KISAH KUNDALAKESI THERI
Dhammapada VIII: 102-103
Kundalakesi adalah putri orang kaya dari Rajagaha. Ia
senang dengan kehidupan menyendiri. Suatu hari ia kebetulan melihat seorang
pencuri yang sedang digiring untuk dibunuh dan ia secara tiba-tiba jatuh cinta
padanya. Hal itu disampaikan kepada orang tuanya. Tentu saja orang tuanya
menolak. Tetapi Kundalakesi tak mau mundur setapak pun. Akhirnya orang tuanya
mengalah dan membayar sejumlah uang untuk kebebasan pencuri tersebut.
Mereka berdua
segera dinikahkan. Meskipun Kundalakesi mencintai suaminya dengan sangat,
suaminya tetaplah seorang pencuri, yang hanya tertarik kepada harta dan
permatanya.
Suatu hari, suaminya membujuk untuk mengambil semua
permatanya, dan menuntun Kundalakesi pergi ke sebuah gunung.
Katanya: "Adinda, aku ingin melakukan persembahan
kepada makhluk halus penjaga gunung yang telah menolong hidupku ketika akan
dibunuh".
Kundalakesi menurut dan pergi mengikuti suaminya.
Ketika mereka sampai di tujuan, suaminya berkata:
"Sekarang kita berdua telah sampai di tujuan. Maka engkau akan kubunuh
untuk mendapatkan semua permatamu itu!"
Dengan ketakutan Kundalakesi memohon: "Jangan!
Aku jangan kau bunuh. Ambillah semua hartaku, tetapi selamatkanlah
nyawaku!"
"Membiarkanmu hidup?" ejek suaminya.
"Jangan-jangan nanti engkau malahan melaporkan bahwa permatamu itu
kurampas. Tidak bisa! Kau harus kulenyapkan untuk menghilangkan saksi!"
Dalam keputus-asaannya Kundalakesi menyadari bahwa
mereka sekarang sedang berada di tepi jurang. Ia berpikir bahwa ia seharusnya
berhati-hati dan cerdik. Jika ia mendorong suaminya ke jurang, mungkin
merupakan satu kesempatan untuk dapat hidup lebih lama lagi.
Kemudian dengan mengiba ia berkata kepada suaminya:
"Kakanda, kita berkumpul bersama-sama ini hanya tinggal beberapa saat
lagi. Bagaimana pun juga, engkau adalah suamiku dan orang yang sangat kucintai.
Maka, ijinkanlah aku memberikan penghormatan kepadamu untuk yang terakhir
kalinya. Hanya itu saja permintaan terakhirku. Semoga kakanda mau mengabulkan
permintaan terakhir isterimu ini".
Setelah berkata seperti itu, Kundalakesi mengitari
laki-laki itu dengan penuh hormat, sampai tiga kali.
Pada kali terakhir, ketika ia berada di belakang
suaminya, dengan sepenuh kekuatannya ia mendorong suaminya ke jurang, dan jatuh
ke tebing batu yang terjal.
Setelah kejadian itu, ia tidak berkeinginan lagi untuk
kembali ke rumah. Ia meninggalkan semua permata-permatanya dengan
menggantungnya di sebuah pohon, dan pergi, tanpa tahu kemana ia akan pergi.
Secara kebetulan ia sampai di tempat para pertapa
pengembara wanita (paribbajika) dan ia sendiri menjadi seorang pertapa
penngembara wanita. Para paribbajika lalu mengajarinya seribu problem pandangan
menyesatkan.
Dengan kepandaiannya ia menguasai apa yang diajarkan
mereka dalam waktu singkat. Kemudian gurunya berkata kepadanya untuk pergi
berkelana dan jika ia menemukan seseorang yang dapat menjawab semua
pertanyaannya, jadilah kamu muridnya.
Kundalakesi berkelana ke seluruh Jambudipa, menantang
siapa saja untuk berdebat dengannya. Oleh karena itu ia dikenal sebagai
"Jambukaparibbajika".
Pada suatu hari, ia tiba di Savatthi. Sebelum memasuki
kota untuk menerima dana makanan, ia membuat sebuah gundukan pasir dan
menancapkan sebatang ranting eugenia di atasnya. Suatu tanda yang biasa ia
lakukan untuk mengundang orang lain dan menerima tantangannya.
Sariputta Thera menerima tantangannya.
Kundalakesi menanyakan kepadanya seribu pertanyaan dan
Sariputta Thera berhasil menjawab semuanya.
Ketika giliran Sariputta Thera bertanya kepadanya,
Sariputta Thera hanya bertanya seperti ini: "Apa yang satu itu? (Ekam nama
kim)".
Kundalakesi lama terdiam tidak dapat menjawab.
Kemudian ia berkata kepada Sariputta Thera untuk mengajarinya agar ia dapat
menjawab pertanyaannya. Sariputta berkata bahwa ia harus terlebih dahulu
menjadi seorang bhikkhuni.
Kundalakesi kemudian menjadi seorang bhikkhuni dengan
nama Bhikkhuni Kundalakesi. Dengan tekun ia mempraktekkan apa yang diucapkan
oleh Sariputta, dan hanya dalam beberapa hari kemudian, ia menjadi seorang
arahat.
Tak lama setelah kejadian tersebut, para bhikkhu
bertanya kepada Sang Buddha: "Apakah masuk akal Bhikkhuni Kundalakesi
menjadi seorang arahat setelah hanya sedikit mendengar Dhamma?"
Mereka juga menambahkan bahwa wanita tersebut telah
berkelahi dan memperoleh kemenangan melawan suaminya, seorang pencuri, sebelum
ia menjadi paribbajika.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
102 dan 103 berikut ini:
Daripada seribu bait syair yang tak
bermanfaat
adalah lebih baik satu kata Dhamma
yang dapat memberi kedamaian kepada
pendengarnya.
(102)
Walaupun seseorang dapat menaklukkan
ribuan musuh
dalam ribuan kali pertemburan,
namun sesungguhnya penakluk terbesar
adalah
orang yang dapat menaklukkan dirinya
sendiri.
(103)
]
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah
Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta,
1997.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar