TENTANG KEBENARAN
Berbicara tentang Kebenaran, itu
adalah biasa. Kebanyakan agama mengakui bahwa mereka – hanya kepunyaan mereka
masing-masing – yang mengandung Kebenaran (kalau tidak begitu bagaimana mereka
bisa mempromosikan keberadaan mereka, dan mendapatkan serta mempunyai
pengikut?). Tetapi siapa yang dapat mempertunjukkannya? Ketika ditanyai tentang
hal itu, mereka meminta dengan tegas agar kita harus mempercayainya sebelum
kita dapat melihatnya.
Banyak dari sekte/aliran
kepercayaan yang ada tersebut mengakui bahwa ajaran mereka saja yang benar,
sedangkan yang lainnya tidak. Tetapi siapakah yang benar? Apakah mereka
semuanya benar, atau apakah mereka semuanya salah? Apakah mereka sebagian benar
atau sebagian salah? Bagaimana kita bisa tahu? Mungkin kita bisa tahu dengan
mencoba menemukan APA yang benar, dan SIAPA yang benar.
Pertama-tama, Kebenaran haruslah bersifat universal, kalau
tidak ia tidak akan menjadi Kebenaran, bukankah demikian?
Sebagai contoh, api adalah panas
dan air adalah basah; mereka sudah begitu sebelumnya, juga begitu sekarang, dan
akan begitu nantinya; ini tidak dapat disangkal atau dibantah.
Kedua, karena mudah menyebar ke
semua penjuru, ia tidak dapat digenggam dan dimonopoli oleh tangan-tangan kotor
yang sedikit; tidak pula ia dapat diklaim oleh pikiran-pikiran picik yang
ekstrim, seperti barang-barang yang bisa dimiliki. Ia jauh melampaui apapun
yang dapat kita sebut sebagai tanda kemilikan, seperti “AKU”, “DIRIKU”. dan
“MILIKKU”. Tidak ada kotak, pembatas, dinding, atau nama yang dapat
menggapainya. Demikian
pula kata “Kebenaran”, adalah bukan kebenaran.
Apakah yang dikatakan oleh
Sang Buddha tentang Kebenaran?
Beliau menjelaskan tentang bagaimana
segala sesuatunya, dari sebuah batu kerikil sampai dengan bintang-bintang yang
ada di alam semesta yang maha luas ini, yaitu tunduk kepada hukum-hukum.
Semuanya terkena oleh hukum ini, yaitu hukum tentang Sebab-Akibat/ Tiada satu
pun – baik makhluk hidup maupun benda mati – yang berada di luar jangkauan.
Hukum ini, diikuti pula dengan segala sesuatunya selalu dalam keadaan berubah,
menjadi sesuatu yang lain, seperti yang telah dibuktikan oleh ilmu pengetahuan.
Tidak ada sesuatu yang terjadi secara
kebetulan di Alam Semesta ini; semuanya adalah akibat dari berbagai
sebab. Coba perhatikan segenggam pasir di pantai dengan berbagai sebabnya.
Pikirkan segenggam pasir di pantai dengan apa yang terkait dengannya; satu hal
menjadikan hal lainnya, yang merupakan satu mata rantai yang bersambungan; ia
tidaklah semata-mata pasir yang sederhana. Jika anda mencoba untuk menelusuri
asalnya, anda akan mendapatkan bahwa seluruh semesta ini terlibat di dalamnya,
dan tetap belum juga menemukan asalnya. Agama Buddha mengatakan bahwa Semesta
ini dapat diketemukannya di segenggam pasir dan di segala sesuatunya juga!
Ini berarti bahwa segala sesuatu
adalah saling berkaitan, dan karena itu segala sesuatu adalah saling
bergantungan satu dengan lainnya, meskipun kita biasanya tidak melihat hal ini,
karena hal ini membutuhkan insight yang dalam, yang menembus dan jelas. Kita
bisa membandingkan semesta ini dengan sebuah jaring ikan mengangkat satu
simpulnya, maka anda mengangkat keseluruhan jaring itu. Segala sesuatu adalah
suatu bagian kecil dari suatu keseluruhan, karena ia terdiri dari atom-atom,
yang tersusun dari partikel-partikel yang lebih kecil, yaitu elektron-elektron,
proton-proton, dan netron-netron, yang selalu dalam keadaan bergerak. Oleh
karena itu, apa yang kita sebut ’benda padat’ adalah sama sekali tidak padat,
tetapi hanyalah berupa energi. Tiada sesuatupun yang eksis di dalam dirinya dan
oleh dirinya sendiri; oleh karena itu, segala sesuatu adalah kosong dari ‘diri’.
Akan tetapi, ini adalah sesuatu
yang tidak diinginkan sama sekali oleh kebanyakan orang; yang mereka inginkan
adalah sesuautu yang dapat mereka pegang, miliki, dan akui sebagai ‘milikku,
bukan milikmu’; mereka berharap mampu mengeluarkan yang lain-lain dari
Kebenaran MEREKA. Dari sinilah mendorong timbulnya begitu banyak teori tentang
Kebenaran.
Apakah kita mengetahuinya atau tidak,
suka atau tidak, percaya atau tidak, itu tidaklah penting; kita semua tunduk
kepada hukum-hukum, disapu bersih, menjadi yang lainnya.
Lebih lanjut, hukum-hukum ini
bukanlah sesuatu yang suci atau sakral; berdoa kepada mereka untuk meminta
belas kasihan atau pengampunan, tak akan mengubah apapun; tidak akan ada
jawaban. Bila kita mengerti tentang mereka dan belajar bagaimana menggunakan
mereka, bertindak sesuai dengannya dan tidak bertentangan dengannya, kita akan
tahu bagaimana mengarahkan hidup kita, kita akan memegang sendiri
roda-kemudinya.
Untuk dapat melihat bekerjanya
hukum-hukum ini, tidaklah membutuhkan kepercayaan sama sekali, karena ia selalu
terjadi di dalam dan di sekitar kita. Jika kita memilih untuk mengabaikannya,
seperti kebanyakan dari kita begitu, dan berpura-pura sebagai yang sebaliknya,
maka itu bukanlah kesalahan dari apa yang ada, tetapi dari ketidak-dewasaan
kita sendiri.
Mengenai banyaknya orang-orang
yang mengakui bahwa mereka telah menemukan Kebenaran (atau mengajarkan tentang
Ketuhanan), Sang Buddha memberikan
sebuah gambaran.
Beliau berkata: “Andaikata ada seorang pria yang mengatakan bahwa ia
mencintai wanita yang paling cantik di dunia ini, tetapi siapakah itu, ketika
ditanya namanya, mengatakan ia tidak tahu. Ketika lebih lanjut ditanya tentang
di mana ia tinggal, siapa orang tuanya, berapa usiannya, apa warna rambut dan
kulitnya, dan sebagainya, ia juga mengatakan bahwa ia tidak tahu. Dari
pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban tersebut, itu telah mengungkapkan bahwa
si pria yang mengatakan mencintai wanita yang paling cantik di dunia ini, tanpa
sebanyak itu melihat wanita itu atau mengetahui apapun tentang wanita itu,
hanyalah bicara omong kosong”.
Orang-orang
berharap./berandai-andai yang banyak, tetapi memiliki sedikit pengetahuan
tentang hal-hal yang mereka harapkan. Apa yang tertulis di satu buku atau di
dalam buku-buku yang setinggi gunung, tak akan pernah menjadi bukti untuk
meyakinkan tentang Kebenaran, karena Kebenaran haruslah dialami, dirasakan
secara langsung oleh diri sendiri.
Zen, salah satu aliran dari agama Buddha,
mengajarkan: “Tiada sesuatu yang bisa dipercaya/digantungi dari
kitab-kitab suci atau sumber-sumber yang di luar, melainkan hanya melalui
penglihatan yang langsung ke dalam batin!”
Siapapun bisa menulis sebuah buku
– lihat saja seperti buku ini ! – tetapi apakah ini berarti isinya adalah
benar?
Pendekatan agama Buddha terhadap
kehidupan adalah dengan meneliti sebagaimana ia adannya, bukan dengan cara
percaya atau perkiraan. Ia tidak berusaha untuk menjelaskan asal mula dari
segala sesuatu, dan tersenyum kepada mereka yang melakukan itu, karena tidak
seorangpun yang tahu, dan tidak pula bisa diketahui. Lebih lanjut, ia
menganggap usaha-usaha untuk menemukannya sebagai hal yang sia-sia dan
buang-buang waktu, karena asal mula pertama dari segala sesuatu tidaklah dapat
dilihat/diketahui. Akhir dari sesuatu adalah selalu awal dari sesuatu lainnya,
satu benda/hal berubah menjadi benda/hal yang lainnya, dan karenanya tidak ada
awal/asal mula atau akhir dari segala sesuatu. Karena masa lalu telah berlalu,
dan satu-satunya waktu yang selalu ada hanyalah saat SEKARANG, maka
penekanannya adalah pada KEHIDUPAN – bukan hanya pada KEBERADAANNYA – pada saat
ini.
Pencarian terhadap Kebenaran
adalah suatu kontradiksi, seperti membawa sebuah lilin untuk mencari Matahari.
Bukankah matahari selalu bersinar, apakah kita mencarinya atau tidak? Mengapa
kita membuat segala sesuatu menjadi sebuah misteri? Kebenaran bukanlah sebuah
gagasan; gagasan-gagasan tentang Kebenaran adalah bukan suatu Kebenaran. Setiap
orang mempunyai gagasan tentang Kebenaran – yang mentah ataupun yang rumit –
tetapi mereka biasannya bersifat subyektif, penggambaran yang berpusat pada
diri./ego.
Kebenaran haruslah terdapat di mana-mana,
pada segala sesuatunya. Tetapi kita tidak melihatnya karena kita
mencarinya di jalan yang salah – karena, kenyataannya, kita lalai. Pikiran kita
biasannya berada di suatu masa lainnya, tidak di saat ini, bermimpi tentang
masa lalu atau masa yang akan datang, meragukan tentang Kebenaran atau
Pencerahan, Surga atau neraka. Dan mungkin kita tidak ingin melihat Kebenaran,
karena itu mungkin tidak sesuai dengan gagasan dan keinginan kita. Jadi kita
berbelok dan mencari Kebenaran-Kebenaran lainnya, dan yang lainnya, dan yang
lainnya, dan kita tak pernah menemukan yang sebenarnya / yang sejati.
[Sumber: Against The Stream, by beachcomber, Malaysia,1998. Alih Bahasa:
Lindawati T. Dikutip dari Bk Mutiara Dhamma XIV ]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar