Minggu, Februari 05, 2012

Bab IV : Inti Ajaran Sang Buddha


BAB IV

INTI AJARAN SANG BUDDHA


Sabba pappasa akaranam,
Kusala uppasampada,
Sacitta pariyodapanam,
Etam Buddhanam sasanam

Tidak melakukan segala bentuk kejahatan,
senantiasa mengembangkan kebajikan
dan membersihkan batin;
inilah Ajaran Para Buddha.
(Dhammapada : 183)


106. Inti Ajaran Sang Buddha memang dapat diringkas dalam bentuk kalimat yang pernah disabdakan oleh Sang Buddha tersebut diatas, namun kalimat tersebut bila tidak dijabarkan dalam suatu Konsep Ajaran secara rinci , maka sangatlah dimungkinkan dalam praktiknya, kita akan terjebak dalam konsep-konsep yang tidak jelas dan bahkan dapat menyimpang jauh dari ajaran Sang Buddha yang sebenarnya, oleh karenanya untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan hal tersebut diperlukan suatu petunjuk yang sistematis (konseptual) sebagai pedoman pembelajaran dan pemahaman mengenai Pokok-Pokok Dasar Ajaran Sang Buddha dengan benar.

“Karena apakah maka dikatakan bahwa Empat Kebenaran Mulia merupakan Dhamma yang diajarkan olehku? berdasarkan pada enam elemen ada yang masuk ke dalam kandungan. Ketika hal itu terjadi, ada materi dan batin (nama-rupa). Dengan materi dan batin sebagai kondisi, ada enam landasan indera; dengan enam landasan indera sebagai kondisi, ada kontak; dengan kontak sebagai kondisi, ada perasaan. Kepada orang yang merasakan inilah kuperkenalkan,: Inilah penderitaan”, : Inilah asal mula penderitaan”, “ Inilah berhentinya penderitaan”, “ Inilah jalan menuju berhentinya penderitaan”.
(petikan Anguttara Nikaya III :65)

107. Sang Buddha telah mengajarkan kepada kita untuk melepaskan diri dari belenggu nafsu keinginan, karena nafsu keinginanlah yang menimbulkan Dukkha/penderitaan batin dan jasmani.

108. Bilamana kita merenungkan sejenak, kita akan menyadari betapa banyak dan hebatnya penderitaan yang dialami oleh semua makhluk hidup. Dunia ini sesungguhnya penuh dengan segala macam penderitaan, seperti kelaparan, kehausan, kedinginan, kepanasan, kekecewaan, kerugian, usia tua, penyakit dan kematian adalah merupakan pengalaman-pengalaman yang lazim terdapat dimana-mana, pada setiap makhluk hidup, bagi yang kaya maupun yang miskin, bagi seorang raja maupun seorang musafir. Hidup manusia merupakan perjuangan yang terus menerus untuk menghindarkan diri dari berbagai macam penderitaan .

Apapun perbuatan yang kita lakukan adalah agar diri kita merasa senang, nyaman dan berusaha untuk menghindari penderitaan. Kita akan makan, bilamana merasa lapar, kita mengenakan baju tebal jika kedinginan, namun makanan dan baju tebal tidak dapat melenyapkan rasa lapar maupun dingin untuk selama-lamanya.

109. Mengapa agama Buddha lebih menekankan aspek dukkha dalam kehidupan ? , sehingga banyak orang mendapat gambaran salah bahwa agama Buddha adalah pesimistis.

Di sini dengan tegas dinyatakan bahwa agama Buddha bukan pesimistis dan juga bukan optimistis, tetapi yang benar adalah bahwa agama Buddha adalah agama yang realistis. Yaitu yang mengajar kita untuk melihat hidup dan kehidupan di dunia ini dengan cara realistis. Agama Buddha melihat benda-benda dan segala sesuatunya dengan obyektif (jathabhutang) dan tidak menggambarkan secara keliru dan bodoh bahwa "penghidupan ini sorga" dan juga tidak ingin menakut-nakuti umatnya dengan berbagai macam hukuman dan dosa yang tidak masuk akal.

Agama Buddha memberitahukan kepada kita secara wajar dan tanpa ada yang ditutup-tutupi tentang siapa sebenarnya kita dan apakah yang ada di sekeliling kita dan juga menunjukkan Jalan untuk mencapai kebebasan sempurna, ketenangan, keseimbangan dan kebahagiaan. 

110. Seorang dokter mungkin secara berlebih-lebihan menilai bahwa seorang pasien terlalu parah sakitnya dan tidak mungkin dapat disembuhkan. Dokter yang lain lagi secara tidak bertanggung jawab menyatakan bahwa orang sakit itu sama sekali tidak sakit apa-apa dan karena itu tidak memerlukan obat, sehingga orang sakit itu mendapat hiburan yang tidak pada tempatnya.

Kita dapat menamakan dokter yang pertama sebagai pesimistis dan dokter yang kedua optimistis, namun kedua-duanya sebenarnya sama-sama berbahaya.

Tetapi dokter yang ketiga dengan terang dapat melihat gejala-gejala orang sakit itu, dimana ia secara bertahap melakukan:

1) Mencari tahu, menganalisa, men-diagnosis terlebih dahulu “Apakah penyakit itu.” ( Adanya Penderitaan).

2) Meng-identifikasikan, menemukan penyebab dari penyakit itu. ( Asal-mula Penderitaan).

3) Mengetahui bagaimana cara menyembuhkan penyakit itu.  ( Lenyapnya penderitaan)

4) Memberikan Obat yang tepat dan menguraikan langkah-langkah penyembuhannya. (Jalan menuju lenyapnya penderitaan).

Nah, Sang Buddha dapat diumpamakan sebagai dokter yang ketiga ini. Beliau adalah dokter yang pandai, handal dan bijaksana yang dapat menyembuhkan penyakit manusia di dunia ini (Bhisaka atau Bhaisajya Guru).

111. Sang Buddha dengan kecerdasannya yang luar biasa dan dengan cara berpikirnya yang logis, realistis, terkonsentrasi dan termurnikan, secara langsung mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah penderitaan’, ‘Inilah asal mula penderitaan’, ‘Inilah lenyapnya penderitaan’, ‘Inilah jalan menuju lenyapnya penderitaan’.

Didalam Kitab Suci Majjhima Nikaya (MN) 4.31 atau MN 36.42, Sang Buddha mengungkapkannya sbb ;

“Ketika pikiranku yang terkonsentrasi telah demikian termurnikan, terang, tak ternoda, bebas dari ketidak-sempurnaan, dapat diolah, lentur, mantap dan mencapai keadaan tak terganggu, aku mengarahkannya pada pengetahuan tentang hancurnya noda-noda (tiga akar kejahatan yaitu: keserakahan/lobha, kebencian/dosa dan ketidaktahuan atau kebodohan-batin/moha).

Secara langsung aku mengetahui sebagaimana adanya: ‘Inilah penderitaan’, ‘Inilah asal mula penderitaan’, ‘Inilah lenyapnya penderitaan’, ‘Inilah jalan menuju lenyapnya penderitaan’; Secara langsung aku mengetahui sebagaimana adanya ‘Inilah noda-noda’, ‘Inilah asal mula noda-noda’, ‘Inilah lenyapnya noda-noda’, ‘Inilah jalan menuju lenyapnya noda-noda’ .”

112. Sang Buddha tidak mengingkari adanya ragam bentuk kebahagiaan, baik materi maupun spiritual. Dalam kitab Anggutara Nikaya II, vii; pilihan, tercantum daftar kebahagiaan (sukhani), seperti kebahagiaan dari kehidupan berumah tangga dan kebahagiaan dari kehidupan bhikkhu ; kebahagiaan dari kesenangan inderawi dan kebahagiaan dari pelepasan duniawi ; kebahagiaan yang ternoda dan kebahagiaan yang tak ternoda, kebahagiaan yang berkenaan dengan seks dan kebahagiaan tanpa seks dan lain sebagainya. Namun, semua kebahagiaan tersebut di atas juga termasuk dalam dukkha. Bahkan kebahagiaan batin yang dicapai dengan melaksanakan samadhi ,yaitu keadaan jhana, dimana seseorang telah terbebas dari perasaan “sukha” dan “dukka” oleh Sang Buddha didalam salah satu sutta dari Majjhima Nikaya dikatakan bahwa kebahagiaan itu akan berubah dan tidak kekal, olehkarenanya harus digolongkan dalam “dukkha” (anicca dukkha viparinama-dhamma).

Dari contoh-contoh diatas dapat diketahui dengan jelas, bahwa "dukkha" bukan hanya disebabkan oleh penderitaan dalam artian umum, tetapi segala sesuatu yang tidak kekal pun adalah "dukkha" (Yad aniccang tang dukkhang).

113. Sang Buddha adalah orang yang realistis dan objektif. Sehubungan dengan penghidupan dan kebahagiaan dari hawa-nafsu, Beliau minta agar kita mengerti dengan baik tiga hal:

1. Perasaan tertarik atau kegembiraan (assada).

2. Akibat yang tidak baik, atau bahayanya, atau perasaan tidak puas (adinava).

3. Perasaan tidak terikat atau terbebas ( nissarana).

114. Kalau kita melihat orang yang baik budinya, manis bahasanya dan rupawan, kita akan merasa suka, tertarik , merasa gembira , memperoleh kesenangan dan kepuasan kalau sering-sering dapat bertemu dengan orang itu. Inilah yang dinamakan kegembiraan (assada). Hal ini dapat kita alami sendiri dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi kegembiraan ini tidak kekal sebagaimana juga halnya dengan orang itu, dan segala sesuatu yang membuatnya terlihat menarik-pun juga tidak kekal.

Kalau kita karena sesuatu sebab misalnya, tidak dapat bertemu dengan orang itu sehingga tidak mendapat peluang untuk menjadi senang dan gembira, kita akan menjadi kecewa sekali dan mungkin kita dapat melakukan perbuatan yang tidak pantas. Inilah yang dinamakan "tidak baik", "berbahaya" dan "tidak memuaskan" (adinava). Hal inipun dapat kita alami sendiri dalam kehidupan kita sehari-hari.

Kemudian kalau kita tidak mempunyai ikatan apa-apa dengan orang itu dan juga tidak merasa tertarik, maka hal inilah yang dinamakan "tidak terikat" dan "terbebas" (nissarana).

Ketiga hal yang telah disebutkan diatas merupakan kenyataan hidup yang ada hubungannya dengan kegembiraan dalam kehidupan ini. Dengan contoh-contoh yang diberikan di atas, mungkin sekarang kita mendapat gambaran yang lebih jelas bahwa persoalannya bukanlah pesimistis atau optimistis, tetapi kita harus mengetahui dengan jelas segala sesuatu yang berhubungan dengan kegembiraan dalam kehidupan, hal-hal yang dapat menyakiti hati dan yang membuat kita sedih, dan hal-hal yang membebaskan kita dari kesedihan dan penderitaan itu. Dengan demikian barulah kita dapat memahami hidup ini secara menyeluruh dan obyektif. Selanjutnya barulah dapat dicapai pembebasan diri yang benar. Mengenai hal ini Sang Buddha pernah bersabda sbb:

"0 siswa-Ku, kalau seorang pertapa atau brahmana belum dapat mengerti dengan baik bahwa kegembiraan dari hawa nafsu adalah kegembiraan, ketidak-puasan karenanya adalah ketidak-puasan, kebebasan dari padanya adalah kebebasan, maka tidaklah mungkin mereka dapat memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan yang timbul dari hawa nafsu. Dengan demikian mereka tidak dapat mengajar orang lain dan orang lain yang mengikuti petunjuk-petunjuk mereka tidak akan dapat memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan hawa nafsu itu.

Tetapi, 0 siswa-Ku, kalau seorang pertapa atau brahmana dapat mengerti dengan baik bahwa kegembiraan dari hawa nafsu adalah kegembiraan, ketidak-puasan oleh karenanya adalah ketidak-puasan, kebebasan dari padanya adalah kebebasan, maka mereka akan dapat mengerti secara menyeluruh keinginan yang timbul dari hawa nafsu dan mereka akan dapat mengajar orang lain untuk dapat memahaminya, dan orang lain yang mengikuti petunjuk-petunjuknya akan dapat memahami secara menyeluruh keinginan-keinginan hawa nafsu itu."

Dalam Udana 4.4  Sang Buddha bersabda  :

“ Mereka yang pikirannya kokoh tak tergoyahkan bagai batu karang,
tidak terikat kepada benda-benda yang menimbulkan keterikatan,
Tidak marah oleh hal-hal yang menyebabkan kemarahan,
Bila pikirannya telah terolah demikian,
Bagaimanakah penderitaan dapat mendatanginya?”





1 komentar:

  1. apakah situs ini memiliki naskah "sang buddha dan ajaran" dlm bhs indonesia?
    bdg x berasal dari : The Buddha and His Teachings By Venerable Narada Mahathera
    kalau memang ada, mohon fwd-kan buat sy di abungl@yahoo.com,.. terima kasih

    BalasHapus