Sabtu, September 22, 2012

Sila Itu Logika


SILA ITU LOGIKA

Oleh: YM. Bhikkhu Uttamo Mahathera

"Daripada Hidup 100 Tahun Tetapi Malas,
Lebih Baik Hidup Sehari Tetapi Giat Dan Penuh Semangat"

Telah menjadi satu anggapan umum bahwa kualitas lebih penting daripada kuantitas, mutu lebih diutamakan daripada jumlah. Ungkapan ini sebetulnya tidak sepenuhnya benar. Antara mutu dan jumlah mempunyai satu keterkaitan yang tidak bisa dipisahkan dan tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Mengapa demikian? Meskipun jumlah umat Buddha banyak tetapi tidak bermutu, ini tidak akan membawa banyak manfaat dan kemajuan bagi agama Buddha. Begitu juga sebaliknya, walaupun bermutu tetapi orangnya sedikit juga percuma saja. Jadi yang paling baik adalah kuantitas bertambah seiring dengan meningkatnya kualitas.

Di tengah-tengah pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, agama Buddha mulai menampakkan dirinya. Orang mulai menaruh perhatian kepada agama Buddha baik secara diam-diam maupun secara terbuka. Di beberapa negara Eropa, orang mulai tertarik untuk mempelajari agama Buddha. Kalau kita bertanya: "Kenapa Anda tertarik pada agama Buddha?" Biasanya mereka akan menjawab: "Agama Buddha ini masuk akal, tidak memaksa dan tidak selalu harus percaya terhadap segala sesuatu tetapi harus dibuktikan terlebih dahulu." Semangat pembuktian, semangat untuk memikirkan dan merenungkan akan keterkaitan satu dengan yang lain bahwa segala sesuatu itu pasti ada sebabnya, sesungguhnya adalah sama dengan cara berpikir ilmiah dan cara kita berpikir dalam kehidupan sehari-hari. Agama Buddha menggunakan jalur ini dalam membuktikan satu asumsi/argumentasi sehingga agama Buddha sering dikatakan sebagai agama yang mirip dengan ilmu pengetahuan. Anggapan ini memang tidak bisa disalahkan karena cara berpikir dan cara pembuktian di dalam agama Buddha memang persis seperti kalau kita membuktikan ilmu pasti. Dalam agama Buddha tidak ada ajaran yang harus langsung diterima begitu saja tanpa boleh dipertanyakan. Misalnya: kenapa kalau sembahyang menggunakan hio, lilin dan bunga, atau kenapa duduknya di lantai? Ini bukan berarti umat Buddha tidak mampu membeli kursi tetapi semua itu ada alasannya, ada aturan mainnya.

Lalu bagaimana cara kita sebagai umat Buddha membedakan antara agama Buddha dengan ilmu pengetahuan? Memang tidak dapat dipungkiri bahwa cara berpikir agama Buddha yang sama dengan ilmu pengetahuan itu sering menimbulkan satu anggapan bahwa "Ilmu pengetahuan sama dengan agama Buddha". Sebagai contoh:

Menurut ilmu pengetahuan ( matematika )

Jika     :   A=B
                B=C

Maka  :    A=C

*Kalau:

Pernyataan A     : Ilmu pengetahuan perlu dibuktikan
Pernyataan B     : Agama Buddha perlu dibuktikan ("ehipasiko")

Berarti kesimpulannya :

"Ilmu Pengetahuan Sama Dengan Agama Buddha."

Ini adalah satu kesimpulan yang tidak tepat! Bahkan akan menimbulkan kesulitan di kemudian hari. Misalnya kita ditanya: bagaimana terjadinya bumi, itu masih bisa kita jawab; bagaimana terjadinya menanam padi tumbuh padi, itu pun masih bisa diterangkan. Tetapi kalau kita ditanya misalnya: bagaimana rumus matematika yang "ini" bisa betul, kita tidak bisa menjawabnya. Mengapa? Karena memang agama Buddha bukan persis dengan ilmu pengetahuan. Hanya cara pendekatannya saja yang sama. Jadi antara ilmu pengetahuan dan agama Buddha itu mempunyai kapling atau bidang sendiri-sendiri.  

Kapling ilmu pengetahuan adalah urusan material, urusan otak, urusan pengetahuan kita. Yang diselidiki oleh ilmu pengetahuan misalnya bagaimana cara membuat hidup manusia lebih bahagia atau lebih mudah. Umpamanya bagaimana cara membuat rumah yang bagus dan indah dengan biaya yang murah. Atau bagaimana cara me-manajemen perusahaan supaya bisa efisien. Bahkan kalau perlu dilakukan PHK. PHK akan dijalankan walaupun akan muncul korban karenanya. Itu adalah ilmu pengetahuan.

Lain halnya dengan Buddhisme. Buddhisme justru tidak begitu menekankan pada unsur material/duniawi tetapi lebih cenderung pada unsur batin. Umpamanya: karena cuaca panas maka orang menemukan kipas angin, ini adalah bagian dari ilmu pengetahuan. Tetapi bagaimana supaya batin kita tidak stress menghadapi hawa panas yang luar biasa ini, bagaimana menumbuhkan kebahagiaan itu sendiri; ini adalah kapling agama. Jadi ada perbedaan antara ilmu pengetahuan dan agama Buddha. Kasusnya memang sama yaitu kepanasan tetapi kalau kita lihat dari unsur duniawi, itu adalah ilmu pengetahuan; sedangkan kalau dilihat dari unsur batin kita, bagaimana supaya bisa tenang, ini adalah agama.

Contoh yang paling dekat adalah para bhikkhu. Di negara Buddhis yaitu Thailand, pada saat musim dingin akan berganti musim panas; suhu udara sangat dingin pada malam hari hingga 10 derajat Celsius. Sebaliknya pada siang harinya, suhu udara berkisar sekitar 35 derajat Celsius. Padahal atap kuti-kuti para bhikkhu terbuat dari seng. Tentu Saudara bisa membayangkan bagaimana panasnya suhu pada siang hari. Tetapi mengapa di kuti-kuti tidak ada kipas angin dan mengapa para bhikkhu tidak mengalami stress pada waktu itu? Karena sesungguhnya dengan pelajaran agama Buddha ini, kita berusaha untuk menyadari bahwa memang demikianlah kenyataan hidup ini. Kita bisa saja berkata: "Wah... panas, ya?" Tetapi kalau kita renungkan baik-baik, sesungguhnya hal tersebut tidak ada manfaatnya. Panas yang kita rasakan tidak akan hilang dengan kita berkata seperti itu ataupun dengan kita mengomel-ngomel. Akhirnya kita terbiasa untuk menerima kenyataan hidup ini, tidak gampang stress.

Sering ada orang yang bertanya: "Mengapa para bhikkhu bisa tahan untuk tidak memakai kipas angin?" Karena panas dan tidak itu sebetulnya tergantung di dalam diri kita, muncul dari dalam diri kita. Kalau kita sedang gelisah maka suhu badan akan naik. Buktinya apa? Misalnya kalau mau ujian, pukul 07:00 pagi, badan Saudara berkeringat semua. Padahal udara pada pagi hari masih sejuk, kenapa bisa berkeringat? Karena Saudara mengalami stress otak, stress mental! Tetapi kalau ujiannya berjalan dengan lancar meskipun pukul 14:00 siang dan udara sangat panas, semua orang kipas-kipas; Saudara lupa dengan badan Saudara, asyik mengerjakan ujian, tidak berkeringat sedikit pun. Ini karena batin Saudara mengalami ketenangan. Ini adalah suatu bukti! Disinilah sebetulnya Buddhisme, cara mengendalikan dan mengolah batin kita supaya terbebas dari stress.

Lalu bagaimana cara mengatasi stress? Bagaimana cara mengendalikan pikiran? Caranya sederhana. Saudara bisa menjalankannya dengan melaksanakan "sila". Sila merupakan langkah awal yang paling sederhana karena hanya terdiri dari 5 (lima) sila yaitu: melatih diri untuk tidak membunuh dan menganiaya, tidak mencuri, tidak melanggar kesusilaan, tidak berbohong dan tidak mabuk-mabukkan. Kalau kita ingin mengembangkan latihan yang lebih dalam lagi, maka kita bisa melaksanakan 8 (delapan) sila atau athasila. Tentu kita akan bertanya: "Bagaimanakah hubungan sila dan logika itu?" Untuk itu mari kita tinjau beberapa diantaranya:

Sila yang pertama adalah tidak melakukan pembunuhan dan penganiayaan. Misalnya Saudara digigit nyamuk.

* Secara ilmu pengetahuan, Saudara akan berpikir bahwa gigitan nyamuk itu akan menimbulkan penyakit. Darah Saudara diisap, ditukar dengan bibit penyakit si nyamuk sehingga bisa mendatangkan penyakit bahkan mungkin kematian. Karena itu adalah kesimpulan pendek, akhirnya Saudara membunuh nyamuk itu. Itu adalah ilmu pengetahuan.

* Berbeda halnya dengan Dhamma. Ajaran Sang Buddha berbeda dengan ilmu pengetahuan karena berdasarkan pada moral/batin kita. Perhitungannya tidak sama dengan ilmu pengetahuan walaupun keduanya memerlukan pembuktian. Kalau ilmu pengetahuan membuktikan bahwa masuknya penusuk sang nyamuk ke dalam tubuh kita akan menularkan penyakit sehingga kita bisa sakit maka pembuktian Buddhisme adalah: "Nyamuk menggigit... mengapa nyamuk menggigit saya?" Ini adalah satu pertanyaan yang cukup penting. "O... karena nyamuk membutuhkan makanan. Mengapa membutuhkan makanan harus menggigit saya?" Ini direnungkan terus. "O... karena nyamuk tidak bisa jajan, tidak bisa pergi ke warung sendiri untuk membeli makanan walaupun diberi uang. Kasihan! Kalau saya membutuhkan makanan masih bisa memilih; hari ini nasi goreng, besok saya ingin makan pecel. Tetapi nyamuk tidak bisa. Hari ini makan darah, besok dan seterusnya tetap makan darah. Kalau begitu,,, saya masih lebih bahagia daripada nyamuk." Akhirnya apa? "Ah... biarlah, saya berdana saja." Ini urusannya sudah lain. Disini Dhamma sudah berbicara. Tetapi kadang-kadang bisa muncul pemikiran: "Wah... kalau saya digigit terus oleh nyamuk, saya akan terserang penyakit. Saya tidak mau ekstrim!" Akhirnya bagaimana? "Kalau saya membunuh nyamuk itu, berarti saya melanggar sila tetapi kalau tidak dibunuh, ilmu pengetahuan saya tidak bermanfaat." Bagaimana caranya? Kita menggunakan jalan tengah; ilmu pengetahuan kita jalankan, Dhamma pun kita praktekkan; yaitu dengan cara mengusir nyamuk itu. Tidak dibunuh tetapi juga tidak dibiarkan. Ini adalah jalan tengah dan tidak ekstrim.

Sila kedua adalah tidak mengambil barang yang tidak diberikan dengan sah. Misalnya Saudara melihat sebuah pulpen.

* Secara ilmu pengetahuan. Saudara akan berpikir: "Wah... pulpen saya ketinggalan. Di atas meja ada sebuah pulpen, kebetulan saya juga membutuhkannya." Lalu Saudara mengulurkan tangan untuk mengambil pulpen itu, tetapi Saudara kemudian terpikir: "Menurut hukum, kalau perbuatan saya ini diketahui oleh orang lain, saya mungkin akan dipentungi orang. Alangkah ruginya kalau saya sampai dipentungi gara-gara pulpen seharga Rp 250,-. Wah... ini tidak baik!" Akhirnya Saudara tidak jadi mengambil pulpen itu, untung-ruginya keluar. Ini adalah ilmu pengetahuan.

* Sedangkan perenungan secara Dhamma adalah: "Saya ingin mengambil pulpen yang bukan milik saya. Seandainya ini adalah pulpen saya lalu diambil orang, apa yang terjadi? Saya pasti jengkel. Kalau demikian, pemilik pulpen ini mungkin akan jengkel juga apabila pulpennya hilang." Akhirnya Saudara tidak jadi mengambilnya. Jadi perenungan Buddhisme tidak sama dengan perenungan ilmu pengetahuan. Kalau kita tidak mau milik kita diambil oleh orang lain, hendaknya kita juga jangan mengambil milik orang lain.  

Begitu juga dengan sila kelima, yaitu tidak mabuk-mabukkan.

* Menurut ilmu pengetahuan, mabuk-mabukkan itu dapat merusak otak dan ginjal karena alkohol dalam kadar yang tinggi tidak dapat dicerna/diterima oleh alat pencernaan sehingga lambat laun dapat mengakibatkan kematian. Ini adalah perenungan ilmu pengetahuan.

* Sedangkan perenungan Buddhisme: "Kalau Saya minum-minuman keras berarti kesadaran saya akan hilang. Dengan kehilangan kesadaran berarti konsentrasi pun ikut terganggu, sehingga bisa muncul tindakan-tindakan yang dapat melanggar sila-sila yang lain. Saya akan mudah marah bahkan mungkin berkelahi. Kalau begitu... saya tidak mau minum-minuman keras." Ini adalah perenungan Buddhisme.

Sila keenam adalah tidak makan setelah pukul 12:00 siang.

* Secara ilmu pengetahuan. Saudara akan berpikir: "Kalau Saya hanya makan sekali sehari berarti Saya menjalankan sila plus penghematan. Biaya makan dapat Saya gunakan untuk keperluan-keperluan yang lain, misalnya untuk nonton, jalan-jalan dan lain-lain." Ini menurut ilmu pengetahuan.

* Berbeda halnya dengan Dhamma. Sebagai umat Buddha yang meyakini Hukum Kelahiran Kembali, sebetulnya kita sudah mengalami kelahiran berjuta-juta kali. Begitu pula halnya dengan kelaparan. Dengan mengendalikan keinginan makan yang telah muncul sejak berjuta-juta tahun yang telah lampau; secara tidak langsung hal tersebut merupakan latihan untuk mengendalikan emosi, melatih kesabaran dan mempertajam perenungan. Kalau kita mampu mengendalikan keinginan (nafsu) makan yang telah muncul sejak berjuta-juta tahun yang lampau, kita bisa menahan diri untuk tidak marah. Dengan cara itu kita bisa menghadapi segala sesuatunya dengan tenang dan tidak emosi. Walaupun cara menahan makan ini merupakan suatu cara sederhana, tetapi cara ini ada kaitannya dengan kesabaran. Ini adalah perenungan Buddhisme.

Demikian pula halnya dengan sila ketujuh. Misalnya: tidak menggunakan wangi-wangian.

* Secara ilmu pengetahuan, tidak menggunakan wangi-wangian itu mungkin hanya karena kita belajar hidup sederhana/belajar "ngirit".

* Tetapi secara Dhamma, sesungguhnya hal tersebut melatih kita untuk berusaha melihat kenyataan bagaimana keadaan kita seandainya tanpa itu semua? Karena latihan sila itu berarti kita belajar seandainya barangnya ada (seperti wangi-wangian, perhiasan, dll.) tetapi kita tidak menggunakan, bagaimana perasaan kita? Sehingga apabila pada suatu ketika betul-betul tidak ada, kita tetap bisa tenang. Misalnya suatu ketika Saudara sedang ujian. Kalau Saudara biasa memuaskan nafsu, apa saja yang diinginkan selalu Saudara turuti maka apabila saat ujian, isi pulpen Saudara habis, apa yang terjadi? Saudara bisa ngomel-ngomel dan pulpennya dibanting sehingga semua peserta yang ada di ruang ujian bisa geger semua. Tetapi kalau Saudara sudah biasa mengendalikan diri; pulpen Saudara habis isinya, mungkin cuma Saudara pandang sebentar lalu dengan tenang Saudara bisa meminjam pada teman Saudara. Seandainya teman Saudara itu tidak mau meminjamkan pulpennya, Saudara juga tidak akan ngomel-ngomel. Mungkin Saudara akan meminjam lagi dari teman yang lain. Tetap tenang dan tidak marah-marah.

Dengan melaksanakan sila akhirnya kita bisa menerima kenyataan bahwa apa yang kita siapkan dan rencanakan itu tidak selalu berhasil, kadang-kadang kita bisa mengalami kegagalan. Disini ilmu pengetahuan tidak bisa menjawab yang demikian ilmu pengetahuan tidak bisa memberikan ketenangan batin. Ilmu pengetahuan tidak bisa memberikan kebahagiaan sejati. Ilmu pengetahuan hanya bisa memberikan kebahagiaan semu/pembantu kebahagiaan saja. Seperti kasus kipas angin tersebut di atas; walaupun ada kipas angin tetap tidak akan mengatasi kepanasan itu sendiri, hanya memindahkan sementara saja. Kalau kipas anginnya dihentikan, kita akan kepanasan lagi. Lain halnya dengan Dhamma yang memberikan rasa tenang dari dalam batin kita. Secara Dhamma kita akan berpikir: "kenapa harus mengeluh kepanasan? Kenapa kita harus menambah penderitaan dengan "stress"? Kalau kita sudah bisa merenungkan demikian maka ketenangan yang muncul dari dalam batin kita akan mampu mengatasi rasa panas itu.


Inilah latihan-latihan yang perlu kita jalankan setiap hari sebagai umat Buddha. Kita harus berusaha untuk melatih sila; 5 (lima) sila setiap hari dan 8 (delapan) sila setiap hari uposatha, dengan tujuan supaya kita bisa memperoleh kebahagiaan di dalam diri kita. Karena ajaran Sang Buddha itu adalah untuk memberikan kebahagiaan di dalam batin. Sedangkan dari ilmu pengetahuan, Saudara hanya memperoleh kebahagiaan yang bersifat badaniah. Dengan ilmu pengetahuan yang Saudara miliki dan dengan agama yang Saudara hayati, Saudara akan memperoleh jalan tengah. Contohnya seperti yang digigit nyamuk tersebut di atas. Saudara akan bisa melihat jalan tengah, tidak dibunuh tetapi juga tidak dibiarkan, melainkan dengan cara diusir.


Kalau Saudara melatih sila setiap saat, maka batin Saudara akan semakin maju dan berkembang dalam ajaran Sang Buddha. Akhirnya seperti yang dikatakan oleh Sang Buddha di dalam salah satu syairnya bahwa hidup 1000 tahun itu tidak ada manfaatnya kalau kita hanya bermalas-malasan saja, kalau kita tidak mau belajar Dhamma dan hanya mengembangkan keserakahan, kebencian dan kegelapan batin. Akan lebih bermanfaat kalau kita hidup walaupun sehari tetapi dengan giat mengembangkan batin, melatih sila dan bermeditasi hingga tercapai kebijaksanaan. Itulah yang akan membuahkan kebahagiaan. Oleh karena itu, marilah kita belajar mengenal batin kita dengan melaksanakan sila; Pancasila sebagai dasar dan 8 (delapan) sila untuk pengembangan yang lebih lanjut sehingga akhirnya kita akan memperoleh kebahagiaan lahir dan batin.


[ Dimuat atas izin dari penulis. Dikutip dari Website Samaggi-Phala WWW.samaggi-phala.or.]





Tidak ada komentar:

Posting Komentar