Kamis, September 26, 2013
Rabu, September 25, 2013
Senin, September 23, 2013
Minggu, September 22, 2013
Dampak Ajaran Ehipassiko yang disalahmengerti
DAMPAK
AJARAN ‘EHIPASSIKO’ YANG DISALAHMENGERTI
Oleh : Upa. Amaro
Tanhadi
“Janganlah percaya begitu saja berita yang disampaikan kepadamu;
atau oleh karena sesuatu yang merupakan tradisi;
atau sesuatu yang didesas-desuskan.
Janganlah percaya begitu saja apa yang dikatakan di dalam kitab-kitab
suci;
juga apa yang katanya sesuai dengan logika atau kesimpulan belaka;
juga apa yang katanya merupakan hasil dari suatu penelitian;
juga apa yang katanya telah direnungkan dengan seksama;
juga apa yang terlihat cocok dengan pandanganmu;
atau karena ingin menghormat seorang pertapa yang menjadi gurumu.'
Tetapi, setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui,
'Hal ini berguna; hal ini tidak tercela;
hal ini dibenarkan oleh para Bijaksana;
hal ini kalau terus dilakukan akan membawa keberuntungan dan
kebahagiaan,'
maka sudah selayaknya kamu menerima
maka sudah selayaknya kamu menerima
dan hidup sesuai dengan hal-hal tersebut."
( Anguttara Nikaya 3.65 : Kalama Sutta )
Seperti yang telah banyak diketahui oleh umat Buddha bahwa
Kalama Sutta inilah yang mendasari Ajaran Sang Buddha yang disebut Ehipassiko (secara harfiah diterjemahkan sebagai : datang dan
lihatlah sendiri), yaitu Ajaran yang mengajarkan kepada kita untuk menyelidiki
terlebih dahulu secara cermat terhadap sebuah kepercayaan atau agama yang
hendak kita jadikan pedoman atau pegangan hidup, kemudian setelah diselidiki
dengan cermat, seyogianya kita mempraktikkannya sendiri untuk memastikan apakah
ajaran tersebut bermanfaat atau tidak bermanfaat, dibenarkan atau dicela oleh
para bijaksanawan, membawa keberuntungan
atau kerugian, membawa kebahagiaan atau penderitaan bagi diri kita sendiri dan
orang lain?
Namun sayangnya, masih ada beberapa umat Buddha sendiri yang
secara agak serampangan memahami Kalama Sutta tersebut dengan hanya mengambil
sepotong kalimatnya saja (yang ‘katanya’ merupakan inti dari Kalama Sutta)
yaitu : “Janganlah
percaya begitu saja..., tetapi apabila setelah diselidiki sendiri..”,
dan potongan kalimat inilah yang diartikan oleh mereka sebagai Ehipassiko!
Jelas ini adalah salah satu kekeliruan yang cukup fatal dalam memahami makna
secara keseluruhan dari Kalama Sutta tersebut, dan inilah yang membuat
seseorang menjadi takabur (angkuh; sombong); merasa dirinya lebih hebat dari
ajaran-ajaran yang tertulis di kitab suci, sehingga merasa sah-sah saja
mengabaikan Tipitaka dengan alasan Tipitaka sudah tidak murni lagi berisikan
ajaran-ajaran Sang Buddha ! (?). Koq tahu ? atau sok tahu?
Bahkan ada yang ekstrim menilai orang lain dengan mengatakan
bahwa orang-orang yang banyak membaca dan mempelajari Sutta-Sutta yang terdapat
di dalam Tipitaka itu hanyalah pandai berTEORI saja, praktiknya NOL BESAR! Bagi
orang yang beranggapan demikian, tampaknya mereka lebih suka ber-Ehipassiko
dengan CARANYA SENDIRI tanpa harus repot-repot mempelajari Ajaran Sang Buddha
yang tertulis dalam Tipitaka. [Tipitaka berisikan ribuan Sutta yang dikelompokkan
menjadi SUTTA PITAKA yang dibagi menjadi Empat kumpulan buku (nikaya) ditambah lagi dengan satu nikaya yang berisikan 15 kitab kumpulan
khotbah pendek, belum lagi ajaran Sang Buddha yang terdapat dalam VINAYA PITAKA
( terdiri dari 5 buku) dan ABHIDHAMMA PITAKA (terdiri dari 7 buku)].
“Lieur euy !” kata
orang sunda.
“ Malas ahhh bacanya…terlalu
jelimet, sulit dimengerti, gak ada waktu untuk membacanya !” demikianlah
alasan yang mungkin sering kita dengar dari beberapa umat Buddha sendiri. Halo…Bagaimana
dengan Anda sendiri ?
Pertanyaannya adalah : ‘Bagaimana jika ternyata Ehipassiko
yang dilakukan dengan ‘caranya sendiri’ itu menyesatkan dan hanya menguntungkan
dirinya sendiri tetapi merugikan orang lain ?, hanya membuat dirinya sendiri
bahagia tetapi membuat orang lain menderita? hanya membuat dirinya sendiri
merasa mulia tetapi orang lain melihatnya sebagai sesuatu yang tercela? dan
hanya merasa dirinya sudah paling benar tetapi orang lain menilainya sebagai
suatu kesalahan?
Padahal bila kita amati dengan cermat, ESENSI Kalama Sutta
secara lengkapnya adalah :
“…Tetapi, setelah diselidiki sendiri,
kamu mengetahui,
'Hal ini berguna;
hal ini tidak tercela;
hal ini dibenarkan oleh para Bijaksana;
hal ini kalau terus dilakukan akan
membawa keberuntungan dan kebahagiaan,'
maka sudah selayaknya kamu menerima dan
hidup sesuai dengan hal-hal tersebut."
Lalu, tindakan apa yang dimaksud dengan
‘Hal ini berguna, tidak tercela, dibenarkan oleh para bijaksana dan sesuatu
yang membawa keberuntungan dan kebahagiaan itu ?’
Di dalam Kalama Sutta itu pula, Sang Buddha telah memberikan
nasihatnya sekaligus menjawab pertanyaan tersebut diatas secara singkat namun
padat yaitu :
Kita harus melatih diri untuk membebaskan diri dari
cengkeraman sifat-sifat SERAKAH/KETAMAKAN (lobha), KEBENCIAN
(dosa) dan KEBODOHAN
BATIN (moha) sehingga kita
dapat mengendalikan diri dengan baik untuk tidak melakukan penganiayaan dan
pembunuhan makhluk hidup, tidak mengambil sesuatu yang tidak diberikan
(mencuri), tidak melakukan perzinahan, tidak mengucapkan kata-kata yang tidak
benar (berbohong), dan tidak menjadi penyebab yang menyesatkan orang lain.
Bila kita telah mampu dan telah terbebas dari sifat-sifat
ketamakan, kebencian dan kebodohan batin tersebut, maka dengan sendirinya kita
dapat mengendalikan diri dengan baik dan pikiran menjadi terpusat, sedangkan
batin kita akan dipenuhi oleh cinta kasih, belas kasih, simpati, dan keseimbangan
batin (Brahmavihara) yang
berkembang terus tanpa batas, terbebas dari permusuhan dan perasaan tertekan.
Dan tentu saja hal-hal tersebut akan memberikan banyak manfaat bagi diri
sendiri maupun orang lain, tidak akan di cela oleh orang-orang yang
berpandangan benar, para bijaksanawan pun akan setuju dan membenarkan perbuatan
kebajikan kita, sehingga jika kita hidup sesuai dengan hal-hal tersebut,
pastilah akan mendatangkan perlindungan, keselamatan, keberuntungan serta
kebahagiaan bagi diri sendiri dan makhluk lainnya.
Waru, 21 September 2013
-oOo-
Jumat, September 20, 2013
Bagaimana Cara Melakukan Pertobatan ?
BAGAIMANA CARA MELAKUKAN PERTOBATAN ?
Oleh : Upa. Amaro Tanhadi
Bila kita pernah menganiaya atau
membunuh binatang, maka :
1.
Mulai saat ini hentikan perbuatan menganiaya dan melakukan pembunuhan
berikutnya.
2.
Lakukan banyak kebajikan dengan cara melepaskan (Fangshen) atau menolong
binatang yang membutuhkan pertolongan, memberikan pengobatan, memberi makan
dsb.
3.
Pada saat melakukan Fangshen atau menolong binatang tsb. ucapkan dalam hati
atau dengan suara : “ Semoga dengan
kekuatan keyakinan dan kebajikan yang kulakukan ini dapat membuahkan
kebahagiaan bagi diri kalian dan semua makhluk yang berhubungan karma
denganku.”
Manusia
dan binatang adalah makhluk yang sama-sama menginginkan kebahagiaan dan hidup
tanpa ketakutan. Sudah selayaknya kita sebagai manusia yang berakal-budi tidak
menganiaya dan mengancam kehidupan para binatang yang lemah dan bisu.
Mereka
memiliki kehidupan sendiri dan memiliki perasaan yang sama dengan kita dan
mereka pun takut untuk mati, maka janganlah bertindak sewenang-wenang kepada
mereka kaum binatang yang lemah dan bisu, hanya semata-mata kita merasa lebih
berhak untuk hidup dan lebih berkuasa daripada mereka.
Kepada
teman-teman yang suka berburu, hentikanlah kesenangan (hobby) yang hanya untuk
memuaskan nafsu membunuh demi kesenangan dan kebanggaan belaka.
Sadarilah
bahwa para binatang itu adalah bentukan dari tumimbal lahir para makhluk yang
kurang beruntung yang merupakan hasil daripada perbuatan buruknya di kehidupan
lampau. Bisa saja diantara mereka itu dahulunya adalah saudara kita, Ibu kita,
ayah kita, istri kita, sahabat kita dan anak-anak kita.
Maka
hentikanlah untuk melakukan perburuan, penganiayaan dan membunuh makhluk hidup,
gantungkan saja senjata Anda, biarkanlah mereka hidup bebas dan menikmati
kebahagiaan dengan caranya sendiri !
Mettacittena,
Rabu, September 18, 2013
Orang yang Dungu dan Orang yang Bijaksana
ORANG YANG DUNGU DAN ORANG YANG BIJAKSANA
Jika seseorang menyadari suatu kondisi
yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain, namun ia tetap bertahan
serta tinggal di dalam kondisi itu, maka sesungguhnya dia adalah orang yang
dungu.
Sebaliknya, jika seseorang menyadari suatu
kondisi yang dapat merugikan dirinya sendiri dan orang lain, dan ia segera
meninggalkan kondisi itu, maka dialah orang yang bijaksana.
(Tanhadi)
.
.
Selasa, September 17, 2013
Minum Obat
MINUM OBAT
Oleh : Upa Amaro
Tanhadi
Dhamma
akan menjadi obat yang mujarab jika diminum oleh orang yang menyadari bahwa didalam
dirinya terdapat bermacam-macam penyakit.
Namun,
bagi orang yang tidak menyadari adanya penyakit didalam dirinya dan beranggapan
bahwa ia sehat-sehat saja, maka dimata orang itu Dhamma hanya bagaikan selembar
'keterangan aturan minum obat' yang tertera di depan botol obat.
Sahabat
seDhamma...
Semoga
kita adalah orang yang sadar bahwa didalam diri kita terdapat berbagai macam penyakit
yang harus segera disembuhkan yaitu dengan meminum obatnya, bukan hanya meneliti
dan membaca aturan minum obatnya saja.
Waru,
16 Sept'13
Mettacittena,
Jumat, September 13, 2013
Kehidupan Ayam Hutan yang Mulia
KEHIDUPAN AYAM HUTAN YANG MULIA
(Hidup Saling Menghormati dan Menghargai)
Di petik dan di edit seperlunya oleh :
Upa. Amaro Tanhadi
Ketika
Sang Buddha berada di Savatthi, Beliau memberikan wejangan Dhamma kepada para
bhikkhu dengan sebuah cerita kelahiran “Kehidupan ayam hutan yang mulia”,
demikianlah kisah yang dibabarkan oleh Sang Buddha :
Pada
suatu waktu, o para bhikkhu, di suatu tempat di Himalaya ada sebuah pohon
beringin yang amat besar, di bawah pohon itu hidup tiga sekawan. Mereka dalah
ayam hutan, gajah dan kera. Mereka sering bersikap kasar dan saling mencela
satu sama lain, dan mereka hidup tanpa memikirkan antara satu dengan yang
lainnya. Mereka berpikir : “ Jika saja kita dapat menetapkan siapa yang tertua
di antara kita, maka kita dapat menghormati, menghargai, memuji dan memuliakan
serta mematuhi nasihatnya.”
Ayam
hutan dan kera bertanya kepada gajah : “ Sejauh manakah engkau mengingat masa
lalu ?”
“ Ketika aku masih kanak-kanak, aku dapat
berjalan melangkahi pohon beringin ini, sehingga ia ada di sela-sela kakiku dan
ujungnya menyentuh perutku,” jawab gajah.
Kemudian
ayam hutan dan gajah itu bertanya kepada kera : “ Sejauh manakah engkau
mengingat masa lalu ?”
“
Ketika aku masih bayi, aku dapat duduk di atas tanah dan mengunyah pucuk pohon
ini,” jawab kera.
Kemudian
gajah dan kera bertanya kepada ayam hutan : “Sejauh manakah engkau mengingat
masa lalu ?”
“
Di suatu tempat ada sebatang pohon beringin, aku memakan salah satu bijinya dan
membuangnya lewat kotoran dan pohon beringin ini tumbuh dari biji itu. Jadi aku
lebih tua dari kalian berdua.” jawab ayam hutan.
Kemudian
gajah dan kera itu berkata kepada ayam hutan : “ Engkau lebih tua daripada kita
berdua. Kami akan menghormati, menghargai, memuji dan memuliakan engkau serta mematuhi
nasihatmu.”
Sejak
saat itu, mereka saling menghormati dan menghargai serta saling memikirkan satu
sama lain.
Setelah
menceritakan kisah tersebut, Sang Buddha memberikan nasihatNya kepada para
bhikkhu : “ Maka, o para bhikkhu, hewan-hewan tersebut dapat saling menghormati
dan menghargai, serta hidup saling memikirkan antara satu dengan lainnya, cobalah
tiru mereka. Jika kalian saling bersikap kasar dan menghina, serta hidup tanpa
memikirkan satu sama lain dibawah Dhamma dan Vinaya yang sudah dinyatakan
dengan sempurna seperti ini, maka sikap seperti itu sama halnya dengan kalian tidak
memberikan kepercayaan bagi mereka yang sudah percaya; dan sebaliknya, hal itu
mengakibatkan bagi mereka yang tidak percaya untuk tetap tidak percaya, dan
membahayakan bagi yang sudah percaya menjadi tidak percaya lagi terhadap Dhamma
dan Vinaya ini.”
(Vinaya.
Cv. Kh. 6)
Sumber buku bacaan :
-
Kehidupan Sang Buddha – Penerbit
Yayasan Dhammacarini- Bandung Thn.1993.
Kamis, September 12, 2013
Jumat, September 06, 2013
Kamis, September 05, 2013
Ehipassiko
EHIPASSIKO
Kata Ehipassiko berasal dari kata Ehipassika yang terdiri dari 3 suku kata yaitu ehi, passa dan ika. Secara harafiah ”ehipassika” berarti datang dan lihat. Ehipassikadhamma merupakan sebuah undangan kepada siapa saja untuk datang, melihat serta membuktikan sendiri kebenaran yang ada dalam Dhamma. Istilah ehipassiko ini tercantum dalam Dhammanussati (Perenungan Terhadap Dhamma) yang berisi tentang sifat-sifat Dhamma.
Sang
Buddha mengajarkan untuk menerapkan sikap ehipassiko di dalam menerima
ajaranNya. Beliau mengajarkan untuk ”Datang
dan buktikan” ajaranNya, bukan ”Datang dan percaya”. Ajaran
mengenai ehipassiko ini adalah salah satu ajaran yang penting dan yang
membedakan ajaran Buddha dengan ajaran lainnya.
Salah
satu sikap dari Sang Buddha yang mengajarkan ehipassiko dan memberikan
kebebasan berpikir dalam menerima suatu ajaran terdapat dalam perbincangan
antara Sang Buddha dengan suku Kalama berikut ini:
"Wahai, suku Kalama.
Janganlah percaya begitu saja berita yang disampaikan kepadamu,
atau oleh karena sesuatu yang sudah merupakan tradisi
atau sesuatu yang didesas-desuskan.
Janganlah percaya begitu saja apa yang tertulis dalam
kitab-kitab suci,
juga apa yang dikatakan sesuai logika dan kesimpulan belaka,
juga apa yang kelihatannya cocok dengan pandanganmu,
atau karena ingin menghormati seorang pertapa yang menjadi
gurumu.
Tetapi, setelah diselidiki sendiri, kamu mengetahui;
Hal ini berguna, hal ini tidak tercela, hal ini dibenarkan oleh
para bijaksana,
hal ini kalau terus dilakukan akan membawa keberuntungan dan
kebahagiaan,
maka, sudah selayaknya kamu menerima dan hidup sesuai dengan
hal-hal tersebut.”
( Kalama Sutta, Anguttara Nikaya III. 65 )
Sikap
awal untuk tidak percaya begitu saja dengan mempertanyakan apakah suatu ajaran
itu adalah bermanfaat atau tidak, tercela atau tidak tecela; dipuji oleh para
bijaksana atau tidak, jika dilaksanakan dan dipraktekkan, menuju kesejahteraan
dan kebahagiaan atau tidak, adalah suatu sikap yang akan menepis kepercayaan
yang membuta terhadap suatu ajaran. Dengan memiliki sikap ini maka nantinya
seseorang diharapkan dapat memiliki keyakinan (saddha) yang berdasarkan pada kebenaran.
Ajaran
Ehipassiko yang diajarkan oleh Sang Buddha juga harus diterapkan secara
bijaksana. Meskipun ehipassiko berarti ”datang dan buktikan” bukanlah berarti
selamanya seseorang menjadikan dirinya objek percobaan.
Sebagai contoh sederhana :
- Ketika seseorang ingin membuktikan bahwa
menggunakan narkoba itu merugikan, merusak, bukan berarti orang
tersebut harus terlebih dulu menggunakan narkoba tersebut. Sikap ini adalah
sikap yang salah dalam menerapkan ajaran Ehipassiko.
Untuk
membuktikan bahwa menggunakan narkoba itu merugikan, merusak, seseorang cukup
melihat orang lain yang menjadi korban karena menggunakan narkoba. Melihat dan
menyaksikan sendiri orang lain mengalami penderitaan karena penggunaan narkoba,
itu pun suatu pengalaman, suatu pembuktian.
- Demikian pula dengan Racun, kita
tidak perlu lagi untuk membuktikan sendiri bahwa siapapun yang meminum racun
pasti fatal akibatnya, karena Racun dari sejak jaman dahulu kala, saat ini dan
kelak dikemudian hari telah terbukti kebenarannya bahwa ia memiliki sifat yang destruktif (merusak) bagi siapa saja
yang mengkonsumsinya.
- Jika ada orang yang meminta kita untuk
membuktikan kebenaran adanya Kelahiran kembali (Rebirth), perlukah kita membuktikannya kepada orang
tersebut ?, tentu saja tidak bukan ? karena kalau kita hendak
membuktikannya..maka kita harus melanggar sila ke satu dari Pancasila Buddhist.
- Jika kita diminta untuk membuktikan tentang
Neraka Avicci, berarti kita harus membunuh ayahanda atau ibunda kita dulu dong?
sebab mencari Arahat untuk dibunuh kan sulit, atau memecah-belah Sangha juga
bukan hal yang mudah…
Nah,
setelah kita bunuh salah satu ortu kita , biar cepat / instant untuk
membuktikan ada atau tidaknya neraka avicci, kita bunuh diri (supaya/berharap
terlahir di sana untuk membuktikannya... ). Apa yang terjadi ?...percayalah
bahwa orang yang meminta kepada kita untuk membuktikan adanya neraka Avicci itu
masih berada di Bumi... dan kita akan jadi penghuni neraka avicci
berkappa-kappa......, jadi untuk hal-hal yang seperti ini tidak perlu ada
pembuktian seperti itu...,cukup diyakini dengan kebijaksanaan diri sendiri.
Semoga
bermanfaat bagi kemajuan batin dan keyakinan kita.
Disusun kembali oleh : Tanhadi
dari berbagai sumber artikel Buddha Dhamma
Rabu, September 04, 2013
Minggu, September 01, 2013
Dhammapada XXIII: 326- Kisah Samanera Sanu
KISAH SAMANERA SANU
Dhammapada XXIII: 326
Suatu hari, Samanera Sanu didesak oleh para bhikkhu
yang lebih tua untuk naik ke atas mimbar dan mengulang bagian-bagian dari
Dhamma yang telah dibabarkan oleh Sang Buddha.
Ketika ia telah menyelesaikan pengulangannya, ia
dengan sungguh-sungguh menyebut, "Semoga jasa-jasa yang telah saya peroleh
hari ini dengan mengulang syair-syair mulia ini, dinikmati pula oleh ibu dan
ayah saya".
Saat itu, dewa-dewa dan raksasa yang pernah menjadi
ibu samanera muda ini dalam kehidupan lampaunya turut mendengarkan
pengulangannya.
Ketika mereka mendengar kata-kata itu, raksasa
tersebut sangat gembira dan dengan cepat berteriak, "Putraku sayang,
betapa bahagianya saya dapat ikut menikmati jasamu; kau telah melakukannya
dengan baik, putraku. Sangat baik! Sangat baik! (Sadhu! Sadhu!)".
Karena jasa Samanera Sanu, dewa dan raksasa yang
pernah menjadi ibunya menjadi sangat dihormati dan diberi tempat yang utama
dalam perkumpulan mereka oleh para dewa dan raksasa lainnya.
Saat samanera tersebut tumbuh menjadi lebih tua, ia
ingin kembali pada kehidupan sebagai umat biasa; ia pergi ke rumahnya dan
meminta pakaiannya dari ibunya. Ibunya tidak ingin ia meninggalkan Sangha dan
mencoba agar ia tidak melakukan hal itu, tetapi ia tetap teguh dengan
keputusannya. Untuk mengulur waktu, ibunya menjanjikan untuk memberinya pakaian
setelah bersantap makanan.
Saat ibunya sedang sibuk memasak makanannya, raksasa
yang pernah menjadi ibunya dalam suatu kehidupan yang lampau berpikir,
"Jika putraku —Sanu meninggalkan Sangha, saya akan malu dan menjadi
tertawaan di antara raksasa dan dewa yang lain. Saya harus mencoba dan
menghentikannya agar tidak meninggalkan Sangha".
Kemudian samanera muda dirasuki oleh raksasa tersebut.
Anak laki-laki itu berguling-guling di lantai, berkomat-kamit tidak keruan
dengan air liur berleleran dari mulutnya. Sang ibu merasa ada bahaya; tetangga
berdatangan dan mencoba untuk mengusir makhluk halus tersebut.
Kemudian, raksasa itu berbicara, "Samanera ini
ingin meninggalkan Sangha dan kembali pada kehidupan umat awam; jika ia berbuat
demikian maka ia tidak akan dapat lepas dari dukkha".
Setelah mengucapkan kata-kata ini, raksasa tersebut
meninggalkan tubuh anak laki-laki tersebut dan anak tersebut menjadi normal
kembali.
Melihat ibunya menangis dan para tetangga berkumpul di
sekitarnya, ia bertanya apa yang telah terjadi. Ibunya menceritakan pada
mereka, semua yang telah terjadi pada samanera muda anaknya dan juga
menjelaskan pada mereka bahwa untuk kembali pada kehidupan umat awam setelah
meninggalkan Sangha adalah sangat bodoh. Sesungguhnya, meskipun hidup ia
seperti orang mati.
Samanera tersebut kemudian menyadari kesalahannya.
Dengan membawa tiga jubah dari ibunya, ia kembali ke vihara dan segera diterima
sebagai seorang bhikkhu.
Ketika berkata tentang Samanera Sanu, Sang Buddha yang
berharap untuk mengajar tentang latihan batin berkata, "AnakKu, seseorang
yang tidak mengendalikan pikirannya, yang mengembara ke mana-mana, tidak dapat
menemukan kebahagiaan. Karena itu, kendalikanlah pikiranmu seperti seorang
pelatih gajah mengendalikan seekor gajah".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
326 berikut:
Dahulu pikiran ini mengembara,
pergi kepada objek-objek yang disukai,
diingini dan kemana yang dikehendaki.
Sekarang aku akan mengendalikannya
dengan penuh perhatian,
seperti seorang penjinak gajah
mengendalikan gajah dengan kaitan besi.
Pada
saat khotbah Dhamma itu berakhir, Bhikkhu Sanu memahami 'Empat Kebenaran
Mulia'. Kemudian ia mencapai tingkat kesucian arahat.
]
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah
Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta,
1997.
Dhammapada XXIII: 325- Kisah Raja Pasenadi Dari Kosala
KISAH RAJA PASENADI DARI
KOSALA
Dhammapada XXIII: 325
Suatu hari, Raja Pasenadi dari Kosala pergi ke vihara
untuk memberi hormat kepada Sang Buddha setelah raja bersantap dengan banyak.
Raja mempunyai kebiasaan makan seperempat sangku (setengah gantang) nasi dan
kari daging. Saat di hadapan Sang Buddha, raja merasa sangat mengantuk sehingga
ia terus menerus terangguk-angguk menahan kantuk dan hampir tidak dapat
mempertahankan dirinya untuk tetap terjaga.
Kemudian ia berkata kepada Sang Buddha, "Bhante!
Saya merasa sangat tidak nyaman setelah saya makan".
Padanya, Sang Buddha menjawab, "O Raja! Orang
serakah banyak makan benar-benar menderita dengan cara seperti itu".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
325 berikut:
Jika seseorang menjadi malas, serakah,
rakus akan makanan dan suka merebahkan
diri,
sama seperti babi hutan yang
berguling-guling kesana kemari.
Orang yang bodoh ini akan terus menerus
dilahirkan.
Setelah
mendengar khotbah Dhamma itu, raja mengerti pesan tersebut, berangsur-angsur
mengurangi jumlah makanan yang dimakannya. Hasilnya, ia menjadi jauh lebih
bersemangat dan mudah terjaga, oleh karena itu ia juga berbahagia.
]
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah
Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta,
1997.
Dhammapada XXIII: 324- Kisah Seorang Brahmana Tua
KISAH SEORANG BRAHMANA
TUA
Dhammapada XXIII: 324
Suatu ketika hiduplah di Savatthi seorang brahmana tua
yang memiliki uang delapan laksa. Ia memiliki empat putra. Waktu setiap
putranya menikah ia memberi satu laksa kepadanya. Jadi ia telah memberikan
empat laksa. Kemudian istri brahmana tua meninggal dunia. Putra-putranya datang
kepadanya dan merawatnya dengan baik. Kenyataannya mereka sangat mencintainya
dan menyayanginya. Dengan berlalunya waktu, entah bagaimana, mereka membujuknya
untuk memberikan empat laksa yang tersisa. Sehingga akhirnya brahmana tua tidak
mempunyai uang sama sekali.
Beberapa waktu kemudian, brahmana tua pergi tinggal
bersama putra tertuanya
Setelah beberapa hari, menantu perempuannya berkata
kepadanya, "Apakah engkau memberi tambahan uang beberapa ratus atau ribu
pada putramu yang tertua? Tidakkah engkau mengetahui jalan menuju rumah putra-putramu
yang lain?"
Mendengar hal itu, brahmana tua menjadi sangat marah
dan ia meninggalkan rumah putra tertuanya dan menuju rumah putra keduanya.
Kata-kata yang sama dibuat oleh istri putra keduanya
dan orang tua tersebut pergi menuju ke rumah putra ketiganya dan akhirnya ke
rumah putra keempat atau putra termuda. Hal yang sama terjadi di rumah semua
putranya. Sehingga orang tua tersebut menjadi tak berdaya; kemudian, dengan
membawa tongkat dan mangkuk ia pergi kepada Sang Buddha memohon perlindungan
dan nasehat.
Di vihara, brahmana tua tersebut menceritakan pada
Sang Buddha bagaimana putra-putranya telah memperlakukannya dan meminta
pertolongan dari Beliau. Kemudian Sang Buddha memberinya beberapa syair untuk
diingat dan menyuruh untuk mengucapkannya di tempat dimana ada banyak orang
berkumpul.
Inti dari syair tersebut adalah: "Empat putraku
yang bodoh bagaikan raksasa. Mereka memanggilku: Ayah! Ayah! Tetapi, kata-kata
itu hanya keluar begitu saja dari mulutnya dan bukan dari hatinya. Mereka
pembohong dan penuh tipu daya. Mengikuti nasehat istrinya, mereka mengusirku
dari rumah mereka. Sehingga, sekarang saya harus mengemis. Putra-putraku itu
bahkan tidak melayaniku dengan lebih baik dibandingkan tongkatku ini".
Ketika brahmana tua itu mengucapkan syair-syair itu,
banyak orang di keramaian tersebut mendengarnya, pergi dengan gusar menuju
putra-putranya dan bahkan beberapa di antara orang-orang itu mengancam akan
membunuh mereka.
Putra-putra brahmana tersebut menjadi ketakutan dan
berlutut di kaki ayah mereka untuk meminta maaf. Mereka juga berjanji bahwa
mulai hari itu mereka akan merawat ayah mereka dengan layak dan akan
menghormati, mencintai dan menghargainya. Kemudian mereka membawa ayah mereka
ke rumah mereka; mereka juga memperingatkan istri-istri mereka untuk merawat
sang ayah dengan baik. Bila para istri tidak merawatnya maka mereka akan
dipukul sampai mati. Setiap putra memberi sepotong kain dan mengirim satu
nampan makanan setiap hari.
Brahmana tersebut menjadi makin sehat daripada
sebelumnya dan berat badannya segera kembali ke berat semula. Ia menyadari
bahwa ia mendapat siraman manfaat seperti itu atas jasa Sang Buddha. Maka ia
pergi menghadap Sang Buddha. Dengan rendah hati memohon Beliau untuk menerima
dua nampan makanan dari empat nampan yang biasa ia terima setiap hari dari
putra-putranya. Kemudian ia menyuruh putra-putranya untuk mengirimkan dua
nampan makanan kepada Sang Buddha.
Suatu hari, putra tertua brahmana itu mengundang Sang
Buddha ke rumahnya untuk menerima dana makanan. Setelah bersantap, Sang Buddha
memberi khotbah tentang manfaat yang diperoleh dengan merawat orang tua.
Kemudian, Beliau bercerita kepada mereka tentang kisah seekor gajah bernama
Dhanapala yang merawat orang tuanya. Dhanapala ketika ditangkap merindukan orang
tuanya yang ditinggal di hutan.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
324 berikut:
Pada musim kawin,
gajah ganas bernama Dhanapalaka sukar
dikendalikan;
walaupun diikat kuat ia tetap tidak mau
makan
karena merindukan gajah-gajah lain di
hutan.
Brahmana tua beserta empat putra dan
istri-istrinya mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu
berakhir.
]
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah
Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta,
1997.
Dhammapada XXIII: 323- Kisah Seorang Bhikkhu Yang Dahulu Sebagai Pelatih Gajah
KISAH SEORANG BHIKKHU
YANG DAHULU SEBAGAI PELATIH GAJAH
Dhammapada XXIII: 323
Pada suatu kesempatan, beberapa bhikkhu melihat
seseorang pelatih gajah dan gajahnya di tepi Sungai Aciravati. Saat pelatih
tersebut menemui kesulitan untuk mengendalikan gajahnya. Salah satu dari para
bhikkhu tersebut, yang merupakan bekas pelatih gajah, berkata pada
bhikkhu-bhikkhu yang lain bagaimana cara menanganinya dengan mudah. Pelatih
gajah tersebut mendengarnya dan melakukan seperti yang dikatakan oleh bhikkhu
tersebut. Dengan cepat gajah tersebut ditaklukkan. Setelah tiba kembali di
vihara, para bhikkhu memberitahukan kejadian tersebut kepada Sang Buddha.
Sang Buddha mengundang bhikkhu bekas pelatih gajah
tersebut dan berkata, "O bhikkhu yang sia-sia, yang jauh dari 'Jalan'
(Magga) dan 'Hasil' (Phala)! Kau tidak mendapatkan apapun dengan menaklukkan
gajah. Tak ada seorangpun yang dapat pergi ke suatu tempat yang belum pernah dikunjungi
sebelumnya (yaitu nibbana) dengan menaklukkan gajah; hanya ia yang telah
menaklukkan dirinya sendiri yang dapat merealisasinya".
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair
323 berikut:
Tidak dengan mengendarai tunggangan
seperti itu
seseorang dapat pergi ke tempat yang
belum pernah didatangi (nibbana). Namun orang yang telah dapat melatih,
menaklukkan,
dan mengendalikan dirinya sendiri dapat
pergi
ke tempat yang belum pernah didatangi itu
(nibbana).
]
Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah
Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta,
1997.