Sabtu, April 24, 2010

MAHADHANA, ANAK SEORANG JUTAWAN


Kisah ini tentang seorang anak jutawan, anak orang yang amat kaya di Benares. Ia bernama Mahadhana. Ia terlahir di sebuah keluarga yang kaya raya. Mereka memiliki kekayaan sebanyak delapan ratus juta keping uang. Ayah dan ibu Mahadhana berpikir:

"Harta  kami  amat  banyak,  untuk  apa  anak  kami bekerja lagi, lebih baik ia bersenang- senang".

Kemudian mereka membiarkan anaknya bersenang-senang saja, dengan bernyanyi, menari dan bermain musik, setiap waktu.

Di kota yang sama terdapat pula orang kaya lainnya. Ia juga mempunyai kekayaan sebanyak  delapan  ratus  juta  keping  uang.  Mereka  mempunyai seorang anak gadis yang cantik. Mereka juga mempunyai pikiran yang sama ,yaitu membiarkan anak gadisnya bersenang-senang saja. Ketika kedua anak ini dewasa, kedua orang tuanya mengawinkan anak mereka, seperti kebiasa an pada waktu itu. Beberapa waktu kemudian kedua orang tua itu meninggal dunia. Setelah kedua orang tuanya meninggal dunia, Mahadhana dan istrinya memperoleh warisan dari kedua orang tuanya. Harta mereka menjadi dua kali delapan ratus juta keping uang.

Mahadhana mempunyai kebiasaan mengunjungi Raja tiga kali dalam satu hari. Di kota terdapat sekelompok orang yang kebiasaannya bermabuk-mabukkan dengan minum minuman keras. Melihat Mahadhana, mereka berpikir alangkah baiknya kalau mereka dapat membuat Mahadhana bermabuk-mabukkan dan menghamburkan uangnya, dengan demikian mereka dapat ikut bersenang-senang.

"Kalau anak jutawan ini menjadi pemabuk dan menjadi teman kita, dapat kita peras kekayaannya. Jadi kita harus memperlihatkan kepadanya, bagaimana caranya bermabuk-mabukkan".

Mereka lalu menyediakan minuman keras, daging panggang, garam, temba kau dan gula yang disimpan di dalam kantong baju mereka. Kemudian mereka duduk di jalan yang biasa dilalui Mahadhana. Ketika Mahadhana mendekat, mereka segera minum minuman keras, memasukkan garam dan gula ke mulut dan juga mengunyah tembakau. Orang-orang itu berkata:

"Semoga tuanku, anak jutawan hidup seratus tahun! Dengan bantuanmu kami dapat makan dan minum sepuas hati! Cobalah minuman ini tuanku, enak sekali".

Mendengar kata-kata mereka, Mahadhana bertanya kepada pelayan yang mengiringinya:

"Apa yang mereka minum?"

"Minuman istimewa tuanku"

"Enakkah rasanya?"

"Tuanku di dunia ini, tidak ada minuman yang lebih enak dari pada minuman ini".

"Jadi!", kata Mahadhana, "Saya harus mencoba".

Kemudian ia menyuruh pelayannya mengambil minuman itu sedikit, dicobanya, lalu ia mengambil sedikit lagi, sedikit lagi, akhirnya ia menjadi mabuk. Tidak perlu waktu lama untuk membuat Mahadhana menjadi pemabuk.

Orang-orang berkerumun mengelilingi Mahadhana yang menghambur kan uangnya, seratus atau dua ratus keping uang. Akhirnya perbuatan buruk itu menjadi kebiasaannya, setiap mabuk ia menghamburkan uangnya. Dengan meraup uang di tangannya, ia berteriak-teriak: "Ambillah uang ini dan bawakan saya bunga! Ambillah uang ini bawakan saya minyak wangi! Orang ini pandai bermain dadu, orang ini pandai bermain musik! Berikanlah orang ini seribu keping dan orang itu dua ribu keping!".

Dengan cara seperti itulah ia menghabiskan uang warisan orang tuanya. Ketika teman-temannya tahu uangnya habis, mereka berkata kepada Mahadhana:

"Tuanku, hartamu sudah habis. Apakah istrimu punya uang?"

"Oh ya, ia juga punya uang, ambillah uang istriku".

Kemudian ia pun menghabiskan uang istrinya dengan cara yang sama.

Setelah uangnya habis, Mahadhana menjual ladang, tanah dan kebun, juga kereta kudanya. Ia menjual semua peralatan makannya, selimut, mantel dan tempat tidurnya. Akhirnya semua hartanya habis terjual, ia jatuh miskin. Hidupnya tidak karuan lagi. Di usia tuanya ia menjual hartanya yang terakhir yaitu rumahnya, tidak ada lagi harta yang tersisa sedikitpun, ia harus pergi dari rumahnya sendiri. Dengan istrinya, ia menemukan sebuah gubuk, yang menempel di sisi dinding tembok sebuah rumah. Dengan mangkuk yang pecah, ia menjadi pengemis meminta belas kasihan orang lain. Ia hanya makan makanan sisa yang dibuang orang.

Suatu hari ia berdiri di depan Vihara tempat Sang Buddha berdiam, untuk meminta makanan. Samanera memberikan makanan kepada Mahadhana, anak jutawan yang sekarang menjadi pengemis itu. Sang Buddha melihatnya lalu tersenyum. Yang Mulia Ananda bertanya mengapa Sang Buddha tersenyum. Sang Buddha lalu bercerita:

"Ananda, lihatlah anak jutawan itu! Di kota ia menghambur-hamburkan harta kekayaannya sebanyak dua kali delapan ratus juta keping uang. Sekarang dengan istrinya, ia menjadi pengemis. Apabila dalam kehidupan nya ini, ia tidak menghamburkan harta bendanya, tetapi menjalani usahanya dengan baik, ia akan menjadi orang yang terkaya di kota ini. Dan apabila ia pensiun dan menjadi bhikkhu, ia akan mencapai Tingkat Kesucian Arahat, dan istrinya akan mencapai Tingkat Kesucian ke Tiga (Anagami). Apabila di usia setengah bayanya ia tidak menghamburkan harta bendanya, tetapi menjalani usahanya, ia akan menjadi orang kaya nomor dua di kota ini. Bila ia pensiun dan menjadi seorang bhikkhu, ia akan mencapai Tingkat Kesucian ke Tiga (Anagami), dan istrinya akan mencapai Tingkat Kesucian ke Dua (Sakadagami). Dan apabila di usia tuanya ia tidak menghamburkan harta bendanya, tetapi menjalankan usahanya, ia akan menjadi orang kaya nomor tiga di kota ini. Bila ia pensiun dan menjadi bhikkhu, ia akan mencapai Tingkat Kesucian ke Dua (Sakadagami), dan istrinya akan mencapai Tingkat Kesucian Pertama (Sotapana). Tetapi sekarang ia jatuh bangkrut dan ia juga tidak mengenal Dhamma, ia akan menjadi seekor bangau yang berdiam di danau kering".

Setelah berkata demikian, Sang Buddha mengucapkan syair:

"Mereka yang tidak menjalankan kehidupan suci 
serta tidak mengumpulkan bekal 
(kekayaan) selagi masih muda, 
ia akan merana seperti bangau tua
yang berdiam di kolam yang tidak ada ikannya".
(Dhammapada, Jara Vagga no. 10)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar