Rabu, April 30, 2025

Dhammapada XXVI: 389-390 - Kisah Sariputta Thera

 

KISAH SARIPUTTA THERA

Dhammapada XXVI: 389-390

 

Y.A. Sariputta sering dipuji oleh banyak orang karena kesabaran dan pengendalian dirinya. Murid-muridnya biasa membicarakannya demikian: "Guru kita adalah orang yang memiliki kesabaran yang tinggi dan pengendalian diri yang luar biasa. Jika beliau diperlakukan kasar atau bahkan dipukul oleh orang lain, beliau tidak menjadi marah tetapi tetap tenang dan sabar".

 

Karena pembicaraan mengenai Y.A. Sariputta ini sering terjadi, seorang brahmana yang mempunyai pandangan salah mengumumkan kepada para pengagum Sariputta bahwa ia akan memancing kemarahan Y.A. Sariputta.

 

Pada saat Y.A. Sariputta sedang berpindapatta, muncullah brahmana tersebut menghampiri beliau dari belakang dan memukul punggung beliau dengan keras menggunakan tangan. Sang thera tidak berbalik untuk melihat siapa yang telah menyerangnya, tetapi meneruskan perjalanannya seolah-olah tidak ada apapun yang terjadi. Melihat keluhuran dan ketabahan dari sang thera yang mulia tersebut, brahmana itu menjadi sangat terkejut. Ia berlutut di kaki Y.A. Sariputta, mengakui bahwa ia telah bersalah memukul sang thera, dan meminta maaf.

 

Brahmana itu kemudian melanjutkan, "Yang Ariya, hendaknya engkau memaafkanku, dengan senang hati datanglah ke rumahku untuk menerima dana makanan".

 

Sore harinya para bhikkhu lain memberitahu Sang Buddha bahwa Y.A. Sariputta telah pergi untuk menerima dana makanan ke rumah seorang brahmana yang telah memukulnya. Lebih lanjut, mereka menduga bahwa brahmana tersebut makin berani dan akan melakukan hal yang sama terhadap para bhikkhu yang lain.

 

Kepada para bhikkhu tersebut, Sang Buddha menjawab, "Para bhikkhu, seorang brahmana sejati tidak akan memukul brahmana sejati lainnya; hanya orang biasa maupun brahmana biasa yang akan memukul seorang arahat dengan kemarahan dan itikad jahat. Itikad jahat ini akan dilenyapkan oleh seseorang yang telah mencapai tingkat kesucian anagami".

 

 

 

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 389 dan 390 berikut ini:

 

Janganlah seseorang memukul brahmana,

juga janganlah brahmana yang dipukul itu

menjadi marah kepadanya.

Sungguh memalukan perbuatan orang yang memukul brahmana,

tetapi lebih memalukan lagi adalah brahmana yang menjadi marah

kepada orang yang telah memukulnya.

(Dhp.389)

 

Tak ada yang lebih baik bagi seorang 'brahmana'

selain menarik pikirannya dari hal-hal yang menyenangkan.
Lebih cepat ia dapat menyingkirkan itikad jahatnya,

maka lebih cepat pula penderitaannya akan berakhir.

(Dhp.390)

 

 

Dhammapada XXVI: 388 - Kisah seorang pertapa Brahmana

 

KISAH SEORANG PERTAPA BRAHMANA

Dhammapada XXVI: 388

 

Suatu ketika hiduplah seorang pertapa di Savatthi. Suatu peristiwa berkesan pada dirinya, ketika Sang Buddha menggunakan istilah panggilan bagi semua bhikkhu pengikutNya yang meninggalkan keduniawian dengan kata: 'pabbajita'.

 

Karena ia juga seorang pertapa, maka ia seharusnya disebut juga seorang pabbajita (yang meninggalkan keduniawian). Jadi ia pergi menemui Sang Buddha dan bertanya mengapa ia tidak disebut seorang pabbajita.

 

Jawaban Sang Buddha terhadap pertanyaannya adalah demikian: "Hanya karena seseorang adalah pertapa, seseorang tidak dapat begitu saja disebut seorang pabbajita; seorang pabbajita juga harus mempunyai persyaratan lain".

 

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 388 berikut:

 

Karena telah membuang kejahatan,

maka ia Kusebut seorang 'brahmana';

karena tingkah lakunya tenang,

maka ia Kusebut seorang 'pertapa' (samana);

dan karena ia telah melenyapkan noda-noda batin,

maka ia Kusebut seorang 'pabbajjita'

(orang yang telah meninggalkan kehidupan berumah tangga).

(Dhp.388)

 

Pertapa tadi mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.

 

Sabtu, April 26, 2025

Dhammapada XXVI: 387_Kisah Ananda Thera

 

KISAH ANANDA THERA

Dhammapada XXVI: 387

 

Saat itu adalah hari purnama sidhi di bulan ke tujuh (Assayuja), ketika Raja Pasenadi dari Kerajaan Kosala datang menemui Sang Buddha. Raja tampak gemerlapan dengan tanda-tanda kebesaran kerajaan yang megah.

 

Pada waktu itu, Kaludayi Thera juga sedang berada pada ruangan yang sama dan duduk pada ujung kerumunan. Beliau sedang dalam keadaan pencerapan kesadaran yang dalam (jhana). Tubuhnya bersinar terang, dan berwarna keemasan. Dari langit, Y.A. Ananda memperhatikan bahwa matahari sedang tenggelam dan bulan baru saja muncul, baik matahari maupun bulan memancarkan cahayanya.

 

Y.A. Ananda memandang gemerlapnya cahaya dari raja, sang thera, dan cahaya matahari dan bulan. Akhirnya, Y.A. Ananda melihat Sang Buddha, dan tiba-tiba merasa bahwa cahaya yang bersinar dari Sang Buddha jauh melampaui cahaya yang lainnya. Karena melihat Sang Buddha bersinar dalam kedamaian dan kemegahan Beliau, Y.A. Ananda segera menghampiri Sang Buddha, dan menyambut dengan sorak sorai, "O, Bhante! Cahaya dari tubuh-Mu yang mulia jauh melampaui cahaya dari raja, cahaya dari sang thera, cahaya dari matahari dan cahaya dari bulan".

 

Kepada Ananda, Sang Buddha membabarkan syair 387 berikut:

 

Matahari bersinar di waktu siang.

Bulan bercahaya di waktu malam.

Ksatria gemerlapan dengan seragam perangnya.

Brahmana bersinar terang dalam samadi.

Tetapi,

Sang Buddha (Ia yang telah mencapai Penerangan Sempurna)

bersinar dengan penuh kemuliaan sepanjang siang dan malam.

(Dhp.387)

Dhammapada XXVI: 386 - Kisah Brahmana Tertentu

KISAH BRAHMANA TERTENTU

Dhammapada XXVI: 386

 

Suatu hari, seorang brahmana berpikir sendiri. "Buddha Gotama menyebut para pengikutnya dengan 'brahmana'. Saya adalah seorang brahmana jika dilihat dari kasta saya. Tidakkah saya juga dapat disebut seorang brahmana?" Setelah berpikir, ia pergi menemui Sang Buddha dan mengutarakan pendapat tersebut.

 

Kepadanya, Sang Buddha menjawab, "Aku tidak menyebut seseorang sebagai brahmana karena kastanya. Aku hanya menyebut seseorang sebagai brahmana jika ia telah mencapai tingkat kesucian arahat".

 

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 386 berikut:

 

Seseorang yang tekun bersamadi,

bebas dari noda, tenang,

telah mengerjakan apa yang harus dikerjakan,

bebas dari kekotoran batin

dan telah mencapai tujuan akhir (nibbana),

maka ia Kusebut seorang brahmana.

(Dhp.386)

 

Brahmana mencapai tingkat kesucian sotapatti, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.