PENGARUH PENGENDALIAN PIKIRAN
DALAM KEHIDUPAN
Oleh : Bhikkhu
Jotidhammo
“Tak ada sesuatupun yang
tidak bermanfaat
seperti halnya pikiran
yang tidak terkendali.
Sesungguhnya pikiran yang
tak terkendali tidak bermanfaat.
Tak ada sesuatupun yang
bermanfaat
seperti halnya pikiran
yang terkendali.
Sesungguhnya pikiran yang
terkendali adalah yang bermanfaat.”
(Anguttara Nikaya I,4)
A. PIKIRAN, CORAK MAUPUN SIFATNYA
Pikiran merupakan proses
psikis yang menurut ajaran Buddha terdiri dari empat hal, yaitu :
1. Kesadaran
2. Pencerapan
(persepsi)
3. Perasaan
(sensasi)
4. Bentuk
pemikiran (buah pikir)
Proses
pertama, kesadaran, adalah bagian pikiran yang menerima objek, tindakan
kesadaran tidak membeda-bedakan, atau kognisi.
Bagian ini semata-mata hanyalah mencatat adanya suatu fenomena, menerima
suatu masukan, baik fisik maupun mental.
Kesadaran mencatat data mentah dari pengalaman, tanpa menempelkan label
penamaan apapun, tanpa memberikan penilaian.
Proses psikis kedua adaalah pencerapan (persepsi),
tindakan mengenal. Bagian pikiran ini
menunjukkan apapun yang telah dicatat oleh kesadaran. Pencerapan ini membeda-bedakan, melabeli,
dan mengelompok-ngelompokkan data mentah yang masuk.
Bagian pikiran yang ketiga adalah perasaan (sensasi).
Sebenarnya segera setelah suatu objek diterima, sensasi muncul, suatu tanda
bahwa sesuatu sedang terjadi. Selama masukan ini tidak
dievaluasi, sensasi tetap netral. Tetapi segera setelah suatu nilai dikaitkan
pada data yang masuk itu, maka sensasi berubah menjadi menyenangkan atau tidak
menyenangkan, tergantung pada evaluasi yang diberikan.
Bila sensasinya menyenangkan,
timbul keinginan untuk menahan dan menguatkan pengalaman itu.
Bila sensasinya tidak menyenangkan, timbul keinginan
untuk menghentikannya, untuk mengusirnya. Bentuk pemikiran bereaksi dengan suka
atau tidak suka.
Sebagai contoh bila telinga berfungsi normal dan orang
mendengar suara, kognisi bekerja. Bila
suara itu dikenali sebagai kata-kata dengan pengertian, berarti persepsi itu
sudah mulai berfungsi. Kemudian, sensasilah yang bermain.
Jika kata-kata itu berupa pujian, timbul sensasi yang menyenangkan. Jika
kata-kata itu berupa caci-maki, timbul sensasi yang tidak menyenangkan. Segera
bentuk pemikiran berperan, jika sensasinya menyenangkan, orang mulai
menyukainya, dan menginginkan lebih banyak kata-kata pujian lagi. Bila
sensasinya tidak menyenangkan, orang mulai tidak menyukainya, dan menginginkan
caci-maki itu berhenti. Langkah-langkah yang sama terjadi bila suatu indria
yang mana pun menerima suatu objek.
Empat proses mental ini berlangsung cepat sekali. Sang
Buddha meyatakan tidak ada suatu fenomena apapun yang datang dan pergi begitu
cepat secepat pikiran. Tidak mudah menunjukan bagaimana cepatnya pikiran yang
datang dan pergi.
Setiap saat indria mengalami kontak dangan objeknya, maka
empat proses mental ini terjadi dengan kecepatan seperti sinar dan terus-menerus
berulang sementara kontak berlanjut. Begitu cepatnya proses ini, sehingga orang
tidak menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Bila suatu reaksi tertentu sudah
lama berulang-ulang terus dan sudah menjadi bentuk yang nyata, maka baru pada
saat itulah pada tingkat sadar terbentuk pengertian akan hal itu.
Menurut kajian ilmu psikologi, kegiatan berpikir dapat
digolongkan sebagai berikut :
1.
Berpikir Asosiatif, yaitu proses berpikir di mana suatu ide merangsang timbulnya ide lain. Jalan pikiran dalam proses berpikir asosiatif tidak ditentukan atau
diarahkan sebelumnya, jadi ide-ide
timbul secara bebas. Jenis-jenis berpikir asosiatif antara lain adalah:
- Asosiasi Bebas.
Suatu
ide akan menimbulkan ide mengenai hal lain, yaitu hal apa saja tanpa ada batasnya.
Misalnya, ide tentang makanan dapat merangsang timbulnya ide tentang restoran,
atau dapur, atau nasi, atau anak yang belum sempat diberi makan, atau apa saja.
- Asosiasi
Terkontrol.
Suatu
ide tertentu akan menimbulkan ide mengenai hal lain dalam batas-batas
tertentu. Misalnya, ide tentang
"membeli mobil", akan merangsang ide-ide lain tentang harganya, atau
pajaknya, atau pemeliharaannya, atau mereknya, atau modelnya, tetapi tidak
merangsang ide tentang hal-hal lain diluar itu seperti peraturan lalu-lintas
dan lain-lain.
- Melamun.
Mengkhayal bebas,
sebebas-bebasnya tanpa batas, juga mengenai hal-hal yang tidak realitis.
- Berpikir
Artistik.
Proses berpikir yang
sangat subyektif. Jalan pikiran sangat dipengaruhi oleh pendapat dan pandangan
diri pribadi tanpa menghiraukan keadaan sekitar. Ini sering dilakukan oleh para
seniman dalam menciptakan karya seninya.
2. Berpikir
Terarah, yaitu proses berpikir
yang sudah ditentukan sebelumnya dan diarahkan kepada sesuatu, biasanya
diarahkan kepada pemecahan persoalan. Dua macam berpikir terarah, yaitu:
a. Berpikir
Kritis.
Membuat
keputusan atau pemilihan terhadap suatu keadaan.
b. Berpikir
Kreatif.
Berpikir untuk menemukan
hubungan-hubungan baru antara berbagai hal, menemukan pemecahan baru dari suatu
soal, menemukan sistem baru, menemukan bentuk artistik baru, dan sebagainya.
Meskipun
begitu cepat berlangsungnya proses pikiran itu, bukan berarti ia begitu saja
datang dan pergi, sebab ternyata berbagai kegiatan berpikir tersebut
mengkondisikan terjadinya tindakan dan ucapan.
Dalam Kitab Dhammapada Syair 2, Sang Buddha
mengatakan bahwa pikiran mendahului segala keadaan,
pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembuat. Jika seseorang berbicara atau
melakukan suatu tindakan dengan pikiran baik, maka kebahagiaan akan
menyertainya, bagaikan bayang-bayang yang tidak pernah terpisah dengan
bendanya.
Oleh karena itu ditinjau dari segi kemanfaatannya,
pikiran merupakan pemimpin kehidupan, penggerak kehidupan, keberadaan segala
kualitas yang baik maupun yang buruk dalam kehidupan ini disebabkan oleh
pikiran.
Pada berbagai kesempatan, Sang Buddha mengarakan pikiran
itu ibarat ikan yang baru dikeluarkan dari air, lalu ditaruk di tanah, ia
menggelepar-gelepar. Pikiran itu sungguh tidak tetap, berubah-ubah, sukar
dikendalikan, sulit dijaga, bergerak cepat, mengembara sesukanya. Oleh karena
itu sangat mudah pikiran dikuasai oleh nafsu-nafsu keinginan dan kemelekatan.
B.
APA PENYEBAB PIKIRAN SUKAR DIKENDALIKAN ?
Pada dasarnya pikiran itu bersih dan terang, tetapi ia
dikotori oleh rangsangan-rangsangan indria dan kekotoran batin pada saat adanya
kontak antara pikiran dengan objek-objek pikiran dari luar.
Objek-objek pikiran akan melewati enam indria manusia,
mata, telinga, hidung, lidah, kulit, dan otak. Mata akan menerima objek mata
yang berupa berbagai bentuk benda, huruf, warna dan lain-lain objek mata,
demikian pula indria yang lain masing-masing mempunyai objek tersendiri.
Objek-objek pikiran dari luar sesungguhnya bersifat
netral, ia tidak dapat dikatakan baik pun juga buruk. Tetapi banyak orang
sering menyalahkan atau menjelekkan objek-objek pikiran dari luar yang mereka
terima, sebab objek-objek itu menjadikan pikirannya jelek. Meskipun seandainya objek pikiran itu jelek,
tetapi objek pikiran yang masih berada di luar pikiran kita kiranya tidak dapat
disamakan dengan objek pikiran yang telah berada di dalam pikiran kita. Objek pikiran yang telah berada di dalam
pikiran kita telah berubah bukan lagi sebagai objek, tetapi telah menjadi
pikiran kita sendiri (subjek). Bisa jadi sesuatu yang jelek di luar diri kita
akan tetap jelek berada di dalam, karena orang memilliki kebodohan batin
(Moha).
Kebodohan batin akan menarik-serta keserakahan (Lobha)
dan kebencian (Dosa). Terhadap
objek-objek pikiran yang menyenangkan dan menarik hati timbul reaksi pikiran
yang suka serta ingin mendekatinya, menikmati lagi bahkan terus-menerus, itulah
ujud pikiran yang dikuaksai oleh keserakahan.
Sedangkan terhadap objek-objek pikiran yang tidak menyenangkan dan tidak
menarik hati akan menimbulkan reaksi pikiran yang tidak suka serta ingin
menjauhinya, menolak bahkan memusnahkannya, itulah ujud pikiran yang dikuasai
oleh kebencian.
Mahatma Gandhi
(1869-1948) berpandangan memang perlu keserakahan dan kenyamanan
materi/fisik pada tingkat tertentu, namun jika melebihi tingkat itu ia bahkan
menjadi hambatan dan bukan lagi sebagai penunjang.
Hambatan tersebut tidak lain berwujud nafsu keinginan
untuk mengejar kenikmatan terus menerus, sehingga akhirnya pikiran sukar
dikendalikan.
C. PIKIRAN TERKENDALI
Pengendalian pikiran bukanlah merupakan penekanan ataupun
penindasan pikiran, sebab pikiran yang
tertekan ataupun tertindas akan menimbulkan dampak yang tidak
sehat. Pengendalian pikiran tidak sama
dengan penghambatan perkembangan pikiran, justru perkembangan pikiran tidak
boleh sama sekali untuk dihalang-halangi. Jadi pengendalian pikiran merupakan
pengarahan pikiran kepada hal-hal yang positif. Pikiran diharapkan berkembang pada alur yang positif. Alur pikiran positif
itu adalah pikiran yang berada pada jalan kebenaran Dhamma.
Berbeda dengan alur pikiran negatif, yaitu pikiran berada
pada jalan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebenaran Dhamma, pikiran
positif akan membuat suasana pikiran itu sendiri selaras, serasi dan seimabang
dengan prinsip-prinsip hidup kemanusiaan yang universal. Prinsip hidup ini akan
membuat menausia mampu memahami esensi kehidupan, yaitu ketidak-puasan dan
ketidak-sempurnaan yang terdapat pada setiap fenomena/gejala hidup ini. Esensi
ketidak-puasan dan ketidak-sempurnaan bukannya menjadikan manusia tak berdaya,
tetapi justru hal itu hendaknya mengkondisikan umat manusia untuk berupaya.
Sesungguhnya setiap gerak hidup umat manusia diarahkan untuk mengatasi
ketimpangan-ketimpangan tersebut di atas. Manusia dalam kehidupan
sehari-harinya berjuang untuk mengatasi kesulitan-kesuliatan hidup yang sangat
mungkin terjadi apabila pikiran tak terkendali.
Sang Buddha mengatakan tidak ada musuh dapat mencelakakan
seseorang sampai separah yang disebabkan oleh pikiran-pikiran sendiri yang
jahat, kejam, membenci, iri hati dan lain sebagainya.
Pikiran manusia sangat mempengaruhi badan jasmaninya.
Jika pikiran dibiarkan berfungsi tidak benar, maka pikiran tersebut dapat
mengakibatkan bencana, atau bahkan dapat membunuh makhluk hidup; namun ia juga
dapat menyelamatkan tubuh yang sakit dan sangat besar kegunaan yang
dihasilkannya bila pikiran dipusatkan pada hal-hal yang benar, disertai dengan
usaha benar, dan penuh pengertian.
Mahatma Gandhi menyatakan seluruh kekuatan sejati dapat
diperoleh dengan menyimpan dan mengaluskan vitalitas yang tersedia untuk
berkembang.
Vitalitas ini terus menerus, bahka sering secara tidak
sadar, dihamburkan dengan pikiran jahat, atau yang bertele-tele dan melantur,
secara tidak teratur atau tidak dikehendaki. Karena pikiran merupakan urat akar
dari segala ucapan dan tindakan, nilai serta mutu ucapan dan tindakan itu akan
sesuai dengan pikiran kita. Oleh karena itu pikiran yang terkendali secara baik
merupakan kekuatan yang terama ampu dan akan tertampak menjadi tindakan.
Peradaban manusia dalam makna kata yang sebenarnya,
bukanlah sesuatu yang menghendaki dilipatgandakannya segala kebutuhan,
melainkan menghendaki pembatasan segala kebutuhan dengan sengaja dan suka-rela.
Hanya dengan cara demikian akan dapat dibina kebahagiaan dan kepuasan sejati
yang akan dapat meningkatkan kemampuan kita untuk mengabdi, demikian pendapat
Mahatma Gandhi.
D. BAGAIMANA CARA MENGENDALIKAN PIKIRAN ?
Mahatma Gandhi mengatakan manusia tidak dapat
mengendalikan pikirannya semat-mata hanya dengan menulis, membaca ataupun
melakukan percakapan-percakapan sepanjang hari.
Lebih lanjut Gandhi juga mengatakan pikiran itu selalu bekeliaran,
jangan biarkan indria turut berkeliaran dengannya. Indria yang berkeliaran bersama dengan
pikiran yang mengikutinya akan mengakibatkan seseorang mengalami kekacauan. Tetapi indria yang terjaga suatu saat akan menjadikan pikiran terkendali.
Menurut Sang
Buddha, pengendalian pikiran dapat dilakukan dengan
meningkatkan perhatian (Sati) dan pengertian (Sampajanna). Atapi Sampajanno
Satima, perhatian dan pengertian adalah dua unsur penting yang perlu
diberlakukan secara bersamaan pada saat seseorang menerima suatu objek ataupun
sensasi pikiran yang sada.
Sang Buddha menyatakan dalam Sabbasavasanvara Sutta,
Majjhima Nikaya, apabila seseorang memiliki perhatian/ kewaspadaan, maka segala
jenis pikiran jahat yang belum muncul niscaya tidak akan muncul dan yang sudah
muncul akan dapat dilenyapkan.
Dalam Vitakkasanthana
Sutta, Majjhima Nikaya; Sang Buddha menjelaskan lima cara untuk mengendalikan
pikiran dengan benar, yaitu:
1.
Apabila timbul pikiran
jahat (keserakahan, kebencian, atau/dan kebodohan batin) pada saat
memperhatikan suatu objek tersebut dengan yang lain, yang disertai dengan kebajikan, ini dapat mengusir pikiran jahatnya, dan membuat batinnya menjadi
terpusatkan/terkendali, ibarat tukang kayu yang mengganti pasak kasar dengan
pasak halus
.
2.
Apabila pikiran jahatnya
tetap muncul walau telah mengganti objeknya dengan yang disertai kebajikan, ia
hendaknya merenungkan bahaya dari pikiran jahat itu. Ini dapat mengusir..., ibarat pemuda-pemudi yang suka berdandan merasa
risih dan jijik terhadap bangkai ular atau binatang lain yang bergantung di
lehernya.
3.
Apabila pikiran jahatnya
tetap muncul meskipun telah merenungkan bahaya dari pikiran jahat, ia hendaknya
tidak mengacuhkan pikiran jahat tersebut.
Ini dapat mengusir ..., ibarat
orang yang memiliki penglihatan yang dapat menutup matanya atau mengalihkan ke
arah lain apabila tidak ingin melihat suatu bentuk.
4.
Apabila pikiran jahatnya
tetap muncul kendati tidak mengacuhkannya, ia hendaknya memperhatikan dasar dan
sebab pikiran (untuk mengetahui sebab kemunculannya). Ini dapat mengusir... ,
ibarat orang yang berjalan cept, berjalan lambat, berhenti, berdiri, duduk,
berbaring, yang menghindari sikap badan yang sulit dan memilih sikap badan yang
paling leluasa.
5.
Apabila pikiran jahatnya
tetap muncul walau telah memperhatikan dasar dan sebab pikiran muncul, ia
hendaknya dengan merapatkan gigi dan menekan lidah ke langir-langit mulut
menaklukkan, mengendalikan dan menguasai batinnya. Ini dapat mengusir ...,
ibarat orang kuat yang menangkap dan mencekik orang lemah, menaklukkan,
mengendalikan dan menguasainya.
Dengan melaksanakan petunjuk tersebut, seseorang dapat
disebut ahli dalam bidang yang berkaitan dengan pengendalian pikiran. Ia dapat berpikir sesuai dengan yang diinginkannya dan dapat pula tidak berpikir
terhadap sesuatu yangt tidak ingin dipikirkannya.
Na tam mata pita kayira, Anne vapi ca
nataka
Samma panihitam cittam, Seyyaso nam tato
kare
“Pikiran yang terarahkan secara benar
membuat sesorang menjadi mulia dan memperoleh pahala
kemajuan,
melebihi apa yang dapat diberikan
oleh ibu, ayah, atau sanak keluarga”.
(Dhammapada
43)
-oOo-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar