Kamis, Juni 11, 2020

PENDERITAAN DAN LENYAPNYA PENDERITAAN



Sang Buddha mengatakan bahwa ajaran Beliau adalah tentang penderitaan dan lenyapnya penderitaan. Pernyataan ini bukan berarti bahwa Dhamma hanya berhubungan dengan pengalaman penderitaan kita dalam kehidupan ini, melainkan hal ini menyiratkan bahwa kita dapat menggunakan pengalaman kita sekarang ini, didukung oleh pengamatan cerdas, sebagai sebuah kriteria untuk menentukan apa yang bermanfaat dan apa yang menghalangi kemajuan spiritual kita. Tuntutan hidup kita yang bertubi-tubi, yang memancar dari dalam diri kita, adalah kebutuhan akan kebebasan dari bahaya, dukacita, dan kesedihan; atau, disebutkan secara positif, kebutuhan untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan. Akan tetapi, untuk menghindari bahaya dan untuk mengamankan kesejahteraan kita, tidaklah cukup bagi kita untuk hanya dengan berdoa dan berharap. Pertama-tama kita harus memahami kondisi-kondisi di mana bahaya dan kesejahteraan itu bergantung.

 Menurut Sang Buddha, apapun yang muncul, muncul melalui penyebab dan kondisi yang bersesuaian, dan hal ini berlaku dengan kekuatan yang sama baik pada penderitaan maupun kebahagiaan. Demikianlah kita harus mengetahui penyebab-penyebab dan kondisi-kondisi yang mengarah menuju bahaya dan penderitaan, dan demikian pula dengan penyebab-penyebab dan kondisi yang mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan. Begitu kita telah menggali kedua prinsip ini, yaitu  kondisi-kondisi yang mengarah menuju bahaya dan penderitaan, dan kondisi-kondisi yang mengarah menuju kesejahteraan dan kebahagiaan  maka kita memiliki penyelesaian secara garis besar atas keseluruhan proses yang mengarahkan kita menuju tujuan akhir, kebebasan tertinggi dari penderitaan.

Semoga bermanfaat.

Mettacittena,
Tanhadi

Sabtu, Mei 30, 2020

BUDDHA DHAMMA


“Nigrodha, engkau mungkin berpikir: 'Pertapa Gotama mengatakan hal ini (ajaran) untuk mendapatkan murid-murid', tetapi engkau hendaknya jangan berpikir demikian. Ia yang telah menjadi gurumu, biarlah tetap menjadi gurumu.

Atau engkau mungkin berpikir: 'Ia (Pertapa Gotama) menginginkan kita untuk melepaskan peraturan-peraturan kita', tetapi engkau hendaknya jangan berpikir demikian. Apa yang telah menjadi peraturan-peraturanmu, biarlah tetap menjadi peraturan-peraturanmu.

Atau engkau mungkin berpikir: 'Ia menginginkan kita untuk meninggalkan cara hidup kita', tetapi engkau hendaknya jangan berpikir demikian. Apa yang telah menjadi jalan hidupmu, biarlah tetap menjadi jalan hidupmu.

Atau engkau mungkin berpikir: "Ia menginginkan kita untuk berbuat sesuatu yang mana menurut ajaran kita adalah salah', tetapi engkau hendaknya jangan berpikir demikian. Apa yang menurut ajaranmu salah, biarlah engkau anggap salah.

Atau engkau mungkin berpikir: "ia menginginkan kita untuk meninggalkan hal-hal yang kita anggap sebagai benar', tetapi engkau hendaknya jangan berpikir demikian. Apa yang menurut ajaranmu benar, biarlah engkau anggap sebagai benar.

"Nigrodha, Aku mengatakan hal ini  bukan bermaksud untuk mendapatkan murid atau untuk membuat seseorang melepaskan peraturan-peraturannya atau untuk membuat seseorang meninggalkan cara hidupnya atau untuk membuat seseorang melakukan apa yang sebenarnya dianggap olehnya sebagai salah atau untuk membuat seseorang untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya dianggap olehnya sebagai benar.

Nigrodha, ada beberapa hal yang tidak baik yang belum dilenyapkan, bersifat mengotori dan mengarah kepada kelahiran kembali, menakutkan, menciptakan akibat-akibat penderitaan di masa yang akan datang, berhubungan dengan kelahiran, tua dan kematian. Demi pelenyapan hal-hal inilah, Aku mengajarkan Dhamma.”

(DN 25: Udumbarika-Sīhanāda Sutta)

Selasa, Mei 19, 2020

TIADA BERGUNA


TIADA BERGUNA
Upa. Amaro Tanhadi

Apa gunanya memohon keselamatan kepada pihak lain, jika Anda selalu berperilaku membahayakan diri sendiri ? 
(Th)

***
Membahayakan diri sendiri adalah perbuatan yang dilakukan melalui pikiran, ucapan dan jasmani.

* Tindakan pikiran, yaitu :
- Pandangan salah
- Iri hati
- Membenci
- Dendam
- Kikir

* Tindakan ucapan, yaitu :
- Berbohong
- Berkata-kata kasar dan kotor
- Memfitnah
- Bergunjing
- Gosip
- Omong kosong

* Tindakan jasmani, yaitu :
- Menganiaya dan membunuh makhluk hidup.
- Mencuri
- Berzinah
- Mabuk-mabukan.

Ketika seseorang melakukan tindakan buruk melalui tiga saluran tsb. maka akan banyak kecenderungan-kecenderungan  negatif yang mengarah pada hal-hal yang membahayakan dirinya sendiri, baik pada kehidupan saat ini dalam bentuk yang  beranekaragam seperti berurusan dengan hukum negara dan masyarakat. Dan saat kematiannya mengarah pada kelahiran di alam sengsara dan rendah.

Kalau sudah demikian halnya, siapakah yang dapat menolongnya agar ia terhindar dari bahaya tsb? tak lain hanya dirinya sendirilah yang dapat menolongnya.  Hendak berdoa dan memohon kepada para dewa atau Tuhannya masing-masing sekalipun, ia tak akan memperoleh pertolongan yang diharapkan.

Semoga bermanfaat.

Sda, 19 Mei 2020

PRAKTIK DHAMMA


BERLATIH MEMPRAKTIKKAN  DHAMMA
Upa. Amaro Tanhadi

Disaat kita melakukan meditasi duduk, meditasi berjalan, membaca sutta, paritta atau mendengarkan khotbah Dhamma, hal itu belumlah merupakan latihan yang sebenarnya dan juga bukan merupakan tujuan dari latihan. Hal itu ibarat kita membaca sebuah kata pengantar dalam sebuah buku, yang belum menyentuh isi dan inti dari buku bacaan tersebut. 

Latihan yang sebenarnya akan terjadi pada saat pikiran kita kontak dengan objek-objek indra. Gejolak perasaan yang timbul seperti kebencian dan kecintaan, kesenangan dan kesusahan, kebahagiaan dan penderitaan, semua itulah tempat untuk berlatih dan praktik secara langsung dengan menggunakan Dhamma untuk membebaskan diri kita dari semua bentuk kesenangan dan kesengsaraan yang muncul. Inilah tujuan dari latihan dan praktik  Dhamma yang sebenarnya.

Semoga kita semua tetap semangat berlatih dan mempraktikkan Dhamma.

Sidoarjo, 19 Mei 2020.

Salam cinta kasih universal.
Sabbe satta bhavantu sukhitatta.


PENDERITAAN (MAKNA DUKKHA DALAM AJARAN BUDDHA)


MAKNA DUKKHA DALAM AJARAN BUDDHA
Upa. Amaro Tanhadi

Penggunaan kata "Dukkha" (bhs.Pali) memiliki pengertian filosofis yang mendalam dan meliputi seluruh fenomena yang berbentuk maupun tidak berbentuk, sehingga sulit sekali untuk ditemukan padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris.

Penggunaan kata "Dukkha" sering diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai "Penderitaan", hal ini sebenarnya kurang tepat dan hanya mewakili sebagian kecil dari keseluruhan makna "dukkha" yang terdapat dalam ajaran Buddha tentang Empat Kebenaran Mulia.

"Dukkha" mengandung makna yang sangat luas antara lain :

Ketidakpuasan, beban, tidak sempurna, tidak memuaskan, tidak kekal, tanpa inti, gangguan, kejengkelan, patah semangat, kekhawatiran, keputusasaan; ketakutan, kengerian, kesedihan, kecemasan; kerentanan, cidera, ketidakmampuan, rasa rendah diri; penyakit, penuaan, pelapukan tubuh dan indra-indra, kepikunan; rasa sakit, kenikmatan; kegairahan, kebosanan; kekurangan, berlebih; hasrat, rasa frustasi, penindasan; rasa mendambakan, tanpa tujuan; harapan, tanpa harapan; usaha, kegiatan, perjuangan keras pengekangan; kehilangan, keinginan, ketidakcukupan, kekenyangan; cinta, keadaan tanpa cinta, keadaan tanpa kawan; ketidaksukaan, kebencian, ketertarikan; memiliki anak, tidak memiliki anak; ketundukan, pemberontakan; kepastian, keraguan, kebimbangan, ketidakpastian. Dsb.

Semoga bermanfaat.

Sda, 19 Mei 2020

Mettacittena,
Sabbe satta bhavantu sukhitatta


AGAMA DAN KITAB SUCI


AGAMA DAN KITAB SUCI
Upa. Amaro Tanhadi

Kitab suci yang berdasarkan pada "Wahyu" adalah sebuah buku yang di dalamnya berisi Wahyu Tuhan, yang memuat ajaran-ajaran tentang seluruh aspek kehidupan bagi seluruh umat beragama.

Setiap agama memiliki kedaulatan terhadap kitab sucinya masing-masing dan para penganutnya memiliki kebebasan untuk meyakini kebenaran-kebenaran yang ada dalam kitab sucinya tersebut. Ini adalah wilayah pribadi bagi setiap orang, dan seyogianya, kita yang berbeda keyakinan tidak mencampuri urusan pribadinya dengan Tuhannya masing-masing.

Hindarilah anggapan atau bahkan menuduh bahwa agama yang berbeda dengan keyakinan kita adalah tidak benar dan SESAT, karena hal itu hanya menunjukkan betapa sempitnya wawasan kita sendiri terhadap kebenaran-kebenaran yang ada dalam setiap agama. 

TIDAK SEMUA KEBENARAN YANG KITA YAKINI ADALAH BENAR PULA DI MATA ORANG LAIN.

Hal ini seperti saat kita mengendarai kendaraan di wilayah Indonesia, pada dasarnya semua pengguna jalan harus menggunakan jalur jalan sebelah kiri dan ini merupakan peraturan yang telah diatur dengan Undang-undang oleh pemerintah Indonesia . Namun, hal ini tidak berlaku ketika kita mengendarai kendaraan di beberapa negara Eropa misalnya, karena berkendara di jalur kiri justru merupakan pelanggaran peraturan/UU lalu-lintas yang ada di negara tersebut.

Jadi, diantara kedua negara yang berbeda itu, mana peraturan yang dapat kita anggap sebagai " inilah yang paling benar dan itu adalah salah, sesat." ?

Hanya orang-orang yang berwawasan sempit dan fanatisme buta-lah yang selalu merendahkan, menista, mencaci-maki, memusuhi dan  menyesat-nyesatkan agama orang lain yang tidak sepaham dengan agama yang dianutnya.

Semoga bermanfaat.
Salam damai, sejahtera dan bahagia.

Sda, 19 Mei.2020