnya jika kita hanya memandang suatu masalah dari
satu sisi saja — kita akan cenderung subjektif. Untuk itu dalam menghadapi
segala sesuatu, akan lebih bijaksana jika kita memandang dari berbagai sisi.
Kasus 1 : Nelayan
Mata pencaharian ini
mengondisikan seseorang untuk membunuh. Seperti yang dinyatakan dalam Anguttara
Nikâya III, 208 bahwasannya perdagangan makhluk hidup untuk dibunuh
hendaknya dihindari. Jika kita meninjau sila4, maka terlihat bahwa
pekerjaan sebagai nelayan telah melanggar sila pertama5 Pancasila Buddhis.
Pembunuhan adalah perbuatan salah6.
Ketika seorang nelayan pergi
melaut untuk menangkap ikan, memang ia telah membunuh ikan. Tetapi yang perlu
diperhatikan di sini adalah motivasi apa yang mendorongnya untuk melakukan
pembunuhan tersebut? Seperti yang kita ketahui bahwa para nelayan menangkap
ikan untuk menghidupi dirinya atau mungkin keluarganya, bahkan mungkin saudara-saudaranya.
Yang jelas mungkin saja akan banyak yang menderita —keluarga dan
saudarasaudaranya— jika ia berhenti dari mata pencahariannya itu. Motivasi ter
sebut akan membentuk benih-benih kamma7
yang akan menghasilkan akibat8 yang
pasti diterima.
Hukum kamma atau hukum sebab
akibat menyatakan bahwa seseorang pasti akan menerima akibat dari segala
tindakan yang dilakukannya, baik atau buruk. Jadi ketika seseorang berbuat
baik, ia akan menerima akibat yang baik pula. Begitu juga ketika seseorang berbuat
buruk, ia pasti akan menerima akibat yang buruk.
Pada akhirnya pekerjaan sebagai
seorang nelayan tergantung motivasi si nelayan. Semakin kecil niat membunuhnya,
semakin kecil pula buah kamma buruk yang akan dipetiknya, dan kamma baik
yang diperbuat oleh seorang nelayan juga akan membuatnya menerima akibat yang
baik. Alangkah bagusnya jika para nelayan beralih ke profesi yang menghindari
merugikan makhluk lain atau minimal lebih banyak berbuat baik sehingga
berakibat kehidupan yang baik di masa mendatang.
Kasus 2 : Pengacara
Profesi yang satu ini dapat
digolongkan ke mata pencaharian kelompok jasa, layaknya guru, perawat atau pun
dokter. Pekerjaan sebagai seorang guru, perawat, atau dokter, memerlukan
pengabdian yang benar-benar tulus, begitu pula dengan profesi pengacara ini.
Lalu timbul pertanyaan, apakah
pekerjaan sebagai seorang pengacara adalah benar? Atau mungkin salah? Bukankah
pekerjaan sebagai seorang pengacara—entah itu kliennya bersalah atau tidak—
mengharuskan ia membela kliennya? Bagaimana jika kliennya jelas-jelas bersalah?
Ya, tetap harus dibela.
Sebenarnya untuk menjawab
pertanyaan tersebut, kita perlu memahami dengan jelas sebenarnya untuk apa
pekerjaan yang dilakukan oleh seorang pengacara? Pekerjaan seorang pengacara
adalah membela dan itu memang kewajibannya. Mungkin latar belakang lahirnya
profesi ini adalah kesadaran perlunya perlindungan hukum terhadap kebebasan
manusia sebagai hak asasi manusia yang paling mendasar. Tiap manusia memiliki
hak untuk bebas, tentunya kebebasan yang bertanggung jawab. Dasar itulah yang
melahirkan adanya ‘pengacara’.
Dengan latar belakang seperti
itu, profesi seorang pengacara adalah sah-sah saja dan netral9 tentunya. Mungkin saja ada argumen
yang menolak dan mengatakan bahwa pekerjaan seorang pengacara adalah salah
ketika ia membela kliennya yang seorang “penjahat”. Tentunya dengan pendapat
yang bagus kita bisa menolak argumen tersebut dengan mengatakan bahwa bukankah sekejam-kejamnya
orang, orang tersebut masih bisa berubah? Atau dengan argumen bahwa bukankah
bagus membela orang dengan belas kasih tentunya?
Ya! Kedua argumen tersebut
sebenarnya tidak ada yang salah. Memang profesi sebagai pengacara sah-sah saja,
semua kembali lagi kepada tiap individunya masingmasing, apakah motivasi dia
sebagai seorang pengacara baik atau buruk, dan akibat yang diterimanya juga
akan sesuai dengan niatnya.
Kasus 3 : Tentara
Pekerjaan sebagai tentara
mewajibkan dirinya harus bertindak sesuai profesinya, seperti pada kasus
nelayan yang berhubungan langsung dengan kehidupan makhluk hidup dan juga sama
seperti kasus pengacara. Seperti yang telah dijelaskan dan sesuai dengan sabda
Sang Buddha bahwa mata pencaharian yang mengakibatkan penderitaan atau
terbunuhnya makhluk hidup jelas adalah penghidupan salah10.
Kasus tentara ini ada sedikit perbedaan dengan kasus nelayan. Pada kasus
nelayan, hewan-lah yang menderita, sedangkan pada kasus tentara, manusia yang
menjadi korbannya.
Dalam peperangan, seorang tentara
harus melawan dan membunuh musuhnya. Keadaan seperti itu memang sangat sulit
dihindari, bahkan mungkin tidak bisa dihindari karena memang kewajiban tentara
adalah membela negaranya. Keadaan sulit ini sama dengan kasus pengacara yang
tidak bisa menolak.
Jadi yang perlu diperhatikan di
sini adalah motivasi apa yang mendasari tindakan membunuh saat berperang. Jika
niat membunuh disertai kebencian, maka ia pasti akan menerima akibat buruk.
Lain halnya bila ia ‘terpaksa’ membunuh untuk melindungi diri dan tidak
disertai kebencian yang besar. Membunuh dalam keadaan apa pun termasuk terpaksa
atau demi keselamatan banyak orang, tetap akan membuahkan akibat yang buruk dan
juga dari keinginannya untuk menyelamatkan banyak orang akan membuahkan kamma
baik. Tentu saja kamma buruk11
yang diperbuatnya tidak begitu besar karena dilakukan dengan terpaksa. Namun
jangan dengan dalih terpaksa seseorang boleh bertindak kejam seperti itu.
Itulah kenapa Sang Buddha memasukkan
aturan untuk tidak menyakiti atau membunuh makhluk hidup di urutan pertama,
karena bertentangan dengan kebebasan setiap orang maupun makhluk hidup yang
ingin hidup bahagia dan tentu saja mereka tidak ingin menderita.
Jelas kita jangan membuat orang atau
makhluk hidup lain menderita karena kita sendiri tidak ingin menderita. Dan hal
itu tentu saja membunuh ‘jiwa’ metta-karuna12
seseorang, sehingga hidupnya akan berada dalam perasaan ‘tersiksa’.
Kasus 4 : Pekerja seks
Seks merupakan bagian dari
kehidupan manusia, dan tidak dapat dipungkiri bahwa keturunan manusia tetap ada
sampai saat ini dikarenakan seks. Bagi seorang bhikkhu/bhiksu, hubungan
seksual tidak boleh dilakukan dan melanggar vinaya, serta merupakan
salah satu dari empat parajika13. Tetapi untuk umat awam biasa, seks
tidak dilarang, tetapi dianjurkan untuk menghindari perilaku seksual yang salah
seperti dalam Pancasila Buddhis, sila ketiga.
Perilaku seksual yang salah
adalah melakukan hubungan seksual dengan tipu muslihat, pemerasan, atau paksaan
kepada seseorang14. Jadi artinya adalah
ketika seseorang melakukan hubungan seksual dengan tidak rela, maka telah
terjadi pelanggaran sila. Bila dilakukan atas dasar ‘sama-sama mau’,
maka tidak termasuk perbuatan asusila.
Untuk kasus pekerja seks—baik itu
pria maupun wanita, ia melakukan itu dengan sukarela dan tidak ada paksaan.
Begitu pula bagi pihak ‘pembeli’, ia mau dengan sukarela melakukan hubungan
seksual dengan pekerja seks. Karena kedua belahpihak melakukan hubungan seksual
atas dasar ‘sama-sama suka’, maka perbuatan si pekerja seks tidak termasuk
pelanggaran sila ketiga. Profesi yang dilakukan pekerja seks memang
tidak melanggar sila, namun disarankan tidak dijalankan, karena pekerja seks
mengondisikan seseorang melanggar sila atau menambah keserakahan
seseorang akan kepuasan diri.
Dari keempat contoh mata
pencaharian yang telah dibahas, hendaknya dipahami bahwa dalam menekuni sebuah
pekerjaan yang perlu diperhatikan adalah motivasi yang mendasari seseorang
bertindak dalam pekerjaannya. Bila didasarkan atas keinginankeinginan buruk,
maka ia pasti akan menerima akibat yang buruk juga. Begitu pula jika pekerjaan
itu dilakukan dengan motivasi yang baik, maka buah kamma yang diperolehnya
juga akan baik. (WillyandiWijaya)
Catatan
kaki :
1 Artinya adalah
perdagangan yang keliru, seperti yang tertulis dalam buku Dhamma
Vibhâga—Penggolongan Dhamma, terbitan Vidyâsenâ Vihara Vidyâloka hal.43
2 Upasaka (pria) dan Upasika (wanita), sebutan untuk umat Buddha biasa
yang menjalankan lima aturan buddhis atau Pancasila Buddhis.
3 Panca artinya lima, dan sila artinya aturan, perbuatan. Jadi pancasila
artinya lima aturan/perbuatan.
4 Sila berarti aturan.
5 Sila pertama dalam pancasila buddhis adalah berusaha untuk
menghindari pembunuhan makhluk hidup. Pembunuhan makhluk hidup di sini artinya
bukan hanya membunuh makhluk hidup, namun juga termasuk menyiksa tubuh atau
badan yang mengandung kehidupan.
6 Membunuh
adalah perbuatan salah (micchâ-kammanta). Perbuatan salah bersumber dari
pandangan salah.
Pandangan salah berarti semua
pandangan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemoralan, tetapi pada
khususnya pandangan salah menunjukkan arti pada pandangan-pandangan keliru yang
ekstrim; Dhamma Vibhâga—Penggolongan Dhamma, terbitan Vidyâsenâ Vihara
Vidyâloka hal.203.
7 Atau karma, artinya adalah perbuatan, tindakan. Pemahaman lebih
lanjut mengartikan kamma/karma adalah cetana(kehendak).
8 Akibat karma/kamma pasti diterima. Karena hukum karma/kamma sejalan
dengan hukum Paticca Samuppada(hukum sebab akibat).
9 Artinya bisa baik atau buruk.
10 Penghidupan salah ( micchâ-âjîva ) berarti cara-cara salah dalam
menjalankan pekerjaannya. Caracara salah berarti dalam pikiran, ucapan, dan
perbuatan yang salah seperti yang tertulis dalam Anguttaranikâya dasakanipaâta
24/226; Dhamma Vibhâga—Penggolongan Dhamma, terbitanVidyâsenâ Vihara Vidyâloka
hal.203.
11 Akusala kamma (pali). Karma(sansekerta)
atau kamma (Pali) berarti perbuatan/tindakan.
12 Metta adalah cinta kasih, dan karuna
adalah belas kasih.
13 Peraturan yang berat yang jika dilanggar akan dikeluarkan dari Sangha
(kumpulan bhikkhu/bhiksu)
14 Good Question
Good Answer hal.45, terjemahan, terbitan Karaniya
Sumber :
eka -
citta no. XXVI/Mei/2006.
namaste,
BalasHapusDulu sy pernah ingin belajar(jarak jauh mungkin) dari anda untuk usaha alumunium,spt yg anda jalankan. tetapi anda tidak pernah menjawab em sy.tidak menolak atau mengiyakan.Saat itu sy betul2 dalam kesulitan,tanpa penghasilan yg jelas.
Mungkin sy yg salah,sy pikir berbagi ilmu usaha adalah termasuk salah satu ajaran Sang Guru. Tetapi sy yakin hal tersebut adalah sama ilmu usaha maupun ilmu Dhamma.
Semoga anda berbahagia.
Sadhu,Sadhu,Sadhu
pramuditya
Aduhhh..maaf beribu maaf, Mungkin saat itu saya lupa bahwa ada pertanyaan yg harus saya jawab, sebab ada beberapa saat saya sendiri tidak sedang aktif dalam memantau pertanyaan2 via email, sehingga seperti inilah kejadiannya.
HapusBerbagi ilmu kebaikan apapun bentuknya adalah termasuk perbuatan baik karena termasuk dalam kategori berdana.
Jadi sekali lagi maafkan atas kelalaian saya saat itu tidak menanggapi pertanyaan Anda.
Salam metta,
Tanhadi.
Saya punya pertanyaan, jika kita membeli ikan yang sudah mati dari nelayan untuk kemudian dijual lagi, meski bukan kita yang menangkap dan membunuhnya, apakah itu termasuk kamma buruk?
BalasHapusLalu bagaimana jika kita membeli daging dari pasar untuk kemudian diolah dan dijual lagi dalam bentuk masakan, apakah itu juga termasuk kamma buruk?
* Ikan yang sudah mati tidak termasuk barang yang bernyawa, jadi dalam hal ini tidak termasuk Kamma buruk membunuh makhluk hidup.
Hapus* Membeli daging di pasar tidak termasuk Kamma buruk membunuh makhluk hidup.
Hal yang menimbulkan Kamma buruk adalah ketika kita menyembelih sendiri atau kita memerintahkan orang lain untuk menangkap dan menyembelih makhluk hidup.
Membeli ikan atau daging hewan yang sudah mati sama artinya kita sedang membeli bangkai, jadi dalam hal ini tidak ada Kamma buruk yang diperbuat.
Hanya saya saja membaca artikel ini:
Hapushttp://www.dhammacakka.org/?channel=ceramah&mode=detailbd&id=477
Di situ dikatakan yang termasuk mata pencaharian yang tidak benar: Menjual daging, atau segala sesuatu yang berasal dari penganiayaan makhluk-makhluk hidup. Meski bukan saya yang menangkap dan membunuh ikan2 itu, tapi saya tahu bahwa ikan yang mati itu berasal dari penangkapan, apakah jika berdagang ikan dengan mengetahui hal itu, sy tetap mendapat bagian kamma buruk?
Dari artikel ini juga, http://wwwjayantoblog.blogspot.co.id/2010/09/pentingnya-memiliki-mata-pencaharian.html
HapusJadi sy tidak tahu, apakah bisa berdagang ikan mati atau tidak, menghasilkan kamma buruk meski kecil, krn di artikel itu dikatakan, berdagang berarti sudah terlibat, dan terlibat berarti mendapat kamma buruk, meski mungkin tidak sebesar yang membunuh atau menangkap langsung. Mohon pencerahannya.
Mohon maaf atas komentar saya terlebih dahulu.
HapusMenurut saya kita membeli ikan atau daging itu tidak salah tetapi dalam prospek kebutuhan hidup
Jika kita membeli daging ataupun ikan yang sudah mati untuk usaha terus menerus kita juga terlibat mengkondisikan nelayan atau pedagang daging itu untuk terus membunuh jadi menurut saya kita harus lebih bijak
Salam metta
Senabodhi.
Ada beberapa orang berpendapat senada dgn yang Anda sampaikan tsb. bahwasanya makan daging menyebabkan adanya permintaan yang harus diimbangi dengan penyediaan dengan pembunuhan binatang. Dengan kata lain, makan daging dalam keadaan apapun mendorong pembunuhan binatang.
HapusMemang benar secara tidak langsung kita mendorong pembunuhan binatang-binatang walau sekalipun kita berpola makan vegetarian. Setiap hari monyet, tupai, rubah, kumbang, dan hama perusak lainnya dibunuh karena mereka makan dari pohon buah yang ditanam petani. Petani sayuran juga membunuh ulat bulu, keong, cacing, belalang, semut, dan serangga lainnya. Hal ini sulit untuk dihindari, karena sejak dari awal proses pencangkulan dan penggemburan tanah untuk menanam buah2an maupun sayuran pastilah banyak binatang yang mati terbunuh oleh petani. Petani melakukan kegiatan pekerjaannya ini karena secara terus menerus untuk memenuhi kebutuhan pasar atas sayuran, dan dalam hal ini melibatkan para vegetaris yg secara tidak langsung turut menjadi penyebab pembunuhan binatang2 tsb.
Namun kita harus paham bahwa ada dua jenis sebab dan akibat , yaitu :
1). Sebab dan akibat duniawi, di mana kehendak tidak dilibatkan, dan
2). Kamma-vipaka Buddhis, atau tindakan yang disertai kehendak/kesengajaan dan akibatnya.
Makan daging yang diijinkan oleh Sang Buddha ( jika tidak melihat, tidak mendengar, atau tidak mencurigai bahwa makhluk hidup itu disembelih untuk dirinya) melibatkan hanya sebab dan akibat duniawi, dan tidak ada kamma dari membunuh.
Sedangkan makan daging yang tidak diijinkan melibatkan kamma dan vipaka yang tak bajik.
Oleh karena itu, dalam hal makan daging harus dimengerti dengan jelas pembagiannya menjadi dua bagian spt yg telah disebutkan diatas.
Mettacittena,
Tanhadi.
Jadi jika seseorang membuka usaha restoran menjual masakan dengan menggunakan daging/ikan apakah berarti termasuk sebab dan akibat duniawi saja karena si pemilik hanya membeli dari penjual daging? Bagaimana jika ada kegiatan order ke penjual untuk memenuhi pasokan? Mohon penjelasannyaa. Terima kasih
BalasHapus