DHAMMA VIBHAGA II
(PENGGOLONGAN DHAMMA)
Kelompok Enam
Sumber : Dhamma Vibhaga - Penggolongan Dhamma;
oleh: H.R.H. The Late Patriarch Prince Vajirananavarorasa;
alih bahasa : Bhikkhu Jeto, Editor : Bhikkhu Abhipanno;
Penerbit : Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta; Cetakan Pertama 2002)
KELOMPOK ENAM
1. PENGETAHUAN LUAR BIASA ATAU KEAJAIBAN-KEAJAIBAN (ABIÑÑA)
- Perbuatan-perbuatan Jasmani (iddhividdhi).
- Telinga dewa (dibbasota).
- Membaca pikiran atau telepati (cetopariyañana).
- Mengingat kembali kehidupan-kehidupan yang telah lampau (pubbenivasanussati).
- Mata dewa (dibbacakkhu).
- Penghancuran kekotoran-kekotoran bathin secara mutlak (asavakkhayañana).
An. Cha. 22/311
· KETERANGAN
· Kecuali yang keenam, macam-macam pengetahuan luar biasa lainnya dalam beberapa hal hanyalah merupakan hasil tambahan dari pencapaian Penerangan Sempurna. Mereka bukan merupakan keadaan biasa yang dapat diharapkan oleh semua para siswa mulia, juga mereka tidak diperjuangkan dengan sengaja.
· Menurut Pali canon, perbuatan keajaiban secara jasmani, misalnya menciptakan banyak orang dari satu (dalam bentuk duplikat), menciptakan satu orang dari banyak, pergi melalui materi padat misalnya dinding-dinding dan gunung-gunung seperti melalui ruang kosong, menyelam ke dalam tanah seperti menyelam ke dalam air, berjalan di permukaan air seperti berjalan di permukaan tanah padat, terbang seperti burung, memegang matahari dan bulan dengan tangan, pergi mengunjungi alam-alam para Brahma (sejenis dewa yang amat tinggi).
· Telinga dewa (dibbasota) diterangkan seperti kemampuan untuk mendengar suara yang di luar jangkauan telinga manusia biasa, yaitu suara-suara dari alam astral dan alam manusia, baik jauh maupun dekat.
· Telepati, seperti dinyatakan oleh namanya, adalah kemampuan untuk melihat ke dalam pikiran-pikiran mahluk lain, No. 4, 5 dan 6 telah diterangkan di dalam No. 28, Kelompok Tiga.
Nilai: Perbuatan-perbuatan luar biasa ini, kecuali yang terakhir, seolah-olah mustahil bagi pikiran manusia modern dan harus diperhatikan bahwa lima kemampuan ini bukanlah merupakan tujuan mengikuti ajaran Sang Buddha. Mereka (lima yang pertama) akan datang sebagai suatu hasil tambahan terhadap mereka yang telah memiliki kemampuan-kemampuan seperti ini pada masa kehidupan mereka yang telah lampau dan mereka tidak begitu penting apabila dibandingkan dengan tujuan terakhir umat Buddhis, yaitu penghancuran nafsu secara mutlak.
Analogi: Akan tetapi, bagi mereka yang kurang percaya akan kemungkinan-kemungkinan mereka, dapat ditarik suatu persamaan dari kenyataan kehidupan kita sehari-hari; sebagai berikut:
Menciptakan rangkapan-rangkapan dari satu orang dapat dibandingkan dengan seseorang yang melakukan banyak fungsi, seperti seorang Raja yang kekuasaannya meliputi banyak kota dan negara. Perbuatan kebalikan menciptakan satu dari banyak orang mempunyai persamaan dengan persaudaraan Sangha agama Buddha yang menekankan kesatuan dan ketunggalan, berbicara dengan satu suara dan berbuat dengan satu pikiran, walaupun pada kenyataannya persaudaraan Sangha terdiri dari anggota-anggota individu yang tak terhitung banyaknya. Masuk ke dalam tanah seperti masuk ke dalam air dapat dibandingkan dengan alam jasmani, yaitu menggali sebuah saluran untuk jalan kereta dan mobil; terbang di udara dapat dibandingkan dengan penerbangan kapal udara; memegang matahari dan bulan dapat dibandingkan dengan mempelajari sifat-sifat benda angkasa melalui ilmu perbintangan, sekarang dengan mana gerhana-gerhana dapat diperhitungkan pada detik yang tepat; pergi mengunjungi alam-alam dari para deva-Brahma dapat dibandingkan dengan perhitungan orbit-orbit dan pengetahuan kenyataan-kenyataan lain mengenai benda-benda angkasa luar. Telinga dewa dapat dibandingkan dengan kemampuan kita mendengar sesuatu yang jauh jaraknya melalui telepon dan radio; mata dewa dapat dibandingkan dengan televisi dan sinar X; melihat kembali kehidupan-kehidupan yang telah lampau dapat dibandingkan dengan pengetahuan tentang sejarah.
· CATATAN :
· Ini adalah beberapa persamaan pada alam-alam jasmaniah dengan abhiñña atau perbuatan bathin seperti telah disebutkan dalam kitab-kitab suci. Penting dicatat bahwa, keajaiban seperti perbuatan-perbuatan ilmiah ini, tidak lain hanyalah hasil dari bathin atau bagian pemikiran manusia yang terkonsentrasikan pada penguasaan dan pengontrolan materi. Ini menjadi contoh dari perbuatan jasmani atau abhiñña, yang mungkin apabila bathin telah ditenangkan dan dilatih secara sempurna serta dipusatkan pada materi yang lebih halus daripada yang kita ketahui pada saat sekarang (tetapi sekalipun demikian mereka adalah tetap materi). Dengan kata lain, perbuatan keajaiban itu adalah sesuai dengan hukum sebab-akibat. Apabila sebab diperlengkapi maka akibat adalah pasti. Perbedaannya adalah: bahwa pada jaman modern pikiran manusia lebih banyak terlibat dalam materi kasar daripada orang-orang jaman dahulu.
2. KEJAHATAN-KEJAHATAN YANG BERAT (ABHITHANA).
a. Membunuh ibu.
b. Membunuh bapak.
c. Membunuh seorang arahat.
d. Melukai diri seorang Buddha sampai meneteskan darahnya keluar.
e. Menyebabkan suatu perpecahan persaudaraan Sangha.
f. Mengikuti dan mengajarkan agama-agama lain (hanya untuk para bhikkhu).
An. Cha. 22/448
· KETERANGAN
· Lima yang pertama adalah kejahatan besar bagi setiap orang, walaupun yang kelima lebih cenderung untuk dilakukan oleh para bhikkhu daripada umat awam, tetapi yang ke-enam khusus dimaksudkan kepada para bhikkhu yang meskipun mengenakan jubah bhikkhu dan menyatakan diri untuk menjadi bhikkhu, tetapi dengan tidak tahu malu mengajarkan cara-cara agama lain dengan mengorbankan agama sendiri. Ini adalah seperti suatu perbuatan penghianatan.
· Lima yang pertama telah dibicarakan dalam Kelompok Lima, 'kejahatan-kejahatan yang terbesar', dari istilah Pali: Anantariyakamma.
3. KECENDERUNGAN ATAU WATAK (CARITA)
a. Watak kenafsuan (ragacarita)
b. Watak kebencian (dosacarita)
c. Watak ketidaktahuan (mohacarita)
d. Watak kehawatiran atau pikiran-pikiran yang tidak terkendalikan (vitakkacarita)
e. Watak yang mudah percaya (saddhacarita)
f. Watak intelek (buddhicarita)
Vis. Ka. Pa. 627
· KETERANGAN
· Mereka yang berwatak kenafsuan sensitif dengan nilai-nilai keindahan dan keharmonian, mudah sekali terpengaruh oleh kecantikan wanita (atau ketampanan lelaki), dan juga keindahan musik, literatur, dan lain-lain yang umumnya menimbulkan perasaan kesenangan indera. Dalam hal praktek peninggalan yang telah maju, mereka harus diimbangi dengan obyek meditasi yang mencerminkan hakekat sebenarnya dari badan jasmani, seperti hal-hal yang menjijikkan dari badan jasmani atau makanan.
· Mereka yang berwatak kebencian adalah mudah tersinggung oleh hasutan yang paling kecil sekalipun. Mereka perlu bermeditasi pada kesucian dari cinta kasih dan kasih sayang, berdasarkan pada kebenaran dari akibat-akibat kamma (vipaka) yang pasti dimiliki oleh setiap orang pada setiap saat pemikiran, pembicaraan, perbuatan.
Suatu watak ketidaktahuan ditandai oleh kurangnya kekuatan kecerdasan. Itu harus diimbangi dengan usaha-usaha belajar, dan mendekati serta meminta penjelasan orang-orang mulia yang mengetahui lebih baik.
· Pikiran yang tidak terkendali atau kacau sering menimbulkan kekhawatiran atau perasaan cemas akan kesukaran-kesukaran. Ini harus ditaklukkan dengan obyek meditasi yang memusatkan perhatian pada satu hal seperti meditasi pada pernafasan.
· Sifat mudah percaya adalah juga tanda dari kecerdasan. Itu dapat dipergunakan sebaik-baiknya dengan perenungan terhadap obyek meditasi yang pada dasarnya berguna dan membantu, seperti sifat-sifat mulia Sang Buddha, Dhamma dan Sangha.
· Kecerdasan tidak selalu merupakan keuntungan. Kelebihan darinya dapat menjadi suatu kerugian, apabila tanpa suatu sikap bathin yang pantas atau tidak berdasarkan pada pengetahuan yang benar, dapat menyeret seseorang ke dalam jurang pandangan-pandangan ekstrim (No. 14, Kelompok Tiga). Jadi kecerdasan harus disertai dengan pengetahuan benar, (pengetahuan yang memberikan gambaran nyata mengenai kehidupan dan fenomena). Proses penganalisaan yang dianjurkan dalam agama Buddha seperti Tiga Corak Umum, Lima Kelompok Kehidupan dan Empat Kebenaran Mulia, serta yang lain, adalah unsur-unsur baik untuk dicerna dan diasimilisasikan oleh para individu yang memiliki jenis kecenderungan ini.
4. SIFAT-SIFAT MULIA SANG DHAMMA (DHAMMAGUNA)
a. Itu adalah Dhamma yang telah diajarkan oleh Sang Buddha (svakkhato bhagavatadhammo),
b. Dapat dibuktikan sendiri kebenarannya (sanditthiko)
c. Tidak mengenal waktu (akaliko),
d. Mengundang semua orang untuk datang dan melihat sendiri (ehipassiko),
e. Dapat dipraktekkan atau dicapai (opanayiko),
f. Untuk dibuktikan atau disadari oleh masing-masing individu (paccattamveditabbo viññuhi).
An. Ti. 20/226
· KETERANGAN
· Sifat mulia Dhamma yang pertama, telah diajarkan dengan sempurna oleh Sang Buddha, menunjukkan kebenaran-Nya atau dalam segala hal sesuai dengan Ajaran Beliau, tak ada yang bertentangan dengan apa yang Beliau ajarkan dan apa yang benar. Itu juga menunjukkan pada keadaan-nya yang sistematis, yang dinyatakan dalam kalimat: 'indah pada permulaan, indah pada pertengahan dan indah pada akhirnya, baik dalam istilah-istilah bahasa maupun arti yang dikandungnya. Juga, Dhamma, benar-benar murni'. Ini adalah keterangan mengenai sifat mulia pertama: telah diajarkan dengan sempurna.
· Yang kedua, dapat dibuktikan sendiri kebenaran-nya menunjukkan kenyataan bahwasanya Dhamma dapat dibuktikan sendiri, tidak perlu bagi seorang siswa untuk tergantung pada suatu pengakuan orang lain atas penyadarannya sendiri.
· Tidak mengenal waktu berarti tidak dibatasi oleh waktu, tidak menjadi tua atau ditinggalkan jaman dengan beredarnya sang waktu. Bilamanapun Dhamma dapat dipraktekkan, hasil-hasilnya dapat diharapkan.
· Sifat mulia 'datang dan melihat 'menunjukkan bahwa Dhamma adalah suatu ajaran yang amat sempurna, karena-nya Dhamma itu patut disebarkan, dan para pendengarnya tidak pernah berada dalam suatu posisi yang kurang menyenangkan.
· Dapat dipraktekkan adalah sifat mulia dari Dhamma yang lain. Menunjukkan bahwa Dhamma dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dalam segala corak kehidupan walaupun tingkat kemampuan praktek dari tiap-tiap individu mungkin berbeda-beda sesuai dengan tingkat kebijaksanaan dan kedudukan sosial mereka masing-masing.
· Untuk disadari dan dibuktikan oleh masing-masing individu adalah corak penting dari Dhamma lain-nya. Ini berarti tidak ada seorang juru selamat, adalah tidak mungkin seorang makan atau minum untuk menghilangkan rasa lapar dan haus orang lain. Kesucian, cinta kasih, dan kasih sayang dapat diwujudkan dengan memberikan nasehat atau suatu anjuran, tetapi apabila telah sampai pada persoalan untuk berusaha atau membuat suatu keputusan, setiap individu berhak untuk berbuat demikian bagi dirinya sendiri.
· Keterangan-keterangan ini berdasarkan pada praktek Dhamma yang sistematis, dimana hasilnya akan menunjukkan tingkat kemuliaan yang selalu bertambah seperti yang telah dituliskan di atas. Mereka tidak mengikuti pendapat-pendapat lama yang hanya ditujukan pada tingkat hasil yang tertinggi, yang disebut Sang Hasil (No. 34 Kelompok Tiga). Suatu sikap demikian adalah pandangan yang terlalu jauh dan tidak memberikan dorongan bagi sebagian besar orang yang bersemangat dan berjuang untuk mencapai kesempurnaan. Apa gunanya langkah-langkah praktek permulaan dan pertengahan apabila sebaliknya dari usaha-usaha yang gigih dari para pencari, tidak ada hasil nyata dari tingkat apapun yang dapat diharapkan dari mereka? Jadi keterangan-keterangan di atas diberikan dengan mengingat akan kenyataan bahwa akibat langsung dari suatu praktek yang sistematis haruslah tidak dilupakan, karena hanya dengan akibat-akibat semacam ini, seorang pencari dapat memiliki suatu semangat baru untuk tetap berjuang lebih jauh menempuh Sang Jalan.
5. BENTUK-BENTUK MENARIK YANG MENIMBULKAN KESENANGAN (PIYARUPA SATARUPA)
Ada sepuluh kelompok yang masing-masing terdiri atas enam sebagai berikut:
1. Organ-organ indria: mata, telinga, hidung, lidah, badan jasmani, pikiran.
2. Perangsang-indria: obyek-obyek yang dapat dilihat, suara, bau, rasa dan obyek-obyek pikiran.
3. Kesadaran-indria (viññana): kesadaran mata, kesadaran telinga, kesadaran hidung, kesadaran lidah, kesadaran tubuh, kesadaran pikiran.
4. Kontak (phassa): kontak mata, kontak telinga, kontak hidung, kontak lidah, kontak tubuh, kontak pikiran.
5. Perasan yang timbul karena kontak (samphassaja vedana) : perasaan yang timbul karena kontak mata, perasaan yang timbul karena kontak telinga, perasaan yang timbul karena kontak hidung, perasaan yang timbul karena kontak lidah, perasaan yang timbul karena kontak jasmani, perasaan yang timbul karena kontak pikiran.
6. Pencerapan (sañña): pencerapan obyek yang dilihat, pencerapan suara, pencerapan bau, pencerapan rasa, pencerapan sentuhan, pencerapan pikiran.
7. Kehendak yang timbul dari pencerapan (saññacetana) : Kehendak yang timbul dari pencerapan obyek yang dilihat, kehendak yang timbul dari pencerapan suara, kehendak yang timbul dari pencerapan bau, kehendak yang timbul dari pencerapan rasa, kehendak yang timbul dari pencerapan sentuhan, kehendak yang timbul dari pencerapan pikiran.
8. Nafsu keinginan akan rangsangan indria (tanha) : nafsu keinginan akan obyek yang dapat dilihat, nafsu keinginan akan suara, nafsu keinginan akan bau, nafsu keinginan akan rasa, nafsu keinginan akan sentuhan, nafsu keinginan akan obyek pikiran.
9. Perenungan (vitakka): perenungan terhadap obyek yang dilihat, perenungan terhadap suara, perenungan terhadap bau, perenungan terhadap rasa, perenungan terhadap sentuhan, perenungan terhadap obyek-obyek pikiran.
10. Perenungan yang dipertahankan (vicara) : Perenungan yang dipertahankan terhadap obyek yang dilihat, perenungan yang dipertahankan terhadap suara, perenungan yang dipertahankan terhadap bau, perenungan yang dipertahankan terhadap rasa, perenungan yang dipertahankan terhadap sentuhan, perenungan yang dipertahankan terhadap obyek-obyek pikiran.
Di. M. 10/343
· KETERANGAN
· Pengertian mengenai kesadaran (no. 2) dan kontak (no. 4) adalah agak kabur tentang mengapa harus terdapat suatu perbedaan demikian.
· Di dalam keranjang Abhidhamma (No. 22, Kelompok Tiga) mengenai Hukum Asal Mula yang saling bergantungan, kontak dikatakan timbul dari organ-organ indria. Di sana tidak disebutkan mengenai kesadaran. Kalimat Palinya adalah : 'Salayatana paccaya phasso'.
· Akan tetapi, di dalam keranjang Sutta kontak adalah kata benda kolektif yang menunjukkan gabungan dari organ-organ indria, perangsang indria (obyek) dan kesadaran indria. Kalimat Palinya adalah cakkhuñcapaticca rupe ca uppajjati cakkhuviññanamtiññam sangati phasso.
· Akan tetapi, kemungkinan hanya penglihatan atau pendengaran saja yang seharusnya disebut kesadaran (bagian 3). Apabila di dalam saat berikutnya adalah sebab dari perasaan sebagai akibatnya (bagian 5) itu seharusnya disebut kontak (bagian 4). Tetapi hal ini terserah pada pendapat para sarjana.
· Semua sepuluh kelompok yang masing-masing terdiri atas enam di atas adalah dasar atau asal mula dari nafsu keinginan (tanha), dengan akibat yang mutlak pada watak. Harus diketahui juga bahwa hanya kategori menyenangkan yang disebutkan, yang tidak menyenangkan telah dimengerti tanpa disebutkan. Ini mungkin karena suatu nafsu keinginan yang telah berakar demikian dalam terhadap hal-hal yang menyenangkan sehingga secara otomatis di dalamnya juga terdapat kebencian terhadap apa yang tidak menyenangkan. Dan kebencian ini tidak lain hanyalah suatu potensi, segi yang tidak dapat dipisahkan dari nafsu keinginan. Apabila nafsu keinginan dihancurkan, maka secara spontan kebencian menjadi hancur pula.
· Kembali pada sepuluh kelompok yang masing-masing terdiri atas enam ini, perlu juga diketahui bahwa mereka adalah kedudukan-kedudukan dimana kekuatan nafsu keinginan ditujukan dan darimana kekuatan itu lenyap.
6. ALAM-ALAM DEWA YANG BERSIFAT KE-INDRIA-AN
Berikut ini adalah nama-nama dari enam alam ini, dari tingkat yang terendah sampai ke tingkat yang tertinggi:
- Catumaharajika
- Tavatimsa
- Yama
- Tusita
- Nimmanarati
- Paranimmitavasavatti
Sam. Maha. 19/531
· KETERANGAN
· Penjelasan mengenai alam kedewaan ini nampaknya tidak mempunyai hubungan langsung dengan ajaran Sang Buddha dan tidak menarik bagi mereka yang bersifat intelek, yang cenderung memilih pada segi ajaran yang praktis dan bersifat intelektual. Ada juga mereka yang percaya dengan keterangan secara terperinci mengenai alam-alam ke-dewa-an dan ada juga mereka yang hanya cenderung pada simbolisme. Walaupun demikian berikut adalah suatu keterangan ringkas mengenai beberapa alam yang telah disebutkan di atas karena mereka berhubungan dengan kehidupan Sang Budha.
· Yang kedua, Tavatimsa dan Tusita (yang keempat) dikatakan berhubungan antara satu dengan yang lain pada masa kehidupan Buddha, dimana dikatakan Beliau pernah sekali pergi mengunjungi alam Tavatimsa dan berdiam tiga bulan di sana selama musim hujan. Pada waktu itu ibu Beliau (Devi Maya) yang wafat setelah tujuh hari kelahiran Beliau (Sang Buddha), telah dilahirkan kembali di dalam alam Tusita, dan pergi menjumpai Sang Buddha di alam Tavatimsa untuk mendengarkan khotbah Beliau. Di alam inilah Sang Buddha dikatakan telah membabarkan Abhidhamma, keranjang metafisika (lihat No. 22, Kelompok Tiga) kepada ibunya di tengah-tengah suatu kumpulan para dewa.
Perlu juga dicatat bahwa alam Tusita nampaknya adalah sebagai tempat dimana para mahkluk agung seperti para Bodhisatta atau calon Buddha. Ayah dan ibu Sang Buddha sendiri dikatakan berdiam di alam ini. Bahkan Sang Buddha sendiri, sebelum dilahirkan kembali sebagai Pangeran Siddhattha, juga dikatakan berdiam di sini dimana Beliau telah diundang oleh para Deva untuk lahir sebagai seorang manusia sehingga Beliau dapat menjadi seorang Buddha, seorang yang telah mencapai Penerangan Sempurna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar