Selasa, Juli 30, 2013

Kendalikan Pikiran Anda

KENDALIKAN PIKIRAN ANDA
YM. Sri Dhammananda Nayaka Mahathera

Pikiran manusia sangat mempengaruhi badan jasmaninya. Jika pikiran dibiarkan berfungsi tidak benar, maka pikiran tersebut dapat mengakibatkan bencana, atau bahkan dapat membunuh makhluk hidup; namun ia juga dapat menyelamatkan tubuh yang sakit, dan sangat besar kegunaan yang dihasilkannya bila pikiran dipusatkan pada hal-hal yang benar, disertai dengan usaha besar dan penuh pengertian. Pikiran yang bersih dan yang bermanfaat benar-benar dapat menuntun kita pada kehidupan sehat yang menyenangkan.

Sang Buddha bersabda : "Tidak ada musuh yang dapat mencelakakan seseorang sampai separah yang disebabkan oleh pikiran-pikiran sendiri yang jahat, kejam, membenci, iri hati dan lain sebagainya."

Seseorang yang tidak mengetahui bagaimana cara mengatur pikirannya agar sesuai dengan keadaan, akan sama halnya dengan jenazah di peti mati.

Kembalikan pikiran pada diri Anda sendiri, dan cobalah untuk mendapatkan kesenangan di dalam diri Anda, maka Anda akan selalu dapat menemukan sumber kesenangan yang tak terbatas yang siap untuk Anda nikmati.

Hanya pada saat pikiran terkendali ditujukan pada jalan yang benar dengan kemajuan yang tertib dan rapi akan menjadi bermanfaat bagi si pemiliknya dan juga bagi masyarakat. Pikiran yang tidak tertib akan menjadi beban bagi pemiliknya maupun orang lain. Semua pembinasaan yang terjadi di dunia ini dilakukan oleh orang-orang yang belum belajar cara mengendalikan pikiran, keseimbangan dan bersikap tenang.

Ketenangan bukanlah kelemahan. Sikap tenang pada setiap saat menunjukkan kepribadian. Memang tidak terlalu sulit bagi seseorang untuk menjadi tenang ketika segala sesuatu berjalan dengan baik dan menguntungkan. Namun, bersikap tetap tenang dan sabar dalam keadaan yang sangat sulit merupakan hal yang benar-benar sulit, dan jenis kesulitan ini bila diatasi akan bernilai sekali, dan dengan ketanangan dan pengendalian diri demikian itu akan terbentuk watak yang kuat; sebaliknya merupakan sesuatu kesalahan besar bila menganggap bahwa mereka yang membuat gaduh, banyak bicara dan sibuk membuat keonaran adalah orang yang kuat.


-oOo-




Takhayul dan Dogma

TAKHAYUL DAN DOGMA
Oleh : Dr.K. Sri Dhammananda

Orang mengejek takhayul orang lain,
sementara memuji takhayulnya sendiri.


Semua penyakit ada obatnya , tetapi tidak untuk takhayul . Dan jika karena satu dan lain hal, takhayul mengkristal menjadi agama, hal ini dengan mudah menjadi penyakit yang nyaris tidak dapat di sembuhkan. Dalam praktik fungsi agama tertentu, bahkan orang terpelajar saat ini melupakan martabat manusia, mereka untuk menerima kepercayaan takhayul yang paling tidak masuk akal .

Kepercayaan dan ritual takhayul diserap untuk menghiasi agama guna menarik orang banyak. Tetapi setelah suatu waktu, " tumbuhan menjalar " yang direncanakan untuk menghiasi kuil itu pada mulanya, tumbuh liar menututupi kuil itu, hasilnya adalah latar belakang dan kepercayaan takhayul jadi dominan - tumbuh menjalar memudarkan kuil itu.

Seperti takhayul, kepercayaan dogmatis juga menggoyahkan pertumbuhan agama yang sehat. Kepercayaan dogmatis dan intoleransi bergandengan. Yang satu mengingatkan pada abad pertengahan di eropa dengan penyelidikan tanpa belas kasihan, pembunuhan, kekerasan, kekejian, penyiksaan, dan pembakaran makhluk tak berdosa . Yang satu juga mengingatkan pada peperangan barbar dan kejam. Semua kejadian ini dirangsang oleh kepercayaan dogmatik terhadap pemimpin agama dan intoleransi yang di hasilkannya.

Sebelum pengembangan ilmu pengetahuan, orang memiliki banyak kepercayaan takhayul .Sebagai contoh, banyak orang percaya bahwa gerhana matahari dan bulan mendatangkan nasib malang dan wabah. Saat ini kita tahu bahwa kepercayaan semacam itu tidak benar. Lagi-lagi beberapa agamawan jahat mendorong orang untuk percaya akan takhayul agar mereka dapat menggunakan para pengikutnya keuntungan mereka sendiri.

Jika orang telah benar-benar memurnikan pikiran mereka dari ketidaktahuan, mereka akan melihat alam semesta sebagaimana adanya dan mereka tidak akan menderita karena takhayul dan dogmatisme. Inilah " keselamatan " yang di cita-citakan umat Buddha.

Sangat sulit bagi kita untuk memecahkan perasaan emosional yang melekat pada kepercayaan takhayul dan dogmatis . Bahkan cahaya ilmu pengetahuan sering tidak cukup kuat untuk menyebabkan kita meningalkan kesalahpahaman itu. Sebagai contoh, kita telah memperhatikan selama berbagai generasi bahwa bumi mengelilingi matahari. Tetapi secara naluriah kita tetap menganut bahwa matahari terbit, bergerak melintasi langit, dan terbenam pada sore hari. Karena kita melihat bumi diam. Kita masih harus membuat lompatan intelektual untuk membayangkan bahwa kita. Pada kenyataannya, meluncur dengan kecepatan tinggi mengitari matahari.

Kita harus mengerti bahwa bahaya dogmatis dan takhayul bergandengan tangan dengan agama. Telah tiba waktunya bagi orang bijak untuk memisahkan agama dari dogmatis dan takhayul. Jika tidak, nama baik agama akan tercemar dan jumlah orang tidak percaya akan bertambah, seperti yang sudah terjadi.


Sumber buku : “Keyakinan Umat Buddha “- Dr. Kirinde Sri Dhammananda Nayaka Mahathera



-oOo-





Dhammapada XXI: 290- Kisah Perbuatan Lampau Sang Buddha

KISAH PERBUATAN LAMPAU SANG BUDDHA
 Dhammapada XXI: 290


Suatu ketika, musibah kelaparan melanda kota Vesali, diawali dengan musim kering yang lama dan keras. Akibat kekeringan itu hampir semua panen gagal dan banyak orang meninggal dunia karena kelaparan. Hal ini diikuti oleh penyebaran wabah penyakit. Karena masyarakat tidak lagi mampu menangani pembuangan mayat-mayat, maka bau busuk di udara menyebar ke mana-mana. Bau busuk ini menarik perhatian para raksasa. Penduduk Vesali menghadapi musibah kehancuran yang ditimbulkan oleh kelaparan, penyakit dan juga kehadiran para raksasa. Dalam kesedihan dan penderitaannya, mereka mencoba mencari perlindungan. Mereka berpikir untuk mencari bantuan dari berbagai sumber, namun akhirnya mereka memutuskan untuk mengundang Sang Buddha.

Serombongan utusan dipimpin oleh Mahali, seorang pangeran suku Licchavi, dan putra brahmana kepala dikirim ke Raja Bimbisara untuk memohon Sang Buddha berkenan melakukan kunjungan ke Vesali, dan menolong mereka yang sedang dalam musibah. Sang Buddha mengetahui bahwa kunjungan ini akan membawa manfaat bagi banyak orang, maka Beliau menyetujui untuk pergi ke Vesali.

Mendengar Sang Buddha bersama para pengikut akan mengadakan muhibah ke negara tetangga, Raja Bimbisara memperbaiki jalan dari Rajagaha sampai ke tepi Sungai Gangga. Ia juga membuat persiapan-persiapan lain dan mendirikan tempat-tempat beristirahat khusus pada jarak-jarak tertentu dalam setiap yojana.

Ketika segala sesuatunya telah siap, Sang Buddha berangkat menuju Vesali bersama lima ratus bhikkhu. Raja Bimbisara juga menyertai Sang Buddha. Pada hari ke lima mereka sampai di tepi Sungai Gangga dan Raja Bimbisara mengirim kabar pada pangeran-pangeran Licchavi.

Di tepi sungai seberang, pangeran-pangeran Licchavi telah memperbaiki jalan dari tepi sungai itu menuju kota Vesali, dan telah membangun tempat-tempat beristirahat seperti yang telah dilakukan oleh Raja Bimbisara di sisi sungai wilayahnya. Sang Buddha pergi menuju Vesali dengan diiringi pangeran-pangeran Licchavi namun Raja Bimbisara tetap tinggal di tepi sungai wilayahnya.

 Segera setelah Sang Buddha mencapai tepi seberang sungai, hujan lebat turun dengan deras, sehingga membersihkan kota Vesali. Sang Buddha dipersilahkan beristirahat dalam rumah peristirahatan yang khusus dipersiapkan untuk Beliau di pusat kota.

Sakka —Raja para dewa, dengan para pengikutnya datang menghormat kepada Sang Buddha. Melihat kedatangan para dewa, para raksasa melarikan diri.

Pada sore hari yang sama, Sang Buddha membabarkan Khotbah Permata (Ratana Sutta) dan meminta Y.A. Ananda untuk berjalan mengelilingi dinding kota yang berlapis tiga dengan para pangeran Licchavi sambil mengulang sutta tersebut.

Y.A. Ananda melakukan apa yang diminta. Ketika syair-syair perlindungan (Paritta) diucapkan, banyak dari mereka yang sakit menjadi sembuh dan mengikuti Y.A. Ananda berjalan menuju tempat Sang Buddha berada.

Sang Buddha membabarkan sutta yang sama dan mengulanginya selama tujuh hari. Pada akhir hari ketujuh, segala sesuatunya di kota Vesali menjadi normal kembali. Para pangeran Licchavi dan penduduk Vesali merasa terbebas dari musibah dan sangat bersuka cita. Mereka juga sangat berterima kasih kepada Sang Buddha dan melakukan persembahan kepada-Nya dalam jumlah yang sangat besar dan mewah. Mereka juga mengiringi Sang Buddha dalam perjalanan pulang sampai di tepi Sungai Gangga di akhir hari ketiga.

Saat tiba di tepi sungai, Raja Bimbisara sedang menunggu Sang Buddha, demikian pula para dewa, brahma, dan raja para naga bersama rombongannya masing-masing. Mereka semua menghormat dan melakukan persembahan kepada Sang Buddha. Para dewa dan brahma datang menghormat dengan payung, bunga, dan lain-lain dan melagukan syair pujian kepada Sang Buddha. Para naga datang dengan perahu yang terbuat dari emas, perak, dan rubi mengundang Sang Buddha ke tempat kediaman para naga. Mereka juga menaburi permukaan air dengan lima ratus jenis teratai. Inilah satu diantara tiga kesempatan dalam hidup Sang Buddha, kesempatan manusia, dewa dan brahma datang bersama-sama untuk melakukan penghormatan kepada Beliau.

Kesempatan pertama, ketika Sang Buddha menunjukkan kekuatan dan keagungan Beliau dengan keajaiban ganda; memancarkan cahaya api dan mengeluarkan air dari tubuh Beliau.

Kedua, saat Sang Buddha kembali dari alam dewa Tavatimsa setelah Beliau membabarkan Abhidhamma di sana.

Sang Buddha ingin menghargai para naga, kemudian Beliau melakukan kunjungan ke tempat kediaman para naga diiringi oleh para bhikkhu. Sang Buddha dan rombongan pergi dengan lima ratus perahu yang dibawa para naga. Setelah berkunjung ke tempat kediaman para naga, Sang Buddha kembali ke Rajagaha diiringi Raja Bimbisara. Mereka tiba di Rajagaha pada hari kelima.

Dua hari setelah kedatangan mereka di Rajagaha, ketika para bhikkhu sedang membicarakan tentang kehebatan dan keagungan yang mengagumkan dari perjalanan dari dan ke Vesali, Sang Buddha menghampiri mereka.

Setelah mengetahui pokok pembicaraan mereka, Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, bahwa Saya telah dihormati sedemikian tinggi oleh brahma, dewa dan manusia dan bahwa mereka melakukan persembahan kepada-Ku dengan jumlah yang sedemikian besar dam mewah pada kesempatan ini bukanlah disebabkan oleh kekuatan yang sekarang Saya miliki. Itu hanyalah karena Saya telah melakukan beberapa perbuatan baik yang kecil dalam salah satu kehidupan yang lampau, sehingga Saya sekarang menikmati manfaat sedemikian besarnya".

Kemudian Sang Buddha menjelaskan kisah salah satu dari kehidupan lampau Beliau, ketika Beliau menjadi seorang brahmana bernama Sankha.

Suatu ketika ada seorang brahmana bernama Sankha yang hidup di Kota Taxila. Ia mempunyai seorang putra bernama Susima. Ketika Susima berumur enam belas tahun, ia dikirim oleh ayahnya pada brahmana lain untuk belajar ilmu perbintangan. Gurunya mengajarkan semua yang seharusnya dipelajari, tetapi Susima tidak sepenuhnya puas. Karena itu gurunya memerintahkan agar ia mendekati para Paccekabuddha yang sedang berdiam di Isipatana. Susima pergi ke Isipatana, tetapi para Paccekabuddha mengatakan kepadanya bahwa ia harus menjadi seorang bhikkhu terlebih dahulu. Karena itu ia menjadi seorang bhikkhu, dan diberi pelajaran bagaimana bertingkah laku sebagai seorang bhikkhu. Susima berlatih meditasi dengan rajin, ia segera memahami "Empat Kebenaran Mulia", mencapai Bodhinana, dan menjadi seorang Paccekabuddha. Tetapi sebagai akibat perbuatan lampaunya, Susima tidak berumur panjang, ia meninggal, mencapai parinibbana segera setelah itu.

Sankha —ayah Susima, datang mencari anak laki-lakinya, tetapi ia hanya menemukan stupa tempat relik anak laki-lakinya disimpan. Brahmana itu menjadi sangat terpukul karena kehilangan anak laki-lakinya. Ia menghampiri stupa itu, membersihkan halaman, membersihkan rumput liar, kemudian ia menutup tanah tersebut dengan pasir dan memercikinya dengan air. Kemudian, ia pergi ke dalam hutan dekat daerah itu untuk mencari bunga-bunga liar dan menancapkannya di tanah basah tersebut. Dengan cara tersebut, ia mempersembahkan pelayanannya dan memberi penghormatan kepada Paccekabuddha yang dulu adalah putranya. Karena perbuatan baik yang dilakukan pada kehidupan lampaunya itu maka Sang Buddha mendapat manfaat, bahwa ia dilimpahi dengan persembahan mewah, ia dihormat demikian tinggi, dan ia memperoleh bakti demikian besar pada kesempatan khusus itu.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 290 berikut:

Apabila dengan melepaskan kebahagiaan yang lebih kecil
orang dapat memperoleh kebahagiaan yang lebih besar,
maka hendaknya orang bijaksana melepaskan kebahagiaan yang kecil itu,
guna memperoleh kebahagiaan yang lebih besar.


]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.






Dhammapada XX: 288-289- Kisah Patacara

KISAH PATACARA
 Dhammapada XX: 288-289


Patacara kehilangan suami dan dua putranya, sekaligus orang tua dan ketiga kakak laki-lakinya dalam waktu bersamaan. Ia menjadi hampir gila.

Ketika ia mendekati Sang Buddha, Beliau berkata kepadanya, "Patacara, anak-anak tidak dapat merawatmu, bahkan meskipun mereka masih hidup, mereka tidak hadir untukmu. Orang bijaksana menjalankan moral (sila) dan menghancurkan rintangan pada jalan menuju nibbana".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 288 dan 289 berikut ini:      

Anak-anak tidak dapat melindungi,
begitu juga ayah maupun sanak saudara.
Bagi orang yang sedang menghadapi kematian,
 maka tidak ada sanak saudara yang dapat melindungi dirinya lagi.

Setelah mengetahui kenyataan ini, maka orang berbudi dan bijaksana tak akan menunda waktu dalam menempuh jalan menuju Nibbana.

Patacara mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.


]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.






Dhammapada XX: 287- Kisah Kisagotami

KISAH KISAGOTAMI
 Dhammapada XX: 287


Kisagotami menghadap Sang Buddha karena ia dilanda kesedihan mendalam akibat kematian anak tunggalnya.

 Kepadanya Sang Buddha mengatakan, "Kisagotami, kamu berpikir bahwa hanya kamu yang kehilangan anak. Kematian menimpa semua makhluk. Sebelum keinginan mereka terpenuhi, kematian telah menjemputnya".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 287 berikut:

Orang yang pikirannya melekat
pada anak-anak dan ternak peliharaannya,
maka kematian akan menyeret dan menghanyutkannya,
seperti banjir besar menghanyutkan sebuah desa yang tertidur.

Kisagotami mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.





Dhammapada XX: 286- Kisah Mahadhana, Seorang Saudagar

KISAH MAHADHANA, SEORANG SAUDAGAR
 Dhammapada XX: 286


Suatu ketika, seorang saudagar dari Banarasi akan menghadiri sebuah festival di Savatthi dengan membawa 500 kereta yang penuh dengan kain dan barang dagangan lainnya. Ketika tiba di tepi sebuah sungai dekat Savatthi, air sungai tersebut sedang meluap. Ia menunda perjalanannya selama tujuh hari karena hujan yang lebat dan air sungai yang tidak kunjung surut. Karenanya, ia menjadi terlambat mengikuti festival, sehingga tidak berguna lagi baginya untuk menyeberangi sungai itu.

Karena datang dari jauh, dia tidak ingin kembali ke rumah dengan barang dagangan yang masih utuh. Akhirnya ia memutuskan untuk menghabiskan musim hujan, musim dingin dan musim panas di tempat itu, dan mengajak semua pelayannya untuk turut serta.

Saat Sang Buddha pergi berpindapatta, Beliau mengetahui keputusan itu dan tersenyum.

Ananda bertanya mengapa Sang Buddha tersenyum dan Sang Buddha pun menjawab, "Ananda, tahukah kau pedagang itu? Dia mengira bahwa dia dapat tinggal di sini dan menjual semua barangnya sepanjang tahun. Dia tidak menyadari bahwa ia dapat meninggal dunia di sini dalam waktu tujuh hari. Apa yang harus dilakukan hendaknya dilakukan hari ini. Siapa dapat mengetahui seseorang akan meninggal dunia esok? Kita tidak dapat berkompromi waktu dengan Raja Kematian. Orang yang selalu waspada tiap pagi dan malam, yang tidak terganggu oleh kekotoran batin, penuh semangat, yang hidup untuk hanya satu malam, adalah pengguna waktu yang baik".

Kemudian Sang Buddha menyuruh Ananda untuk mendatangi saudagar Mahadhana. Ananda menjelaskan kepada Mahadhana bahwa waktu terus berlalu dan bahwa ia harus meninggalkan kelalaian dan menjadi waspada. Memikirkan tentang kematian yang akan menyambutnya, Mahadhana menjadi sadar dan merasa takut. Sehingga, selama tujuh hari ia mengunjungi Sang Buddha dan para bhikkhu untuk berdana makanan. Pada hari ketujuh, Sang Buddha berkhotbah tentang penghargaan dana (anumodana).

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 286 berikut:

Di sini aku akan berdiam pada musim hujan,
di sini aku akan berdiam selama musim gugur, dan musim panas.
Demikianlah pikiran orang bodoh
yang tidak menyadari bahaya (kematian).

Pada saat khotbah Dhamma itu berakhir, saudagar Mahadhana mencapai tingkat kesucian sotapatti. Ia mengikuti Sang Buddha selama beberapa waktu sebelum akhirnya kembali. Saat perjalanan pulang ia terserang sakit kepala dan akhirnya meninggal dunia. Mahadhana terlahir kembali di alam dewa Tusita.

]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.






Dhammapada XX: 285- Kisah Seorang Thera Yang Pernah Terlahir Sebagai Pandai Emas

KISAH SEORANG THERA
YANG PERNAH BERPIKIR TERLAHIR SEBAGAI PANDAI EMAS
 Dhammapada XX: 285


Ada seorang pemuda tampan, anak dari seorang pandai emas, ditahbiskan menjadi bhikkhu oleh Sariputta Thera. Sariputta Thera memberikan sebuah perwujudan mayat yang menjijikkan sebagai objek meditasi bagi bhikkhu baru itu. Sambil membawa objek meditasi itu ia pergi ke sebuah hutan dan berlatih meditasi di sana; namun dia hanya mencapai sedikit kemajuan. Akhirnya ia kembali untuk kedua kalinya kepada Sariputta Thera untuk memohon petunjuk lebih lanjut. Meskipun demikian, ia masih saja belum mencapai kemajuan. Kemudian Sariputta Thera membawa bhikkhu muda itu menghadap Sang Buddha dan menceritakan semuanya tentang bhikkhu muda itu.

Sang Buddha mengetahui bahwa bhikkhu muda itu adalah anak dari seorang pandai emas, dan juga ia pernah terlahir di keluarga pandai emas selama 500 kali kehidupannya yang lampau. Kemudian Sang Buddha mengganti objek meditasinya dari mayat yang menjijikkan menjadi objek kesenangan. Dengan kekuatan batin Beliau, Sang Buddha menciptakan sekuntum bunga teratai yang sangat indah sebesar roda kereta dan meminta bhikkhu muda itu untuk menancapkannya pada gundukan tanah di luar vihara.

Bhikkhu muda tersebut memusatkan diri pada bunga teratai yang besar, indah dan harum, akhirnya ia pun dapat menyingkirkan segala rintangan. Ia dipenuhi dengan kepuasan yang menggembirakan (piti), dan selangkah demi selangkah ia mengalami perkembangan hingga mencapai pencerapan batin (jhana) keempat.

Sang Buddha melihatnya dari kuti harum Beliau dan dengan kekuatan batin Beliau membuat bunga itu layu seketika. Melihat bunga itu layu dan berubah warna, bhikkhu tersebut memahami ketidak-kekalan alamiah bunga tersebut juga segala sesuatu termasuk semua makhluk. Hal tersebut menyebabkan timbulnya kesadaran terhadap ketidak-kekalan, ketidak-puasan, dan ketanpa inti dari semua hal yang berkondisi. Sesaat kemudian, Sang Buddha memancarkan sinar dan menampakkan diri di hadapan bhikkhu tersebut dan memberinya petunjuk agar segera memusnahkan nafsu keinginan (tanha).

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 285 berikut:

Patahkanlah rasa cinta terhadap diri sendiri,
seperti memetik bunga teratai putih di musim gugur.
Kembangkanlah jalan kedamaian Nibbana
yang telah diajarkan oleh Sang Sugata
(Beliau yang telah berlalu dengan baik, Buddha).

Bhikkhu muda mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.







Dhammapada XX: 283-284- Kisah Lima Bhikkhu Tua

KISAH LIMA BHIKKHU TUA
 Dhammapada XX: 283-284


Suatu ketika di Savatthi, terdapat 5 sahabat yang menjadi bhikkhu di saat usianya tidak muda lagi. Telah menjadi kebiasaan bagi 5 bhikkhu tersebut untuk bersama-sama menerima dana makanan tiap hari. Mantan istri salah satu dari mereka, merupakan seorang wanita istimewa bernama Madhurapacika, sangatlah pandai memasak dan ia selalu melayani mereka dengan baik. Karena itu kelima bhikkhu tersebut sering mengunjungi rumahnya. Akan tetapi pada suatu hari, Madhurupacika jatuh sakit dan tiba-tiba meninggal dunia. Bhikkhu-bhikkhu tua itu menjadi sangat kehilangan dan bersama-sama mereka menangis, memuja kebaikannya dan meratapi kepergiannya.

Sang Buddha memanggil para bhikkhu tersebut dan berkata, "Para bhikkhu! Kamu semua merasa sakit dan menderita karena kamu belum terbebas dari keserakahan, kebencian, dan kebodohan (lobha, dosa, moha), seperti layaknya sebuah hutan. Tebanglah hutan itu dan kamu akan terbebas dari keserakahan, kebencian dan kebodohan".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 283 dan 284 berikut ini:

O, para bhikkhu, tebanglah hutan nafsu itu,
karena dari nafsu timbul ketakutan.
Setelah menebang hutan dan belukar nafsu,
jadilah orang yang tidak lagi memiliki nafsu.
(283)

Selama nafsu keinginan laki-laki terhadap wanita belum dihancurkan,
betapapun kecilnya,
maka selama itu pula seseorang masih terikat pada kehidupan,
bagaikan seekor anak sapi yang masih menyusu pada induknya.
(284)

Kelima bhikkhu tua mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.






Senin, Juli 29, 2013

Dhammapada XX: 282- Kisah Potthila Thera

KISAH POTTHILA THERA
 Dhammapada XX: 282


Potthila adalah seorang bhikkhu senior yang memahami semua teori Dhamma yang telah diajarkan oleh Sang Buddha dengan baik dan sering mengajarkan Dhamma kepada lima ratus bhikkhu dengan bersungguh-sungguh. Pemahamannya itu menjadikan ia sangat sombong. Sang Buddha mengetahui kekurangan itu, dan menginginkan Potthila memperbaiki sikapnya serta mengarahkannya ke jalan yang benar.

Maka kapan pun Potthila datang untuk memberi hormat, Sang Buddha memanggilnya dengan "Potthila yang tak berguna". Saat Potthila mendengar panggilan itu, ia merenungkan kata-kata Sang Buddha dan menyadari bahwa Sang Buddha menyebutnya demikian karena ia tidak pernah berusaha dengan serius dalam berlatih meditasi dan belum mencapai tingkat kesucian ataupun pencapaian jhana.

Lalu tanpa mengatakan kepada siapa pun, Potthila Thera pergi ke suatu tempat yang letaknya 20 yojana dari Vihara Jetavana. Di tempat itu terdapat 30 bhikkhu. Pertama, ia mendatangi bhikkhu yang paling senior dan memohonnya untuk menjadi penasehat, namun bhikkhu tersebut menyuruhnya pergi ke bhikkhu senior yang lain, yang terus menyuruhnya pergi ke bhikkhu yang lainnya lagi. Potthila terus berpindah dari satu bhikkhu ke bhikkhu yang lain sehingga akhirnya ia menghadap seorang samanera arahat berusia 7 tahun. Samanera muda itu menerimanya sebagai murid dengan catatan bahwa Potthila harus mengikuti semua petunjuknya dengan penuh rasa hormat. Setelah diberi berbagai petunjuk oleh samanera itu, Potthila Thera membuat pikirannya benar-benar teguh pada kondisi alamiah badan jasmani, ia menjadi sangat rajin dan bersungguh-sungguh dalam bermeditasi.

Sang Buddha melihat Potthila melalui kemampuan penglihatan luar biasa serta kekuatan batin Beliau. Potthila merasakan kehadiran Beliau serta mendorongnya untuk tetap tabah dan rajin.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 282 berikut:

Sesungguhnya dari meditasi akan timbul kebijaksanaan;
tanpa meditasi kebijaksanaan akan pudar.
Setelah mengetahui kedua jalan bagi perkembangan
dan kemerosotan batin,
hendaklah orang melatih diri
sehingga kebijaksanaannya berkembang.

Potthila Thera mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.







Dhammapada XX: 281- Kisah Babi Peta

KISAH BABI PETA
 Dhammapada XX: 281


Suatu ketika, saat Maha Moggallana Thera berjalan menuruni bukit Gijjhakuta bersama Lakkhana Thera, beliau melihat sesuatu yang menyedihkan, yaitu makhluk peta kelaparan, dengan kepala berwujud babi dan berbadan manusia. Melihat makhluk peta tersebut, Maha Moggallana Thera tersenyum namun tak berkata sedikit pun. Pada saat tiba di vihara, Maha Moggallana Thera menghadap Sang Buddha, membicarakan tentang makhluk peta berwujud babi yang mulutnya penuh dengan belatung.

Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau juga pernah melihat makhluk tersebut saat Beliau baru saja mencapai ke-Buddha-an, namun Beliau tidak mengatakan hal itu, karena orang-orang mungkin tidak akan percaya dan akan menyalahkan Beliau. Kemudian Sang Buddha menceritakan kisah tentang makhluk peta babi tersebut.

Pada masa Buddha Kassapa, makhluk peta babi itu adalah seorang bhikkhu yang sering membabarkan Dhamma. Suatu ketika, ia mengunjungi sebuah vihara yang ditempati oleh dua bhikkhu. Setelah tinggal beberapa waktu bersama kedua bhikkhu tersebut, ia menyadari bahwa ia telah berbuat cukup baik karena orang-orang menyukai penjelasannya. Ia merasa akan lebih baik lagi bila ia dapat membuat kedua bhikkhu tersebut pergi dan vihara itu menjadi miliknya sendiri. Maka ia mencoba untuk mengadu domba mereka. Kedua bhikkhu tersebut bertengkar dan meninggalkan vihara menuju dua arah yang berlawanan. Akibat dari perbuatan buruk itu, bhikkhu tadi terlahir di Alam Neraka Avici dan ia harus menjalani sisa hidupnya dengan menderita sebagai makhluk peta yang berwujud babi dengan mulut dipenuhi belatung.

Sang Buddha melanjutkan, "Seorang bhikkhu haruslah tenang dan terkendali baik dalam pikiran, ucapan maupun perbuatan".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 281 berikut:

Hendaklah ia menjaga ucapan
dan mengendalikan pikiran dengan baik
serta tidak melakukan perbuatan jahat melalui jasmani.
Hendaklah ia memikirkan tiga saluran perbuatan ini,
memenangkan "jalan" yang telah dibabarkan oleh Para Suci.

]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.






Dhammapada XX: 280- Kisah Tissa Thera, Bhikkhu yang Malas

KISAH TISSA THERA, BHIKHU YANG MALAS
 Dhammapada XX: 280


Suatu ketika, lima ratus orang pemuda ditahbiskan menjadi bhikkhu, siswa Sang Buddha di Savatthi. Setelah menerima pelajaran meditasi dari Sang Buddha, para bhikkhu baru tersebut, kecuali satu bhikkhu, pergi ke hutan untuk berlatih meditasi. Mereka berlatih dengan tekun dan sungguh-sungguh sehingga dalam waktu singkat mereka semua mencapai tingkat kesucian arahat. Ketika mereka pulang ke vihara untuk memberi hormat kepada Sang Buddha, Beliau sangat gembira dan puas dengan pencapaian mereka. Bhikkhu Tissa, yang tertinggal, tidak berusaha keras sehingga ia tidak mencapai apa-apa.

Ketika Tissa tahu bahwa hubungan antara Sang Buddha dan para bhikkhu sangat baik dan dekat, ia merasa agak dilupakan dan menyesal karena ia telah menyia-nyiakan waktunya selama ini. Sehingga ia memutuskan untuk berlatih meditasi sepanjang malam. Ketika ia sedang berjalan dalam meditasinya di suatu malam, ia tersandung dan mengalami patah tulang di pahanya. Bhikkhu yang lain mendengar teriakannya, segera datang menolongnya.

Saat mendengar peristiwa itu Sang Buddha berkata, "Para bhikkhu, ia yang tidak berusaha keras pada saat harus berusaha, tetapi menyia-nyiakan waktunya, ia tidak akan mencapai jhana dan pandangan terang Sang Jalan".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 280 berikut:

Walaupun seseorang masih muda dan kuat,
namun bila ia malas dan tidak mau berjuang semasa harus berjuang,
serta berpikir lamban;
maka orang yang malas dan lamban seperti itu
tidak akan menemukan Jalan
yang mengantarnya pada kebijaksanaan.

]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.





Dhammapada XX: 279- Kisah yang Berhubungan dengan Anicca, Dukkha dan Anatta

KISAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN ANICCA, DUKKHA DAN ANATTA
 Dhammapada XX: 279


Ketanpa-intian (Anatta)

Kisahnya sama dengan kisah Anicca dan kisah Dukkha. Sang Buddha mengetahui bahwa terdapat kelompok 500 bhikkhu yang lain bermeditasi dengan objek Anatta, sehingga Beliau berkata, "Para bhikkhu, segalanya perpaduan hidup adalah tanpa inti/substansi. Hal tersebut bukan subjek keakuan".

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 279 berikut:

Segala sesuatu yang berkondisi adalah tanpa inti.
Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini,
maka ia akan merasa jemu dengan penderitaan.
Inilah Jalan yang membawa pada kesucian.

Lima ratus bhikkhu mencapai tingkat kesucian arahat setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

]˜

Sumber:
Dhammapada Atthakatha —Kisah-kisah Dhammapada, Bhikkhu Jotidhammo (editor),
Vidyasena Vihara Vidyaloka, Yogyakarta, 1997.