Jumat, April 30, 2010

KHOTBAH PENCERAHAN (I)







 (MULAI MEMUTAR RODA DHAMMA)

Disusun oleh :Tanhadi

“ Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa“
(Terpujilah Sang Bhagava, Yang Maha Suci, 
Yang Telah Mencapai Pencerahan Sempurna.)

Benares, ditaman Rusa Isipatana (sekarang Sarnath), pada bulan Asalha, disinilah untuk pertama kalinya Sang Buddha membabarkan Dhamma kepada lima pertapa sahabat-sahabatnya yang pernah mengembara dan bergulat dalam usaha-usaha pencarian kebenaran dan kebahagiaan sejati dengan cara menyiksa diri selama enam tahun lamanya. Mereka adalah :

- Kondanna
- Vappa
- Bhaddiya
- Mahanama
- Asajji

Setelah mendengar Dhamma dari Sang Buddha, mereka mendapatkan pencerahan dan pada akhirnya mereka berlima meminta untuk menjadi murid Sang Buddha .

Pengetahuan  apakah yang diajarkan oleh Sang Buddha kepada lima muridnya itu ?

EMPAT KEBENARAN MULIA
(Cattari Ariya Saccani) .

- Adanya Penderitaan (Dukkha)
- Asal-mula penderitaan (Dukkha Samudaya)
- Akhir penderitaan (Dukkha Nirodha)
- Jalan menuju akhir penderitaan (Magga)

DELAPAN JALAN KEBENARAN MULIA
(Atthangika-magga).

1. Pengertian benar ( Samma-ditthi)
2. Pikiran benar (Samma-sankappa)
3. Ucapan benar (Samma-vaca)
4. Perbuatan benar ( Samma-kammanta)
5. Mata pencaharian benar (Samma-ajiva)
6. Upaya benar (Samma-vayama)
7. Perhatian benar (Samma-sati)
8. Konsentrasi benar (Samma-samadhi)

TIGA CORAK UMUM
( Tilakkhana ).

1. Semua bentuk yang berkondisi adalah tidak  kekal
   ( Anicca ).
2. Semua bentuk yang terkondisi adalah tidak sempurna     
   ( Dukkha )
3. Semua bentuk yang terkondisi dan yang tidak terkondisi
   adalah  tanpa “ Aku “ ( Anatta).

PENJELASAN :

KEBENARAN MULIA TENTANG PENDERITAAN
( Dukkha )

Sang Buddha bersabda:
”Apakah kebenaran mulia tentang Penderitaan itu ?, 
Kelahiran adalah  penderitaan, Usia tua adalah penderitaan, 
Penyakit adalah penderitaan, Kematian adalah penderitaan, 
kesedihan, ratap-tangis, rasa sakit, 
kesengsaraan dan keputusasaan adalah penderitaan, 
berkumpul dengan orang yang dibenci adalah penderitaan, 
berpisah dengan orang yang dicintai adalah penderitaan, 
tidak memperoleh apa yang diinginkan adalah penderitaan; 
singkatnya, Lima kelompok kemelekatan ( Panca khanda ) 
adalah penderitaan .”
 ( Samyutta Nikaya 56 : 77 / Anguttara Nikaya III : 61 ).

Kata "Dukkha" yang dipergunakan dalam Kebenaran Mulia Pertama sesungguhnya mempunyai pengertian filosofis yang mendalam dan mencakup bidang yang sangat luas, selain diterjemahkan sebagai “Penderitaan” juga mempunyai arti “Tidak sempurna”, “Tidak memuaskan”, “Tidak kekal”, “kosong”,  “tanpa inti”,dll.

Penderitaan adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan yang fana ini, Setiap kali kita memperoleh suatu kesenangan / kebahagiaan, kita selalu berharap dan berupaya untuk mempertahankan agar kebahagiaan itu tetap menjadi milik kita selamanya, dan bila ternyata kebahagiaan itu berakhir, hati kita diliputi oleh rasa kecewa, sedih, putus asa  dsb, nah loh.. ketemu penderitaan lagi !

Demikian pula disaat kita sedang sakit, badan terasa lemas, selera makan menurun, tidur tak nyenyak, kepala pusing dsb..., dan masih banyak lagi contoh-contoh nyata tentang penderitaan yang sering dialami oleh jasmani maupun batin kita.

Penderitaan bukan milik suatu paham atau agama apapun, ada Buddha ataupun tidak ada, yang mempercayai ataupun yang tidak mempercayai adanya penderitaan, akan tetap mengalaminya dalam hidup ini.

Kebenaran tentang adanya penderitaan adalah hal yang tak dapat kita sangkal dengan berbagai argumentasi apapun, karena penderitaan adalah kenyataan yang dapat kita rasakan sendiri secara langsung setiap saat. Hidup adalah pengalaman-pengalaman pada penderitaan, dalam berbagai kadar, sedikit ataupun banyak.

"Wah...Nggak enak ikut agama Buddha, karena agamanya penuh dengan ajaran Penderitaan, nggak pernah bahagia…, Kapan dong senengnya …?!"

“Agama Buddha itu adalah agama yang pesimistis dalam menghadapi kehidupan ini karena prinsipnya adalah bahwa hidup ini penuh dengan penderitaan, penderitaan dan penderitaan ....pokoknya nggak ada semangat hidup deh…! ”.

Kata-kata serupa seperti itu sering kita dengar dari orang-orang disekitar kita yang berpandangan salah  dan hanya sedikit mengetahui ajaran Sang Buddha. Segala sesuatu yang berkondisi pasti mengalami perubahan, Kebahagiaan itu sendiri merupakan titik awal penderitaan.

Di sini dengan tegas dinyatakan bahwa agama Buddha bukan pesimistis dan juga bukan optimistis, tetapi yang benar adalah bahwa agama Buddha adalah agama yang realistis. Yaitu yang mengajar kita untuk melihat hidup dan kehidupan di dunia ini dengan cara realistis. Agama Buddha melihat benda-benda dan segala sesuatunya dengan obyektif (jathabhutang) dan tidak menggambarkan secara keliru dan bodoh bahwa "penghidupan ini sorga" dan juga tidak ingin menakut-nakuti umatnya dengan berbagai macam hukuman dan dosa yang tidak masuk akal.

Seorang dokter mungkin secara berlebih-lebihan menilai bahwa seorang pasien terlalu parah sakitnya dan tidak mungkin dapat disembuhkan. Dokter yang lain lagi secara tidak bertanggung jawab menyatakan bahwa orang sakit itu sama sekali tidak sakit apa-apa dan karena itu tidak memerlukan obat, sehingga orang sakit itu mendapat hiburan yang tidak pada tempatnya.

Kita dapat menamakan dokter yang pertama sebagai pesimistis dan dokter yang kedua optimistis, namun kedua-duanya sebenarnya sama-sama berbahaya.

Tetapi dokter yang ketiga dengan terang dapat melihat gejala-gejala orang sakit itu, mengetahui juga sebab dari penyakitnya, melihat dengan jelas bahwa orang sakit itu dapat disembuhkan dan dengan bertanggung jawab memberi pengobatan sehingga jiwa orang sakit itu dapat ditolong.

Nah, Sang Buddha dapat diumpamakan sebagai dokter yang ketiga ini. Beliau adalah dokter yang pandai dan bijaksana yang dapat menyembuhkan penyakit manusia di dunia ini (Bhisaka atau Bhaisajya Guru).

Pada dasarnya Sang Buddha tidak mengingkari adanya kebahagiaan dan kegembiraan, baik materiil maupun spirituil bagi umat awam dan para bhikkhu / bhikkhuni. Didalam  Anguttara Nikaya  II,vii; pilihan, Anguttara Nikaya  IV,62 dan Dhammapada XV; 197 s/d 208  dapat ditemukan banyak uraian tentang kebahagiaan ( Sukhani), antara lain tentang kebahagiaan kehidupan berkeluarga dan kebahagiaan pertapa, kebahagiaan yang diliputi oleh getaran-getaran hawa nafsu dan kebahagiaan menghindari diri dari kehidupan duniawi, kebahagiaan terikat kepada sesuatu dan kebahagiaan karena terbebas dari ikatan-ikatan dan lain-lain, namun Beliau selalu mengingatkan kepada kita bahwa kebahagiaan dalam kehidupan ini tidaklah kekal. Cepat atau lambat kebahagiaan itu akan berubah dan perubahan itu akan menimbulkan kesedihan, ratap tangis dan ketidakbahagiaan...alias penderitaan !

Dari contoh-contoh diatas dapat diketahui dengan jelas, bahwa "dukkha" bukan hanya disebabkan oleh penderitaan dalam arti umum, tetapi segala sesuatu yang tidak kekal pun adalah "dukkha" (Yad aniccang tang dukkhang). 

Sang Buddha adalah orang yang realistis dan objektif. Dalam hubungan dengan penghidupan dan kebahagiaan dari hawa-nafsu, Beliau minta agar kita mengerti dengan baik tiga hal:

1. Perasaan tertarik atau kegembiraan (assada)
2. Akibat yang tidak baik, atau bahayanya, atau perasaan tidak puas (adinava)  
3. Perasaan tidak terikat atau terbebas (nissarana).

Kalau Anda melihat seorang yang baik budinya, manis bahasanya dan bagus orangnya, Anda akan merasa suka, tertarik dan merasa gembira kalau sering-sering dapat bertemu dengan orang itu. Anda memperoleh kesenangan dan kepuasan bertemu dengan orang tersebut. Inilah yang dinamakan kegembiraan (assada). Hal ini dapat kita alami sendiri. Tetapi kegembiraan ini tidak kekal sebagaimana juga halnya dengan orang itu, dan segala sesuatu yang membuatnya ‘menarik’ juga tidak kekal.

Kalau Anda karena sesuatu sebab misalnya tidak dapat bertemu dengan orang itu sehingga tidak mendapat peluang untuk menjadi senang dan gembira, Anda akan menjadi kecewa sekali dan mungkin Anda dapat melakukan perbuatan yang tidak pantas. Inilah yang dinamakan "tidak baik", "berbahaya" dan "tidak memuaskan" (adinava). Hal inipun dapat kita alami sendiri dalam penghidupan kita sehari-hari.

Kemudian kalau Anda tidak mempunyai ikatan apa-apa dengan orang itu dan juga tidak merasa tertarik, maka hal inilah yang dinamakan "tidak terikat" dan "terbebas"  (nissarana).

Ketiga hal yang tersebut diatas merupakan kenyataan hidup yang ada hubungannya dengan kegembiraan dalam kehidupan. Dengan contoh-contoh yang diberikan di atas, mungkin sekarang Anda mendapat gambaran yang agak jelas bahwa persoalannya bukanlah pesimistis atau optimistis, tetapi kita harus mengetahui dengan jelas segala sesuatu yang berhubungan dengan kegembiraan dalam kehidupan, hal-hal yang dapat menyakiti hati dan yang membuat kita sedih, dan hal-hal yang membebaskan kita dari kesedihan dan penderitaan itu.

Dengan demikian barulah kita dapat memahami hidup ini secara menyeluruh dan obyektif. Selanjutnya barulah dapat dicapai pembebasan diri yang benar. Mengenai hal ini Sang Buddha pernah bersabda sbb:

"o siswa-Ku, kalau seorang pertapa atau brahmana belum dapat mengerti  dengan baik bahwa kegembiraan dari hawa nafsu adalah kegembiraan, ketidak-puasan karenanya adalah ketidak-puasan, kebebasan dari padanya adalah kebebasan, maka tidaklah mungkin mereka dapat memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan yang timbul dari hawa nafsu. Dengan demikian mereka tidak dapat mengajar orang lain dan orang lain yang mengikuti petunjuk-petunjuk mereka tidak akan dapat memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan hawa nafsu itu.

Tetapi, o siswa-Ku, kalau seorang pertapa atau brahmana dapat mengerti dengan baik bahwa kegembiraan dari hawa nafsu adalah kegembiraan, ketidak-puasan oleh karenanya adalah ketidak-puasan, kebebasan dari padanya adalah kebebasan, maka mereka akan dapat mengerti secara menyeluruh keinginan yang timbul dari hawa nafsu dan mereka akan dapat mengajar orang lain untuk dapat memahaminya, dan orang lain yang mengikuti petunjuk-petunjuknya akan dapat memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan hawa nafsu itu."

Konsep Dukkha dapat ditinjau dari tiga segi:

1. Dukkha sebagai derita biasa (dukkha-dukkha)
2. Dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan (viparinama-dukkha)
3. Dukkha sebagai akibat dari keadaan yang berkondisi (sankhara-dukkha)

Semua jenis penderitaan dalam penghidupan seperti dilahirkan, berusia tua, mati, bekerja sama dengan orang yang tidak disukai atau harus berada pada keadaan yang tidak menyenangkan, dipisahkan dari orang-orang yang dicintai atau keadaan yang disenangi, tidak memperoleh sesuatu yang didambakan, kesedihan, keluh kesah, kegagalan dan semua bentuk derita fisik dan mental yang oleh umum dianggap sebagai derita dan sakit, dapat digolongkan dalam "Dukkha sebagai derita biasa" (dukkha-dukkha).

Suatu perasaan bahagia, suatu keadaan bahagia dalam kehidupan adalah tidak kekal. Cepat atau lambat hal ini akan berubah, dan perubahan ini akan menimbulkan kesedihan, derita dan ketidakbahagiaan. Semua ini dapat digolongkan dalam “Dukkha sebagai akibat dari perubahan-perubahan.” (viparinama-dukkha).       
         
Mudah sekali untuk dapat mengerti akan kedua segi dukkha yang disebut diatas. Tidak seorangpun dapat menyangkalnya. Kedua segi ini memang merupakan gambaran umum tentang penghidupan kita sehari-hari.

Tetapi, segi ketiga dari dukkha sebagai akibat dari keadaan yang berkondisi merupakan segi yang paling penting dari Kebenaran Mulia Pertama ini dan memerlukan pembahasan secara analitis tentang apa yang kita anggap sebagai "mahluk", sebagai "orang" atau sebagai " aku " itu.

Sang Buddha pernah bersabda sbb:
"Dengan singkat dapat dikatakan 
bahwa Lima Kelompok Kemelekatan  ini adalah dukkha".

Pada Kesempatan lain Beliau dengan tegas menyatakan bahwa dukkha ialah Lima Kelompok Kemelekatan.

“ O Bhikkhu, apakah dukkha itu ? 
Harus diketahui bahwa Lima Kelompok Kemelekatan itu adalah dukkha.”

Kita harus mengerti dengan jelas bahwa dukkha dan Lima Kelompok Kemelekatan bukanlah dua hal yang berbeda; Lima Kelompok Kemelekatan itu sendiri adalah dukkha. Kita akan lebih mengerti persoalan ini apabila kita sudah menelaah lebih lanjut Lima Kelompok Kemelekatan tsb. yang merupakan unsur-unsur dari apa yang kita namakan “ Makhluk". Sekarang marilah kita menelaah Lima Khandha tersebut;

Lima Kelompok Kemelekatan ( Panca Khanda )

Menurut pandangan Buddhis, apa yang kita anggap sebagai makhluk, orang atau “ Aku “, hanyalah merupakan gabungan dari kekuatan atau energi phisik dan mental, yang selalu dalam keadaan bergerak dan berubah, yang terdiri dari Lima Unsur / kelompok kemelekatan ( Panca Khanda ) penyusun kehidupan, yaitu :

1. Kelompok Jasmani ( Rupa Khanda )

Terdiri dari :Unsur padat, cair, panas dan udara. Keempat unsur ini dapat dihubungkan dengan Panca Indera kita seperti mata, hidung, telinga, lidah dan tubuh.

Obyek sasarannya adalah : bentuk benda yang terlihat dan dapat disentuh, suara, bebauan, rasa yang melalui lidah, termasuk juga gagasan dan konsepsi yang berada dalam pikiran. Jadi kelompok Jasmani mencakup semua bentuk-bentuk secara keseluruhan, baik yang berada didalam tubuh kita maupun yang menjadi obyek sasarannya.

2. Kelompok Perasaaan ( Vedana Khanda )

“ mengapa orang mengatakan “ Perasaan”? 
Itu dirasakan, maka disebut perasaan. 
Dirasakan sebagai apa ? 
Sebagai kesenangan, sebagai kesakitan, atau netral.”
 (Samyutta Nikaya 20 : 79; cf Majjhima Nikaya 43)

“ Apapun yang dirasakan sebagai kesenangan dan membahagiakan, 
baik secara jasmani maupun secara rohani 
disebut perasaan yang menyenangkan. 

Jika dirasakan sebagai kesakitan 
dan melukai disebut perasaaan yang menyakitkan. 

Jika dirasakan sebagai perasaaan netral 
disebut perasaan netral. 

Dari segi nyata, 
perasaan yang menyenangkan adalah menyenangkan, 
sedangkan dari segi perubahan adalah menyakitkan. 

Dari segi nyatanya, 
perasaaan yang menyakitkan adalah menyakitkan, 
sedangkan dari segi perubahan adalah menyenangkan, 
sedangkan dari segi kekurangan pengetahuan adalah menyakitkan”.
 (Majjhima Nikaya 44).

Semua perasaan seperti perasaan bahagia, sedih dan perasaan netral yang timbul karena adanya kontak dari indera kita terhadap dunia luar, yaitu  ;

 a). Perasaan yang timbul melalui mata terhadap bentuk-bentuk yang terlihat.
 b). Perasaan yang timbul melalui telinga terhadap suara yang didengar.
 c). Perasaan yang timbul melalui hidung terhadap bebauan yang dicium.
 d). Perasaan yang timbul melalui lidah terhadap rasa yang dikecap.
 e). Perasaan yang timbul melalui tubuh terhadap sentuhan-sentuhan.
 f). Perasaan yang timbul melalui pikiran terhadap gagasan dan konsepsi.  

3. Kelompok Pencerapan ( Sanna Khanda )

Yang dimaksud dengan pencerapan adalah Perekaman, yaitu ; segala sesuatu yang kita alami melalui indera-indera kita akan dicerap atau direkam.

Sebagaimana halnya perasaan, pencerapan inipun terdiri dari enam jenis yang berhubungan dengan keenam indera kita tersebut diatas, dengan obyek sasaran masing-masing. Pencerapan ini juga tercipta oleh karena indera kita mengadakan kontak dengan dunia luar. Pencerapan inilah yang mengenali obyek, baik yang merupakan obyek fisik maupun obyek mental.

4. Kelompok Bentuk Pikiran ( Sankhara Khanda )

Semua perbuatan, baik, buruk ataupun netral yang kita lakukan, yang didahului oleh “kehendak” (bentukan mental atau kegiatan mental ) termasuk dalam kelompok pikiran ini. “Kehendak” inipun berhubungan dengan keenam indera kita, dengan obyek sasaran masing-masing seperti tersebut diatas.

Perasaan dan Pencerapan bukan merupakan perbuatan kehendak, hal ini tak akan menimbulkan buah Karma ( Kamma ).

Sang Buddha bersabda :
“ Aku katakan, Kehendak adalah Kamma,
karena didahului oleh kehendak, 
seseorang lalu bertindak dengan jasmani, ucapan dan pikiran “.
( Anguttara Nikaya III : 415)

Hanya perbuatan yang didasari oleh Kehendak-lah yang dapat menimbulkan buah Karma, misalnya: Perhatian, keinginan untuk berbuat, ketetapan hati, keyakinan, meditasi, kebijaksanaan, semangat untuk berbuat sesuatu, hawa nafsu, kebencian, dendam, kebodohan, kesombongan, cinta kasih kasih sayang dsb.

Terdapat 52 kegiatan mental ( cetasika ) yang dapat digolongkan dalam bentuk-bentuk pikiran.

Pikiran( manas), bukanlah “jiwa”.

Pikiran sebenarnya juga sebuah indera sebagaimana halnya indera-indera kita yang lain yang dapat dikontrol dan dikembangkan. Sang Buddha sering berbicara mengenai faedah mengontrol dan mengembangkan keenam indera kita ini. Perbedaan antara indera mata dan indera pikiran ialah bahwa mata berhubungan dengan warna dan benda yang tampak, sedangkan pikiran berhubungan dengan alam pikiran, gagasan serta obyek mental. Dengan lima indera fisik, kita hanya dapat mengetahui bentuk-bentuk yang terlihat, suara, bebauan, rasa yang melalui lidah dan benda-benda yang dapat disentuh. Gagasan-gagasan dan konsepsi tidak dapat kita ketahui melalui perantara panca-indera, namun mereka dapat diketahui melalui indera keenam yaitu pikiran.

Akan tetapi perlu disadari bahwa pikiran dan gagasan-gagasan ini selalu tergantung kepada dan timbul karena pengalaman-pengalaman  lima indera  fisik yang lainnya. Seperti halnya seseorang yang buta sejak lahir, ia tidak mempunyai ide (gambaran) tentang warna, kecuali melalui perbandingan dari suara atau hal-hal lain yang ia pernah alami dengan inderanya yang lain.

5. Kelompok Kesadaran ( Vinnana Khanda )

Pada dasarnya Kesadaran adalah reaksi atau respon dari salah satu indera kita terhadap obyek-obyek sasaran yg. bersangkutan. Kesadaran ini tidak dapat mengenal obyek. Kesadaran hanya berfungsi untuk menyadari adanya suatu obyek. Sebagai contoh : Kalau mata kita mendapat kontak dengan warna biru, maka kesadaran kita bangkit dan kita sadar tentang adanya warna, tetapi kita belum mengenalnya sebagai warna biru. Pencerapan-lah yang dapat mengenal warna itu sebagai warna biru.

Kesadaran mata hanya berfungsi untuk melihat benda, tetapi melihat belum berarti mengenalnya. Begitu pula halnya dengan kesadaran indera-indera yang lainnya.

“ Mengapa orang menyebut kesadaran ?, 
Ia menyadari maka disebut kesadaran. 
Menyadari apa ? 
Ia menyadari misalnya : Rasa asam, rasa pahit, pedas, 
manis, basa, bukan basa, asin dan tidak asin.”
( Samyutta Nikaya 22 : 70 )

“ Kesadaran itu menyadari apa ? 
Ia mengenal, misalnya : ada kesenangan, ada kesedihan, 
bukan kesenangan atau bukan kesedihan “.
( Majjhima Nikaya 43 : 140 )

“Terdapat enam kelompok kesadaran : 
Kesadaran mata, kesadaran telinga, kesadaran hidung, 
kesadaran lidah, kesadaran badan, kesadaran pikiran.” 
( Samyutta Nikaya 22 : 56 ).

“ Kesadaran timbul sesudah keadaan yang mengakibatkannya. 
Bila kesadaran timbul karena mata dan bentuk-bentuk , 
ia disebut kesadaran mata..., 
karena telinga dan bunyi-bunyian, ia disebut kesadaran telinga,... 
karena hidung dan bau-bauan, ia disebut kesadaran hidung,... 
karena lidah dan sedap-sedapan, ia disebut kesadaran lidah,... 
karena badan dan sentuhan-sentuhan, ia disebut kesadaran badan,.. 
karena pikiran dan obyek-obyek pikiran, ia disebut kesadaran pikiran.”
( Majjhima Nikaya 38 )

“ Perasaan, pencerapan dan kesadaran saling berhubungan, 
tidak terpisah dan adalah tak mungkin memisahkan 
antara satu sama lain agar dapat menjelaskan 
kemampuan-kemampuan mereka yang berbeda; 
karena apa yang orang rasakan, itulah yang diserap, 
dan apa yang orang serap, itulah dia kenal (sadari). 

Dengan kesadaran pikiran semata-mata, 
yang terlepas dari lima kemampuan indera, 
maka landasan luar yang terdiri dari ruang tidak terbatas 
dapat dikenal sebagai “ruang yang tidak terbatas “, 
Landasan luar yang terdiri atas kesadaran yang tak terbatas 
dapat dikenali sebagai ‘ kesadaran yang tak terbatas’ 
dan landasan luar yang terdiri atas kekosongan 
dapat dikenal sebagai ‘ ketiadaan apa-apa sama sekali ‘; 
Ide yang dapat dipahami oleh mata pengertian.”
( Majjhima Nikaya 43 ).

“ Timbulnya kesadaran tergantung pada dua hal : 
yaitu apa yang ada di dalam diri orang itu 
dan landasan luar untuk kontak.”
( Samyutta Nikaya 35 : 93 ).

“ Setiap kesadaran yang bagaimanapun, 
baik di waktu yang lalu, yang akan datang, maupun yang sekarang, 
baik yang ada di dalam maupun di luar diri orang, 
kasar atau halus, diatas atau dibawah, jauh atau dekat, 
yang dipengaruhi oleh noda-noda dan dipancing oleh kemelekatan, 
disebut kelompok kesadaran yang dipengaruhi oleh kemelekatan.”
( Samyutta Nikaya 22 : 48 )

“ Keinginan yang merupakan akar dari lima kelompok 
yang dipengaruhi kemelekatan... 
Empat unsur besar ( Tanah, air, api dan udara ) 
adalah sebab dan syarat untuk menjelaskan kelompok bentuk jasmani. 
Kontak adalah untuk menjelaskan kelompok perasaan, 
pencerapan dan bentuk-bentuk pikiran. 
Nama dan rupa adalah untuk menjelaskan kelompok kesadaran.”
 (Majjhima Nikaya 109 )

Disini diingatkan sekali lagi, bahwa  menurut Buddha Dhamma; Tidak ada sesuatu zat yang kekal abadi yang dapat dianggap sebagai "aku", "jiwa" atau "ego" sebagai lawan dari badan jasmani, dan kesadaran (vinnana) janganlah sekali-kali dianggap sebagai "jiwa" yang kekal abadi sebagai lawan dari badan jasmani.

Hal ini perlu ditekankan lagi secara khusus karena satu kesalahpahaman sejak zaman purba hingga kini masih saja berlangsung, yang menganggap kesadaran sebagai semacam "jiwa" dan "ego" yang bersifat kekal abadi.

Buddhagosa, seorang komentator terkenal, pernah menerangkan hal ini sebagai berikut : " api yang menyala dari kayu hanya menyala selama masih ada persediaan kayu dan padam kembali kalau persediaan kayu itu habis terbakar, karena kondisinya sudah berubah. Namun api itu tidak melompat ke jerami, dll.. dan menjadi api jerami dst.... Begitu juga dengan kesadaran yang timbul dengan adanya mata dan benda-benda yang terlihat; kesadaran ini berlangsung selama kondisi dari adanya sebuah mata, benda-benda yang terlihat, cuaca terang dan perhatian ini tidak melompat ketelinga, dll dan menjadi kesadaran telinga dst.

Sang Buddha selanjutnya menerangkan bahwa kesadaran memerkan benda, perasaan, pencerapan dan bentuk-bentuk pikiran, dan tidak dapat timbul tanpa adanya mereka itu.

Beliau berkata : "Kesadaran dapat berlangsung dengan mempunyai benda sebagai perantara (rupapayang), benda sebagai obyek (ruparammanang), benda sebagai pembantu (rupapatitthang) dan dalam mencari kesenangan ia tumbuh, bertambah dan berkembang; atau kesadaran dapat berlangsung dengan mempunyai perasaan sebagai perantara ....atau pencerapan sebagai perantara.... atau bentuk-bentuk pikiran sebagai perantara, bentuk-bentuk pikiran sebagai obyek, bentuk-bentuk pikiran sebagai pembantu dan dalam mencari kesenangan ia tumbuh, bertambah dan berkembang.

 Andaikata ada orang yang berkata aku akan memperlihatkan kepadamu datangnya, jalannya, lenyapnya, timbulnya, bertambahnya atau berkembangnya kesadaran terlepas dari benda, perasaan, pencerapan dan bentuk-bentuk pikiran, maka orang itu telah berkata tentang sesuatu yang tidak ada".

Secara singkat inilah yang dimaksud dengan Lima Kelompok Kemelekatan  (Pancakkhandha). Lalu, yg dinamakan makhluk, orang atau "aku" hanyalah merupakan sebuah nama atau sebuah sebutan belaka yang kita berikan kepada Lima Kelompok Kemelekatan tersebut.

Mereka semua tidak kekal dan selalu berubah-ubah. Segala sesuatu yang tidak kekal adalah dukkha (Yad aniccang tang dukkhang). Inilah makna sebenarnya dari kata-kata Sang Buddha "Secara singkat, Lima Kelompok Kemelekatan itu adalah dukkha". Mereka tidak pernah sama pada dua saat yang berlainan. Disini A tidak sama dengan A. Mereka merupakan proses terus menerus dari suatu keadaan yang setiap saat timbul dan lenyap kembali.

Sang Buddha pernah berkata kepada Ratthapala ;

"0 brahmana, kesadaran itu seperti juga sebuah sungai di gunung yang mengalir jauh dan cepat dengan membawa serta segala sesuatu yang dijumpai diperjalanannya; tak sekejap, sesaat atau sedetik pun ia berhenti mengalir, tetapi ia terus menerus mengalir tak henti-hentinya. Begitu pula brahmana, penghidupan seorang manusia dapat diumpamakan sebagai sebuah sungai di gunung".

"Dunia ini berada dalam proses bergerak terus menerus dan oleh karena itu tidak kekal".

Satu materi lenyap dan ini menciptakan kondisi untuk timbulnya materi yang berikutnya dan begitu seterusnya dalam satu rangkaian sebab dan akibat. Tak terdapat satu bagian pun yang kekal di dalamnya. Tak ada sesuatu di belakangnya yang dapat disebut sebagai satu Atta (Pali) atau Atman (Skrt) yang kekal abadi, satu pribadi atau apa yang disebut sebagai "aku".

Saya kira semua orang setuju, bahwa baik benda, perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran atau kesadaran pada hakekatnya tak dapat disebut sebagai "aku". Tetapi kalau Lima Kelompok Kemelekatan ini, yang keadaannya saling bergantungan, bekerja sama dalam satu kombinasi sebagai satu mesin physio-psychologik, maka kita akan mendapat ide tentang adanya sang "aku" itu.

Tetapi, ini ide palsu, satu bentuk pikiran yang menjadi bagian dari salah satu dari 52 buah bentuk pikiran dari Kelompok Kemelekatan  keempat yang baru saja kita bahas, yaitu bentuk pikiran tentang adanya ide dari sang "aku" (sakkaya-ditthi; dari sat = makhluk dan kaya = tubuh).

Lima Kelompok Kemelekatan ini secara keseluruhan, yang secara populer disebut sebagai "makhluk", juga merupakan dukkha (sankharadukkha).

Sebenarnya tak ada "makhluk" atau "aku" lain yang berdiri dibelakang Lima Kelompok Kemelekatan itu yang mengalami penderitaan.

Dalam hubungan ini Buddhagosa pernah berkata ;
"Hanya penderitaan yang ada, 
namun "tak dapat dijumpai si penderita; 
"Perbuatan yang ada, tetapi "tak ada si pembuat."
 (Vism. (PTS), hal. 513)

Tak ada-lah penggerak yang tak bergerak di belakang pergerakan itu. Yang ada hanya pergerakan itu sendiri. Kuranglah tepat kiranya untuk mengatakan bahwa penghidupan ini bergerak, karena penghidupan itu sendiri merupakan pergerakan. Penghidupan dan pergerakan bukanlah dua hal yang berbeda. Dengan perkataan lain, tak terdapat si pemikir di belakang pikiran. Pikiran itu sendirilah yang juga merupakan si pemikir. Kalau kita menyingkirkan pikiran, maka si pemikir tak akan dapat dijumpai.

Dalam hal ini paham Buddhis bertentangan sama sekali dengan paham kaum Cartesian, yang berbunyi ; “cogito ergo sum” yang berarti "aku berpikir, dan karena itu aku ada."

Sekarang mungkin timbul pertanyaan, apakah penghidupan ada permulaannya? Menurut Buddha Dhamma, awal dari proses penghidupan satu makhluk tak dapat terpikir.

Sang Buddha pernah bersabda:
"0 bhikkhu, roda tumimbal lahir (samsara) 
tak mempunyai akhir yang dapat dilihat, 
Sedangkan awal dari penghidupan makhluk-makhluk 
yang sekarang kelihatan berkeliaran kesana dan kemari, 
diselubungi oleh ketidaktahuan (avijja), 
diikat erat-erat oleh belenggu keinginan 
yang tak habis-habisnya (tanha), 
tidak dapat diketahui dengan jelas."
 (S 11,hal178/9; III hal.149,151).

Selanjutnya mengenai ketidak-tahuan (avijja), yang merupakan sebab utama dari tumimbal-lahir yang tak habis-habisnya,

Sang Buddha bersabda:
"Awal dari avijja tidak dapat diketahui dengan jelas”.

Ini harus diartikan bahwa kita tidak dapat menentukan dengan tepat bahwa diluar titik tertentu tidak lagi terdapat avijja.

Dengan demikian, tidaklah mungkin untuk mengatakan bahwa tidak terdapat lagi kehidupan diluar titik tertentu. Inilah secara singkat makna dari Kebenaran Mulia tentang Dukkha.

Sangat penting sekali untuk mengerti Kebenaran Mulia Pertama ini dengan baik, sebab Sang Buddha juga pernah bersabda :

"Ia yang telah melihat dukkha 
akan dapat melihat pula sumbernya dukkha, 
dapat melihat pula terhentinya dukkha 
dan dapat melihat pula Jalan 
yang menuju ke terhentinya dukkha."

Harap jangan disalah artikan, bahwa kehidupan seorang Buddhis itu murung dan penuh kesedihan. Sebaliknya, seorang Buddhis sejati adalah orang yang paling bahagia. Ia tak mempunyai rasa takut atau ketegangan. Ia selalu sabar dan gembira dan ia tak terpengaruh atau merasa kesal oleh adanya suatu perubahan atau bencana karena ia melihat benda-benda menurut kodrat yang sebenarnya atau sewajarnya.

Sang Buddha sendiri tak pernah kelihatan murung atau kesal. Orang yang pernah mengenal Sang Buddha mengatakan bahwa Beliau adalah orang yang selalu tersenyum (mihitapubbangama).

Dalam lukisan atau pahatan Sang Buddha selalu digambarkan dalam keadaan bahagia, tersenyum, puas dan penuh welas asih. Tak sedikit pun penderitaan atau kemasygulan yang dapat terlihat. Kebudayaan dan arsitektur Buddhis dengan vihara-viharanya belum pernah memberi kesan tentang kemurungan atau kesedihan, tetapi selalu memberikan suasana yang tenang, khidmat, mulia dan agung.

Meskipun hidup ini penuh dengan penderitaan, seorang Buddhis seharusnya jangan bersikap murung, atau bersikap marah atau tak sabar terhadapnya. Salah satu sifat buruk, menurut paham Buddhis, adalah PatighaPatigha dapat diartikan sebagai “keinginan tidak baik” (ill-will) terhadap makhluk hidup, terhadap penderitaan dan terhadap benda-benda yang ada hubungannya dengan penderitaan.

Fungsinya ialah menciptakan dasar bagi satu keadaan yang tidak bahagia dan tingkah laku yang buruk. Oleh karena itu sangatlah salah, bila kita bertindak tidak sabar terhadap penderitaan.

Dengan bertindak tidak sabar dan marah-marah kita tidak dapat menyingkirkan penderitaan. Bahkan, ia akan menambah lebih banyak kesulitan lagi, memperbesar dan merangsang keadaan yang memang sudah tidak menyenangkan itu.

Yang perlu kita lakukan bukanlah marah-marah atau tidak sabar, melainkan berusaha untuk mengerti akan seluk-beluk penderitaan itu, bagaimana ia timbul dan bagaimana menyingkirkannya. Selanjutnya,kita harus bekerja untuk mencapai tujuan itu dengan penuh kesabaran, kebijaksanaan, keyakinan dan kemauan keras.

Kita mengenal dua buah kitab suci Buddhis yang berjudul Theragatha dan Therigatha. Kitab-kitab tersebut berisikan ucapan-ucapan penuh kebahagiaan dari siswa-siswa Sang Buddha, baik pria maupun wanita, yang telah berhasil memperoleh ketenangan dan kebahagiaan dalam kehidupan dengan melaksanakan ajaran Sang Buddha.

Baginda Raja Kosala pada suatu hari memberitahukan Sang Buddha bahwa berlainan dengan pengikut agama-agama lain yang air mukanya kelihatan liar, beringas, pucat, kurus kering dan tidak bercahaya, maka siswa-siswa Sang Buddha kelihatannya gembira dan bercahaya, penuh dengan kebahagiaan hidup, menikmati hidup suci, indria-indrianya terkekang, bebas dari ketegangan, sabar, tenang dan periang. Raja itu menganggap bahwa keadaan yang sehat ini diperoleh karena para bhikkhu itu benar-benar dapat menyelami dan melaksanakan ajaran Sang Tathagata (Buddha). Buddha Dhamma menentang pikiran yang murung, sedih dan penuh dengan perasaan bersalah, yang dianggap sebagai penghalang untuk menembus kesunyataan dan memperoleh Pecerahan Agung.

Sebaliknya, kegiuran (pitti) termasuk salah satu dari tujuh Bojjhanga yang dengan mutlak harus dikembangkan untuk mencapai Penerangan Agung (Nibbana).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar